NovelToon NovelToon

DAKKEN: MARK OF THE CURSED

Hari disaat Segalanya berubah

Aku berjalan sambil menatap langit yang terasa seperti terus mengawasi. 

Langkahku tak pernah berhenti, tapi entah menuju ke mana. 

Hidupku... membosankan.

Kenapa dunia ini begitu datar? 

Tidak ada sihir, tidak ada peperangan, tidak ada pengkhianatan, tidak ada kehancuran yang dramatis seperti di cerita fantasi. 

Aku justru ingin hidup di dunia seperti itu dunia yang penuh kekacauan tapi setidaknya... terasa hidup.

Kadang aku berpikir: bagaimana jika aku tertabrak truk? 

Mungkin saja aku akan terlempar ke dunia lain. 

Tapi… ah, itu pikiran bodoh. Aku tidak sebodoh itu.

Aku kembali ke rumah. 

Dan seperti biasa... perasaan ini datang lagi.

Kesepian.

Orang tuaku bercerai saat usiaku 14 tahun. 

Awalnya aku tinggal dengan ibu, tapi dia malah sibuk dengan pria barunya. 

Sampai akhirnya, ibu dibunuh pria itu... setelah memergokinya berselingkuh dengan pria lain. 

Lucu ya, betapa hancurnya hidup seseorang bisa terasa seperti lelucon sial. 

Aku tertawa kecil. Entah karena getir... atau sudah pasrah.

Aku masuk ke kamar dan berbaring. 

Kulemparkan diriku ke kasur, menonton film lewat layar kecil smartphone. 

Lalu tertidur tanpa sadar.

Aku terbangun entah jam berapa. 

Kupaksakan tubuhku berdiri, berjalan ke jendela... 

Langit malam. 

Ada sesuatu yang aneh. Bintang? Simbol?

Bentuknya... bukan sesuatu yang pernah kulihat.

Kupandangi terus. 

Tiba-tiba... dadaku terasa seperti ditarik dengan paksa dari dalam. 

Rasa sesak... lalu gelap.

Ketika aku sadar, aku dikelilingi orang-orang asing. 

Mereka memakai pakaian kuno, seperti dari zaman kerajaan.

“Apakah aku... ke masa lalu?” pikirku. 

Tidak mungkin. 

Mana ada hal seperti itu di zaman sekarang?

Mereka berbicara tapi bahasanya asing. 

Aku tidak mengerti sepatah kata pun.

Tiba-tiba kepalaku terasa sakit tajam dan menusuk. 

Aku memegangi kepala, meringis... lalu perlahan rasa sakit itu mereda. 

Anehnya, aku mulai memahami ucapan mereka.

"Baiklah, aku setuju mengeksekusi menggunakan sihir jiwa jika memang tidak bisa dengan cara biasa," ucap seorang pria bermahkota yang duduk di atas takhta. 

Raja...? Sepertinya begitu.

"Baiklah," sahut seorang pendeta tua, menunduk sopan.

Eksekusi? 

Tunggu... siapa yang akan dieksekusi? 

Aku?

Aku berdiri perlahan, masih bingung. 

Seorang pria bertubuh kekar dengan pedang besar maju ke arahku.

"Heh, kau berani berdiri, manusia terkutuk?!" bentaknya sambil menodongkan pedangnya.

Aku hanya tersenyum datar. 

"Tentu, kenapa tidak? Lagian... aku sudah bosan main-main kerajaan begini."

Dia tampak semakin kesal dan siap menebas kepalaku. 

Tapi sebelum pedangnya menyentuhku...

"Sudah cukup, Kerro," ucap pendeta tua itu dengan suara tegas.

Pedang itu berhenti hanya beberapa inci dari leherku. 

Kalau pun kena, sepertinya tidak akan seburuk itu... paling juga kayak pedang hiasan.

"Manusia terkutuk! Jangan lancang di hadapan raja!" hardik pendeta itu padaku.

"Wah, aku takut sekali," ucapku datar, jelas-jelas mengejek.

"Hei, kau sadar tidak posisi kamu sekarang? Kau akan dieksekusi.

