..."Sederhana......
...Namun sempurna...
...Seperti lesung pipinya...
...Cacat yang sempurna"...
Malam minggu adalah malam dinanti oleh yang memiliki pasangan. Di sudut sana dan sini menabur asmara. Tersenyum bahagia bersama doi, tertawa dan beradu pandang hingga tersipu malu. Semua menyukai hal itu.
Malam ini sangat berbeda dari minggu sebelumnya. Biasanya di malam minggu aku hanya di warkop menikmati kopi sanger sambil melihat dan jalanan yang dipenuhi orang-orang yang kasmaran. Jangan tanya aku dengan siapa, pastinya aku sendiri, karena teman-teman sama halnya seperti orang lain, kasmaran.
Saking biasanya. Aku biasa menghabiskan 4 gelas kopi di setiap malam minggu dan 2 bungkus rokok, sungguh buruk bukan? Mungkin semua itu karena aku terlalu lama larut dalam membandingkan diriku dengan mereka yang memiliki doi.
Namun sudah cukup semua kebiasaan buruk itu. Kali ini semesta memberi kesempatan untuk mengubah kebiasaan itu. Dengan senang hati aku menerima tawaran itu. Ya, malam ini dan kali ini berbeda. Sebuah sepakat yang berbuah temu. Aku sangat menyukai pertemuan. Meski sebenarnya yang terlalu kegirangan pada pertemuan adalah rindu.
Dalang dibalik ini semua bukanlah aku atau dia, akan tetapi rindu. Rindu itu egonya sangat tinggi. Menuruti semua keinginannya. Tapi beruntung, rinduku dan rindunya senyawa hingga ia menerima tawaranku.
Sebelah kanan ku terdapat poster grup band Jikustik. Seakan ia menyanyikan lagu malam minggunya yang bermaksud untuk mengiringi malam wow ini bagiku. Sebelah kiri, ada poster Leonel Messi yang sedang bergembira atas kebahagiaan ini, karena ia bosan menemaniku terus menerus di setiap malam minggu. Cermin yang ada di depan memantulkan bayangan wajah yang membuat diri sendiri tertawa, dan yang biasanya hanya digunakan setiap kali aku pergi ke undangan pernikahan. Aku menghadap ke segala arah penjuru mata angin. Kiri, kanan, depan dan belakang. Aku siap menikmati kemerlap malam minggu ini.
Bermodal Rp. 50.000 aku rasa cukup untuk malam ini. Semulus aspal hitam yang dilalu-lalang para yang kasmaran. Tepat pukul 20:00 wib aku tiba di rumah Cut.
"Assalamualaikum."
"Walaikumsalam. Siapa ya?" ternyata yang menjawabnya adalah ayah Cut, Pak Salam.
"Ada Cut, Pak?"
"Untuk apa?" kata pak Salam dengan suara lantang yang merambat telingaku hingga mental aku berserakan.
"Gini Pak, saya disuruh jemput anak Bapak. Jadi sebelumnya saya mau minta ijin bawa anak Bapak untuk makan malam di luar."
"Oh begitu ya? Boleh kamu barengan dengan anak saya, tapi sesuaikan sebagaimana kamu seorang kesatria saat berhadapan dengan seorang pria...!!" kata bapak berkumis putih tebal.
"Baik Pak," jawabku dengan keringat dingin dan gugup. Di sisi lain aku linglung maksud beliau. Padahal aku ini cowok sangat biasa saja yang jualan ikan di pasar, bukan seorang kesatria dari pada anak raja. 'Apa-apaan ini...'
Aku menunggu Cut di ruang tamu yang diarahkan oleh Pak Kumis Tebal. Bunga mawar asli yang masih segar dalam vas di meja tamu. Perabotan yang serba desain klasik ala Belanda. Foto sepeda ontel yang ditunggangi oleh sepasang daun muda yang siap layu. Aku berpaling ke arah kiri. Di mana mesin ketik tua masih mengkilap yang bersebelahan dengan radio usang yang aku rasa masih bisa menyala . Apabila syuting film di rumah ini dan diberi efek hitam putih dan disajikan dalam Virtual Reality, kita seakan berada dalam dimensi prosesnya pengetikan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Aku mengerti, Pak Salam sangat menghargai sejarah. Di mana ia dengan bangga memajang beberapa fotonya di monumen pahlawan.
