"Apa kau tau kemana kira-kira ia akan membawaku pergi?" tanya Vino pada Andrew yang menghentikan mobilnya di depan lampu lalu lintas yang menyala merah.
"Hmm? Kapan dia mengatakan ingin mengajakmu kesuatu tempat?" tanya Andrew.
"Saat kau berbicara dengan ponselmu," jawab Vino.
Andrew menggumamkan 'o' pelan kemudian mengangkat bahunya. Ia kembali menaikkan kecepatan mobilnya saat lampu berubah hijau.
"Jangan khawatir. Percaya saja padanya. Dia adalah yang terbaik di bidangnya. Saat ia diberikan imbalan yang menguntungkannya, ia akan melakukan yang terbaik untuk lawan bisnisnya," kata Andrew.
“Apa imbalan yang kau tawarkan padanya?”
Andrew melirik Vino sekilas. “Itu urusanku. Kau hanya perlu mengikutinya.”
Vino yang mengetahui sifat Andrew memilih untuk tidak memperpanjangnya. Ia hanya membisikkan kata ‘terima kasih’ yang terlampau lirih tanpa berharap sahabatnya mendengarnya. Tetapi di dalam mobil yang hanya berisi mereka berdua, Andrew tentu mendengarnya dan tersenyum kecil tanpa membalas apapun.
Ponsel Andrew berdering tiba-tiba memecah kesunyian mobil. Andrew melirik ponselnya yang tergeletak di dashboar mobil dan berdecak kesal saat melihat identitas sang pemanggil.
"Tidak diangkat?" tanya Vino.
"Ia hanya akan terus mengicaukan hal yang sama," gerutu Andrew.
"Ada pekerjaan yang harus kau lakukan malam ini?" tanya Vino.
"Ya, ayah memintaku menghadiri suatu pertemuan. Tapi tenang saja, aku akan hadir disana setelah mengantarmu," jawab Andrew sambil mengedipkan matanya. Andrew melakukannya karena Vino selalu menceramahinya untuk mendengarkan kata-kata ayahnya selama ia tidak mengganggu kehidupan pribadinya.
"Kalau begitu bisa kau mengantarku ke rumah Tiffany?"
"Oke, kurasa aku juga merindukannya," sahut Andrew dan tergelak saat Vino meliriknya kesal.
Mereka berhenti di depan apartemen sederhana berwarna putih-coklat setinggi 6 lantai dengan halaman yang cukup luas tanpa pagar. Lokasinya berada di pinggir kota, tetapi cukup dekat dengan supermarket dan stasiun kereta. Vino turun saat Andrew menepikan mobilnya di pinggir jalan dan berjalan mendahului Andrew melintasi halaman.
Mereke berjalan bersisian memasuki kawasan apartemen dan berhenti di depan pintu salah satu unit di lantai satu.
Vino menekan bel sekali. Mengernyit saat tidak ada jawaban.
Dua kali. “Kemana dia?”
Tiga kali. Andrew melihat jam tangannya. “Sudah hampir jam 6 sore. Kurasa dia tidak mungkin masih berada di universitas."
"Atau Si Gadis Hansen berulah lagi." Vino yang tak dapat menyembunyikan kepanikannya mencoba mengeluarkan ponsel dari kantung celana. Ia mengumpat saat menyadari ponselnya berada di dalam tasnya yang ditinggal di mobil Andrew.
"Sial! Apakah Tiffany menghubungimu?" tanyanya pada Andrew.
Andrew memeriksa handphonenya dan menggeleng. Terlihat kekhawatiran dimatanya.
"Mau kuhubungi?" Pertanyaan yang tidak berguna itu menguap ke udara begitu saja karena Andrew bahkan tidak menunggu jawaban Vino untuk melakukannya.
"Andrew.." Tiffany mengangkatnya.
"Tiffany? Dimana kau sekarang? Apa kau baik baik saja?" Vino segera mendekatkan telinganya dengan khawatir.
"Hiks.. Hiks.. "
"Kau menangis?” Andrew menurunkan suaranya. Bola mata Vino membesar.
"Dimana kau sekarang?!" Suara isakan Tiffany yang tidak berhenti mulai membuat Andrew gusar.
"Apa kau bersama Kak Vino? Aku.. ingin bicara dengannya, tapi ia belum juga kembali.. Ia juga tidak mengangkat panggilanku.. Aku.. Aku di depan rumahnya." jelas Tiffany di tengah isakannya.
"Dia bersamaku. Kami segera kesana." Andrew memutuskan sambungan telefon, lantas menarik tangan Vino keluar dan berlari ke mobil.
