Suara rantai berderak… suara langkah kaki menggema di sepanjang lorong suram. Aroma darah masih tercium di udara, bercampur dengan bau lembap dari dinding batu tua yang menyerap jeritan para narapidana selama bertahun-tahun.
Kenzo menatap Max yang terkapar dengan napas tersengal. Tanpa ragu, ia mengulurkan tangan, menarik tubuh Max yang berlumuran darah, lalu menggendongnya di punggungnya.
Suara gesekan kain, suara langkah kaki berat... detak jantung yang samar...
Max hampir kehilangan kesadarannya, rasa sakit menjalar ke seluruh tubuhnya. Namun, di tengah penderitaan itu, ada kehangatan yang merayapi dadanya. Kenzo tidak mengatakan sepatah kata pun, tetapi genggaman erat di punggungnya adalah bukti yang lebih nyata daripada seribu kata.
Kenzo melirik sekeliling. Wajah-wajah asing menatapnya—beberapa dengan kagum, beberapa dengan ketakutan. Namun, satu hal yang pasti: lencana di bahu pria berkepala botak itu menunjukkan bahwa dia adalah seorang kolonel.
"Jenderal Kolonel, para tahanan di sini butuh dokter," suara Kenzo tenang, tetapi ada nada perintah yang tak bisa diabaikan.
Wakil sipir, seorang pria tua yang telah melihat banyak pembantaian di tempat ini, menelan ludah. Ada sesuatu yang berbeda dari Kenzo—sesuatu yang bahkan membuat seorang penjagal sepertinya merinding.
Suara tarikan napas dalam… jantung berdebar... suara langkah mendekat...
Ia tersenyum tipis, mencoba menyembunyikan kegelisahannya. "Ya, meskipun ini adalah sel hukuman mati dan nyawa di sini tak lebih berharga dari debu, jika kalian terluka dalam perkelahian, dokter tetap bisa dipanggil."
Kenzo membalas dengan senyum sopan. "Terima kasih. Mohon dokter segera datang ke sel 501 dan 502."
Kolonel itu mengangguk. Namun, di dalam hatinya, ia merasa aneh—seorang kolonel sepertinya terlalu hormat kepada seorang terpidana mati.
Tanpa membuang waktu, Kenzo kembali melangkah, membawa Max di punggungnya menuju gedung Darah Harimau. Kerumunan di lorong segera menyingkir, membuka jalan.
Suara langkah berat… bisikan lirih di antara para tahanan… detak jantung yang semakin cepat...
Namun, tiba-tiba, Kenzo berhenti. Dengan tatapan tajam seperti pisau, ia menyapu kerumunan sebelum akhirnya pandangannya tertuju padalima orang.
"Aku hanya ingin menyampaikan sesuatu," suaranya dingin, menusuk tulang. "Aku dan Max akan tinggal di lantai lima untuk memulihkan diri. Kami tidak akan keluar, tidak akan mengganggu siapa pun. Tapi dengarkan baik-baik—jika ada yang berani menyerang kami selama masa pemulihan, tidak peduli apakah itu salah kalian atau bukan, aku bersumpah, saat aku keluar dari pintu 502, kalian semua akan menjadi tumbal bagi surga!"
Suara dentuman petir… keheningan yang menegangkan… napas tertahan...
Semua orang merasakan hawa dingin merayap di tulang belakang mereka.
Daren menatap Kenzo dalam-dalam, lalu berbalik tanpa sepatah kata. Axel dan lima penguasa lainnya mengikuti tanpa komentar. Hanya sang pangeran yang sempat melirik Max sebelum berlalu.
Tak lama kemudian, dalam waktu kurang dari sepuluh menit, sel 501 dan 502 diubah menjadi bangsal kecil. Wakil sipir memberikan perlakuan khusus—dokter terbaik dari rumah sakit penjara dikirim, lengkap dengan obat-obatan terbaik.
Suara langkah tergesa… suara pintu terbuka… desis ketakutan para perawat…
Beberapa perawat muda yang ditugaskan segera pucat pasi saat melihat angka “501” dan “502” di pintu sel. Ketakutan mereka begitu besar hingga kaki mereka gemetar. Beruntung, Kenzo dan Max tidak terbiasa dirawat, sehingga mereka hanya tinggal selama lima menit sebelum pergi dengan ekspresi lega.
