..."Selamat pagi keadaan? Berpihak kepada siapakah engkau hari ini? Jika kau berpihak padaku, akan aku ucapkan terima kasih kepada Pencipta-mu. Seandainya kau tidak berpihak kepadaku, maka aku akan menertawaimu sepanjang jalan"...
Begitulah cara menyapa pagi pada diri sendiri. Hahahahaha...
Waktu menunjukan pukul 05:30 wib. Setelah mandi, aku berpakaian dan merapikan diri untuk bekerja, yang pasti tidak pakai bedak apalagi lipstik. Aku pun telah siap lepas landas dengan motor kesayangan menuju ke pasar. Aku bekerja di pasar untuk menggoda janda-janda, gadis, dan ibu-ibu di pasar. Ya benar, agar dagangan ikan yang aku jual laris. Namanya saja penjual. Hehehehe...
"Pagi ibu, silahkan dipilih ikannya. Masih segar loh buk..!!" Sapaku kepada calon pembeli.
"Ikan tuna, berapa sekilo?" Seorang ibu bertanya kepadaku.
"Rp. 80.000 Bu."
"Mahal amat, kuranglah. Rp. 74.000 ya?"
"Oke Buk."
Dari kejauhan, terlihat sosok yang tidak asing. Ternyata ia adalah pelanggan tetap, Ibu Salamah. Pada rumornya, ia adalah janda muda di desa yang ia tempati. Yang paling luar biasa bagi para cowok bermata keranjang, ia belum memiliki anak.
"Hay Agam, pagi yang cerah ya?" Sapanya, dan aku hanya menjawab dengan senyum.
"Ikan ini berapa sekilo?"
"Rp. 30.000 Buk," jawabku.
"Jangan panggil ibu, saya ini masih muda loh. Lagian saya belum punya anak, masih ketat," jawabnya dengan bernada lirih.
"Hehehehe... maaf saya gak paham di kalimat terakhir, saya masih polos," jawabku dengan cengiar-cengir.
"Hahaha, ada aja kamu. Jadi berapa harga yang bisa dinego?" jawab janda tersebut.
"Gratis aja Kak, asal mahar untuk nikah dengan Kakak, free. Hehehehe," jawabku secara bercanda.
"Enak aja gratisan, apa kata dunia kalau nikah dengan janda muda tanpa mahar? Hahahaha," jawabnya. Kami pun tertawa bersama.
"Rp. 23.000 saya bungkus terus deh ikanya."
"Oke, deal..!" jawab janda tersebut. Transaksi pun berhasil.
Detik demi detik, jam ke jam, butiran keringat bercucuran di sekujur tubuhku. Bau amis sudah menjadi kerabat di keseharian. Seandainya aku tidak bisa bersahabat dengannya, mungkin untuk beberapa lembar rupiah mustahil
berada di saku. Di satu sisi, aku menertawakan diri sendiri. Mengapa manusia mengikat diri pada uang? Padahal uang yang didapat juga untuk dibelanjakan. Tidak heran karena uang korupsi di mana-mana karena terlalu memuja uang untuk dihabiskan.
Hahahaha... Aku menertawakan diri sendiri. Meski aku tidak dilahirkan kaya tapi aku masih bisa tertawa lepas dalam situasi apa pun. Walaupun orang tua tidak berlipah harta, namun aku bahagia masih dipukul ketika aku lupa atau telat shalat, karena ada kasih sayang di sana. Namun sangat menyedihkan seandainya aku dibahagiakan dengan uang tapi mereka pernah sempat minum teh bersama saat menjelang sore.
"Alhamdulillah," ucap rasa syukur ini kepada Sang Maha Pemberi. Tepat pukul 15:00 wib barang dagangan laris habis. Saatnya berkemas dan membersihkan tempat berjualan. Aku pun kembali ke rumah. Karena bagaimana pun lelah, rumah adalah tempat pulang.
Selesai makan malam. Secangkir kopi menemaniku di gubuk kecil yang terdapat di belakang rumah. Ada rasa penasaran pada wanita di malam kemarin. Gelisah, resah, takut bercampur aduk menjadi geram pada diri sendiri.
Rasa bercampur tersebut semakin padat dan meledak. Akhirnya aku mengambil mencoba untuk mencari tau tentang dirinya. Aku mencoba bertanya pada Meida melalui via whatsapp.
"Oh ya Mei, siapa nama teman kamu yang semalam itu? Maaf semalam aku buru-buru."
"Iya gak apa-apa," jawabnya.
"Kirim kontaknya boleh? kenalannya nanti aja nyusul," jawabku.
Meida pun mengirin kontaknya, "Makasih ya Mei?"
"Oke, sama-sama," jawab Meida.
