Kematian?

Setelah ritual itu selesai, aku merasa ada yang aneh dengan tubuhku. Mungkin sihir itu benar-benar nyata. Ah, sial...

"Baiklah, ritual sudah selesai. Kerro, bawa dia ke suatu tempat," kata pendeta itu sambil menghela napas dan tersenyum tipis. Dia lalu mendekat ke telinga Kerro dan berbisik, "Bawa dia ke sarang monster."

Kerro tanpa banyak bicara langsung menarik kakiku dan menyeretku menuju sebuah gua.

"Kau, masuklah ke sana. Itu adalah tempat tinggalmu," katanya sambil menunjuk ke arah gua yang tampak gelap dan menyeramkan.

Aku langsung merasa ada sesuatu yang mengerikan di dalam gua itu.

"Oh, baiklah," jawabku dengan senyum palsu.

Ya, aku nggak akan masuk ke tempat itu. Orang bodoh mana yang beneran mau ngelakuin hal kayak begitu?

"Oh, kalau begitu silakan masuk," kata Kerro sambil mencoba mendorongku.

"Oh, enggak... nanti aja. Aku mau lihat-lihat dulu," jawabku sambil menjaga jarak.

"Baiklah. Aku akan pergi, aku ada urusan," ucap Kerro sambil berjalan menjauh.

Oh, bagus. Dia sudah pergi. Sebaiknya aku kabur sekarang juga. Mungkin Kerro bakal balik lagi ke sini. Sepertinya tempat ini jauh di dalam hutan...

Saat aku berjalan, mengikuti jejak samar di tanah, aku melihat beberapa orang yang membawa pedang dan tongkat sihir. 

Ya, kalau aku tiba-tiba bertanya ke mereka, mungkin aku langsung dibunuh. Dunia ini terasa nggak ramah.

Oh iya, aku baru sadar... kenapa ada simbol aneh di dadaku? 

Mungkin ini tanda bahwa aku memang orang terkutuk. Efek dari ritual aneh itu, bajuku terbakar. Untungnya, mereka masih memberiku celana. 

Tapi tetap saja, simbol ini mencolok. Aku harus menutupinya.

Hmm... pakai apa? 

Daun? 

Ah, ya udahlah. Gak ada pilihan lain.

Aku mengambil daun yang cukup besar untuk menutupi simbol itu, lalu mengikatnya dengan tanaman merambat yang kutemukan di sekitar.

"Hei, bisakah aku minta tolong?" kataku sambil berpura-pura lemah.

Seorang pria yang terlihat terlalu bersemangat langsung menghampiriku.

"Oh, hai! Aku bisa membantu. Apa masalahmu?" katanya ceria.

Cih, kenapa wajahnya ngeselin banget...

"Terima kasih, aku sedang berjalan menuju kota, tapi aku diserang bandit. Mereka mengambil pakaianku dan meninggalkanku di tengah hutan," ucapku, menunjukkan ekspresi sedikit kesakitan. Walaupun ya... cuma akting.

"Oh, baiklah! Aku akan mengantarmu. Kami juga mau ke kota," kata pria itu dengan senyum ramah.

Baiklah, sekarang aku punya jalan ke kota. Mungkin nanti aku bisa minta uang... atau lebih realistis, aku ngutang dulu. Kalau maksa, bisa-bisa aku dihajar.

"Oh iya, namamu siapa?" tanyaku.

"Namaku Miguel. Oh iya, kau kerja sebagai apa?" tanyanya sambil merangkul pundakku.

"Oh, aku pedagang. Baru mulai sih, tapi malah diserang bandit. Sekarang duitku udah gak ada," jawabku, berusaha terdengar sedikit sedih.

"Oh begitu... ya aku bisa sih kasih uang. Tapi kau harus balikin ya, kalau udah sukses nanti," Miguel tersenyum, bahkan sempat mengelus kepalaku.

"Oh, baiklah. Kalau begitu..."

Sekarang yang jadi masalah adalah sihir jiwa sialan ini. 

Bagaimana cara membatalkannya?

Kulihat dari kalung yang mereka pakai, mereka tampaknya peringkat silver. Sepertinya mereka bukan tipe yang tahu soal sihir tingkat tinggi. Bertanya terlalu banyak malah bikin curiga.

Setelah cukup lama berjalan, akhirnya aku sampai di kota. Aku berpisah dari mereka dan berjalan sebentar untuk membeli baju.

Baju sudah kudapatkan. Sekarang, mungkin aku akan ke pasar... beli roti.

Saat berjalan di antara keramaian pasar, entah kenapa, ada seorang gadis cantik menghampiriku. 

Mungkin dia sedang menawarkan makanan dari restorannya?

"Oh, hai. Aku ingin berbicara denganmu, ikut aku," katanya sambil tersenyum.

"Oh, baiklah," jawabku dengan suara datar.

Tapi dalam hati, aku tahu ini keputusan bodoh. Mengikuti orang yang nggak kukenal... apalagi statusku sekarang adalah manusia terkutuk. 

Tapi mungkin informasi tentangku disembunyikan dari rakyat biasa, biar nggak bikin kepanikan.

Kami berjalan menuju tempat yang sepi.

"Oke, sepertinya tempat ini cocok. Perkenalkan, namaku Fera. Aku adalah anak dari raja," ucapnya sambil tersenyum.