Akhirnya, keduanya mendapatkan ketenangan untuk memulihkan diri. Untungnya, mereka bukan manusia biasa. Dengan kemampuan pemulihan yang luar biasa, hanya dalam lima hari, Max sudah bisa bangun dari tempat tidur dan bergerak.
Suara gesekan selimut… langkah kaki pelan… suara napas tenang…
Selama ia tidak melakukan gerakan yang terlalu berat, segalanya akan baik-baik saja. Namun, di balik ketenangan itu, sebuah badai sedang menanti...
Kenzo menatap Max—atau lebih tepatnya, Harimau Gila—yang kini menundukkan kepalanya, menatap sarapan di depannya seolah hanyut dalam pusaran kenangan yang tak ingin ia bangkitkan. Namun, semuanya sudah terlambat. Kata-kata telah keluar dari mulutnya, dan ingatan itu mulai membanjiri pikirannya, menghantamnya tanpa ampun.
Max menarik napas dalam. "Aku ingat setiap detailnya. Bau darah, jeritan saudara-saudaraku, tatapan terakhir guruku yang masih penuh belas kasih meskipun ajal telah menjemputnya..."
Suara napas berat… detak jantung perlahan meningkat… suara jeritan samar dari masa lalu…
Malam itu, angin musim gugur bertiup dingin. Langit gelap, bintang-bintang bersembunyi seakan takut menyaksikan tragedi yang akan terjadi.
Awalnya, mereka hanyalah sekelompok wisatawan yang tampak biasa. Mereka berbicara dengan hormat, memberi sumbangan, bahkan bersembahyang di hadapan patung Buddha giok putih yang menjadi pusaka suci kuil. Tidak ada seorang pun yang mencurigai niat mereka.
Namun, begitu malam tiba, mereka menunjukkan taring mereka.
Suara langkah kaki berjingkat… suara pintu kayu berderit… suara kain berdesir saat pedang ditarik…
Saat paman jaga yang menjaga paviliun menemukan mereka, ia bahkan tidak sempat berteriak. Dentuman senjata api merobek keheningan kuil, dan tubuhnya terkapar dengan mata terbuka, darah mengalir di lantai batu.
"Kita ketahuan!" Salah satu perampok berbisik.
Saat itulah neraka dimulai.
Biksu-biksu Shaolin yang telah tidur terbangun oleh suara tembakan. Dengan hanya mengenakan jubah mereka, mereka berlari menuju sumber suara. Kepala biara memimpin di depan, wajahnya tetap tenang meski bahaya mengancam.
Namun, perampok itu bukan pencuri biasa. Mereka mengenal setiap sudut kuil seolah telah mempelajarinya selama bertahun-tahun. Dan yang lebih mengerikan… mereka membawa senjata api.
Suara tembakan bertubi-tubi… jeritan kesakitan… suara tubuh jatuh ke lantai…
Darah memercik ke dinding batu suci kuil, mencemari tempat yang seharusnya suci. Saudara-saudaranya jatuh satu per satu. Beberapa mencoba melawan, tetapi bagaimana seni bela diri mereka bisa mengalahkan kejamnya peluru?
Harimau Gila berada di samping kepala biara ketika perampok terakhir mengarahkan senjatanya ke arah pria tua itu.
"Jangan!" Harimau Gila menerjang, tetapi ia terlambat.
Tembakan meledak, tubuh gurunya tersentak ke belakang. Matanya masih menatapnya, bukan dengan ketakutan… tetapi dengan kedamaian. Seakan ia telah menerima nasibnya.
Tubuhnya jatuh.
Suara tubuh jatuh ke lantai… suara darah menetes… keheningan yang mengerikan…
Saat itulah dunia Harimau Gila runtuh.
Kegelapan menyelimutinya. Ia tidak ingat bagaimana tubuhnya bergerak. Ia tidak ingat bagaimana tangannya merobek daging, bagaimana tulangnya menghancurkan tengkorak.
Ia hanya ingat bahwa saat semuanya selesai… tidak ada satu pun perampok yang tersisa dalam keadaan utuh.
Lantai paviliun berubah menjadi lautan darah.
Tubuh mereka berserakan seperti boneka rusak, tanpa tangan, tanpa kaki… beberapa bahkan tanpa kepala.
Suara darah menetes… suara napas kasar… suara jeritan samar yang memudar…
Harimau Gila berdiri di tengah tumpukan mayat, tubuhnya gemetar, tangannya berlumuran darah.
Para biksu yang masih hidup menatapnya dengan ngeri. Beberapa mundur, beberapa bahkan menjatuhkan senjata mereka.
