Jejak Darah

Mayat Putri Fera ditemukan di sebuah lorong sempit dekat pasar utama ibu kota. Tempat itu penuh bau sampah, dinding batu yang dingin dan lembap, serta kegelapan yang seolah menyembunyikan sesuatu lebih dari sekadar kemiskinan.

Aku berdiri di tempat itu, menatap tanah yang becek.

“Apa kau yakin ini tempatnya ditemukan?” tanyaku pada kesatria yang membawaku ke sini.

“Ya. Tubuhnya tergeletak di sini, kepalanya beberapa meter dari tubuhnya. Tapi tak ada saksi.”

Aku berjongkok. Di sana, terlihat jejak sepatu berat, simetris, dan dalam. Ukurannya seperti milik kesatria. Tapi... arah jejak itu hanya satu menuju tempat tubuh Fera ditemukan. Tidak ada jejak keluar.

"Seolah pelakunya muncul begitu saja… lalu menghilang ke udara," gumamku. Dingin merambat ke punggungku.

“Pelakunya pasti menggunakan sihir tingkat tinggi. Kemungkinan... sihir dimensi,” ucapku sambil menatap langit yang mulai kelabu.

Sihir dimensi. Itu menjelaskan mengapa tidak ada jejak keluar. Tapi hanya sedikit yang bisa menggunakan itu, dan penggunaannya... dilarang di dalam kota.

“Siapa saja pengguna sihir dimensi yang dikenal di kalangan militer?” tanyaku.

Kesatria itu berpikir sejenak. “Ada satu... mantan ksatria agung. Tapi dia sudah menghilang bertahun-tahun. Lalu...”

“Lalu?”

“...Kerro. Dia pernah dituduh mempelajari sihir terlarang saat muda. Tapi kasusnya ditutup karena kurang bukti.”

Kerro. Lagi-lagi namanya muncul. Tapi tak bisa kupastikan hanya dengan tuduhan lama.

Aku memutuskan untuk kembali ke istana dan memeriksa armor dan sepatu para kesatria. Jika jejak itu cocok dengan siapa pun... aku bisa mengaitkannya ke lokasi pembunuhan.

Ah setelah ku lihat tidak ada yang sama.

Aku berjalan-jalan di kota, berharap bisa menjernihkan pikiranku yang mulai terasa berat seperti batu basah. Langkahku tak tentu arah, tapi pikiranku tertuju pada satu nama yang terus berputar-putar seperti mantra kutukan.

Kerro. 

Kenapa dia masih bekerja dengan raja? Padahal dia pernah dituduh mempelajari sihir terlarang—dan katanya, dia bahkan sempat menghilang. Kenapa dia tetap dipercaya?

Di tengah keramaian pasar, mataku menangkap sekelompok pendeta tengah berkerumun. Jubah mereka berkibar pelan ditiup angin, seolah menyembunyikan sesuatu lebih dari tubuh mereka.

Pendeta... pikiranku langsung terlempar pada pendeta yang dulu menanamkan sihir jiwa padaku. Sosok yang tenang namun menyimpan sesuatu yang tak bisa kujelaskan. Sialan. Dia terasa... terlalu sunyi.

Aku menggeleng cepat, mencoba mengusir pikiran itu, dan kembali menatap catatan penyelidikan. Saat melihat kembali tubuh Putri Fera yang sudah dibawa ke ruang pemakaman kerajaan aku melihat sesuatu yang membuat jantungku berhenti sepersekian detik.

Sebuah lingkaran sihir. 

Bukan, itu bukan sekadar ukiran biasa. Itu seperti... formula pemotongan. Lingkaran itu mungkin alat untuk memisahkan kepala dari tubuhnya. Pembunuhan ini bukan hanya brutal, ini sudah di rencanakan?

Aku mengerang pelan. Haruskah aku kabur saja dari semua ini? Hidup di luar, jauh dari kerajaan, jadi pengembara tanpa tujuan?

Tapi... aku bahkan tidak bisa masak. Sial.

Lebih baik aku selesaikan ini. Dan satu-satunya orang yang bisa kujadikan sumber info saat ini adalah Clara.

***

Aku menemukannya berdiri diam di depan makam pangeran Kenta. Wajahnya seperti langit mendung yang menahan hujan.

“Hei, Clara. Aku mau tanya sesuatu,” ucapku.

“Apa? Cepatlah,” sahutnya dingin.

Aku melangkah, tapi tanah di bawahku licin. Kaki tergelincir, tubuhku limbung dan—

BRUK!

Aku jatuh tepat ke arah makam. Tanahnya amblas. Longsor. Dan bau menyengat seperti bangkai tua menyambutku.

Mayat pangeran Kenta... hilang, seperti nya sudah lama hilang.

Clara menatapku dengan ekspresi campur aduk antara kaget dan ingin membunuhku di tempat.

“Apa... maaf. Tapi kenapa mayatnya hilang?” tanyaku, bangkit sambil menahan jijik.

“Jangan-jangan... dicuri?” gumam Clara, matanya menatap nisan yang retak.

“Entahlah,” aku mengangkat bahu. “Tapi aku tetap mau tanya sesuatu.”