Dan bukan dengan cara biasa, tapi dengan *sihir jiwa* sihir yang akan menghancurkan jiwamu... perlahan... dalam waktu satu bulan!" teriaknya.

Aku hanya tertawa kecil mendengar semua itu. 

Lalu menatap langsung ke arah raja di atas takhtanya.

"Oh ya? Satu bulan?" ucapku dengan nada meremehkan. 

"Bagus. Itu waktu yang cukup untuk... menghancurkan dunia ini."

Tentu saja itu cuma candaan. 

Aku hanya sedang menikmati drama mereka.

Namun pendeta itu tampak benar-benar kesal. 

"Dasar manusia terkutuk! Kau hanya menganggap perkataanku candaan?" katanya dengan suara penuh amarah. 

"Kau akan melihatnya nanti."

Lalu dengan suara lantang ia berkata, 

"Kerro, bawa dia ke tempat itu."

Seakan mengerti tanpa penjelasan, pria bernama Kerro itu langsung menarik lenganku dengan kasar. 

Aku bisa mendengar suara tulangku... retak. 

Sakitnya luar biasa, tapi dia tidak peduli.

Tanpa sepatah kata, dia membawaku melewati lorong-lorong gelap hingga tiba di sebuah tempat terbuka. 

Dia membuka sebuah portal cahaya yang berkilau misterius.

Kami melangkah masuk.

Sesaat kemudian, kami tiba di sebuah hutan yang cukup lebat. 

Aku melangkah perlahan, menatap sekeliling.

Lalu aku melihat sesuatu...

Makhluk kecil, berkulit hijau. 

Goblin?

Aku mendecak pelan. 

Wah... niat amat. Mereka sampai nyiapin orang berkostum goblin juga demi drama ini?

Tapi semua berubah saat Kerro bergerak.

Dengan satu ayunan, dia menebas goblin itu tanpa ragu. 

Darah muncrat, mengenai wajah dan bajuku. 

Goblin lain mencoba melawan, tapi dia membantai mereka satu per satu seperti menyapu debu.

Aku... muntah. 

Tubuhku gemetar. 

Itu... itu bukan kostum.

Itu nyata.

Mereka makhluk hidup. Dan sekarang... mayat.

Berarti— 

Aku benar-benar ada di dunia lain...?

Tidak mungkin... tapi aku melihatnya dengan mata kepala sendiri.

Beberapa saat kemudian, Kerro membuka portal lain.

Kami melangkah masuk dan tiba di sebuah bangunan tua, retak, dan gelap. 

Namun di balik reruntuhan itu, Kerro membuka sebuah jalan rahasia ke bawah.

Tanpa bicara, kami masuk ke dalamnya.

Di dalam ruangan bawah tanah itu, bau kematian begitu menyengat. 

Aku melihat sekeliling tengkorak manusia berserakan, bahkan beberapa masih mengenakan sisa-sisa pakaian. 

Sepertinya... mereka juga korban dari tempat ini.

Saat aku masih menatap horor di sekelilingku, tiba-tiba Kerro menyeretku ke tengah lingkaran sihir. 

Tanpa bicara, dia merantaiku, mengikat pergelangan tangan dan kakiku ke paku besi di lantai.

"Hei... apa-apaan ini?" ucapku mencoba berontak. Tapi sia-sia.

Kerro keluar, meninggalkanku sendirian.

Sunyi. Gelap. 

Hanya suara nafasku dan rantai yang berderit pelan.

Beberapa waktu berlalu lalu mereka kembali. 

Kerro dan pendeta tua itu.

Barulah saat itu aku sadar tanganku yang tadi patah sekarang terasa hilang.

 

Rasa nyerinya ikut hilang. Apa yang terjadi.

Pendeta tua itu mendekat, wajahnya penuh kebencian.

Ia mulai merapal mantra. 

Suara sihirnya menggema, gaungnya menyentuh tulang belakangku.

Sakit.

Tubuhku langsung terasa seperti terbakar dari dalam. 

Nafasku tercekik, pakaianku mulai terbakar, kulitku terasa seperti diremas dan dihimpit dari segala arah.

Aku menjerit. Tapi mereka tidak peduli. 

