Ninja Hatori Jualan Ikan

..."Seperti sebuah cerita kecil sang petualang gunung...

...Pernah, menjadi kata yang akan datang...

...Dan berlalu, menjadi kata yang enggan dicerita ulang...

...Berlanjut pada lahir kembali, pada kehidupan baru yang datang"...

'Sial...!!!'

Menancapkan gas full untuk berangkat. Sudah terlambat bangun untuk jam segini untuk berdagang. Kecepatan motor mengimbangi kecepatan suara. "Anjay...!! bayangan putih." Tersentak, tanpa pikir panjang aku menabrak bayangan putih tersebut yang sempat aku mengira bahwa itu adalah hantu. Aku mengakui bahwa jantung

kembang-kempis. Yang aku syukuri dari hal ini adalah dilahirkan dengan kebodohan dan ceroboh. Seandainya aku dilahirkan pintar ditambah pengecut, mungkin aku sudah terbirit-birit melarikan diri.

Setelah sampai, aku melihat di sekitar. Hanya ada aku dan satu populasi kucing di pasar. "Apa-apaan ini."

Aku mengira apakah aku sudah benar-benar di dunia nyata? Kutampar pipi satu dan dua kali dengan keras. Masih saja aku belum beranjak dari mimpi. Aku ulang kembali menampar pipi dan itu benar-benar sakit. Aku melihat jam masih pukul 03:35 wib. "Kampret...!! Pantesan aja sepi anjy"

Aku kembali ke rumah. Dalam perjalanan aku tertawa pada diri sendiri 'kok, bisa sebodoh itu, ya? Seharusnya aku melihat jam dulu sebelum berangkat Hahahahaha...'. Mungkin Tuhan rindu untuk aku bersujud pada-Nya di sepertiga malam. Mungkin aku sadar diri. Semenjak aku kenal Cut, aku lupa kepada-Nya. Aku bahagia, ternyata Tuhan masih menyayangi diriku. Maha sempurna rencana Tuhan. Ia menegur kita tanpa memberi tahu kesalahan kita, tapi dengan menggunakan kesadaran kita.

"Assalamualaikum."

Aku pun menerima panggilan yang sedari tadi berbunyi, "Walaikumsalam."

"Ikan baru sudah masuk, tinggal ambil aja. Sudah disiapkan semuanya."

Barusan yang menelepon adalah Pak Ulis. Dia adalah juragan ikan. Beliau memiliki empat anak perempuan. Semua anaknya telah menikah. Namun, beliau ingin sekali anak laki-laki. Namun Tuhan berkehendak lain, dengan memberi hidup beliau yang menurutku sejahtera. Anaknya cantik-cantik, seperti ibunya. Hidung mereka seperti ayahnya, mancung. Dan lainnya seperti ibunya. Alis berbentuk tanpa di cukur, mata sayu, dan bentuk wajah

mereka hampir rata-rata tirus semua. 'Coba saja Pak Ulis memiliki anak perempuan satu lagi atau aku lebih duluan lahir dari pada anaknya. Mungkin salah satu dari mereka sudah aku nikahi duluan, ya? Hehehehe....'

Hampir semua pedagang sepertiku mengambil barang dagangan pada beliau. Beliau sudah aku anggap seperti ayahku sendiri. Saat orang tuaku kecelakaan dengan mobil dan  tangannya patah. Beliaulah yang membantu biaya perawatan hingga pemasangan pain pada tangan ayah. Aku tidak tau cara membalasnya. Saat itu aku berusia 19 tahun, dengan jantan datang ke rumahnya untuk menanyakan biaya pengobatan ayah yang harus aku tebus.

Apa boleh buat ketika uang menjadi sebuah kebutuhan. Namun beberapa orang; uang adalah kebutuhan jiwa. Bagaimana tidak, entah kenapa ketika tidak memiliki uang hidup terasa hampa, sama halnya ketika hidup tanpa cinta.

