Vino menjatuhkan tubuh ke kasur bersama pikiran dan emosinya yang terus bercampur aduk. Ia telah mengambil keputusan untuk berubah. Tetapi tetap saja rasa takut dan traumanya membuatnya tidak memiliki kepercayaan diri untuk membuka dirinya lagi. Ia tahu dirinya tidak akan bisa berubah jika terus tertutup seperti ini. Ia harus mulai memutuskan sesuatu untuk dilakukan. Suatu usaha untuk mengembangkan potensi dirinya dan menumbuhkan kepercayaan dirinya kembali. Suatu posisi dan kekayaan yang cukup hingga membuatnya tidak lagi merasa terancam dengan hal-hal dari masa lalunya.
Tetapi apa yang harus ia lakukan? Apa yang harus ia mulai dan bagaimana memulainya? Ia tidak memiliki dana yang cukup untuk membangun suatu usaha. Tidak juga memiliki koneksi yang cukup untuk menemukan dan mengembangkan bakatnya. Dan lagi sebenarnya bakat seperti apa yang ia miliki? Ia bahkan tidak pernah memikirkan hal ini sebelumnya. Cita-citanya selama ini hanyalah hidup dengan tenang sambil bekerja sebagai karyawan kantoran biasa dengan gaji rata-rata. Atau setahun terakhir ini cita-citanya memiliki sedikit detail tambahan, yaitu keberadaan Tiffany di sampingnya.
Tetapi ternyata itu tidak cukup.
Vino mereset seluruh mimpinya akan ketenangan dan kedamaian. Ia harus berada di puncak.
Terlalu lelah dengan pikirannya membuat Vino jatuh tertidur.
\\*
Terbangun oleh aroma makanan yang membuat perutnya berbunyi, Vino sadar ia butuh makan malam. Diliriknya jam dinding, pukul 23:04. Ia tertidur cukup lama.
Vino bangkit sambil mengucek matanya. Ia bergerak keluar dari kamar dan menemukan Andrew yang duduk di depan televisi dengan segelas kopi di tangannya.
“Hey, kau bangun?” Sapanya. “Kau tertidur tanpa melepas kaus kaki kotormu.”
“Kapan kau datang?” tanya Vino. Berjalan mengabaikan desisan jijik Andrew.
“Sudah sejak tadi.” Andrew bangkit mengikuti Vino menuju ruang makan.
“Aku membeli pizza untuk kita berdua. Tapi kau tertidur bagai kucing kekenyangan. Aku tidak suka makan sendirian, kau tau itu.”
“Padahal kau bisa makan apapun yang kau mau ditemani para pelayanmu di rumahmu. Atau mengundang para wanita ke apartemenmu. Kenapa kau harus mengacau di rumahku?” Vino bertanya setengah tak peduli sambil mendudukkan dirinya di meja makan.
“Kau menyuruhku makan dipenjara itu? Lebih baik aku tidak makan berhari hari,” sewot Andrew sambil ikut duduk dan meraih kotak pizzanya.
Mereka menikmati pizza masing-masing dengan tenang. Atau terlihat seperti itu, tetapi Andrew dapat melihat dengan jelas kegelisahan Vino. Selain Tiffany, yang mengetahui kebiasaan Vino memperbaiki kacamatanya berulang-ulang saat sedang gelisah atau memikirkan sesuatu adalah Andrew.
“Jadi, apa kau bersedia membagi apa yang sedang kau pikirkan?” kata Andrew setelah pizza mereka habis. Vino mengulum senyumnya sejenak. Merasa bodoh telah berusaha bersikap tenang. Ia benar-benar tak bisa menyembunyikan apapun dari sahabatnya ini.
“Kalau kuceritakan, apakah kau bisa menjamin akan terselesaikan?” tanyanya.
“Entahlah, tapi kurasa aku bisa membantu.” Andrew mengangkat bahunya sekilas sebelum menyeruput minumannya.
“Bantuan seperti apa?” kejar Vino.
“Money, Dude. I’ve a lot. Kau tahu itu,” sahut Andrew dengan tenang. Vino mencibir tapi tak dapat menyangkal sahabat kaya sialannya.
Vino menarik nafas panjang.
“Andrew, tolong ubah diriku.”
Ia menyuarakan permintaan itu terlampau lirih hingga mirip sebuah doa.
