■■■■
"Pi....bangun pi.... jangan tinggalkan Zach pi. Zach dan Christa masih sangat membutuhkan papi.
Zach menangis melihat sosok papinya yang tengah terbaring tak berdaya di bankar rumah sakit. Darah terus saja merembes dari perutnya akibat luka tembak yang sengaja dilayangkan pada beliau.
"Bry...cari siapa pelakunya secepat yang kau bisa. Jika sampai lepas kau yang akan jadi gantinya!!!" Tanpa menunggu balasan Zach lansung memutus sambungan telepon.
°°°°
"Zach...dimana papi?? Papi dimana??" Mami Zach datang dengan wajah yang sudah basah dengan air mata, ditambah rautnya yang kusut dan penuh akan ketakutan.
"Tenang mi, papi pasti akan baik-baik saja percayalah. Papi masih milik kita." Zach menenangkan maminya membawa wanita yang dicintainya itu kedalam pelukannya.
"Siapa orangnya Zach?? Apa sudah ditemukan??"
"Zach sudah tau pelakunya. Mami tenang saja, Zach akan hukum dia berpuluh kali lipat karena sudah melukai papi dan membuat mami menangis." Dia meyakinkan maminya.
Cukup lama menunggu Dokter yang menangani papi Zach keluar juga.
"Bagaimana papi paman?? Semua baik-baik aja kan??" Zach lansung menghampiri dokter Max yang baru saja keluar dari ruang gawat darurat tempat papinya di tangani. Dokter yang dipanggilnya paman adalah sahabat sekaligus sepupu papinya.
"Berat paman mengatakannya Zach, untuk sementara ini papimu masih stabil, tapi nanti entahlah kita berdoa saja." Jelas dokter Max.
"Zach tidak mengerti paman."
"Max, katakan bagaimana keadaan suamiku!!" Mami yang ketakutan berteriak pada dokter Max.
"Seperti yang tadi ku katakan, untuk saat ini dia stabil. Dia kehilangan banyak darah, jadi secepatnya harus mencari pendonor yang cocok. Kita kehabisan stock di sini dan semoga saja dia bisa bertahan lebih lama." Max menjelaskan kondisi papi Zach secara detail.
"Baiklah paman, kami akan mencari pendonor secepat mungkin. Tolong lakukan apapun sebisa paman untuk menolong papi, Zach mohon paman."
"Pasti nak. Tenang saja..."
Zach melihat maminya pergi dari tempat mereka berdiri saat ini.
"Mih....mami mau kemana mih??" Zach melihat maminya berjalan menjauh dari sisinya.
"Mami akan coba mencari orang yang bersedia berbagi darah untuk papi. Mami akan bayar berapapun harganya."
"Hati-hati mi. Zach juga akan mencarinya. Paman Zach keluar sebentar, titip papi ya paman."
Dokter Max mengangguk, ia masuk lagi kedalam ruang perawatan tempat papi Zach terbaring.
°°°°
Brakk
"Arghh...sakit..." mami merintih kesakitan karena beliau harus merasakan kerasnya aspal jalanan.
"Nyonya...anda tidak apa-apa?? Mari saya bantu nyonya."
"Terima kasih nona."
Gadis itu tersenyum dan membantu beliau berdiri.
"Tangan anda berdarah nyonya. Jika tidak keberatan saya akan mengobati luka anda kebetulan ada apotek dekat dari sini "
"Baiklah jika tidak merepotkanmu nona."
"Tentu saja tidak nyonya. Mari..."
Gadis itu, Celo. Dia membawa mami Zach ke apotek terdekat untuk mengobati luka beliau seperti katanya tadi.
"Apa nyonya sedang ada masalah?? Maaf jika saya lancang, tapi dari tadi saya lihat nyonya terus saja melamun."
Celo memberanikan diri bertanya, karena ia merasa kasihan terhadap mami Zach.
"Panggil bibi saja nak. Kau sepertinya seumuran dengan putri bibi."
"Benarkah? Wah dengan senang hati bi-bi."
"Sebenarnya bibi sedang bingung nak. Suami bibi sedang dirumah sakit sekarang. Ia baru saja mengalami kecelakaan atau lebih tepatnya ada seseorang yang mau membunuhnya." Seiring ceritanya, air matanya juga ikut mengalir membayangkan bagaimana suaminya harus melawan maut.
"Suami bibi membutuhkan donor darah, namun sayang dirumah sakit tidak ada stocknya karena golongan darah suami bibi yang langka. Dokter bilang jika tidak segera mendapat donor darah, nyawa suami bibi akan terancam. Bibi sangat takut jika harus kehilangan salah satu orang yang bibi sayangi. Bahkan dua dari anak bibi belum menikah satupun. Kasihan jika mereka harus kehilangan sosok seorang ayah." Entah kenapa mami Zach tanpa ragu menceritakan keluh kesahnya pada Celo gadis yang baru saja ditemuinya.