“Setelah kau hancurkan makam keluarga kerajaan, sekarang kau mementingkan pertanyaan bodohmu?” Clara mendesis.

“Oh, ayolah. Mayatnya juga hilang, kan?” Aku menepis debu dari bajuku. “Pertanyaanku: kenapa kau bisa tiba-tiba muncul dan memegang tanganku di lorong itu?”

Clara terdiam sebentar, lalu menghela napas.

“Itu karena... beberapa menit sebelum aku menemukan Putri Fera, ada seorang laki-laki tua memberitahuku tentang pembunuhan di dalam lorong itu,” ucapnya lirih.

Laki-laki tua? Siapa dia?

“Oh... baiklah. Aku pergi dulu.”

“HEI! Tanggung jawab, dasar penghancur makam!” teriak Clara.

Tapi aku sudah menjauh. Biarkan dia marah. Saat ini... terlalu banyak teka-teki dan hanya sedikit waktu.

Saat aku berjalan menjauh, tiba-tiba pikiranku menjerit, "Astaga!" Aku berhenti mendadak. Aku lupa satu hal penting—aku belum menanyakan ciri-ciri pria tua itu pada Clara.

Dengan langkah cepat, aku kembali ke makam pangeran Kenta. Di sana, Clara masih sibuk memperbaiki gundukan tanah yang longsor. Tangannya gemetar, entah karena marah... atau karena bingung.

"Clara, apa ciri-ciri pria tua itu?" tanyaku tanpa basa-basi.

Dia menoleh tajam. "Apa... setelah menghancurkan makam dan membuatku malu, kau malah kembali hanya untuk bertanya tentang urusanmu sendiri?"

"Aku tanya sekali lagi... kau ingin tahu siapa pembunuh Putri Fera atau tidak?" balasku dingin.

"Tentu saja aku ingin! Tapi kau ini—setidaknya minta maaf!" bentak Clara.

"Kalau begitu, katakan saja," jawabku tegas.

Dia mendengus, seperti hendak memuntahkan segala kekesalan dalam satu napas. "Kau emang manusia terkutuk..." gumamnya, lalu melanjutkan, "Pria itu... ada tanda di lehernya. Simbol aneh. Seperti ukiran sihir yang membekas di kulitnya."

Mataku menyipit. Sebuah simbol? Mungkin ancaman itu bukan hanya kata-kata. Mungkin dia... budak dari sihir yang lebih kuat. Kalau dia bicara, bisa saja tubuhnya hancur tanpa jejak. Tapi tetap saja, aku harus mencobanya.

Tanpa sepatah kata lagi, aku meninggalkan Clara.

Di pusat kota, aku melihat pria tua itu di sebuah kedai kecil. Ia duduk di sudut bersama cucu perempuannya, tertawa pelan sambil memainkan boneka kayu lusuh. Momen damai itu seolah melawan waktu yang tengah runtuh di luar.

Aku mendekat, mengacak suasana dengan langkah berat.

“Hei, kakek tua. Kau harus ikut aku sebentar,” kataku, suara serendah desir angin sebelum badai.

“Maaf, aku tak punya waktu untuk urusanmu,” jawabnya tanpa menoleh.

“Oh, sayangnya... kau punya waktu,” sahutku sambil menyeringai tipis.

Dia menghela napas. “Auria, masuklah ke dalam,” bisiknya kepada cucunya. Gadis kecil itu memeluk bonekanya dan berlari masuk tanpa sepatah kata pun.

Kami berdiri berhadapan dalam diam. Matanya menyiratkan ketakutan yang dalam, seperti ada hantu di balik retina matanya yang keruh.

“Dari mana kau tahu tentang sesuatu yang mencurigakan di lorong dekat pasar? Dan kenapa kau menyampaikannya ke kesatria?” tanyaku langsung.

“Aku melihat seseorang masuk ke sana bersama Putri Fera,” jawabnya singkat.

“Tapi kau bilang kepada kesatria bahwa ada pembunuhan. Bukan cuma ‘melihat’. Itu lebih dari sekadar firasat.”

Dia menelan ludah. “Itu cuma... firasatku. Dia tampak mencurigakan.”

“Firasat bukanlah alibi. Katakan yang sebenarnya,” desakku.

Dia membeku. Tangannya mengepal di atas meja kayu yang mulai berderit seakan bisa merasakan ketegangan.

“Aku tidak akan bilang!” bentaknya.

“Kau sedang diancam, bukan?”

Dia memejamkan mata. “Benar. Kalau aku bicara... aku akan mati.”

Aku mencondongkan tubuhku sedikit, suara turun menjadi bisikan tajam, dingin seperti embun beku. “Kau akan mati juga suatu saat nanti. Tapi setidaknya... mati dengan berguna untuk kerajaan ini.”

Matanya perlahan terbuka. Ragu. Tapi juga sadar.

Wajah kakek tua itu terlihat suram. Napasnya berat, matanya berkaca-kaca seolah membawa beban yang tak bisa dia ceritakan pada siapa pun.