Dulu aku pernah berpikir... adakah ada yang menerima bila tidak ada uang sepeser pun di saku? Adakah orang yang masih ingin berpancung rokok ketika hanya mancis yang ada di saku? Aku juga tidak tau hidup yang berubah-ubah ini. Akan seperti apa? Akan menjadi apa? Kata orang, kalau tidak ada uang, tidak ada wanita. Tapi hati selalu bilang, bahwa yang baik untuk yang baik, yang buruk untuk yang buruk.

Setelah sepanjang perjalanan melamun. Pak Ulis sudah sudah menunggu.

"Ini bagian Nak Agam dan ini catatannya," Pak Ulis yang berbicara sambil hisap rokok tanpa merasakan perih di tenggorokan.

"Baik Bapak." Aku yang sudah siap-siap mengelar lapak jualan.

"Jangan digelar dulu. Sebentar lagi Emak bawakan makanan. Kita makan sama-sama, ya? Lagi mudah rezeki nih." Emak yang dimaksud adalah istri beliau. Beliau sering sekali seperti ini. Beliau suka sekali makan bersama dengan anggota kerjanya.

Emak datang, kami menumpang di sebuah warung kopi. Ada empat perkakas yang ia bawa. Nasi lemak, keumamah (lauk khas Aceh yaitu ikan panggang atau diasapkan tapi dimasak dengan tumis), dll. Kami seperti keluarga yang baru saja berkumpul yang berjarak dari sudut-sudut Indonesia.

Matahari dari ufuk timur masih malu-malu menunjukkan cahayanya. Cahaya yang dirindukan oleh tanah yang membeku. Layak aku juga merindukan sosok wanita itu. Setelah makan bersama selesainya. Aku segera menggelarkan tenda di meja. Bertanda aku telah siap berdagang. 'Bismillahirrahmanirrahim....'

Tiba-tiba seseorang bertanya, "Gimana dagangannya, udah laris aja nih." Paman Eli dengan anak perempuannya yang sudah akrab denganku.

"Apanya yang laris Pak Cek, baru aja dibuka," tanyaku balik.

"Oh benar juga ya? Nampak dari ikan-ikan nya belum ada yang tersentuh."

"Ikan tongkol berapa sekilo?" tanya anaknya.

"Rp. 35.000 aja."

"Kalau ikan ini berapa?"

"Ikan dencin Rp. 34.000 perkilo"

"Murah amat?"

"Harga pasar lagi stabil. Lagian kakak ini lucu-lah. Lagi murah minta mahal, giliran mahal minta murah" kataku pada anaknya.

"Hahaha... Bisa aja Agam. Buaya setengah kilo ya? Untuk ikan tongkol dan ikan dencisnya" katanya bercanda.

"Oke siap Kakanda."

"Sebentar, nanti kakak kembali lagi karena mau cari sayur dulu di depan."

"Once..!!"

Satu kretek telah dibakar. Meluapkan hasrat yang ada di dada dengan gumpalan asap. Sungguh ego, aku tidak mau mengakui bahwa hati ini rindu. Lalu, ku resap kopi ulèe kareng untuk membius liarnya rindu ini. Memadukan dengan hisap rokok agar dosis rindu ini lebih stabil. Setidaknya untuk beberapa jam ke depan.

"Assalamualaikum, sepertinya gak kelar-kelar menghayalnya?"

Aku tersentak ternyata janda kembang desa yang berbicara "Walaikumsalam, ehh Buk maaf hehehe.. Makin cantik aja nih. Ada yang bisa Agam bantu?"

"Husssffsstt... jangan besar-besar suaranya, entar saya viral di pasar. Nanti datang pula orang yang lamar saya" katanya dengan serius. Sungguh... itu membuat aku tidak kuat untuk menahan tawa.

"Kalau ada yang lamar Ibuk, eh maksudnya kakak. Saya akan merasa orang yang paling menyesal di dunia" kataku mencoba untuk bercanda.

"Kenapa gitu?"

"Karena telat lamar kakak..."

"Makanya, kerja..!!"

"Inikan lagi kerja kak?"

"Hahahaha oh iya ya? Terus apa juga kendalanya?"

"Kendalanya emas mahal."

"Nabung donk..!!"

"Lamar kakak gratis boleh, gak?"