Tetapi perkataan Vino cukup jelas untuk didengar Andrew yang nyaris tersedak minumannya. Ini sungguh diluar ekspektasinya. Ia tahu betul segala yang dialami Vino hingga menimbulkan trauma padanya. Vino yang menutup dirinya adalah salah satu alasan utama ia masuk ke kampus yang sama. Ia merasa harus selalu berada di samping Vino sebagai temannya. Alasan yang tidak akan pernah ia beritahukan pada Vino. Menjauh dari tekanan keluarganya adalah alasannya yang Vino ketahui. Tentu itu juga penting untuknya, tapi sejujurnya ia tidak terlalu peduli dengan keluarganya.
Andrew menghentikan minumnya, meletakkan gelasnya, dan mulai menatap tajam ke arah Vino.
“Ada apa denganmu? Apakah kau sakit atau semacamnya? Bukankah kau selalu mengumbar cita-cita hidupmu yang sempurna bersama Tiffany?!” Andrew menatap Vino dengan kekhawatiran berlebihan yang dibuat-buat.
“Hentikan tatapanmu itu,” ujar Vino jengah.
“Oh, apa kau putus dengan Tiffany?”Andrew berlagak hati-hati dengan mencondongkan tubuhnya ke arah Vino dan bertanya dengan suara berbisik. Vino mendelik ke arahnya.
“Tentu saja itu tidak akan terjadi,” bantahnya cepat.
Andrew menaikkan alisnya, menyuarakan pertanyaan tanpa suara. Perlahan Vino mulai menceritakan perihal keterlambatan kekasihnya akhir-akhir ini, alasan keterlambatan tersebut, dan keinginannya untuk berubah.
Andrew mengangguk-ngangguk paham.
“Kau tau? Kurasa kau tau. Aku bisa saja memberikanmu fasilitas dan pekerjaan tetap dengan gaji yang memadai. Aku cukup mengenalmu untuk mengetahui pekerjaan yang sesuai denganmu. Tapi aku juga cukup mengenalmu untuk mengetahui bahwa kau lebih menyukai sesuatu yang kau dapatkan dengan usahamu sendiri,” kata Andrew sebelum kembali menyeruput minumannya.
“Kau benar. Tetapi aku bahkan tidak tahu potensi atau kemampuan yang bisa kugunakan untuk memulai sesuatu. Itulah yang sedang kupikirkan. Menurutmu apa yang harus kulakukan? Bagaimana aku harus memulainya?” tanya Vino.
“Hmm, kurasa aku bisa membantumu sedikit. Setidaknya sampai kau menemukan apa yang benar-benar ingin kau lakukan.” Seringai Andrew semakin lebar saat melihat mata Vino yang mulai berbinar.
\\*
“Kemana kita akan pergi?” tanya Vino.
“Lihat saja, kita akan menyelesaikan masalahmu dengan jalan tercepat,” Andrew menyeringai di balik setir mobilnya. Ia membelah jalanan sunyi malam itu dengan kencang. Ia merasa sangat bersemangat. Jarang-jarang Vino membutuhkan bantuan darinya. Padahal ia merasa dirinya selalu merepotkan sahabatnya ini. Ia bukanlah pribadi tertutup seperti Vino, tetapi ia terus menemukan dirinya kembali pada Vino. Ia muak dengan kepalsuan yang ditunjukkan mereka yang mengelilinginya semata-mata karena suatu tujuan. Tetapi tidak dapat melepaskan mereka di saat bersamaan. Relasi yang luas adalah salah satu senjatanya agar keluarganya tidak dapat mengendalikannya sesuka mereka. Saat ia lelah, ia akan datang pada Vino, dan Vino akan menerimanya.
Kali ini ia yang akan membantu.
“Kau mengemudi terlalu cepat!” Andrew tergelak mendengar protes Vino.
“Kau takut? Kau mulai bertingkah seperti Tiffany.” Vino hanya memutar matanya mendengar ejekan Andrew.
Mobil melaju kencang hingga mereka sampai di suatu perumahan elit.
“Apakah kita akan melakukan kunjungan malam hari ke rumah seseorang?” tanya Vino tidak yakin. Ini sudah lewat tengah malam. Yang benar saja.
“Ya, tapi tenang saja. Dia seseorang yang kukenal. Dan aku sudah memberitahunya bahwa kita akan datang,” sahut Andrew.
Mereka berhenti didepan rumah besar yang indah bergaya Eropa klasik yang terlihat asri.
(Di siang hari akan terlihat seperti ini)
Andrew menekan klakson dan membuka kaca jendela mobilnya saat satpam menghampiri mereka. Satpam tersebut yang melihat wajah Andrew segera bergerak membuka gerbang tanpa banyak bertanya. Mobil Andrew masuk dan parkir di salah satu sudut halaman.
