Sheril tidak tahu apa yang terjadi dengan lelaki yang air minumnya ia rebut tadi pagi, sebab sampai jam pulang sekolahpun Sheril tidak menemukan batang hidungnya.
"Au ah, Ayu makan ceker, I don't care! Berarti cowok tadi nolak rejeki tuh padahal niat gue udah baik mau nraktir dia," Sheril mendengus.
Ia mengambil tas sekolahnya lalu pergi ke area gerbang sekolah. Hari kedua Masa Orientasi Siswa akan diadakan tes kejuruan-an. Sheril sudah di berikan wejengan oleh temannya yang baru lulus SMA satu tahun yang lalu, dan ia merasa tidak perlu belajar untuk tes besok. Sebelum berusaha, Sheril sudah menyerahkan semuanya kepada sang pencipta.
"Sher, nonton yuk! Ada film bagus di bioskop,"
Sheril sedikit terkejut dengan kehadiran Rayhan yang tiba-tiba di sampingnya, padahal sejak jam istirahat Sheril tidak bertemu dengan Rayhan.
Sheril menghentikan langkah kakinya membuat Rayhan juga ikut berhenti. Tangan kanan Sheril terangkat, ujung jarinya menyatu membentuk angka nol.
Kemudian, Sheril mengacungkan kelingking, jari manis di susul dengan jari tengah secara berurutan sambil berkata. "Strawberry mangga tomat, Sorry gak minat." Sheril melambaikan tangannya di akhir kalimat.
Rayhan berdecih sinis di tolak oleh Sheril sedangkan Sheril malah tertawa sendiri melihat reaksi Rayhan.
"Lo kan tau gue kurang suka ke bioskop, mending gue streaming aja, bisa sambil rebahan." Sheril menepuk-nepuk dadanya bangga lalu melanjutkan langkah kakinya yang sempat terhenti.
"Kan ada bioskop yang kursinya khusus," Rayhan memberi alasan lain.
"Mehong!" Ketus Sheril, jalannya semakin cepat.
Rayhan mengikuti irama Sheril, berusaha menyamakan langkah kaki mereka.
Lagi, tanpa intrupsi Sheril menghentikan langkah kakinya membuat Rayhan terkejut sekaligus kesal.
Rayhan menoyor kepala Sheril untuk melampiaskan perasaan kesalnya. "Anjing, kalau mau berhenti bilang-bilang napa!"
"Bodo amat! Lo balik sendiri sono, gue ada urusan lagian juga gue udah pesen ojol," usir Sheril secara terang-terangan.
Rayhan memutar bola matanya malas. "Halah, kucing. Biasa gue yang di jadiin ojek dadakan lo juga. Gak usah sok sibuk, rakyat jomlo yang hobinya rebahanmah diem aja,"
Sheril memukul bibir Rayhan. "Berisik lo jelek! Gue duluan ya, lo hati-hati baliknya," tanpa menunggu jawaban Rayhan, Sheril segera pergi keluar area sekolah.
"Sableng emang tu orang kelamaan jomlo." Gumam Rayhan menatap kepergian Sheril.
🌞🌞🌞
Setelah berganti pakaian di toilet kafe, Sheril segera mencari spot tempat duduk kesukaannya.
Tapi senyumannya luntur seketika saat melihat spot kesukaannya telah di tempati oleh seorang lelaki yang sedang nampak sibuk memainkan laptop, bahkan kedua telinga lelaki itu di tutupi oleh earphone.
Hari ini adalah jadwalnya untuk pergi kemari, mati-matian Sheril yang tidak konsisten mengikuti jadwalnya agar berubah menjadi Sheril yang konsisten. Sheril tidak akan membiarkan seorangpun merusak jadwal yang telah ia duduk dari jauh-jauh hari!
Kesal, sambil membawa nampan berisi makanan dan minuman yang akan ia santap, Sheril kembali mendatangi sang kasir. Hanya beberapa pelayan yang hapal dengan jadwal kedatangan Sheril ke kafe ini, bahkan mereka juga hapal dimana spot kesukaan Sheril.