Aku melihat sebelah kanan. Terpampang foto seorang anak kecil berusia tiga tahun yang berpose mengupil. Aku rasa itu adalah Cut, karena di dalam foto tersebut dia yang paling kecil dan pula ia pernah mengatakan bahwa ia anak bungsu. Lucu rasanya, kalau aku membayangkan dia sudah sebesar itu apabila melakukan foto berpose mengupil.
"Yuk...!!" Seluruh semestaku berhenti ketika setelah aku menunggunya persiapan kencan. Roda merah merona di sudut pipi membuatnya manis. Bibir bergincu merah muda menambah ia begitu mempesona. Simple, tapi perfect.
"Hello... kok bengong?" tanya Cut.
"Oh... oke. Kamu sudah siap?"
"Sudahlah. Ada yang lucu, ya? Sampai kamu bengong gitu lihat aku?"
"Enggak kok," jawabku dengan senyum.
"Oke, yuk kita gerak?"
Aku pun pamit ke Pak Salam. Saat mempersiapkan motor untuk membonceng Cut, aku membuka tempat pijakan kaki. Lalu aku pegang tangannya ketika hendak menaiki motor. Ternyata pak Salam memperhatikan, dan saat itu pula perasaan tidak enak. Setelah aku memastikan semuanya telah siap, kami pun melaju tanpa pikir panjang.
Sepanjang perjalanan aneka warna cahaya di sepanjang trotoar. Orang-orang seperti kami mengisi jalanan alam minggu. Semua kafe tampak ramai. Aku sangat tegang dan kaku. Sekian lama aku tidak lagi seperti ini, dan kini aku
merasakan lagi gejolak ini. Bertambah, semakin cepat, semakin cepat jantung berdetak. Sesekali meliriknya melalui kaca spion. Ternyata ia lebih dulu melihat ke arah kaca spion. Dia tersenyum lebar. Buru-buru mengalihkan pandangan, itu membuat aku tersipu malu. Mau dibawa ke mana wajah ini, jika aku tak kuasa melihat senyumnya...
Sebuah warung makan kaki lima tempat singgahan kami. Ayam terasi Pak Ucok sangat terkenal di kota Langsa. Nasi uduk dan bumbu rempahan terasinya yang membuatnya terkenal. Suasana yang sangat ramai disini. Ada yang bersama keluarga, pacar atau sendiri dalam satu meja yang hanya sekedar mengisi perut kosong. Warung yang tidak beratap namun bagian langit-langitnya dihiasi lampu yang bercahaya kuning.
"Mau pesan apa Bang? Silahkan dipilih ini menunya..!!" seorang pelayan melayani kami.
"Kamu pesan apa?" tanyaku pada Cut.
"Nasi ayam terasi dan jus jeruk peras."
"Saya pesan Nasi goreng kampung seafood, tapi pakai sambal terasi, ya?"
"Oke Bang, mohon di tunggu ya?"
Lilin yang menyala di meja menambahkan asrinya suasana malam ini. Biasanya seperti malam ini aku hanya mengisi perut kosong di warung Pak Ucok. Namun kali ini aku tidak perlu hanya menatap lilin atau lalu lalang jalanan. Tidak perlu lagi menunggu pesanan dengan terpaku di layar telepon. Dalam detik ini aku memiliki tontonan baru saat menunggu pesanan. Senyumku kali ini bukan senyum menertawai diri sendiri, melainkan terpesona melihat melati mekar di hadapan. Aku sangat menikmatinya, namun aku tidak tau harus bagaimana cara mengatakan pada-Nya nikmat yang berlebihan ini.
"Silahkan dinikmati. Semoga kalian suka hidangan ini," dan pelayan pun kembali ke tempatnya.
"Gimana rasanya, enak?" aku bertanya.
"Lumayan, tapi aku suka."
"Suka dari segi apa?"
"Nasi uduk dan suasananya," jawabnya.
"Ohhh... Emang sebelumnya pernah kemari?"
"Belum, baru kali ini," jawabnya. Kami hening sejenak.
"Kamu suka warna merah, ya?" tanyaku.
"Tau dari mana?"
"Hanya tebak-tebak aja dari baju yang kamu pakai sekarang."
