DAKKEN: MARK OF THE CURSED

DAKKEN: MARK OF THE CURSED

Hari disaat Segalanya berubah

Aku berjalan sambil menatap langit yang terasa seperti terus mengawasi. 

Langkahku tak pernah berhenti, tapi entah menuju ke mana. 

Hidupku... membosankan.

Kenapa dunia ini begitu datar? 

Tidak ada sihir, tidak ada peperangan, tidak ada pengkhianatan, tidak ada kehancuran yang dramatis seperti di cerita fantasi. 

Aku justru ingin hidup di dunia seperti itu dunia yang penuh kekacauan tapi setidaknya... terasa hidup.

Kadang aku berpikir: bagaimana jika aku tertabrak truk? 

Mungkin saja aku akan terlempar ke dunia lain. 

Tapi… ah, itu pikiran bodoh. Aku tidak sebodoh itu.

Aku kembali ke rumah. 

Dan seperti biasa... perasaan ini datang lagi.

Kesepian.

Orang tuaku bercerai saat usiaku 14 tahun. 

Awalnya aku tinggal dengan ibu, tapi dia malah sibuk dengan pria barunya. 

Sampai akhirnya, ibu dibunuh pria itu... setelah memergokinya berselingkuh dengan pria lain. 

Lucu ya, betapa hancurnya hidup seseorang bisa terasa seperti lelucon sial. 

Aku tertawa kecil. Entah karena getir... atau sudah pasrah.

Aku masuk ke kamar dan berbaring. 

Kulemparkan diriku ke kasur, menonton film lewat layar kecil smartphone. 

Lalu tertidur tanpa sadar.

Aku terbangun entah jam berapa. 

Kupaksakan tubuhku berdiri, berjalan ke jendela... 

Langit malam. 

Ada sesuatu yang aneh. Bintang? Simbol?

Bentuknya... bukan sesuatu yang pernah kulihat.

Kupandangi terus. 

Tiba-tiba... dadaku terasa seperti ditarik dengan paksa dari dalam. 

Rasa sesak... lalu gelap.

Ketika aku sadar, aku dikelilingi orang-orang asing. 

Mereka memakai pakaian kuno, seperti dari zaman kerajaan.

“Apakah aku... ke masa lalu?” pikirku. 

Tidak mungkin. 

Mana ada hal seperti itu di zaman sekarang?

Mereka berbicara tapi bahasanya asing. 

Aku tidak mengerti sepatah kata pun.

Tiba-tiba kepalaku terasa sakit tajam dan menusuk. 

Aku memegangi kepala, meringis... lalu perlahan rasa sakit itu mereda. 

Anehnya, aku mulai memahami ucapan mereka.

"Baiklah, aku setuju mengeksekusi menggunakan sihir jiwa jika memang tidak bisa dengan cara biasa," ucap seorang pria bermahkota yang duduk di atas takhta. 

Raja...? Sepertinya begitu.

"Baiklah," sahut seorang pendeta tua, menunduk sopan.

Eksekusi? 

Tunggu... siapa yang akan dieksekusi? 

Aku?

Aku berdiri perlahan, masih bingung. 

Seorang pria bertubuh kekar dengan pedang besar maju ke arahku.

"Heh, kau berani berdiri, manusia terkutuk?!" bentaknya sambil menodongkan pedangnya.

Aku hanya tersenyum datar. 

"Tentu, kenapa tidak? Lagian... aku sudah bosan main-main kerajaan begini."

Dia tampak semakin kesal dan siap menebas kepalaku. 

Tapi sebelum pedangnya menyentuhku...

"Sudah cukup, Kerro," ucap pendeta tua itu dengan suara tegas.

Pedang itu berhenti hanya beberapa inci dari leherku. 

Kalau pun kena, sepertinya tidak akan seburuk itu... paling juga kayak pedang hiasan.

"Manusia terkutuk! Jangan lancang di hadapan raja!" hardik pendeta itu padaku.

"Wah, aku takut sekali," ucapku datar, jelas-jelas mengejek.

"Hei, kau sadar tidak posisi kamu sekarang? Kau akan dieksekusi.

Dan bukan dengan cara biasa, tapi dengan *sihir jiwa* sihir yang akan menghancurkan jiwamu... perlahan... dalam waktu satu bulan!" teriaknya.

Aku hanya tertawa kecil mendengar semua itu. 

Lalu menatap langsung ke arah raja di atas takhtanya.