"Woooowww gilaa kamu Agam. Walaupun gini-gini janda, saya masih laku keras" jawabnya. Sumpah, itu lolucon paling gila yang pernah aku dengar darinya. "Yasudah... Seperti biasa ya Agam ikannya?" sambungnya.

"Oke mama muda." Aku bercanda dengannya dan segara mengemas pesanannya.

Dia pun pamit. Cahaya matahari dengan penuh kenyamanan menyentuh jemari. Merambat pelan nan pasti memberi kehangatan. *'Pamit dan datang seperti dua gladiator yang bertarung. Pamit dan singgah seperti saudara tak sekandung. Namun lucunya kita masih buta dibalik silaunya cahaya pagi ada senja yang menanti' *

itu adalah pesan dari matahari dan mama muda tadi yang aku simpulkan sendiri dalam hati. Karangan yang tidak pernah aku mengerti. Lucunya, padahal aku sendiri yang membuatnya.

Dari kejauhan, nampaklah seorang DPO yang sering kali membuat aku tak bisa tidur semalaman. Ia berjalan dengan ibunya. Kilau cahaya yang dipantulkan dari ikan tongkol, kalah saing dengannya yang membuat mataku teralihkan kepada orang yang aku cari. Ia berjalan seperti orang tersesat di jalanan, namun ia sembunyikan dengan menebarkan senyuman. Bagiku, pagi ini tidak hanya keuntungan dari dagangan yang aku dapatkan, melainkan

juga keuntungan dapat melihat senyumannya, Cut.

Aku tidak pernah malu dengan profesiku. Mungkin berbeda dengan anak muda zaman, yang kebanyakan gengsinya. Malahan, aku bangga bisa mencari uang sendiri. Meskipun tangan harus berlumur darah dan bau amis, aku bangga tidak perlu meminta uang pada orangtua.

Perlahan dengan pasti, ia berjalan pelan karena jalanan pasar sedikit becek. Aku memiringkan pandanganku dengan sedikit bertekuk. Kelopak mata membesar, memakan objek yang ada di depan. Dia senyum, mungkin tersipu malu, mungkin karena aku terlalu fokus padanya. Semakin dekat, semakin dekat, cukup dekat, sangat dekat.

"Woyyy melamun aja, kakak itu mau beli daganganmu tuh," pekik teman yang berjualan di sebelahku. Seketika jantung hampir jatuh dalam tumpukan insang ikan.

"Walaikumsalam, ada yang bisa saya bantu Om?" tanyaku pada calon pembeli. Ternyata Cut tidak benar-benar datang tempatku. Ia berbelok arah ke para penjual sayur bersama ibunya.

"Om? Hahaha kamu lucu juga ya?" jawab gadis itu sambil melihat-lihat ikan yang akan ia pilih. "Sepertinya kamu kurang dimanja? Atau kurang tidur?" sambungnya.

"Ehh, Alda? Apa kabar? Kapan balik ke Banda lagi?" tanyaku. Dia adalah seorang cewek yang sudah aku anggap teman. Yang aku comblangin dengan sahabatku, Reza.

"Baik. Memang kamu tuh gak pernah berubah ya? Kalau ngomong lepas gitu, aku baru aja sampai ke Langsa malah nanyak aku kapan balek ke Banda, mau ngusir aku atau gimana nih?"

"Hehehehe... maksud aku tuh, sejak kapan sampai ke Langsa, gitu lohhh. Macam gak kenal aku aja."

"Sudah beberapa tahun ya? aku kira kamu udah dewasa, rupanya sama aja" kata teman lama.

"Ya karena aku masih gini-gini ajalah yang namanya teman yang tidak pernah berubah. Bukan teman yang lupa pada teman. Hehehe..."

"Hahaha ada benarnya juga. Ikan ini berapa harganya?"

"Sekilonya Rp. 26.000"

"Ikan gembong?"

"Sekilonya Rp. 27.000"

"Buat sekilo-sekilo ya?" aku bergegas membersihkan sirip ikan yang di pesannya. "Malam kamis, ke rumah ya?" tanya Alda

"Ada acara apa?"

