Hampir tak ada yang menyangka Kaneo akan melancarkan serangan balik seperti itu. Strategi unik "habisi satu per satu" langsung disambut sorak sorai penonton.
Bubuk bubuk meja yang hancur melayang di udara, kaki kanan Kaneo membentuk lengkungan sempurna, mengayun dengan kekuatan dahsyat bagaikan gunung runtuh, mengarah langsung ke Kayden yang kini terisolasi.
Kayden sempat terpaku sebelum buru-buru menangkis. Meski telah berlatih Kung Fu lebih dari sepuluh tahun, dalam hal kekuatan dan intensitas serangan, ia jelas bukan tandingan mantan penguasa tinju hitam ini.
Namun, konfrontasi langsung bukanlah gayanya sebagai "rubah abadi." Ia lebih mengandalkan strategi tipu daya.
Kayden menggeram, mengayunkan tinjunya dengan sekuat tenaga, melangkah maju seolah hendak menghadapi tendangan Kaneo secara langsung.
Saat semua orang menahan napas, ingin melihat bagaimana tangan kecil Kayden menghadapi paha besar Kaneo, tubuhnya tiba-tiba berputar tajam ke kanan, menciptakan bayangan yang nyaris tak tertangkap mata. Dalam sekejap, cakarnya melesat ke arah belakang kepala Kaneo dengan kecepatan kilat.
Kerumunan langsung berseru kaget.
Kenzo dan Max sama-sama mengerutkan kening, mata mereka berbinar penuh kewaspadaan.
"Anak ini mempelajari teknik berbahaya?" gumam Max dengan nada serius. "Bos, kecepatannya hampir setara denganmu."
Kaneo pun terkejut. Saat bertarung dengannya sebelumnya, Kayden tak secepat ini.
Namun, ini bukan waktunya untuk terkejut. Saat hendak mendarat, Kaneo merasakan angin tajam menyambar dari belakang. Cahaya kejam berkilat di matanya, dan ia segera menundukkan kepala sekuat mungkin. Tak ada jalan untuk menghindar, ia hanya bisa menghadapi serangan itu dengan punggungnya.
Cakar Kayden menyapu tulang belikat Kaneo, mencabik dagingnya hingga darah berhamburan.
Namun, sebelum ia sempat menikmati keunggulannya, suara Gavien menggema dari belakang. "Hati-hati!"
Jantung Kayden berdebar. Dalam sekejap, Kaneo mengerahkan seluruh kekuatannya. Mengabaikan rasa sakit yang menusuk dari lukanya, ia memutar tubuh dengan cepat. Dengan teknik gulat yang presisi, ia mencengkeram lengan dan pergelangan tangan Kayden yang masih terulur. Saat itu juga, kaki kirinya yang telah mengumpulkan tenaga melepaskan tendangan seperti pegas yang dilepaskan, menghantam ketiak Kayden dengan keras.
krekk!
"Arghhh!" Kayden menjerit melengking, rasa sakit yang menyiksa membuat seluruh lengan kanannya mati rasa. Ia tertinggal satu langkah dan kini berada dalam posisi lemah menghadapi serangan penuh amarah Kaneo.
Dengan bahu terluka parah, Kaneo tak berniat memberi ampun. Sebelum Gavien dan Riko sempat menyelamatkan Kayden, ia menarik lengan lawannya dengan kasar, memutarnya dengan cekatan, lalu mengangkatnya seperti karung dan membantingnya keras ke meja makan di samping.
Rangkaian serangan brutal ini memberikan dampak visual yang luar biasa. Pada momen ini, semua orang bahkan lupa bersorak—bahkan lupa sarapan. Mereka hanya bisa menatap keempat sosok di tengah dengan napas tertahan.
Kaneo, yang berhasil mendaratkan serangannya, mengabaikan Kayden yang kini terkapar berlumuran darah di tanah. Dengan raungan ganas, ia mengangkat tinjunya yang sebesar mangkuk dan langsung menerjang Gavien serta Riko.
Kedua pria itu, yang sebelumnya terkecoh oleh Kaneo, kini dipenuhi rasa bersalah melihat rekan mereka menderita akibat kelalaian mereka. Tanpa ragu, mereka ikut meraung dan melesat ke medan pertarungan.