“Aku... aku sudah terlalu tua untuk melawan. Tapi cucuku… dia masih kecil. Jika aku berbicara, dia yang akan jadi korban.” Suaranya gemetar, seperti suara pintu kayu tua yang hendak runtuh diterpa angin.

Aku menatap matanya dalam-dalam. “Kalau begitu, aku akan melindunginya. Tapi kau harus bicara sekarang juga. Ini bukan tentang dirimu saja. Ini tentang kebenaran yang bisa menyelamatkan nyawa banyak orang.”

Dia menarik napas panjang. Lalu mengangguk perlahan.

“Aku tak tahu nama pria itu… tapi dia memakai jubah seperti kesatria. Ada simbol bulan sabit di bagian dadanya… dan… dan dia tak berjalan seperti orang biasa. Seolah langkahnya… melayang.”

Aku membeku.

Simbol bulan sabit… langkah seperti melayang… ?

“Tapi dia... dia muncul dari dalam bayangan, dari celah di antara tembok. Seperti kabut… tapi hitam.” lanjut si kakek, suaranya mulai pecah.

Hatiku menegang. Kerro

“Kenapa dia mengincar Putri Fera?” tanyaku, masih berusaha memancing informasi lebih.

Kakek itu menunduk. “aku tidak tahu.”

Aku mencatat semua itu dalam.

Saat aku berbalik, kepala kakek itu terpisah dari tubuhnya—terlempar seperti daun kering diterpa badai. Sama persis seperti yang terjadi pada Putri Fera.

"Semoga kau tenang di alam sana," gumamku pelan.

Beberapa kesatria segera menghampiri dan menanyakan apa yang terjadi. Aku hanya menjawab bahwa kakek itu telah dibunuh oleh pembunuh yang sama dengan Putri Fera. Mereka percaya.

Aku menghampiri cucu kakek itu dan membawanya bersamaku menuju istana.

Di depan raja, aku mengatakan bahwa aku bertanggung jawab atas kejadian itu dan bahwa aku telah berjanji pada sang kakek untuk merawat cucunya. Tapi... pada akhirnya, aku menyerahkan anak itu pada raja—agar langkahku tidak terbebani oleh kehadirannya.

Raja menerima anak kecil bernama Auria itu untuk tinggal di istana. Aku pun melanjutkan penyelidikan.

Aku sudah yakin Kerro adalah pelakunya.

Aku menghela napas panjang, lalu memutuskan untuk kembali ke tempat di mana aku menerima sihir kutukan ini.

Aku meminta raja untuk mengantarkanku ke sana, tapi ia menolak.

"Kenapa? Itu penting bagi penyelidikan," ucapku tegas.

"Ah... baiklah. Lakukan apa pun yang kau mau. Clara, antarkan dia," jawab raja akhirnya.

Aku berangkat bersama Clara dan beberapa anak buahnya. Saat sampai, kami masuk ke dalam tempat itu—tempat gelap yang menyimpan luka masa lalu.

Di sana, aku melihat Kerro sedang mengenakan armor besi. Tapi yang membuat darahku membeku adalah simbol bulan sabit di dadanya. Simbol terkutuk.

Kakek itu benar... dia pembunuhnya.

"Kau sudah datang," ucap Kerro.

"Clara, tangkap dia sekarang!" seruku, penuh semangat. Kupikir ini akhir dari penderitaan, awal dari kebebasan. Tapi harapan itu hancur seketika.

"Kak Kerro... kau masih hidup?" ucap Clara. Ia mengenali suara itu. Bahkan sebelum melihat wajahnya.

Clara membuka penutup matanya. Tapi saat hendak menatap wajah Kerro—matanya dipotong seketika. Darahnya meluncur seperti hujan merah di lantai kegelapan.

Anak buah Clara pun dibantai. Tubuh mereka berjatuhan tanpa sempat menghela napas terakhir.

“Dasar Kerro sialan!” geramku. Aku melemparkan pedang ke arahnya, tapi pedang itu hanya menembus tubuhnya seolah dia bayangan.

"Serangan yang tak berguna," ucapnya dengan suara kosong.

Aku melirik ke arah Clara—matanya telah hancur. Kupikir dia tak bisa bertarung lagi. Tapi ternyata aku salah. Clara bangkit, tubuhnya goyah namun penuh dendam. Ia menerjang, dan untuk pertama kalinya, Kerro terluka.

Mereka bertarung sengit. Suara dentuman, gesekan logam, dan teriakan menyatu menjadi lagu kematian. Tapi meski pertarungan berlangsung lama, Kerro hanya luka ringan. Clara, sebaliknya, hampir tumbang.

"Kerro... kau yang membunuh Putri Fera, kan?" tanyaku mendekat.

"Ya, benar. Mungkin sekarang kau harus kabur," jawabnya enteng.

Aku memberi isyarat ke Clara untuk mundur. Dia mengangguk.

"Aku akan membiarkan kalian kabur... karena tak ada perintah untuk membunuh kalian," ucap Kerro sambil membelakangi kami.

Tanpa ragu, kami pun melarikan diri secepat mungkin. Malam itu, kami kembali ke kerajaan—bukan dengan kemenangan, tapi dengan luka dan kebenaran yang lebih mengerikan dari kematian.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!