Hanya mantra yang terus berlanjut.

Beberapa menit kemudian ritual itu selesai.

Kerro melemparkan sesuatu padaku

"Ini, pakai."

Sebuah celana lusuh, dilempar ke arahku.

Aku memakainya dengan tubuh gemetar. Napasku berat, tubuhku masih terasa seperti disayat. Jantung ku terasa di deramas.

Dan saat itu, aku benar-benar yakin. 

Ini bukan mimpi.

Aku... benar-benar berada di dunia lain.

Kematian?

Setelah ritual itu selesai, aku merasa ada yang aneh dengan tubuhku. Mungkin sihir itu benar-benar nyata. Ah, sial...

"Baiklah, ritual sudah selesai. Kerro, bawa dia ke suatu tempat," kata pendeta itu sambil menghela napas dan tersenyum tipis. Dia lalu mendekat ke telinga Kerro dan berbisik, "Bawa dia ke sarang monster."

Kerro tanpa banyak bicara langsung menarik kakiku dan menyeretku menuju sebuah gua.

"Kau, masuklah ke sana. Itu adalah tempat tinggalmu," katanya sambil menunjuk ke arah gua yang tampak gelap dan menyeramkan.

Aku langsung merasa ada sesuatu yang mengerikan di dalam gua itu.

"Oh, baiklah," jawabku dengan senyum palsu.

Ya, aku nggak akan masuk ke tempat itu. Orang bodoh mana yang beneran mau ngelakuin hal kayak begitu?

"Oh, kalau begitu silakan masuk," kata Kerro sambil mencoba mendorongku.

"Oh, enggak... nanti aja. Aku mau lihat-lihat dulu," jawabku sambil menjaga jarak.

"Baiklah. Aku akan pergi, aku ada urusan," ucap Kerro sambil berjalan menjauh.

Oh, bagus. Dia sudah pergi. Sebaiknya aku kabur sekarang juga. Mungkin Kerro bakal balik lagi ke sini. Sepertinya tempat ini jauh di dalam hutan...

Saat aku berjalan, mengikuti jejak samar di tanah, aku melihat beberapa orang yang membawa pedang dan tongkat sihir. 

Ya, kalau aku tiba-tiba bertanya ke mereka, mungkin aku langsung dibunuh. Dunia ini terasa nggak ramah.

Oh iya, aku baru sadar... kenapa ada simbol aneh di dadaku? 

Mungkin ini tanda bahwa aku memang orang terkutuk. Efek dari ritual aneh itu, bajuku terbakar. Untungnya, mereka masih memberiku celana. 

Tapi tetap saja, simbol ini mencolok. Aku harus menutupinya.

Hmm... pakai apa? 

Daun? 

Ah, ya udahlah. Gak ada pilihan lain.

Aku mengambil daun yang cukup besar untuk menutupi simbol itu, lalu mengikatnya dengan tanaman merambat yang kutemukan di sekitar.

"Hei, bisakah aku minta tolong?" kataku sambil berpura-pura lemah.

Seorang pria yang terlihat terlalu bersemangat langsung menghampiriku.

"Oh, hai! Aku bisa membantu. Apa masalahmu?" katanya ceria.

Cih, kenapa wajahnya ngeselin banget...

"Terima kasih, aku sedang berjalan menuju kota, tapi aku diserang bandit. Mereka mengambil pakaianku dan meninggalkanku di tengah hutan," ucapku, menunjukkan ekspresi sedikit kesakitan. Walaupun ya... cuma akting.

"Oh, baiklah! Aku akan mengantarmu. Kami juga mau ke kota," kata pria itu dengan senyum ramah.

Baiklah, sekarang aku punya jalan ke kota. Mungkin nanti aku bisa minta uang... atau lebih realistis, aku ngutang dulu. Kalau maksa, bisa-bisa aku dihajar.

"Oh iya, namamu siapa?" tanyaku.

"Namaku Miguel. Oh iya, kau kerja sebagai apa?" tanyanya sambil merangkul pundakku.

"Oh, aku pedagang. Baru mulai sih, tapi malah diserang bandit. Sekarang duitku udah gak ada," jawabku, berusaha terdengar sedikit sedih.