"Mbak, maaf, spot favorite saya udah di tempatinya berapa lama ya sama mas-mas itu?" Sheril memang merasa kesal, tapi ia berusaha merendahkan suaranya ketika berbicara.
Sang kasir menatap tempat yang di maksud oleh Sheril, "mas-mas bule itu?"
"Bule?"
Sang kasir yang bername tag 'Diana' itu mengangguk. "Iya bule, kayaknya udah dua jam dia duduk di situ," jelasnya sambil melihat jam dinding imut yang menempel di dinding kafe.
"Kalau gue minta cowok itu pindah tempat gak pa-pa kali ya? Thank's mbak Di." Sheril kembali ke tempat kesukaannya yang sudah di ambil alih oleh orang asing.
Meskipun Sheril terkadang merasa kesal dengan konflik perselingkuhan orang tuanya, tapi untuk soal kafe ini cukup menguntungkan bagi Sheril. Kafe ini milik selingkuhan ibunya, Sheril memang tidak menyukai pria itu tapi Sheril menyukai kafenya.
Bukan hanya ibunya, ayahnya pun mempunyai selingkuhan. Ah, Sheril sekarang sudah tidak peduli lagi soal orang ketiga atau bahkan orang keempat.
Anton, itulah nama pria pemilik kafe ini. Sheril hanya meminta spot kesukaannya untuk tidak di tempati oleh orang lain saat ia berkunjung ke kafe ini di hari-hari tertentu.
Sheril meletakkan nampan makanannya di atas meja lelaki muda yang masih asik dengan laptopnya. Sheril belum duduk, namun ia sudah melayangkan tatapan mengancam sejak tadi.
Diana benar, lelaki di hadapannya saat ini bukan berdarah Asia.
"실례합니다 (sillyehabnida), excuseer mij, excusez-moi, perdóneme, excuse me, permisi mas!" Sheril menekankan di setiap katanya.
Kurang buat apa coba Sheril mengusir lelaki bule di hadapannya saat ini? Bahasa Korea, Belanda, Jerman, Prancis, Spanyol, Inggris sampai bahasa Indonesia telah ia gunakan.
Lelaki itu mendongakkan kepala, menatap wajah Sheril datar, sampai Sheril tidak bisa membaca emosi lelaki bule di hadapannya saat ini.
"Maaf mas bule abal-abal yang terhormat. Mas bisa pindah tempat? Ini tempat saya sejak tahun kemarin," Sheril berkacak pinggang.
"Di sini tidak ada nama kamu, saya pikir ini bukan tempat kamu," jawab bule itu secara formal, kuping Sheril merasa aneh saat mendengar kalimat formal Indonesia dengan aksen barat yang begitu kental.
Tapi Sheril rasa wajah bule itu nampak tidak asing. Ah, masa bodoh, itu urusan nanti!
"Itu aturan tidak tertulis," balas Sheril dengan tatapan menantang.
Bule itu berdiri, langsung membuat Sheril nampak kecil di hadapannya. Tinggi Sheril hanya 160 centimeter dan kira-kira bule itu tingginya mencapai 180 centimeter.
Sheril meneguk ludahnya dalam-dalam. Astaga, ia menjadi gugup sendiri.
Bule itu mendekatkan wajahnya ke depan wajah Sheril, hingga tersisa jarak sejengkal diantara mereka, pengunjung lain yang melihat kejadian itu sudah pasti mendukung mereka untuk melakukan adegan ciuman sekarang juga melihat posisi intim mereka.
"Just shut up and go away!" Bisik bule itu, memperlihatkan ketegasannya di balik kalimat.
Cuek, bule itu kembali duduk dan memainkan laptopnya seolah tidak terjadi apa-apa.
Sheril mendengus, tidak, tidak boleh! Ia harus duduk di sini bagaimanapun caranya, hari ini Sheril sedang tidak ingin mengalah.
Merasa sudah terlalu banyak mengucapkan kata permisi tadi, Sheril langsung duduk di hadapan cowok bule itu dan mengeluarkan laptopnya.
Lelaki bule itu menatap Sheril heran, tidak mengerti apa yang ada di benak gadis itu.