Masih dengan rasa geram yang tadi. Aku hiraukan semua bisik-bisikan setan yang ada di telinga. Dengan segenap tekad, seperti anak sekolah yang bandel dan tidak pernah belajar ketika menghadapi UN. Rasa khawatir dan takut untuk tidak lulus sekolah, telah ia bunuh sedari dulu. Seperti itulah perasaan saat ini. Aku pun mengawali chattingan dengannya.
Aku menyapanya dengan rasa takut dan penasaran, entah apa yang ditakutkan saat ini. Aku pun tidak mengerti. Kulayangkan sebuah pesan singkat, *Assalamualaikum.
"Walaikumsalam." Tidak sampai satu menit, pesanku langsung disambar. Sudah seperti mancing aja ya? Hehehehe. Atau mungkin dia telah menunggu untuk hal ini*?*
"Benar ini temannya Meida?" tanyaku.
"Benar, Ini Bang Agam temannya Kak Meida, kan?"
"Ia Dik. Maaf ya? Semalam Abang buru-buru."
"Emang, Abang mau ke mana sampai buru-buru?" tanya Cut.
"Itu mau ke pasar jumpai itu nahkoda kapal ikan." Aku berbohong, yang sebenarnya jantungku mau pecah malam kemarin berhadapan dengannya.
Dengan penuh rasa penasaran di dada, aku mencoba meneleponnya.
Aku bertanya, "Boleh tanya-tanya, gak?"
Cut pun menerima, "Silahkan...!"
"Tapi gak tau mau tanya apa."
"Hahaha... Kenapa begitu?" terdengar ia tertawa.
"Ya begitu juga, habis Abang gak lihai dalam mencari topik pembicaraan," jawabku dengan gugup.
"Aneh... Tadi mau bertanya?"
"Kuliah?" tanyaku.
"Iya Bang."
"Jurusan apa?"
"Ekonomi. Kalau Abang gimana? Kuliah juga?"
"Iya... Jurusan Teknik Sipil," jawabku. Dan bulan purnama baru saja dimulai.
Tidak peduli berapa pulsa habis, aku sangat menikmatinya. Berjarak, kami hanya dibatasi oleh telepon genggam. Aku merasakan telepon itu, dia sedang berada di sebelah. Yang berada digenggaman, seakan aku merangkul jemarinya. Syahdunya malam ini, bintang bertaburan cerah dengan ditemani telepon genggam. Senyum-senyum dan tertawa dengan telepon genggam. Biarkan aku menjadi orang gila malam ini dalam pandangan orang lain. Aku bahagia...
Malam yang berbeda dari malam-malam sebelumnya. Kebiasaan aku di malam hari adalah bermain minum kopi sambil bermain gitar dengan sebatang rokok di mulut. Dan malam ini berbeda. Tiba di mana pulsa telepon habis. Sungguh kesal, padahal aku baru saja menemukan titik nyaman. Setelah aku melihat jam pukul 23:00 wib. Aku pun tertawa, tidak biasanya aku segila ini, menghabiskan pulsa hanya untuk berbicara yang tidak penting. Dan yang tidak penting, malam ini menjadi penting...
Malam semakin larut, dan aku semakin larut dalam khayalan. Aku melihat fotonya yang ada di sosial media. Dia sangat manis saat tersenyum. Ada sebuah fotonya yang berpose layaknya sedang berjalan di bibir pantai. Seketika
halusinasi sedang berjalan di sebelahnya. Menggenggam jemarinya yang hangat. Matanya yang teduh seperti pohon rimbun di kala kemarau. Angin sepoi-sepoi yang membelai rambut ikalnya, hingga menyapu ke permukaan
wajahku. Sial, hancur sudah imajinasiku. Semua itu karena kucing yang ribut memangsa tikus.
'Wahai jelita, sedang apa kau di sana? Apakah kau telah tidur? Sudahkah kau sampai di dalam mimpi? Ruang mimpi mana yang kau masuki? Aku ingin menyusulmu dari sini. Aku tidak ingin menjadi hantu untuk bunga tidurmu. Aku ingin menjadi setiap yang engkau genggam. Aku ingin menjadi setiap sandaranmu. Aku ingin menjadi setiap pelukmu'
'Wahai wanita kedua setelah ibuku. Aku tidak bermaksud untuk memilikimu. Namun maksud dari inginku adalah menjadi bagian dari hidupmu. Di malam yang penuh bintang ini. Aku bergosip tentang kau kepada mereka bahwa manisnya dirimu membuat darah diabetes. Anggunnya di kau membuat tubuh stroke yang diakibatkan oleh jantung terlalu cepat berdetak. Namun para bintang melarang keras untuk mendapatkan hatimu, tapi mereka menegaskan pada diri ini untuk selalu ada untukmu'
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 32 Episodes
Comments
capèk
ku menangisss....
2021-04-17
1
Vieneze
Bahasanya puitis banget y.
2021-04-17
1
Wiselovehope🌻 IG@wiselovehope
👍💯⭐😘❤️🙏
2021-04-15
2