"Oh begitu... ya aku bisa sih kasih uang. Tapi kau harus balikin ya, kalau udah sukses nanti," Miguel tersenyum, bahkan sempat mengelus kepalaku.

"Oh, baiklah. Kalau begitu..."

Sekarang yang jadi masalah adalah sihir jiwa sialan ini. 

Bagaimana cara membatalkannya?

Kulihat dari kalung yang mereka pakai, mereka tampaknya peringkat silver. Sepertinya mereka bukan tipe yang tahu soal sihir tingkat tinggi. Bertanya terlalu banyak malah bikin curiga.

Setelah cukup lama berjalan, akhirnya aku sampai di kota. Aku berpisah dari mereka dan berjalan sebentar untuk membeli baju.

Baju sudah kudapatkan. Sekarang, mungkin aku akan ke pasar... beli roti.

Saat berjalan di antara keramaian pasar, entah kenapa, ada seorang gadis cantik menghampiriku. 

Mungkin dia sedang menawarkan makanan dari restorannya?

"Oh, hai. Aku ingin berbicara denganmu, ikut aku," katanya sambil tersenyum.

"Oh, baiklah," jawabku dengan suara datar.

Tapi dalam hati, aku tahu ini keputusan bodoh. Mengikuti orang yang nggak kukenal... apalagi statusku sekarang adalah manusia terkutuk. 

Tapi mungkin informasi tentangku disembunyikan dari rakyat biasa, biar nggak bikin kepanikan.

Kami berjalan menuju tempat yang sepi.

"Oke, sepertinya tempat ini cocok. Perkenalkan, namaku Fera. Aku adalah anak dari raja," ucapnya sambil tersenyum.

Anak raja? Tapi kenapa dia manggil aku?

"Aku sudah tahu, kau adalah manusia terkutuk," ucap Fera dengan tenang.

Ternyata dia tahu... 

Apakah aku harus membunuhnya? Tapi itu ide buruk. Bisa saja dia punya kemampuan bertarung yang tinggi.

"Oh, begitu. Tapi kenapa kau membawaku ke tempat sepi?" tanyaku, tetap menjaga nada suaraku biasa saja.

"Aku hanya ingin memastikan... kenapa ayahku memutuskan untuk membiarkan manusia terkutuk tetap hidup. Dan ternyata... wajahmu sangat mirip dengan kakakku," katanya sambil menatap kosong, seperti sedang mengingat sesuatu yang menyakitkan.

Sepertinya... kakaknya sudah meninggal. Dan kebetulan wajahku mirip?

"Oh iya, siapa namamu?" tanya Fera.

"Namaku Dakken," jawabku, sambil mencoba membaca maksud dari semua ini.

"Aku ingin bertanya... kenapa aku disebut manusia terkutuk?"

"Oh, itu karena kau memiliki simbol di dadamu, kan? Simbol itu disebut 'Bintang'," jelas Fera.

"Dan kenapa simbol bintang itu penting?" tanyaku lagi.

"Itu karena orang yang memiliki simbol bintang adalah bagian dari ras yang tidak diketahui asalnya. Mereka datang dari luar angkasa dan menghancurkan banyak tempat di dunia ini. Tapi manusia akhirnya bangkit dan berhasil mengalahkan mereka. 

Masalahnya, beberapa manusia diberi kekuatan oleh mereka... dan karena itulah mereka dianggap terkutuk. 

Walaupun yang diberi kekuatan itu nggak tahu apa-apa, mereka tetap dicap berbahaya."

Dia menjelaskan dengan cukup detail... tapi aku bisa melihat dari matanya—dia tidak mengatakan semuanya.

"Oh... baiklah. Itu cukup," jawabku, lalu berbalik dan berjalan pergi.

Saat aku berjalan pergi, tiba-tiba tanganku dipegang oleh seseorang.

Aku menghela napas pelan. 

Ah... ini udah jelas, pasti Fera lagi.

Tapi saat aku menoleh ke belakang... yang kulihat bukan Fera. 

Tanganku sedang dipegang oleh seorang kesatria berpakaian zirah penuh.