Anak raja? Tapi kenapa dia manggil aku?

"Aku sudah tahu, kau adalah manusia terkutuk," ucap Fera dengan tenang.

Ternyata dia tahu... 

Apakah aku harus membunuhnya? Tapi itu ide buruk. Bisa saja dia punya kemampuan bertarung yang tinggi.

"Oh, begitu. Tapi kenapa kau membawaku ke tempat sepi?" tanyaku, tetap menjaga nada suaraku biasa saja.

"Aku hanya ingin memastikan... kenapa ayahku memutuskan untuk membiarkan manusia terkutuk tetap hidup. Dan ternyata... wajahmu sangat mirip dengan kakakku," katanya sambil menatap kosong, seperti sedang mengingat sesuatu yang menyakitkan.

Sepertinya... kakaknya sudah meninggal. Dan kebetulan wajahku mirip?

"Oh iya, siapa namamu?" tanya Fera.

"Namaku Dakken," jawabku, sambil mencoba membaca maksud dari semua ini.

"Aku ingin bertanya... kenapa aku disebut manusia terkutuk?"

"Oh, itu karena kau memiliki simbol di dadamu, kan? Simbol itu disebut 'Bintang'," jelas Fera.

"Dan kenapa simbol bintang itu penting?" tanyaku lagi.

"Itu karena orang yang memiliki simbol bintang adalah bagian dari ras yang tidak diketahui asalnya. Mereka datang dari luar angkasa dan menghancurkan banyak tempat di dunia ini. Tapi manusia akhirnya bangkit dan berhasil mengalahkan mereka. 

Masalahnya, beberapa manusia diberi kekuatan oleh mereka... dan karena itulah mereka dianggap terkutuk. 

Walaupun yang diberi kekuatan itu nggak tahu apa-apa, mereka tetap dicap berbahaya."

Dia menjelaskan dengan cukup detail... tapi aku bisa melihat dari matanya—dia tidak mengatakan semuanya.

"Oh... baiklah. Itu cukup," jawabku, lalu berbalik dan berjalan pergi.

Saat aku berjalan pergi, tiba-tiba tanganku dipegang oleh seseorang.

Aku menghela napas pelan. 

Ah... ini udah jelas, pasti Fera lagi.

Tapi saat aku menoleh ke belakang... yang kulihat bukan Fera. 

Tanganku sedang dipegang oleh seorang kesatria berpakaian zirah penuh.

Dan ketika aku mencoba mencari Fera... 

Tubuhnya tergeletak di tanah. 

Kepalanya... sudah putus dari tubuhnya.

Mataku membelalak. Apa yang baru saja terjadi? 

Kesatria ini... yang membunuh Fera? 

Tapi di zirahnya sama sekali nggak ada bercak darah.

Dia menatapku tajam, napasnya berat seperti menahan amarah.

"Kau... yang membunuh Putri Fera," ucapnya dingin, suaranya seperti menusuk tulang. 

Aura yang keluar dari tubuhnya terasa seperti... Ingin membunuh.

Saat aku hendak dibawa pergi, pikiranku dihantui oleh satu hal—kematian. Tapi bukan kematian yang heroik atau tragis... 

Ini kematian yang paling tidak kuinginkan. 

Kematian yang membuatku tampak seperti lelucon dunia. 

Kematian sebagai kambing hitam.

Tidak, tidak. Aku tidak akan membiarkan itu terjadi.

Tanpa berpikir panjang, aku menendang kepala kesatria itu dengan sekuat tenaga. Tapi seperti menendang batu karang, kakinya tidak bergeming. 

Dengan gerakan secepat kilat, dia menangkap kakiku di udara. Seolah gravitasi sendiri tunduk padanya.

"Kau masih berani melawan?" gumamnya dingin, hampir seperti bisikan kematian. 

"Kalau begitu... mungkin akan lebih baik kalau aku membawa kepalamu saja ke hadapan Raja," lanjutnya, sembari menghunus pedang yang bersinar pucat di bawah cahaya senja.

Aku menggeliat, berusaha melepaskan kakiku dari cengkeramannya. 

Dan entah bagaimana... aku berhasil.

Segera, aku berbalik dan berlari secepat mungkin, menyusuri semak-semak yang seolah mencemooh pelarianku. 

Tapi baru beberapa langkah

Leherku terasa aneh. 

Sangat aneh.

Seperti ada tali tak kasat mata yang melewati leher ku.

Saraf-saraf ku mulai beku, seperti tubuhku dikubur dalam es tak bernama.

Pandangan mulai kabur... 

Cahaya mulai lari dari mataku... 

Lidahku mati rasa... 

Lalu— 

Gelap.

...---...

...— POV Kesatria —...

"Sudah kuduga dia akan mencoba melawan," gumamku sambil menatap kepala yang kini kupeluk seperti trofi perang. 

"Aku akan membawa kepalamu ke Raja... manusia terkutuk."

Tidak ada emosi. Tidak ada puas. Hanya tugas.

Aku memberi isyarat pada anak buahku. Mereka muncul dari balik bayangan seperti roh penjaga malam.

"Bawakan mayat Putri Fera. Dengan hati-hati. Jika kepala itu tergores... kalian akan menyusulnya."

Angin malam menyapu pelan, seolah membisikkan doa bagi yang mati dan kutukan bagi yang hidup.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!