Membunyikan klakson panjang, mobil Andrew melaju kencang membelah keramaian jalanan.
...****************...
"Kau bajingan menyedihkan! Kau tidak memberitahu Tiffany kalau kau ada urusan denganku?!" umpat Andrew pada Vino.
"Tentu saja aku mengatakan kalau aku ada urusan! Tapi aku tidak mengatakan kalau aku akan pergi denganmu. Lagipula darimana aku mengetahui kalau ia akan kerumahku?" Vino mengacak ngacak rambutnya.
"Ck!" Andrew menambah kecepatannya.
Mereka sampai di depan apartemen Vino. Lagi-lagi mendahului Andrew, Vino segera turun dari mobil dan melesat menuju lantai dimana kamarnya berada.
Vino terenyuh melihat gadisnya duduk di depan pintu kamarnya dengan menenggelamkan wajahnya ke lututnya.
Andrew sampai setelah Vino dan mendesah melihat keadaan Tiffany. Didorongnya punggung Vino pelan.
Vino maju, melepas jaketnya, menyelimuti gadisnya, dan berjongkok disampingnya.
"Tiffany?" sapanya pelan.
Tiffany langsung mengangkat wajahnya. Melihat yang berada di depannya adalah Vino, Tiffany langsung menabrakkan wajahnya ke dada Vino sambil terisak.
"Kau ke mana saja? Aku menunggumu lama sekali.. Hiks.."
Vino mendekap erat tubuh kecil kekasihnya dan mengelus kepalanya lembut.
"Maaf, maafkan aku," bisiknya.
Andrew menyenderkan tubuhnya ke dinding, membiarkan mereka seperti itu untuk beberapa saat. Ia mengangkat tangannya saat Tiffany menyudahi pelukannya dan menangkap sosoknya yang berdiri di belakang Vino.
"Yo, senang melihatmu baik baik saja," sapanya.
Tiffany bangkit, menghampiri Andrew, dan berusaha memamerkan cengirannya yang biasa. "Hei."
“Hentikan itu. Kau terlihat menyedihkan.” Andrew menepuk pelan kepala Tiffany sambil tersenyum.
"Andrew, bagaimana dengan pertemuanmu?" tanya Vino. Sedikit terganggu dengan interaksi Tiffany dengan sahabatnya yang seakan melupakan keberadaannya.
Andrew menepuk keningnya dan melihat jam tangannya. "Aku harus pergi. Vino, pastikan kau mengantar Tiffany dengan selamat."
"Tak perlu kau katakan itu," sahut Vino jengkel.
"Aku pergi dulu. Nikmati waktumu dengan si kacamata ini," Andrew menyeringai jahil sambil mengacak rambut Tiffany yang segera bergerak-gerak menghindarinya. Tentu saja perbedaan tinggi mereka membuat usaha Tiffany sia-sia.
"Jangan rusak rambutku lebih dari ini!" sungut Tiffany setelah memilih menjauhi Andrew.
Andrew tergelak dan berbalik. Tak sampai lima detik ia kembali menolehkan kepalanya pada Vino sebelum melanjutkan langkahnya. “Tasmu masih di mobil.”
“Oh, benar. Tunggu sebentar, ya.” Vino segera berlari menyusul Andrew setelah memastikan kekasihnya mengangguk.
...****************...
Vino mengangguk kecil pada Andrew yang mulai menyalakan mobilnya di kursi kemudi setelah mengambil tasnya.
"Pastikan kau sampaikan semuanya dengan baik. Atau ia akan kesepian seperti sebelumnya," ujar Andrew singkat. Tanpa melihat ke arah Vino, ia menekan gasnya dalam dan melaju kencang meninggalkan Vino yang masih terdiam di tenpatnya.
...****************...
“Hei, Andrew sudah pergi?” Tiffany tersenyum pada Vino yang berjalan ke arahnya dan menjawab pertanyaannya dengan anggukan singkat.
“Maaf, aku melupakan ponselku di dalam tas,” sesal Vino.
"Ooh.. syukurlah. Kukira kau sengaja mengabaikan panggilanku. Hehe.” Cengiran Tiffany kembali ke tempatnya dengan sempurna.
"Aku juga memiliki hal yang ingin kubicarakan denganmu,"
Mendengar kalimat Vino itu, Tiffany langsung memeluk erat kekasihnya. Kepalanya menggeleng kuat.
"Tidak! Aku tak mau dengar! Jangan katakan apapun!" teriaknya.
Vino tidak mengerti akan respon yang diberikan kekasihnya, tetapi ia membalas pelukan kekasihnya dengan lembut dan meletakkan dagunya ke atas puncak kepala Tiffany. Dielusnya punggung Tiffany untuk menenangkannya.