Dan ketika aku mencoba mencari Fera... 

Tubuhnya tergeletak di tanah. 

Kepalanya... sudah putus dari tubuhnya.

Mataku membelalak. Apa yang baru saja terjadi? 

Kesatria ini... yang membunuh Fera? 

Tapi di zirahnya sama sekali nggak ada bercak darah.

Dia menatapku tajam, napasnya berat seperti menahan amarah.

"Kau... yang membunuh Putri Fera," ucapnya dingin, suaranya seperti menusuk tulang. 

Aura yang keluar dari tubuhnya terasa seperti... Ingin membunuh.

Saat aku hendak dibawa pergi, pikiranku dihantui oleh satu hal—kematian. Tapi bukan kematian yang heroik atau tragis... 

Ini kematian yang paling tidak kuinginkan. 

Kematian yang membuatku tampak seperti lelucon dunia. 

Kematian sebagai kambing hitam.

Tidak, tidak. Aku tidak akan membiarkan itu terjadi.

Tanpa berpikir panjang, aku menendang kepala kesatria itu dengan sekuat tenaga. Tapi seperti menendang batu karang, kakinya tidak bergeming. 

Dengan gerakan secepat kilat, dia menangkap kakiku di udara. Seolah gravitasi sendiri tunduk padanya.

"Kau masih berani melawan?" gumamnya dingin, hampir seperti bisikan kematian. 

"Kalau begitu... mungkin akan lebih baik kalau aku membawa kepalamu saja ke hadapan Raja," lanjutnya, sembari menghunus pedang yang bersinar pucat di bawah cahaya senja.

Aku menggeliat, berusaha melepaskan kakiku dari cengkeramannya. 

Dan entah bagaimana... aku berhasil.

Segera, aku berbalik dan berlari secepat mungkin, menyusuri semak-semak yang seolah mencemooh pelarianku. 

Tapi baru beberapa langkah

Leherku terasa aneh. 

Sangat aneh.

Seperti ada tali tak kasat mata yang melewati leher ku.

Saraf-saraf ku mulai beku, seperti tubuhku dikubur dalam es tak bernama.

Pandangan mulai kabur... 

Cahaya mulai lari dari mataku... 

Lidahku mati rasa... 

Lalu— 

Gelap.

...---...

...— POV Kesatria —...

"Sudah kuduga dia akan mencoba melawan," gumamku sambil menatap kepala yang kini kupeluk seperti trofi perang. 

"Aku akan membawa kepalamu ke Raja... manusia terkutuk."

Tidak ada emosi. Tidak ada puas. Hanya tugas.

Aku memberi isyarat pada anak buahku. Mereka muncul dari balik bayangan seperti roh penjaga malam.

"Bawakan mayat Putri Fera. Dengan hati-hati. Jika kepala itu tergores... kalian akan menyusulnya."

Angin malam menyapu pelan, seolah membisikkan doa bagi yang mati dan kutukan bagi yang hidup.

Kebangkitan

Aku berjalan perlahan, menyeret tubuh manusia terkutuk itu di belakangku.

Di tanganku yang lain, aku menggenggam kepalanya-dingin, berat, dan bisu seperti batu kutukan.

Langkah-langkahku menimbulkan suara gesekan logam di atas tanah kering, seolah dunia sendiri enggan menyentuh makhluk sepertiku.

Namun ada yang mengganggu pikiranku.

Kenapa manusia terkutuk ini bisa membunuh Putri Fera?

Tidak masuk akal.

Fera bukanlah wanita lemah.

Dia pewaris kerajaan.

Terlatih.

Penuh sihir dan kecerdasan.

Dan makhluk yang kini tubuhnya tergolek seperti karung rusak ini... bahkan tidak sanggup menggores armorku sedikit pun.

Mustahil.

Sesuatu tidak beres.

Aku melirik kepala itu lagi.

Mata yang terpejam, rahang yang mengendur... seharusnya itu wajah kematian. Tapi entah mengapa, wajah itu terlalu tenang.

Terlalu... puas.

Angin malam menyentuh wajahku seperti bisikan arwah penasaran.

