Kesepakatan Dengan Sang Raja

Saat itu, ruangan mendadak berubah menjadi lautan kepanikan. Suara dering senjata beradu dengan udara. Semua kesatria mengangkat pedang mereka tajam, dingin, dan haus darah mengarah langsung ke leherku.

Aku berdiri di tengah lingkaran kematian.

Jantungku berdegup seperti genderang perang. Tapi wajahku... tetap tenang.

“Hei, hei... santai saja,” ucapku dengan santai, seperti tak ada belasan pedang menari di ujung hidupku.

“Santai, katamu?!” Clara berseru. Tangannya sedikit gemetar saat menggenggam pedangnya. “Kau... kau manusia terkutuk! Mana mungkin kami bisa santai?!”

Aku menoleh padanya perlahan. Tatapanku tajam namun tenang, seperti pisau yang dibalut kain sutra.

“Oh? Kenapa takut? Bukankah kau yakin bisa membunuhku dengan mudah?” ucapku sambil menatapnya dalam-dalam.

Clara terdiam. Sesuatu di wajahku mungkin keberanian, atau mungkin kegilaan membuat langkahnya mundur setengah jengkal.

Aku mengalihkan pandangan ke raja yang masih membisu di atas singgasananya. Matanya kosong, tapi dalam kekosongan itu, aku melihat badai yang disembunyikan.

“Hei, Raja...” ucapku, nada suaraku tenang, nyaris berbisik tapi tajam seperti belati yang mengiris malam. “Kenapa kau diam saja? Bagaimana kalau... kita buat kesepakatan?”

“Kesepakatan?” Raja akhirnya bersuara. Suaranya serak, seperti pasir kering di ujung tenggorokan. Matanya menyipit, mencoba menilai apakah aku sedang bercanda… atau mengancam.

Aku tahu, jika aku tidak bisa membuat mereka percaya, maka leherku akan dipisahkan dari tubuhku—lagi. Dan mungkin kali ini... aku tidak akan sempat memindahkan jiwaku.

Aku harus bicara cepat. 

Tepat. 

Dan penuh racun manis.

Tapi... kesepakatan macam apa yang bisa membuat raja menahan amarahnya? 

Dan bagaimana caranya membuat mereka percaya pada manusia yang bahkan kematian pun enggan menyambut?

“Bagaimana kalau aku menjadi umpan dalam perang yang sedang terjadi?” ucapku, menaruh harapan di antara kata-kata. Kalau di terima aku tidak akan mau menjadi umpan walaupun aku gak bisa mati tapi aku bisa sakit

Kalimat itu meluncur pelan, seperti racun yang dibungkus madu. Aku tak asal bicara. Mataku menatap tajam ke arah Raja yang duduk diam, masih dibalut bayangan kehilangan. Wajahnya menyimpan luka lama, dan melihatku yang mirip dengan pangeran yang sudah tiada adalah pisau yang terus menggores lukanya.

Raja menegang. “Apa? Mengapa kau... ingin jadi umpan dalam perang?” suaranya terdengar tercabik antara bingung dan ragu.

Aku menegakkan bahu, menunjukkan ketenangan yang tak sepenuhnya milikku.

“Karena aku tahu dengan kekuatanku... aku tidak akan mati dengan mudah,” ucapku mantap, membiarkan kata-kataku melayang di udara yang tegang itu.

Seketika ruangan terdiam. Tatapan para kesatria berubah. Mungkin mereka berpikir aku gila... atau justru lebih berbahaya dari yang mereka kira.

Raja menatapku dalam. “Kalau begitu... apa yang kau minta dari kesepakatan ini?”

Aku tersenyum tipis, penuh niat tersembunyi. “Lepaskan sihir jiwa dari tubuhku. Berikan aku harta dan kebebasan.”

Jika ada jalan mudah, mengapa memilih jalan berdarah?

Namun, harapanku runtuh saat Raja menggeleng perlahan. “Sihir jiwa... tidak bisa dilepaskan dengan mudah,” ucapnya dengan mata kosong. Tatapannya menembus waktu, seolah sedang berbicara dengan hantu masa lalu.

Sial. Aku harus mengganti strategi. Otakku berpacu seperti kuda liar di tebing. Harus ada jalan lain. Jalan yang membebaskanku dari pembantaian... dan dari kematian.

Aku menarik napas pelan lalu berkata, “Kalau begitu... saat sihir jiwa itu mulai aktif, izinkan aku menjauh dari kerajaan. Jangan ada yang mengawasi. Dan tiga hari sebelum waktunya habis... beri aku harta. Biar aku bisa menikmati tiga hari terakhirku... seperti manusia biasa.”

Kata-kataku menggantung di udara. Terdengar tulus, tapi di balik itu, sebuah rencana besar mulai menari di balik pikiranku.