"Iya aku suka baju ini."
"Ayah kamu beli?"
"Bukan, ini hadiah ulang tahun aku dari mantan aku di tahun lalu," jawabannya.
Ada sedikit jeda yang aku hiraukan. Dan pun aku tidak ada hak menggali apa yang terjeda. "Oohh... Bagus ya? Bajunya seperti di film-film," kataku.
"Iya... terimaksih," jawabnya. Meski begitu, aku terus melihatnya. Yah.. melihatnya tersenyum.
"Kamu suka keramaian?"
"Suka. Kalau kamu bagaimana?"
"Kalau aku sih tergantung tujuannya"
"Terus apa tujuan yang kamu sukai dari keramaian?"
"Cuci mata.."
"Maksudnya?"
Aku berkata, "Dengan aku melihat orang-orang, itu sama halnya menerapi diriku sendiri. Kadang aku melihat orang tersenyum atas laris atau tidak dagangannya. Aku merasa naluri menyeret jiwa untuk belajar dari orang tersebut untuk bersyukur dalam hal apa pun. Kadang melihat sepasang insan tersenyum dan berlaga pandangan. Aku menyimpulkan bahwa, ternyata berbagi tidak hanya dengan materi, ternyata dengan kebahagiaan dan senyuman juga bisa."
Cut bertanya, "Selain itu. Apa lagi yang kamu dapat?"
Aku menjawab, "Terkadang aku menertawakan naluri dan nalar saat aku menemui sepasang kekasih bertengkar. Yang dulunya saat mengikat sebuah hubungan mengikrarkan janji "akan setia" atau "hati ini milikmu satu" atau dengan kalimat lain "Hati ini adalah rumah bagimu". Hahahaha... Sungguh lucu saat meninjau awal hubungan dengan detik-detik ingin putus. Menurutku, rumah yang ia maksud itu adalah rumahnya bisa berjalan dengan kata lain bisa berpindah-pindah. Mereka tau rasa itu berubah atau berpindah-pindah, tapi mereka selalu telat menyadarinya."
"Berarti yang salah yang meninggalkan."
"Bukan, tapi mereka yang ingin putus tidak pernah sadar hatinya memiliki kaki"
"Empp... korbannya pun bodoh bisa menerimanya"
"Bukan juga, akan tetapi mereka yang diputusin, tidak pernah sadar telah sekenyang apa ia menelan kalimat-kalimat manis."
"Jadi, siapa yang salah?" tanya Cut.
"Salahkan rasa malas. Karena kita terlalu tuli dan buta untuk melihat atau mendengar dari pengalaman orang lain. Kebanyakan orang hanya belajar dari pengalaman sendiri, namun jarang sekali belajar dari pengalaman
orang lain."
"Kamu sudah seperti Ustadz Abdul Somad, ya?" kata Cut tersenyum.
"Kenapa begitu?" aku pun heran.
"Iya. Kamu pintar banget pidatonya, tapi yang membedakannya kalau Ustadz Somad di depan orang-orang ramai, kalau kamu di depan aku," Cut tersenyum sambil menutup mulutnya
"Ahahaha.. bisa aja kamu" kataku merasa malu.
"Satu lagi bedanya. Kalau Ustadz Somad pidatonya berdiri, kalau kamu pidatonya sambil ngunyah" tambah Cut.
Dia tertawa senang. Aku menikmati tiap sudut wajahnya. Ini seperti simbiosis mutualisme. Untung baginya, karena aku menjadi bahan lolucon, dan untung bagiku untuk menikmati pemandangan dewi surga yang tidak pernah biasa tertawa. Biarkan mata kenyang melihatnya. Biarkan jantung ini sedikit berolahraga di dekatnya. Karena logika, kali ini mengizinkan perasaan untuk raga sedikit begadang.
"Aku dengar, kamu udah lama ya? Maksudku tidak pacaran?" Cut bertanya.
"Pasti Meida yang beritahu?" aku meliriknya.
"Hehehe... Kok bisa?" ia tertawa seperti sudah menduganya. "Atau jangan-jangan kamu homo?"
"Apaa...?? Hugghhkk" aku tersedak. Memukul dada, seperti ada yang tersangkut. Cut tersenyum sambil memberi segelas air putih. "Bukan begitu, tapi aku saja yang tidak mencari," jawabku.