"Bibi jangan bersedih. Suami bibi pasti akan baik-baik saja. Kalau boleh tau apa golongan darah paman?" Celo bermaksud coba membantu.
"O negative nak."
"O negative?? Kebetulan darah Celo juga O negative bi. Ayo kita kerumah sakit sekarang, Celo akan membantu paman."
"Benarkah nak??"
Celo tersenyum sebagai jawaban ia mengiyakannya.
°°°°
Setibanya di rumah sakit tanpa membuang waktu Celo lansung dibawa untuk memeriksakan semuanya, dan ternyata benar cocok.
"Hasilnya cocok bi...Celo bisa mendonorkan darah untuk paman."
"Oo sayang....terimakasih banyak nak." Dipeluknya erat Celo.
"Sama-sama bibi..."
"Jika tidak ada lagi, mari ikut saya nona jika anda sudah siap."
"Saya siap dokter. Mari.."
"Max, Zach kemana??" Sepeninggal Celo, mami menanyakan Zach pada Max karena ia tak melihat putranya sedari tadi ia datang dengan Celo.
"Dia bilang harus memberaskan seseorang. Mba tenang saja Zach tidak akan bertindak keluar batasannya."
"Ya..."
"Max, selamatkan dia.. suamiku.."
"Pasti mba..." Max tersenyum melanjutkan langkahnya yang tadi sempat tertunda.
°°°°
Tiga jam sudah papi Zach dioperasi, mami menanti dengan gelisah ditambah lagi Zach juga belum kembali.
"Bibi.."
"Nak, kenapa kesini?? Kau harus banyak istirahat." Mami melihat Celo datang menemuinya.
"Tidak apa-apa bi. Saya baik-baik saja..." Celo akan selalu tersenyum memperlihatkan bahwa dia baik-baik saja.
"Duduklah disini bersama bibi.."
"Mm...maafkan Celo bi, bukannya Celo tidak mau menemani bibi disini tapi Celo harus segera pulang."
"Tunggulah sebentar nak setidaknya sampai putra bibi kembali."
"Sekali lagi maaf bi...Celo benar-benar harus pulang."
"Hah...baiklah. ini, ada sesuatu untukmu sebagai ucapan terimakasih karena telah menyelamatkan suami bibi." Mami Zach menyerahkan segepok uang padanya.
"Tidak usah bi. Jangan lakukan itu. Celo sungguh ikhlas membantu bibi..."
"Tidak nak, itu juga tidak baik. Bibi juga ikhlas berterima kasih padamu nak."
Mereka saling menolak pemberian masing-masing.
"Jika bibi benar-benar berterimakasih, Celo mohon jangan lakukan itu."
"Tapi kenapa nak??" Mami bertanya-tanya kenapa masih ada orang sebaik ini disaat semua orang selalu mengambil keuntungan dari orang lain.
"Ayah selalu bilang, jika ada orang membutuhkan bantuan, kita wajib membantu mereka."
"Tapi bagaimana jika kami bukan orang yang baik??"
"Terlepas dari baik atau buruknya seseorang. Kita wajib membantu jika mereka dalam kesulitan. Tapi Celo percaya bibi sekeluarga adalah orang yang baik." Lagi, gadis itu tersenyum.
"Maaf bi, Celo harus benar-benar pergi sekarang."
"Baiklah nak, terimakasih banyak. Kau adalah malaikat penolong dikeluarga bibi, dan semoga kita akan bertemu kembali."
Celo tersenyum, sebelum pergi gadis itu memeluk mami Zach sekilas.
°°°°
"Mi....papi bagaimana?? Apa sudah ada donor darah untuk papi??"
"Sudah. Tapi Max belum juga keluar."
"Mungkin seben-"
Ucapannya terpotong, bagitu dokter keluar dari ruang papinya.
"Max. Kenapa lama sekali?? Apa papi Zach sudah baik-baik saja??" Mami lansung menyerang Max dengan pertanyaanya.
"Tenang mba . Jhon, dia sudah baik-baik saja, semua sudah berlalu. Tinggal pemulihan saja."
"Syukurlah..."
"Baiklah, bolehkan saya istirahat sebentar??" Max berkata begitu karena ia takut akan semprotan kata-kata dari istri sahabat sekaligus sepupunya itu.
"Ya...ya silakan saja."
"Mih..."
"Baiklah. Max, terimakasih banyak..."
"Sama-sama mba. Itu juga sudah kewajibanku."
"Thanks paman..."
Hari itu semua ketegangan dan ketakutan Alterio terselamatkan oleh kebaikan hati Celo.
■■■■
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 141 Episodes
Comments
Andrean Brima
Ya ialah apa yg d ucapkan Eric itu bnar mana ada yg mau abis manis sepah s buang, udah d tolong malah melupakan bgtu sj, emang Celo cewek apaan...,
2021-08-02
0
Triiyyaazz Ajuach
ternyata gtu ceritanya bagus donk secara nggak sadar dulu celo udh nolong calon mertuanya
2021-05-08
0
kris rahayu
baik bangett
2020-08-19
1