“Ayo turun,” ajaknya. Vino menurut pada Andrew untuk turun dan berjalan mengikuti langkahnya.
Pintu besar rumah itu sudah terbuka bahkan sebelum mereka sampai didepan pintunya. Yang berdiri didepan pintu adalah seorang pria tua yang Vino taksir umurnya menjelang 50 tahun.
“Aku datang, Paman.” Andrew tersenyum lebar.
“Kau benar-benar mengganggu waktu tidur pria tua sepertiku.” Pria tua tersebut mendengus kesal ke arah Andrew, tetapi Vino dapat melihat kehangatan pada tatapannya.
“Ini pamanku yang sering kuceritakan. Satu-satunya keluargaku yang paling bisa kuajak bicara.”
Vino mengangguk paham. Andrew memang sering menceritakan pamannya yang memilih jalannya sendiri dan tidak mengikuti arus bisnis keluarga. Andrew sangat mengidolakan dan selalu mengandalkan pamannya. Vino menghormatinya karena itu. Ia menjabat tangan paman Andrew tersebut.
“Ayo masuk,” ajak paman Andrew kepada mereka berdua.
Vino sebelumnya sudah pernah berkunjung ke rumah Andrew, tapi tetap saja ia tak bisa terbiasa dengan kehidupan orang-orang kaya. Bagaimana bisa bangunan sebesar ini disebut rumah?
Mereka berhenti di ruang keluarga yang terlalu luas hanya untuk diisi sofa berwarna abu-abu senada.
“Duduklah.”
Vino dan Andrew duduk setelah dipersilahkan. Tuan rumah memanggil salah satu pelayan dan berbicara beberapa hal yang tidak dapat didengar mereka. Setelah usai, ia ikut duduk di hadapan mereka.
“Jadi mari kudengar apa yang membuat bocah sialan satu ini akhirnya datang menemuiku lagi setelah sekian lama,” ujar paman Andrew sambil tersenyum hangat.
“Paman, ini Vino. Temanku yang pernah kuceritakan, dan sekarang aku meminta bantuanmu untuk dirinya.” Vino mengumpat didalam hati berkat penyampaian Andrew yang blak-blakan.
“Apa yang bisa kulakukan?"
“Tolong bantu ia untuk menemukan pekerjaan yang cocok untuknya saat ini.”
“Bukannya kau temannya?”
“Aku memiliki beberapa pemikiran. Tapi kurasa akan lebih efektif jika Paman yang memutuskannya.”
Pamannya mengangguk paham.
“Boleh kudengar sedikit tentangnya? Tentang apa yang dia lakukan?”
Andrew mengangguk. “Dia mahasiswa fakultas ekonomi di universitasku. Tapi dia memilih jurusan itu bukan karena tertarik, melainkan karena anjuran keluarganya. Dia bekerja part time di supermarket untuk membiayai kehidupan sehari-harinya. Dia juga memiliki kekasih yang amat sangat dicintainya. Dia merasa puas dengan kehidupannya sampai sesuatu terjadi dan membuatnya merasa harus berubah.”
Paman Andrew mulai mengarahkan pandangannya ke arah Vino.
“Kau tau kan nak, kalau memulai sesuatu itu tidak mudah?”
“Tentu saja paman, dan aku telah menyiapkan mentalku untuk itu,” jawab Vino tegas.
“Baiklah. Suatu usaha pasti membutuhkan modal awal. Kalau kau tidak memiliki uang, berarti kau harus memanfaatkan fisik,” kata pamannya sebelum memperhatikan Vino dengan lekat. Ia mengusap-ngusap dagunya beberapa saat,
“Coba berdiri dan rentangkan tanganmu.”
Vino menurut.
“Berapa tinggimu?"
“183 cm."
“Beratmu?”
“Aku jarang menimbangnya. Tetapi mungkin sekitar 71 atau 72 kg.”
“Kau berolahraga?”
“Aku hanya berusaha rutin berlari setiap hari paling sedikit satu jam. Oh, terkadang aku berenang atau pergi ke gym di hari minggu.”
Paman Andrew bergerak mendekati Vino dan melepas kacamatanya, menyibak poninya. Vino yang terkejut refleks menepis tangannya.
“Eh.. Ma, maaf Paman,” kata Vino segera setelah menyadari tindakan frontalnya.
“Tak apa,” jawab pamannya sambil mengibaskan tangannya dan kembali duduk.
“Bagaimana paman?” tanya Andrew tak sabar.
Pamannya tersenyum.
“Bagaimana kalau ia mencoba menjadi model?”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 48 Episodes
Comments
Yanti Bi
semangat thor
2020-12-09
1