Tinju bertemu tinju, tendangan bertemu tendangan—serangan demi serangan dilepaskan dengan kecepatan dan kekuatan mengerikan, menciptakan pertarungan sengit yang membuat kepala pening, nyali ciut, sekaligus darah mendidih.
Dua ribu tahanan, empat ratus penjaga penjara, dan seratus pelayan mengepalkan tangan mereka serentak, menonton pertempuran berdarah ini dengan napas tertahan. Ketegangan yang mereka rasakan begitu intens—seolah-olah mereka ingin terjun langsung ke dalam pertarungan, namun di sisi lain, ketakutan akan tercincang hidup-hidup menahan langkah mereka. Perasaan campur aduk antara kegugupan dan gairah ini bahkan lebih menyiksa daripada menunggu istri melahirkan anak.
Di tengah arena, Kayden tampak tak sadarkan diri setelah menerima pukulan telak. Sementara itu, Gavien dan Riko kini memukul mundur Kaneo, bertarung dengan penuh strategi. Gavien berhadapan langsung dengannya—tinju melawan tinju, kaki melawan kaki, lutut melawan lutut—sementara Riko, dengan tongkat kayunya, bergerak lincah seperti cheetah, mengacaukan fokus Kaneo dan meninggalkan tujuh luka robek besar maupun kecil di tubuhnya.
Saat pertarungan berlangsung sengit, Gavien dan Riko saling bertukar pandang sekilas, memberikan isyarat tak terlihat. Di saat yang sama, mereka berdua berteriak dan bergerak bersamaan. Gavien tiba-tiba mengabaikan pukulan Kaneo yang melayang ke arahnya, lalu menghantam dada Kaneo dengan keras.
Duakk!
Bahu kanan Gavien terkena pukulan telak dari Kaneo dan langsung terkilir di tempat.
Namun, dampaknya tidak sia-sia. Benturan yang mendadak dan kuat itu membuat Kaneo kehilangan keseimbangan, tubuhnya terhuyung ke belakang. Dan saat itulah Riko, yang sudah siap di sisi kanannya, langsung melesat. Dengan gerakan cepat dan presisi, ia mengayunkan kaki bangku yang dipegangnya—menciptakan lengkungan tajam sebelum menghantam tepat di tulang belikat Kaneo, tepat di titik luka yang sebelumnya dicabik oleh Kayden.
Krak…krak!
Suara tulang patah bergema, membuat jantung semua orang bergetar hebat. Kaki bangku berpaku itu menembus bahu kanan Kaneo dengan kekuatan luar biasa, masuk dari bahu, menembus ketiak, lalu menembus kembali ke tulang rusuk kanan!
"Aaarghhh!!"
Teriakan Kaneo mengguncang udara. Ia jatuh dengan keras ke tanah, tubuhnya berkedut tak terkendali. Rasa sakit yang luar biasa membuatnya hampir kehilangan kesadaran. Wajahnya yang menyeringai dalam kesakitan tampak begitu mengerikan—penuh dengan siksaan yang tak terbayangkan.
Namun, pada saat inilah sesuatu yang aneh terjadi.
Saat Kaneo berguling kesakitan di tanah, darahnya mengalir deras, tubuhnya terhuyung tepat di depan Kayden yang tampaknya masih tak sadarkan diri.
Lalu, di saat semua orang mengira pertarungan telah usai—Kayden tiba-tiba membuka matanya.
Dan di tangannya, sebuah garpu plastik berkilat di bawah cahaya.
Dia menghantam Kaneo yang masih berguling di tanah dengan kecepatan kilat!
Engh…
Jeritan melengking itu tiba-tiba terhenti, seperti suara bebek yang lehernya tiba-tiba dicekik.
Suasana berubah begitu sunyi—begitu hening hingga suara jarum jatuh pun bisa terdengar.
Semua mata kini terpaku pada Kaneo, yang tubuhnya menegang dengan mata membelalak tak bisa tertutup.
Kayden menatap dingin ke dalam pupil Kaneo yang mulai memutih, sementara garpu plastik di tangannya perlahan-lahan berputar di dalam kepala Kaneo, melilit… menusuk semakin dalam…
Setengah menit kemudian, Kenzo bangkit, berjalan mendekati Kayden, lalu mengulurkan tangan kanannya.
Dia tersenyum tipis. “Selamat. Kau berhasil.”