Raja terdiam sejenak. Waktu seakan berhenti menunggu keputusannya.

“Baiklah...” jawab Raja akhirnya.

Suara itu seperti palu yang mengetuk takdir baru. Semua orang di ruangan itu terdiam. Tak ada yang bersorak. Tak ada yang bicara. Hanya keheningan—dan sebuah kesepakatan gelap yang baru saja ditulis dengan lidah manusia terkutuk.

Saat aku berpikir semuanya sudah aman, suara yang tajam menusuk dari sisi ruangan.

“Apa?! Raja, dia itu manusia terkutuk!” seru Clara, nadanya tajam seperti cambuk yang meledak di udara. Mata Clara membara, seolah ingin membakar tubuhku di tempat.

Namun Raja hanya menatapnya dengan pandangan lelah. “Kau tahu, Clara... rencana kita sudah kacau. Kita kalah dalam perang. Jika tidak bertindak cepat, kastel ini bisa jatuh ke tangan musuh.”

Clara ingin membantah, tapi Raja belum selesai. Ia menghela napas panjang—napas seorang ayah yang kehilangan, seorang raja yang kelelahan.

“Dan juga... putraku. Pangeran Kenta... sudah menjadi korban dari perang ini.” Suaranya nyaris pecah di akhir kalimat.

Clara menggertakkan giginya, lalu akhirnya menunduk. “Baiklah, Raja,” ucapnya pelan, suaranya menyimpan luka yang belum sembuh.

Melihat situasi mulai tenang, aku tahu ini saatnya menancapkan kuku lebih dalam. Kalau aku ingin bertahan tidak hanya hidup, tapi punya kuasa aku harus lebih dari sekadar manusia terkutuk. Aku harus jadi bagian dari nadi strategi mereka.

Aku melangkah maju, suara langkahku menggema di lantai marmer. Tatapan semua orang mengikutiku, campuran antara curiga dan jijik.

“Baiklah,” kataku dengan nada serius. “Kesepakatan sudah dibuat. Sekarang... aku ingin ikut dalam diskusi perencanaan perang.”

Beberapa kesatria langsung menegang. Clara menoleh dengan tatapan membunuh. Tapi aku menatap lurus ke arah Raja, hanya padanya. Karena hanya dialah yang sekarang bisa memutuskan... apakah aku pion, atau pemain utama di papan catur kerajaan ini.

“Kau malah ngelunjak! Kau cukup ikut arahan saja!” seru Clara, nadanya seperti cambuk yang menghantam udara, penuh amarah dan rasa muak.

Aku menoleh padanya, menatap tanpa gentar. “Kenapa aku harus mengikuti arahan dari orang yang bahkan sudah terpojok dalam perang?” ucapku, nada suaraku tenang namun penuh tajam. “Aku bisa membuat rencana ini... hampir mustahil untuk dikalahkan.”

Keheningan menggantung di udara. Raja hendak berbicara, tapi Clara buru-buru memotongnya.

“Tapi Raja! Dia membunuh Putri Fera!” tuduhnya, suara Clara memekakkan udara seperti pecahan kaca.

Ugh, sial. Itu cukup untuk membuat kesepakatanku tergantung di ujung tanduk.

Aku mengeraskan wajahku. “Apa kau yakin?” ucapku perlahan. “Bagaimana aku bisa membunuh Fera?”

Clara tampak gelagapan sesaat. “Kau... pasti memiliki kekuatan tersembunyi!”

Aku menyeringai tipis. “Kalau aku memilikinya, mungkin kalian semua sudah mati sekarang.”

Clara terdiam. Rasa marahnya mulai tergantikan oleh keraguan meski samar.

Raja menatapku dalam. Matanya gelap, namun ada secercah harapan... atau mungkin rasa putus asa yang sedang mencari pegangan.

“Baiklah,” katanya. “Kalau kau memang bukan pembunuhnya... kau harus mencari siapa yang melakukannya.”

Kata-katanya menghantamku seperti palu.

Mencari pembunuh? Dengan bukti yang nyaris tidak ada? Aku bahkan tidak sadar kapan Fera mati. Si pembunuhnya kalau memang ada mungkin cukup lihai untuk menyelinap di balik bayangan neraka itu sendiri.

Tapi aku harus mainkan peran ini. Atau aku akan benar-benar kehilangan kepala.

“Baiklah,” jawabku akhirnya. “Tapi aku ingin semua bukti. Dan mayat Fera... untuk aku periksa langsung.”

Dalam hati aku mengeluh. Astaga, aku ini cuma anak SMA! Tapi untung saja, selama ini hidupku penuh tontonan misteri dan teori kriminal. Netflix, manga, novel semuanya jadi pelajaran darurat.

Raja mengangguk pelan. “Kau akan mendapatkannya. Tapi jangan lama. Waktu kita tidak banyak.”

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!