"Kenapa sayang?" tanyanya lembut.
"Aku tau yang ingin kau katakan adalah hal yang buruk. Aku tak ingin mendengarnya.” Suara Tiffany mulai melemah lagi dan Vino benci itu.
"Hal buruk seperti apa yang kau maksud?" tanyanya.
Setelah terdiam sejenak, jawaban Tiffany terdengar lirih.
"Se.. Seperti putus?"
Jawaban itu terdengar bagai guntur di telinga Vino. Jawaban kekasihnya tidak tepat dengan apa yang dipikirkannya, tetapi justru lebih buruk. Ia segera melepaskan pelukannya. Di genggamnya kedua tangan Tiffany dan di tatapnya dalam kedua mata indah kekasihnya yang berkaca-kaca.
"Darimana kau mendapatkan pikiran seperti itu? Kau tau itu tak akan pernah terjadi," tukasnya lembut, tetapi ekspresinya memancarkan keyakinan yang menenangkan.
“Benarkah?” cicit Tiffany.
Dituntunnya gadisnya memasuki apartemen.
"Ayo masuk. Kita bicara."
...----------------...
Andrew memarkirkan mobilnya di parkiran basement sebuah hotel bintang lima yang berdiri angkuh di pusat kota. Ia turun dari mobilnya dan berjalan menuju lobby hotel. Mengabaikan berbagai tatapan yang diarahkan padanya, pandangannya mengitari lobby raksasa yang dihiasi patung seorang wanita dengan gaun khas bangsa Yunani di tengan-tengah ruangan, juga sofa-sofa elegan dengan meja-meja kecil di sisi-sisi jendela, dan sofa-sofa panjang di depan meja resepsionis.
Andrew mengerang dalam hati saat matanya bersitatap dengan sepasang mata lain yang sama legamnya dengannya. Seharusnya ia sudah menduga kalau pria itu juga akan datang. Ini pertemuan keluarga.
Sialan. Seharusnya aku tidak datang.
Pria pemilik mata itu bangkit dari sofa yang sedang didudukinya dan berjalan ke arah Andrew yang diam di tempatnya. Ia mengerutkan keningnya ketika berhenti dan menatap Andrew dari atas ke bawah.
“Lama tak bertemu.” Ia mengulurkan tangannya, kemudian menurunkannya kembali setelah menahannya sejenak di udara tanpa mendapat penyambutan dari Andrew. “Kurasa pakaianmu tidak cocok,” ujarnya sambil menyurukkan tangannya ke saku.
Tentu saja. Andrew bukannya tidak diberitahu dress code-nya, bukan juga tidak tahu kalau ini adalah pertemuan resmi dan makan malam dengan keluarga kolega-kolega ayahnya, dan ia membencinya. Ia sengaja tidak menggunakan setelan dan datang dengan pakaiannya sejak pagi, yaitu turtleneck hitam dengan bawahan ankle pants yang juga berwarna hitam, dipadukan dengan sneakers putih. Menyalahi etika? Ia tidak peduli.
“Aku tidak peduli. Aku hanya datang untuk makan malam.”
“Ambil ini.” Pria itu menyerahkan sebuah kartu kamar padanya. “Ibu tahu kalau ini akan terjadi. Ia sudah menyiapkan setelanmu di kamar itu. Pergi dan bergantilah. Rapikan juga rambutmu.”
“Bukan urusanmu.”
Pria itu menahan bahu Andrew yang bermaksud melewatinya.
“Jangan membuat masalah hanya karena ayah dan ibu memanjakanmu.”
Andrew menepis tangan yang berada di bahunya. “Sejak kapan kau memedulikanku? Atau sekarang kau mengajakku bermain sandiwara persaudaraan setelah sekian lama? Hah?” teriak Andrew frustasi. Ia sepenuhnya melupakan dimana ia berada sekarang dan keramaian yang berada di sekeliling mereka.
“Tenangkan dirimu. Pergi dan bergantilah.” Pria yang notabene adalah kakak Andrew itu mengulangi perkataannya dengan nada yang lebih berat dari sebelumnya. Raut wajahnya yang tampan terlihat tanpa ekspresi.
“Ck!” Andrew merampas kartu kamar dari tangan kakaknya dan berlalu cepat sambil menghentakkan kakinya.
Kakak laki-laki Andrew memperhatikan langkah adiknya yang menjauh hingga ia menghilang ke dalam lift. Tercipta senyum kecil di wajahnya yang menghilang secepat kemunculannya.
“Dia masih tetap merepotkan.”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 48 Episodes
Comments