"Acara turunin anak sekalian acara sambutan jabatan kamu dipanggil Om oleh anakku."

"Serius? Wahhhh udah siap kali nih aku dipanggil Om."

"Lama-lama gila ni anak. Mana mungkin baru beberapa bulan nikah udah punya anak."

"Ya mana tau udah cuzzz duluan baru—"

"Memanglah anak ni gak ada otaknya kalau ngomong," ia langsung menyela kalimatku.  Dia berkata, "Ini dia nih, efek kelamaan jomblo, otaknya gak beres. Makanya nikah..!! Biar tau gimana nikmatnya menikah seperti apa. Jangan taunya menikmati jomblo mulu, kasian tuh lama-lama layu" aku hanya memasang wajah datar menanggapi gurauan Alda. "—Gimana mau dapet cewek kalau mainnya ke hutan terus. Kadang di hutan, kadang di pasar. Udah kayak ninja hatori" tambah Alda. Aku hanya terdiam mendengarnya, antara kesal dan lucu. "Yasudah, jangan lupa tuh datang, emak tanyain kamu tuh. Aku gerak dulu ya? Mau cari sayur dulu" Alda pun pergi membelakangi tempatku dengan raut wajah masih terkekeh-kekeh.

Memang seperti itu kehidupan pasar. Kita harus pintar dalam berbicara, agar menarik pelanggan. Selembar demi selembar aku merapikan rupiah hasil dari dagangan. Aku melamun sambil menunggu pembeli datang. Saat ini pasar sedang ramai-ramainya. Ada yang sedang cemberut karena sepi pembeli, ada yang masih kebingungan memilih ikan yang akan dibeli, itu semua terlihat dari ekspresi wajah mereka. Dan ekspresi yang tepat di hadapanku yang berbeda. Aku masih menikmatinya. Bagiku meskipun pasar bisa untuk belajar ilmu psikologi.

"Ha... Hay." Tersentak. Aku tersenyum cengir. Dan sadar yang sedari tadi dalam pandangan bayangan mondar-mandir, ternyata tangan yang aku kenali melambai-lambai di depan mataku.

"Oh iya ada yang bisa saya pacari?"

"Maksudnya?" aku menjawab masih setengah sadar kalau itu Cut.

"Eh maksudku ada yang bisa dibantu?" ia hanya tersenyum, senyum yang ia beri secara cuma-cuma.

"Jualan ikan ya?"

"Bukan, tapi jualan mayat."

"Sadis..." jawabnya dengan senyum.

"Tapi benarkan? Ini yang aku jual ikan mati, bukan ikan hidup?"

"Ada aja lah, udah lama jualan beginian?" tanya Cut.

"Ya lumayan lah. Tuumben ke pasar?"

"Tumben gimana?"

"Jarang-jarang kalo yang manis-manis itu berada di pasar."

"Terus yang biasanya gimana?"

"Palingan yang sudah-sudah, ada kerutannya."

Cut tersenyum hingga pipinya merah merona. "Husssshh gak boleh gitu." katanya masih tersenyum. Sambungnya, "Emang kamu jualan mau cari uang atau mau lihat yang manis-manis sih?"

"Cari uang."

"Apa juga ngeluh yang datang itu para ibu-ibu!?"

"Ya namanya aja manusia, kan rasa pada lawan jenis itu ada," kataku dengan menanamkan makna.

"Bukan seperti itu, tapi seperti orang sudah lama jarang di belai."

"Jablay donk?" kami pun terkekeh. Setelah membungkus ikan yang ia pilih, ia pun pamit sambil melepas senyum kecil. Meski kecil, itu sudah cukup untuk pengganti nasi bungkus di makan siang.

Secepat itu, hanya singgah lalu pergi. Tak lama, tapi bermakna. Sebelumnya, sempat mengira ia malu bertemu dengan pedagang ikan sepertiku. Ternyata ia kembali juga untuk sejenak bertemu denganku.