"Bukankah cowok itu mencari dan cewek itu hanya menunggu?"
"Benar seperti kamu bilang. Hanya saja keberuntungan belum memihak padaku."
"Kenapa gitu?" ia bertanya dengan matanya yang serius.
"Ya mau gimana? Kebanyakan aku kalah saing alias ditikung."
"Gimana rasanya ketika kalah saing?"
Aku menjawab, "Rasanya itu ya lucu aja, yang padahal mau itu pria atau wanita bukan pilihan. Aku merasa bahwa seperti permainan iseng-iseng berhadiah, ketika tebakan atau pilihannya benar." "Kalau kamu bagaimana kalau di posisi itu?" tanyaku padanya.
Cut menjawab, "Yang pasti kecewa. Kesal karena tidak sesuai harapan." "Jadi, berapa tahun kamu sudah menyandang gelar jomblonya?" tanyanya dengan tersenyum kecil.
"Hahaha... kasar!! Kurang lebih satu tahun setengah"
Jam pukul 21:45 wib. Kami beranjak kembali dari kedai pak Ucok. Sebelum lewat pukul 22:00 wib aku harus tiba sampai di rumah Cut. Saat tiba, aku seperti melihat di sudut jendela ada yang mengintip. Ketika ia turun, aku
memperlakukan layaknya Cinderella yang hendak turun dari pedati kuda. Agar ia tidak terjatuh atau pun pakaiannya tersangkut. Sedikit kaget, tiba-tiba Pak Salam telah memerhatikan kami sedari tadi. Ia berdiri dengan tegap dan tangannya mengelus-elus kumis tebalnya. Aku menggoyang-goyangkan kaki seperti para penyanyi sedang konser. Padahal aku gemetar, mental yang buyar karena melihat ekspresi Pak Salam. "Ini calon ayah mertua atau malaikat maut, ya?" bisik dalam hati. Cut hanya tersenyum melihat perilaku. Mungkin ia tau maksud semua ini.
Setelah pamit. Aku pun kembali, tapi tidak ke rumah. Dalam perjalanan pikiran memasuki dimensi 2 jam yang lalu. Terus terulang, yang padahal bukan atas kesengajaan, akan tetapi atas unsur paksaan hatiku. Walaupun begitu, itu yang aku inginkan. Tidak peduli setan yang melintas menertawakan atas perangai aneh senyum-senyum sendiri. Mungkin dalam pemikiran mereka, biasanya orang akan tertawa atau tersenyum karena suatu hal atau lawan bicara. Sedangkan aku di mata mereka, tidak ada apa-apa malah cengar-cengir sendiri.
Puluhan cemara dan lampu jalanan telah aku lewati. Aku masih mencium sisa aroma Cut di bahu. Saat melirik ke belakang ternyata ia tak ada. Aku mengira ia belum turun dari sepeda motor. Aku melihat bintang dan tersenyum lebar. Akhirnya aku sadar, bukan hanya sekedar rindu untuk cerita selanjutnya dan bukan hanya sekedar lahir di dunia akan tetapi ia benar- benar telah lahir dalam hatiku. Hey jangan terlalu buru-buru njirr...
Lidah terasa butuh kafein. Maka dari itu aku tidak pulang ke rumah untuk sejenak meresap secangkir kopi Ulee Kareng, yaitu kopi khas daerah Aceh. Aku singgah di basecamp yang menjadi tempat favoritku. Warung yang biasa saja seperti warung-warung kampung. Meja favorit kami berada di belakang warung tersebut. Tanpa beton dan atap, lantai hanya beralas tanah. Ada ayunan pantai yang biasa aku tempati di sana bila kami nongkrong. Kami biasa menghadap sawah yang sangat luas yang terdapat di belakang warung.
"Ciee... yang gak jomblo lagi," kata Megy. Semua mata mereka menyorot ke arahku dengan mata gembira.
"Mungkin Dewi Fortuna sedang berpihak sama dia," jawab Dery.
"Apaan sih? Aku masih gak ngerti," jawabku.
"Emang kamu doank yang kencan malam minggu? Kami juga malam mingguan," jawab Megi. Aku masih kebingungan apa yang dimaksud mereka.