"What the hell are you doing?"
Sheril mengedikkan bahunya tak acuh. "I just do as I want," balasnya santai.
Berdecak kesal namun detik selanjutnya ia tidak lagi mempedulikan kehadiran Sheril di hadapannya saat ini.
Sejak duduk di sini, Sheril masih asik menyantap dessert yang tadi ia pesan seraya menatap pemandangan indah yang langka di hadapannya saat ini. Otak Sheril masih berpikir, mengingat-ingat siapa sosok di hadapannya, membiarkan laptopnya yang sudah menyala belum terisi satu kalimatpun.
"Oh!" Sheril berseru sendiri saat berhasil mengingat siapa cowok di hadapannya saat ini.
"Lo! Cowok yang gue rebut tadi pagi minumannya iya kan?!" Secara refleks Sheril mengacungkan garpu yang sedang ia pegang tertuju kepada bule tersebut.
Mendengar Sheril terkejut, bule itu kembali mendongkak, matanya menyipit mengingat siapa gadis di hadapannya saat ini.
"A freak girl?" Tanyanya memastikan, Sheril menganga mendengar julukan baru yang di tujukan kepadanya.
Berusaha bersikap profesional, Sheril meletakkan kembali garpu ke atas piring kemudian menangkupkan kedua tangannya secara sopan kepada lelaki bule itu.
"Kǒ tód ká, 죄송합니다 (joesonghabnida), Lo siento, Sorry, Maaf atas kejadian tadi pagi di sekolah. Thank's buat minumannya, sebagai gantinya gue bakal traktir lo hari ini,"
Lelaki bule itu mengerjap lalu menggelengkan kepala. "No problem."
Sheril menutup laptopnya, setelah melihat sosok tampan bak artis-artis yang suka ia follow di akun sosial media lebih menarik ketimbang separagraf huruf-huruf di Microsoft word nya.
Kedua sikut Sheril bertumpu di atas meja, matanya tidak bisa lepas dari sosok di hadapannya ini.
"Kita'kan satu sekolah, satu angkatan, sama-sama murid baru, jadi nama lo siapa?" Tanya Sheril kepo, ia mulai penasaran dengan subjek indah di depannya.
Tidak mendapatkan jawaban, Sheril menoel punggung tangan lelaki itu. "Hey? I'm asking you. What's your name?"
Lelaki bule itu menghela napas, tampak tak berniat menghadapi kebawelan seorang Sheril.
Tidak berminat bicara, lelaki itu memutar balikkan laptop yang sedang ia gunakan. Ia menunjukkan profil singkat mengenai dirinya.
"Martinez Arion Williams," Sheril menggunakan aksen Amerika saat membaca nama tersebut di layar.
"Yang mana nama panggilan lo? Martinez atau Arion?"
"What do you think?" Tanyanya meminta pendapat.
"Kalau nama Arion (dibaca; Ariyen) di Indonesia agak ribet sih ngomongnya," komentar Sheril.
Arion mengangkat kedua alisnya, menunggu Sheril lanjut berbicara.
Sheril menjentikkan jarinya. "Arion , follow me, Ar—Ri—Yon. Orang-orang bisa manggil lo itu atau singkatnya panggil 'Yon' atau 'Ar' aja udah simple. Do you understand what I'm saying?"
"Ar—Ri—Yon. You're absolutely right. Thank you and have a good day!" Pamit Arion, segera ia membawa barang-barangnya dan pergi dari kafe. Memberikan tempat kepada Sheril sebagai ucapan terima kasihnya.
Tatapan Sheril tak lepas dari subjek yang mampu memikat hatinya walau baru dua kali bertemu dan satu kali berbicara. Sheril terus menatap kepergian Arion sampai lelaki itu menghilang di balik pilar teras kafe.
Sheril tidak sadar bahwa sejak hari ini, Arion adalah orbitnya. Dunia Sheril seakan hanya tertuju kepada Arion.
Dan bagi Arion, Sheril adalah salah satu dari sekian banyak bintang yang mengelilinginya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 121 Episodes
Comments