Pepohonan bergetar padahal tak ada badai.

Bumi terasa gelisah di bawah langkahku.

Tapi aku menepis semuanya.

"Ah, biarkan saja," gumamku.

Aku melanjutkan perjalanan.

"Aku akan membawa kepala manusia terkutuk ini ke Raja..."

Namun di dalam hatiku-yang bahkan aku sendiri tak suka mengakuinya-ada sesuatu yang terus berbisik.

"Apa benar dia sudah mati?"

Aku telah sampai di istana, bangunan megah yang menjulang seperti raksasa tidur yang tak pernah benar-benar memejamkan matanya. Saat aku melangkah masuk, lorong-lorong panjang menyambutku dengan diam yang mencurigakan.

Setiap langkahku menggema seperti suara kematian yang berjalan perlahan menuju takdirnya.

Prajurit-prajurit kerajaan berdiri tegak. Mereka memberi hormat, tapi matanya menyiratkan keterkejutan-sebagian bahkan ngeri-saat melihat tubuh Putri Fera yang terkulai tak bernyawa, dan kepala manusia terkutuk yang kupegang erat seperti peringatan dari neraka.

Aku terus berjalan menuju singgasana. Di sana, Raja duduk membatu. Bahunya jatuh, matanya redup seperti api yang kehabisan oksigen.

Dari wajahnya, aku tahu: hati seorang ayah baru saja dikoyak oleh kenyataan paling pahit.

"Yang Mulia... Tuan Putri telah dibunuh oleh orang terkutuk ini," ucapku sambil memperlihatkan kepala Dakken.

Raja tidak langsung menjawab. Ia menatap kepala itu dengan mata kosong yang seperti menembus waktu.

Lalu ia menarik napas panjang, begitu dalam, seolah mencoba menghembuskan seluruh beban dunia.

"Manusia terkutuk itu..." ucapnya, suaranya berat seperti tanah longsor di dalam hati,

"...sebenarnya telah dipenggal oleh Pendeta. Tapi setiap kali tubuhnya dihancurkan, ia selalu menumbuhkan yang baru. Kepala, tubuh, bahkan darahnya pun... kembali. Seolah dunia menolak kematiannya."

Aku membeku.

Raja melanjutkan, nadanya penuh getir.

"Aku akan berkata jujur... Clara, buka helm dan penutup matamu. Lihat dia dengan jelas."

Aku menuruti perintah. Kulangkahkan kaki, kulepaskan helmku, dan kain yang menutupi pandanganku.

Mataku langsung terpaku pada kepala itu.

Dan saat itulah aku melihatnya.

Wajah yang sangat kukenal.

Wajah yang menghantui masa kecilku.

Wajah yang tak pernah kulupakan meski waktu mencabiknya.

Itu... wajah Pangeran Kenta.

Wajah Tunangan ku.

Tubuhku bergetar. Tapi aku tahu... ini bukan dia.

Raja melanjutkan.

"Dia bukan Kenta. Dia hanya menyerupainya. Dan itu... yang paling menyakitkan."

"Dulu... aku egois," suara Raja kini nyaris berbisik. "Aku memberinya waktu. Satu bulan sebelum sihir jiwa menghisapnya sepenuhnya. Sihir itu... akan menghancurkan jiwanya perlahan, sampai tak tersisa apa-apa kecuali tubuh kosong."

"Dalam satu jam..." lanjutnya, menatap kepala itu dengan tatapan takut yang dibungkus penyesalan,

"...dia akan menumbuhkan kepalanya lagi."

...--POV Dakken--...

"Ah... apakah ini surga?" gumamku sambil membuka mata perlahan. Cahaya putih menyelimuti sekelilingku seperti kabut lembut yang menyembunyikan rahasia langit.

"Bukan, bodoh. Ini alam bawah sadar mu," jawab suara wanita-lalu... PLAK! pipiku diremas tanpa ampun.

Aku terlonjak. "Alam bawah sadar...?"

Mungkinkah ini dari sihir penyembuhan Raja? Seperti yang dikatakan Fera, bahwa aku mirip dengan Pangeran yang sudah mati?,mungkin saja raja menyembuhkan ku atau ini hanya ilusi kematian?