"Aku masih gak ngerti. Langsung aja ke intinya, gak perlu nyindir-nyidir gitu..!!"
"Tadi kamu kencan di warung pak Ucok-kan?" tanya Megi yang membuat aku terguncang. Aku tersenyum kecut seakan aku tidak ingin memberitahu mereka. 'Kok mereka bisa tau, ya?'
"Sok tau kalian, aku saja baru siap pulang dari acara tetanggaku. Emang ada bukti? Kalau kalian bilang seperti itu?"
"Sialan... awas, ya?" Megy mengotak-atik teleponnya. "Jelas..? Masih berani bohong? Ini yang baju kemeja abu-abu duduk semeja dengan cewek berbaju merah ini, siapa? Bukan kamu?"
"Kenapa kamu bisa tau Meg?" jawabku dengan cenge-ngesan.
"Ya tau lah... Megi gitu loh." jawabnya dengan gaya sombong. Rasa ingin tau pun bertambah.
"Serius anjirr..."
"Tadi aku dan Megy double dead, jadi doi-nya Megi memotoin saat kau kencan," kata Dery.
"Kok aku gak tau sih ada kalian juga. Kalau tau gitu kan aku ikut gabung," jawabku.
"Alaahh... aku liat aja kamu dari tadi fokus benar mandang cewek baju merah itu," jawab Megi.
"Gak ah. Mana ada.."
"Kalau gak, mana mungkin kamu sampai gak lihat kami saat kita lewati meja kamu," kata Dery. Dengan jawaban Deri, aku sudah berlagak bodoh.
"Biasalah, namanya aja sudah lama jomblo. Jadi, seperti orang yang baru sembuh dari penyakit diabetes akhirnya bisa makan minum yang manis-manis lagi," kata Diandra.
"Hahaha... ingin berkata kasar" jawabku.
"Ngomong-ngomong, dia manis juga ya, Gam?" kata Yogi.
"Aku kira cuma di mataku aja yang manis."
"Kenapa? kamu mau nikung doi-nya Agam?" tanya Diandra pada Yogi.
"Enggak.. bukan seperti itu, tapi memang harus aku akui memang benar-benar manis ditambah lagi ada lesung pipi nya itu."
"Woy sadar woy kau udah punya pacar, kasihan anak orang yang kau pacari itu," teriak Dimas.
"Kalau aku sih bukan kasihan dengan pacarnya Yogi, tapi aku lebih kasihan sama Agam. Soalnya ini kesempatan langka bagi Agam ternyata ada cewek yang untuk penilaian sementara memang terima Agam apa adanya," jawab Megi.
"Jadi itu pacar kamu, Gam?" tanya Yoga.
"Masih belum bisa disebut pacar."
"Terus kenal dari mana?"
"Itu dikenalin oleh istri Yudid."
"Kapan?"
"Saat acara malam tunangan Abay," jawabku. Saat kami sedang berbincang-bincang, tak lama kemudian Abay dengan Acol.
"Wahhh... calon suami orang baru datang nih," kata Deri.
"Ya lah... dari pada pacaran bertahun-tahun untuk apa? yang akhirnya ditinggal nikah," jawab Abay.
"Jadi ceritanya nyidir aku nih?" jawab Yoga dengan sedikit kesal.
"Aku bilang gitu siapa yang ngerasa aja."
"Aku gak ngerasa..!!" jawab Yoga dengan menyembunyikan gengsinya.
"Kalau gak ngerasa, ngapain teriak-teriak juga kali."
"Mungkin dia baru datang bulan, jadi agak sensitif gitu jadinya," sahut Diandra.
"Kau kira aku ini cewek..?" tanya Yoga.
"Ia memang cewek"
"Cewek Thailand njirr... cantik-cantik batangan," sambung Megi.
"Kurang ajar..." jawab Yoga. Dan suara kami pecah hingga ke depan warung.
Mereka masih saja membahas tentang aku. Topik yang panas dan heboh. Bisa disebut tidak kalah saing dengan berita selebriti di Tanah Air. Rasa malu tentu pasti aku rasakan, namun yang membuat menyenangkan ada humor-humor dalam diskusi ini. Dan terkadang meski kami bercanda jika dipandang oleh orang lain kelewatan batas, kami tidak pernah mengambil hati. Entah kenapa, aku pun juga tidak tau.