"Oh ya? Satu bulan?" ucapku dengan nada meremehkan. 

"Bagus. Itu waktu yang cukup untuk... menghancurkan dunia ini."

Tentu saja itu cuma candaan. 

Aku hanya sedang menikmati drama mereka.

Namun pendeta itu tampak benar-benar kesal. 

"Dasar manusia terkutuk! Kau hanya menganggap perkataanku candaan?" katanya dengan suara penuh amarah. 

"Kau akan melihatnya nanti."

Lalu dengan suara lantang ia berkata, 

"Kerro, bawa dia ke tempat itu."

Seakan mengerti tanpa penjelasan, pria bernama Kerro itu langsung menarik lenganku dengan kasar. 

Aku bisa mendengar suara tulangku... retak. 

Sakitnya luar biasa, tapi dia tidak peduli.

Tanpa sepatah kata, dia membawaku melewati lorong-lorong gelap hingga tiba di sebuah tempat terbuka. 

Dia membuka sebuah portal cahaya yang berkilau misterius.

Kami melangkah masuk.

Sesaat kemudian, kami tiba di sebuah hutan yang cukup lebat. 

Aku melangkah perlahan, menatap sekeliling.

Lalu aku melihat sesuatu...

Makhluk kecil, berkulit hijau. 

Goblin?

Aku mendecak pelan. 

Wah... niat amat. Mereka sampai nyiapin orang berkostum goblin juga demi drama ini?

Tapi semua berubah saat Kerro bergerak.

Dengan satu ayunan, dia menebas goblin itu tanpa ragu. 

Darah muncrat, mengenai wajah dan bajuku. 

Goblin lain mencoba melawan, tapi dia membantai mereka satu per satu seperti menyapu debu.

Aku... muntah. 

Tubuhku gemetar. 

Itu... itu bukan kostum.

Itu nyata.

Mereka makhluk hidup. Dan sekarang... mayat.

Berarti— 

Aku benar-benar ada di dunia lain...?

Tidak mungkin... tapi aku melihatnya dengan mata kepala sendiri.

Beberapa saat kemudian, Kerro membuka portal lain.

Kami melangkah masuk dan tiba di sebuah bangunan tua, retak, dan gelap. 

Namun di balik reruntuhan itu, Kerro membuka sebuah jalan rahasia ke bawah.

Tanpa bicara, kami masuk ke dalamnya.

Di dalam ruangan bawah tanah itu, bau kematian begitu menyengat. 

Aku melihat sekeliling tengkorak manusia berserakan, bahkan beberapa masih mengenakan sisa-sisa pakaian. 

Sepertinya... mereka juga korban dari tempat ini.

Saat aku masih menatap horor di sekelilingku, tiba-tiba Kerro menyeretku ke tengah lingkaran sihir. 

Tanpa bicara, dia merantaiku, mengikat pergelangan tangan dan kakiku ke paku besi di lantai.

"Hei... apa-apaan ini?" ucapku mencoba berontak. Tapi sia-sia.

Kerro keluar, meninggalkanku sendirian.

Sunyi. Gelap. 

Hanya suara nafasku dan rantai yang berderit pelan.

Beberapa waktu berlalu lalu mereka kembali. 

Kerro dan pendeta tua itu.

Barulah saat itu aku sadar tanganku yang tadi patah sekarang terasa hilang.

 

Rasa nyerinya ikut hilang. Apa yang terjadi.

Pendeta tua itu mendekat, wajahnya penuh kebencian.

Ia mulai merapal mantra. 

Suara sihirnya menggema, gaungnya menyentuh tulang belakangku.

Sakit.

Tubuhku langsung terasa seperti terbakar dari dalam. 

Nafasku tercekik, pakaianku mulai terbakar, kulitku terasa seperti diremas dan dihimpit dari segala arah.

Aku menjerit. Tapi mereka tidak peduli. 

Hanya mantra yang terus berlanjut.

Beberapa menit kemudian ritual itu selesai.

Kerro melemparkan sesuatu padaku

"Ini, pakai."

Sebuah celana lusuh, dilempar ke arahku.

Aku memakainya dengan tubuh gemetar. Napasku berat, tubuhku masih terasa seperti disayat. Jantung ku terasa di deramas.

Dan saat itu, aku benar-benar yakin. 

Ini bukan mimpi.

Aku... benar-benar berada di dunia lain.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!