"Dengar, aku di sini!" katanya sambil memukul pelan bagian atas kepalaku.

"Ada apa? Kau bilang ini alam bawah sadarku?" tanyaku, masih bingung dengan tempat aneh ini.

"Iya, ini memang alam bawah sadarmu," jawabnya ceria, merentangkan tangan seperti memperkenalkan panggung sirkus.

"Tapi... kenapa kau ada di sini?"

"Oh, itu karena akulah 'Sang Bintang'. Aku yang memberimu kekuatan super overpower!" jawabnya dengan bangga

Aku mengerutkan alis. "Kekuatan? Kekuatan macam apa itu?"

"Kekuatan yang memungkinkan tubuhmu menyembuhkan luka parah dalam waktu satu jam. Bahkan kalau kepalamu terlepas, kamu tetap bisa hidup!" ucapnya dengan semangat, suaranya meledak-ledak seperti kembang api di dalam kepalaku.

Aku terdiam beberapa detik.

"Itu saja?" tanyaku, kecewa. "Kau menyebut itu overpower? Aku cuma jadi samsak latihan yang bisa nyembuhin diri. Kekuatan macam apa itu?!"

Dia tertawa kecil, tidak tampak terganggu.

"Hei, dengar ini yang paling keren: kau bisa memindahkan jiwamu ke bagian tubuh manapun. Misalnya, kalau kau memotong jarimu, jiwamu bisa pindah ke sana. Jari itu akan membentuk tubuh baru, sedangkan tubuh lama-akan membusuk dalam waktu singkat."

Aku membelalak.

"Jadi... aku bisa menipu kematian?" bisikku pelan, otakku mulai menyusun kemungkinan gila.

"Iya! Tapi... ya, tubuh lama kamu bakal kayak bangkai ayam busuk sih," katanya sambil mengangkat bahu, seolah itu hal biasa.

Aku menatapnya tajam. "Sebenarnya, ini... mungkin bisa jadi kunci untuk melawan sihir jiwa itu."

Tapi sebelum aku sempat menanyakan lebih jauh, dia melambaikan tangannya buru-buru.

"Udah, udah, cukup basa-basinya. Sana balik!"

"Hah? Kenapa tiba-tiba?" tanyaku, menatapnya dengan kening berkerut.

Perempuan itu tersenyum jahil. "Karena tubuhmu sudah sembuh. Kalau kamu tinggal lebih lama di sini, nanti tubuhmu keburu bangkit tanpa jiwamu. Bisa-bisa kamu jalan-jalan kayak mayat hidup."

Aku melongo. "Apa?!"

Tapi sebelum aku sempat memprotes, dia menjentikkan jarinya. Suara dentingan halus terdengar seperti jam pasir yang pecah di tengah waktu.

"Selamat kembali ke dunia nyata, Dakken. Oh ya... jangan mati lagi ya, aku males repot!" katanya dengan wajah ceria yang tidak cocok dengan suasana mengerikan ini.

Tiba-tiba seluruh ruang runtuh.

Putih itu berubah menjadi kelam. Suara seperti pusaran angin menarikku.

Tubuhku melayang, jatuh tanpa arah. Rasanya seperti disedot lubang hitam yang lapar, sementara kesadaranku bergetar hebat.

Lalu-

Mataku terbuka.

Aku terbaring di lantai dingin berlapis marmer. Di sekitarku... para kesatria membeku. Wajah mereka campuran antara takut, kaget, dan seolah mereka melihat iblis bangkit dari kubur.

menggerakkan jari.

Tubuhku... sempurna. Tak ada bekas luka. Bahkan rambutku masih rapi.

Kepalaku, yang seharusnya terpenggal, kini kembali di leherku-dan aku bisa melihat Raja di singgasananya menatapku dengan mata kosong, seperti mimpi buruk masa lalu baru saja menjelma menjadi nyata.

Aku tersenyum. Tipis.

"Kita ketemu lagi, Yang Mulia," bisikku pelan.

Dan pada saat itulah... jeritan terdengar dari ujung ruangan.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!