Tidak banyak percakapan, dan aku rasa juga tidak perlu. Cukup asupan senyumannya yang aku butuh. Setidaknya cukup untuk pengganti lauk makan siang. 'Jadi, makan nasi doank sambil ngebayangin dia sudah terasa nikmat? Kalau dari pandangan orang lain, pelit amat kamu Gam, untuk dirimu sendiri?'

Aku melihat setiap derap langkahnya, hingga ia hilang dalam pandanganku. Bukan sebuah kesedihan, melainkan tumbuh rindu dan rasa ingin mengulang kembali pertemuan seperti tadi. Namun, dalam bentuk percakapan yang panjang. Dalam hayalku, mungkin akan bertanya padanya apakah katak melahirkan atau bertelur? Bagaimana cara ular melahirkan anak? Mengapa hujan jatuh dari langit, mengapa hujan tidak jatuh dari bumi? Mengapa indahnya pelangi tidak menyentuh bumi? Dan mungkin akan banyak kegaringan lain, karena aku tidak selihai pujangga dalam mencari topik bicara. Aku peduli apa? Yang penting aku bisa memperpanjang durasi untuk menikmati senyumnya.

"Alhamdulillah anak bapak ternyata masih normal," kata bapak yang tiba-tiba telah berada di sebelah.

"Memang masih normal, kan? Maksudnya gimana pak? Kok nadanya ngejek gitu?" aku mengendus napas yang sedikit kesal.

"Sudah beberapa tahun bapak tidak lihat lagi Agam dekat dengan wanita," tanya beliau.

"Lahhh terus pelanggan Agam cowok semua? Terus yang sebelumnya termasuk janda kembang itu bukan wanita? Nenek dengan cucunya tadi bukan wanita? Kalau masalah dekat palingan jarak 60 cm yang cuma dipisahkan oleh beton ini" aku menunjuk meja tempat jualan. "Lucu lah bapak," sambungku.

"Maksud bapak itu. Agam gak pernah senyum-senyum gitu."

"Kalau soal senyum, kita harus senyum depan pembeli untuk menarik pembeli. Agar terlihat ramah dan pembeli pun nyaman dengan pelayanan kita."

Bapak menghela napas. Dan berkata, "Ya Allah... ini anak, memang gak ada pintar-pintarnya. Gimana entar mau wanita dekat denganmu nanti kalau begini terus. Maksudnya itu, bapak gak pernah liat kamu senyum semanis itu di depan wanita. Biasanya kamu cuma senyum, hanya sekedar layaknya antara penjual dan pembeli, dan kali ini beda." Aku hanya tertawa saat bapak berkata seperti itu.

"Gak tau pak ahhh" jawabku dengan menyembunyikan rasa malu.

"Udah, ngaku aja, itu pacar kamu, kan?" beliau  menaikan alis kanannya.

Dari pertanyaannya, aku menjeda untuk berpikir jawaban yang agak sedikit tertutup. "Nanti Agam jawab setelah dia telah mau dengan Agam," jawabku.

"Mau nutup-nutup gitu ya, sama bapak? Kamu ini. Mau nampakin kuat depan bapak, justru dengan jawaban seperti itu Agam masih terlihat lemah," kata beliau. aku tau beliau tau dari jawaban yang aku maksud. "Sekarang siap berkemas tempat..!! Sudah masuk waktu shalat Ashar" perintah beliau.

Aku selalu saja begitu. Tidak langsung pulang setelah berpergian atau pun kegiatan. Lagian, masih ada waktu aku menikmati oksigen sore ini di jalanan kota. Memanjakan mata dengan pandangan matahari ditelan oleh toko-toko bertingkat. Sepanjang perjalanan, rasa kesal, geram, senang, bahagia itu memadat menjadi satu. Ingin sekali sore seperti ini berboncengan dengannya. Ingin menunjukan padanya di kala langit semakin memerah dan

gedung pelan-pelan melahap mentari dan berkata 'Sore seperti ini, enak jalan-jalan denganmu dari pada hitung burung elang yang baru pulang memangsa kodok' . Namun sama saja. Berat beban sepeda motor yang aku bawa tetap terasa ringan di setiap pedal gasnya. Lagian aku juga tidak terlalu sering melakukan kesalahan pada orang yang aku suka. Berandai-andai ia berbocengan dengan ku hingga membuat aku bisa-bisa menabrak trotoar.