Euhhhuhhh…
Kayden menghela napas panjang. Dengan tangan kiri yang terkilir, dia terpaksa mengulurkan tangan kanannya dan menggenggam erat tangan Kenzo.
"Kau baik-baik saja?" tanya Kenzo sambil membantu Kayden berdiri.
Kayden menyeringai, menampilkan gigi-giginya yang berlumuran darah. "Heh, Saudara Elang, kau belum lupa julukanku, ‘Rubah Abadi’, kan? Abadi artinya tak bisa mati."
Riko, yang kini membawa Gavien, berjalan ke arah Kayden. Dengan senyum tipis yang jarang terlihat di wajah dinginnya, dia meninju ringan dada Kayden. “Kerja bagus.”
Sementara itu, Max yang berdiri di samping Kenzo tidak ikut memberikan ucapan selamat. Sebaliknya, matanya menyipit, perlahan menyapu kerumunan di sekelilingnya.
Dan saat orang-orang mulai bertanya-tanya apa yang sedang dipikirkan si "Harimau Gila" ini, tiba-tiba saja aura membunuh yang begitu ganas meledak darinya, membanjiri seluruh aula makan dengan tekanan yang nyaris mencekik.
Keringat dingin langsung mengalir di punggung para penonton. Mereka yang tadinya ingin melihat lebih dekat, kini justru mundur terbirit-birit. Beberapa bahkan jatuh tersungkur, berguling-guling untuk menyelamatkan diri. Tak seorang pun tahu siapa yang telah menyinggung perasaan si iblis ini, dan mereka tidak ingin mati sia-sia di tangannya.
Tatapan Max akhirnya tertuju pada satu sosok.
Tanpa peringatan, ia mengaum, lalu melompat ke atas meja makan dan berlari ke arah barat daya dengan kecepatan mengerikan, seperti badak yang menerjang tanpa bisa dihentikan.
Sosok yang ia tuju adalah Axel—sosok besar seperti gunung, berdiri kokoh dua meter jauhnya. Merasakan serangan yang datang dengan kecepatan dan tekanan luar biasa, mata Axel pun menyipit.
Namun, bukan berarti dia akan menghindar.
Sebaliknya, tubuhnya justru menjadi lebih kukuh—seperti gunung yang telah berdiri sejak zaman kuno. Tak tergoyahkan, namun memancarkan dominasi yang tak terbantahkan.
Brak!
Max akhirnya tiba di hadapan Axel. Dengan gerakan yang begitu cepat, tubuhnya melayang di udara, berputar seperti pusaran angin sebelum menukik ke bawah dengan lengan kanan tertekuk, mengepalkan tangan kirinya menjadi tinju baja.
Siku tajamnya melesat ke arah kepala Axel—dengan kekuatan yang persis sama seperti serangan yang pernah ia lancarkan ke Kenzo sebelumnya.
Merasakan tekanan mengerikan yang turun seperti gunung longsor, Axel menggeram rendah. Tanpa basa-basi, dia langsung mengayunkan tinjunya—tinju sebesar kepala manusia—untuk menghadapi serangan sikut Max dengan kekuatan penuh.
Bugh!
Suara benturan keras menggema di seluruh ruangan. Tubuh Axel sedikit tenggelam ke tanah, lalu terhuyung mundur beberapa langkah.
Namun, Max tak memberi kesempatan.
Dia segera memutar tubuhnya dan, tanpa ragu, melepaskan tendangan menyapu yang begitu bertenaga, menghantam pinggang dan tulang rusuk Axel dengan brutal!
Meskipun Axel tampak besar dan kekar, reaksinya luar biasa cepat. Saat terdorong mundur, dia segera menghentakkan kaki kirinya ke tanah, menahan tubuhnya agar tetap stabil, lalu menekuk kaki kanannya untuk menangkis tendangan menyapu yang ganas dari Max.
Brak!
Suara benturan tumpul kembali terdengar. Max menggunakan gaya reaksi benturan itu untuk melenting ke belakang, tubuhnya melayang dan akhirnya mendarat di atas meja yang berjarak lima meter darinya. Dia menatap Axel dengan tatapan tajam, lalu menyeringai dengan dingin.
Axel sendiri terhuyung mundur dua langkah. Dia menatap Max lekat-lekat sebelum akhirnya menggeram rendah, suaranya menggema di seluruh ruangan.
“Max, apa sebenarnya yang kau inginkan?”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 36 Episodes
Comments