Mereka adalah titipan Tuhan kepadaku sebagai saudara tidak serahim. Gober, Abay, Angga, Dery, Dimas, Diandra, Yoga, Yogi, Yudid, Acol, dan Reza. Mereka memang jahil, menurutku itu adalah cara mereka peduli atau menyayangi. Mereka adalah keluarga kedua, sebuah keluarga yang siapa saja bisa menjadi ibu dan ayah atau penengah. Saling mengingatkan, tidak saling marahan. Jika ada yang salah, kami saling memperbaiki.
"Coba lihat, yang mana ceweknya Agam?" tanya Abay. Megi pun memberi teleponnya.
"Jadi ini cewek yang lagi panas dalam pembahasan kita?" tanya Abay sedikit kaget.
"Ada yang salah?" jawabku dengan rasa penasaran.
"Enggak... tapi ya jalani aja dulu. Kalau memang cocok, lanjutkan. Aku hanya gak mau teman aku sakit hati."
"Maksudnya gimana?"
"Aku gak bisa bilang sekarang, kau harus cari sendiri. Jika aku bilang sekarang, entar kamu gak percaya. Pokoknya jangan beri sekaligus. Dan lagi kau harus pelan-pelan."
"Pelan-pelan dan pasti supaya dapatkan dia gitu loh," kata Yogi.
Malam semakin larut. Bulan semakin percaya diri memamerkan cahayanya. Kami pun semakin larut dalam keberasamaan. Tidak banyak yang aku tau beberapa jam lalu. Yang ada dalam hayalku adalah kencan dengannya. Senyumnya, tawanya, suaranya, semua aku ingat yang membuat diri ini candu padanya. Lagi, lagi dan lagi aku ketagihan ingin bertemu dengannya. Ada sekitar lima ribu kalori telah habis aku gunakan untuk mengulang-ulang moment kencan aku dengan dia. Mantap... akhirnya aku gila. 'Mantap... akhirnya aku gila. Benar, terlalu tergila-gila...'
Ini adalah kebodohan yang menyenangkan. Menggunakan otak untuk hal yang tidak penting untuk menenangkan jiwa. Hanya senyum-senyum sendiri yang bisa aku ekpresikan pada semesta. Seandainya Tuhan tidak memberiku prosessor dalam kepalaku, mungkin yang hanya aku tahu adalah makan dan tidur. Dan kali ini aku menikmati Anugerah-Nya dengan Kebesaran-Nya yang telah ditanamkan dalam kepalaku.
Dalam perjalanan pulang. Malam yang dingin menusuk tulang. "Woooooooohhh...." aku berteriak keras hingga suaraku memenuhi jalanan yang sepi. Kebahagiaan yang terlalu penuh dalam hati aku muntahkan semuanya. Aku terlalu girang menanggapi semua ini yang tidak tahan kebahagiaan yang memadat di dalam dada. Aku seakan berada di atas panggung dengan menggelar konser besar. Semua pohon cemara yang ada di pinggir jalan sedang melabai-lambai daunnya dengan gemilang atas kemenangan ini. Benda-benda di langit beramai-ramai menyalakan cahayanya. Jangkrik dan katak pun bersorak-sorak mengikuti alunan nada hatiku.
Malam penghantar mimpi saat ini adalah yang berbaju merah dengan senyuman ia yang menundukkan ego. Malam ini aku sangat siap menuju mahligai merah jambu yang hanya ada dia dan aku. Bukan pesawat atau pun mobil mewah yang mengantarkan aku, melainkan beberap perangkat selimut, bantal, dan kasur yang siap membawaku ke alam mimpi untuk bertemu dengannya. 'Bukankah hidup itu berawal dari mimpi? Seperti apa yang terdapat dalam lirik lagu Bondan Prakoso...?'
'Kita baru saja bertemu. Ini sebagai awal mula cerita kita yang tertulis di usia kita semakin tua. Jangan ada kendala seperti yang sudah-sudah. Sesungguhnya, ego ini ingin berlanjut sebagaimana mestinya'
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 32 Episodes
Comments
RN
keren 2 jempol buat mu😍
intip playboy mengejar cinta❤😘 yuk
2021-04-15
0