Masih pukul 17:00 wib yang terdapat di papan iklan jalanan. Lampu hijau menyala bertanda aku harus melaju. Dengan kecepatan santai agar aku bisa menikmati jalan. 'Teennnn...'Teeennn aku kaget dari menikmati jalanan mendengar kebisingan klakson mobil. Tak sadar aku telah melaju di tengah-tengah aspal dengan kecepatan pelan.

Dengan rasa bersalah. Aku berjalan di samping kiri. Setelah mobil itu mendahului. Tampak sosok yang aku kenal dari jendela mobil. Nisa, ia hanya tersenyum dan melambaikan tangan kanan yang jemari manisnya dilingkari emas. Aku pun membalasnya dengan senyuman tanpa angkuh.

Semakin jauh aku memandang plat mobil tadi. Rasa berat yang ada dalam dada, aku menarik napas dalam-dalam, mengembusnya pelan-pelan. Bukan mantan pacar, tapi mantan gebetan. Yang sudah diputusin sebelum sempat jadian. Tidak mengapa ia menjadikan aku sebagai pilihan. Namun rasanya seperti para caleg yang belum berhasil mendapatkan jabatannya.

Aku mempersembahkan sebuah senyum kepada Tuhan yang telah menggagalkan hubunganku dulu padanya. Karena bagiku, Tuhan menginginkan aku untuk memantaskan diri lebih dari sebelumnya. Lagi pula ia telah cukup pantas bagi orang-orang yang pantas. Nisa...

Dulu pernah bertanya pada diri sendiri. Entah bisa aku disebut sebagai yang disia-siakan? padahal cuma modal cinta doank dan tiada yang lebih dari diriku. Entah ia pernah merasa menyesal ketika memilih yang lain? Aku

hanyalah orang gila yang mencoba membuat orang yang aku cintai tersenyum. Mungkin aku tidak bisa seperti pria lainnya yang sanggup memenuhi tuntutan kekasih, tapi aku sanggup membuat cemberut menjadi tersenyum. Mungkin aku tidak sanggup membawa jalan-jalan ke mall, tapi aku sanggup membawa jalan-jalan naik turun gunung.

Pernah terbenak di hati saat kembali pada waktu silam. Untuk mencapai sesuatu, harus ada yang dikorbankan. Entah itu harta atau perasaan. Pernah mengutuknya, tersakiti saat menjadi korban. Seakan-akan waktu itu aku yang paling tersakiti. Hingga sadar, yang dikatakan tulus akan kalah dengan yang berfulus. Duit...

Pernah benar-benar dicintai, walau pada akhirnya sebatas menjadi pilihan. Pernah di kagumi, hingga berakhir pada ampas yang di buang. Sama-sama pernah bertukar cerita, hingga berakhir saling enggan bertukar bertanya.

"Sudahlah jangan dibahas lagi. Asik ghibah aja kalian" kataku. Malam ini ramai di kios. Dan saat ini kami sedang bermain gaple.

"Iwan Fals pernah bilang dalam lagunya. Tak perlu kau memilihku, aku lelaki bukan tuk dipilih. Gitu, kan?" tanya Adan. "Kita laki boss... masih banyak perempuan di luar sana," tambahnya.

Sambar Si Fery, "Kau enak bilangnya. Si kawan? apa semudah kayak kau bilang?"

"Hidup adalah seyembara. Ada menang, ada kalah. Yang namanya kalah saing itu tidak perlu heran," kata Fadel. Kami hening sejenak karena Fadel terlalu lama berpikir saat gilirannya bermain.

"Alah ngapain dipikirin kali. Kita cowok hanya perlu cari uang banyak-banyak. Cewek banyak yang belum sadar kalau cowok itu ibarat seperti orang main togel, kalau udah menang minumnya bukan air putih lagi, tapi minumnya anggur," kata Jido.

Jalan seperti biasa ramaianya. Tiba-tiba datang seorang pembeli. Dia melihat terdapat gitar yang terpampang di kios. Ia pun mencoba memainkan beberapa melodi pada malam ini.

Lupakanlah semua kenangan ini

Hancurkanlah semua mimpi-mimpi

Jangan pernah kembali

Dan takkan pernah kembali

Dan janganlah kau pernah berikan aku satu harapan

Dan karena ku ingin pergi, hilang dan lupakan

Berdecak kagum dengan cara ia bermain musik. Dengan suara berat, ia sanggup memainkan musik punk itu.

Seperti kata orang, tidak ada yang sia-sia. Mungkin aku bukan untuk Nisa, bisa jadi hati ini untuk Cut. Aku sadar sekarang, dulu hanya sedang dibentuk sebelum dipertemukan dengan orang yang tepat. Tuhan memiliki cara yang indah di balik rasa yang pahit. Hati yang sempat patah, hanya perlu yakin untuk sembuh, bahwa ada yang lebih dari pada ini.

"Mari bersulang untuk hati yang patah..!!" kata Adan.

"Tunggu dulu..!" kata Fery. Kami pun melihat ke arahnya. Fery bertanya "Emang hati siapa yang patah?" Aku menghela napas.

"Dari tadi si Helmy yang muka asem, emang gak peka juga? Udah dia cerita panjang lebar gak ngerti juga?" Adan nge-gas.

"Aku tadi main batu," jawab Fery dengan polos.

"Yang lain juga main batu Feryyy...!!!" kata Fadel.

"Aku cuma punya otak satu, gak bisa dibelah. Kalau yang namanya fokus, aku cuma bisa fokus satu titik," kata Fery dengan mimik tak bersalah.

"Yadah.. yadah.. ciiieerrss dulu sangernya... Bersulang untuk hati yang patah...!!" kata Adan mengangkat gelas.

"CIIEERRSSSS....!!"

"Ulangi dulu," kata Fery.

"Apa lagi Kri...!!" kata Adan tampak kesal.

"Udah macam orang barat aja. Kita orang Aceh. Jadi, ganti ciiieerrss menjadi leumaakkkk," jawab Si Fery.

"Okeyy. LEUMAAKKK...!!"

 

'Bukan sebuah penyesalan menjaga jodoh orang lain. Itu adalah cara Tuhan menempah diri kita agar semakin pantas pada orang yang pantas'

'Kadang kita mencaci maki Tuhan karena tidak pernah adil. Yang aku khawatirkan adalah ia hanya akan  mendapatkan sisi gelap dunia. Padahal Tuhan telah menjatuhkan sedikit keindahan surga-Nya dalam dunia.'

'Kita hanya perlu mencari, menikmati, dan mensyukuri setetes benih keindahan surga yang telah Tuhan jatuhkan ke dunia. Maka dari itu, kita akan tau betapa indahnya surga yang sebenarnya'

'Terkadang aku berfikir, Tuhan mengirimkan orang yang tak sehati pada kita dengan tujuan untuk belajar. Terkadang yang dikirim-Nya seorang yang egois, kadang cerewet, kadang pemarah, kadang matre. Itu semua agar kita harus belajar, kita tuh harus seperti apa? Salah satunya kalau dikirim yang matre, tandanya kita tuh harus sukses. Menurut aku sih begitu'

'Tapi tidak mengapa bagiku, berapa banyak luka dari sekian kalangan. Satu yang aku yakin. Aku percaya dari luka yang ada, suatu saat ada seseorang yang aku temui atau pun dipertemukan, dan aku pantas untuknya'

Terpopuler

Comments

capèk

capèk

karna buaya sesungguhnya itu laki2. meski ada jenis betina

2021-05-25

0

🍁𝐀ⁿᶦ𝐍❣️💋🅂🅄🄼🄰🅁🄽🄸👻ᴸᴷ

🍁𝐀ⁿᶦ𝐍❣️💋🅂🅄🄼🄰🅁🄽🄸👻ᴸᴷ

Agam kocak jg😂😂😂

2021-04-03

1

Vani

Vani

gam kenapa jadi buaya setengah kilo ya 😁😁

2021-03-28

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!