Saat itulah ia menyadari… mereka tidak lagi melihatnya sebagai saudara. Mereka melihatnya sebagai iblis.
"Aku tidak peduli bagaimana kau membunuh mereka…" Kepala biara muda yang baru menggantikan gurunya menatapnya dengan dingin. "Tapi tangan seorang biksu tidak seharusnya berlumuran darah seperti ini."
Harimau Gila menatap tangannya—tangan yang baru saja menghancurkan dua puluh orang dalam sekejap mata. Tangan yang dulu digunakan untuk berlatih, untuk menolong, untuk berdoa… kini hanya meninggalkan kehancuran.
Ia tahu… ia tidak bisa tinggal di Shaolin lagi.
Tanpa mengatakan sepatah kata pun, ia berbalik dan berjalan keluar dari kuil, meninggalkan saudara-saudaranya, meninggalkan tempat yang telah menjadi rumahnya selama dua puluh satu tahun.
Meninggalkan dirinya yang dulu.
Suara langkah kaki menjauh… suara pintu besar yang tertutup… suara angin berdesir…
—
Max menghela napas panjang. Tatapannya kosong, seolah pikirannya masih terperangkap di malam itu.
"Jadi… sejak saat itu, aku berhenti menjadi Harimau Gila. Aku menjadi Max."
Kenzo menatapnya dalam diam, lalu mengambil satu potong roti kukus dari piringnya dan melemparkannya ke tangan Max.
"Lalu sekarang?" tanyanya.
Max menatap roti itu, lalu menatap Kenzo. Perlahan, senyum tipis terukir di wajahnya.
"Sekarang? Sekarang aku hanya seseorang yang sedang menikmati sarapannya bersama seorang teman."
Suara kecil api lilin berkelip… keheningan yang damai… suara sendok menyentuh mangkuk…
Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama… Max merasa tenang.
Kenzo diam menatap Max. Kata-katanya barusan masih menggantung di udara, seakan ruangan ini masih menyimpan gema dari masa lalunya yang kelam.
Max—atau lebih tepatnya, Harimau Gila—menyandarkan tubuhnya ke kursi kayu tua, tangannya saling bertaut di belakang kepala. Senyum miring terukir di wajahnya, tetapi mata itu… kosong. Seakan setiap kenangan yang ia ungkap tadi telah menguras semua emosi dalam dirinya.
Kenzo menghela napas. "Jadi… kau menikmati semua itu?"
Max terdiam sejenak, lalu tertawa pelan.
"Menikmati? Heh… entahlah. Aku tidak tahu apakah aku menikmatinya, atau aku hanya kehilangan kendali atas diriku sendiri. Mungkin… saat aku mencabik-cabik tubuh pertama, aku sudah kehilangan kendali."
Suara hujan mulai turun perlahan… tetesan air menetes dari langit-langit sel… suara rantai bergetar saat seorang tahanan bergerak di kejauhan…
Kenzo menatap Max lebih dalam. Ia telah melihat banyak orang gila dalam hidupnya, tetapi orang ini… berbeda. Ia bukan sekadar mesin pembunuh. Ia adalah seseorang yang kehilangan tempatnya di dunia, lalu memilih untuk menjadi predator karena itulah satu-satunya cara ia bisa bertahan.
"Jadi, ketika kau melawan pasukan itu di Gunung Malaikat, apa kau berpikir untuk menyerah?" tanyanya.
Max menyeringai, menatapnya dengan mata liar.
"Menyerah? Tidak pernah terlintas di pikiranku. Aku tahu aku akan kalah cepat atau lambat, tetapi aku ingin melihat seberapa jauh aku bisa pergi sebelum mereka berhasil menangkapku. Aku ingin tahu… siapa yang akhirnya bisa menjatuhkan si Harimau Gila. Dan aku juga penasaran, seberapa besar mereka akan menggila untuk menangkapku."
Suara tembakan samar di kejauhan… teriakan orang-orang… suara langkah kaki yang berlarian… lalu kembali sunyi.
Kenzo menatap Max, lalu tersenyum tipis.
"Dan sekarang mereka menangkapmu."
Max tertawa kecil.
"Ya… sekarang mereka menangkapku."
Suasana kembali hening. Hanya suara hujan yang terdengar di luar, menambah kesan dingin di dalam ruangan.
Tragedi ini… siapa yang harus disalahkan?
Shaolin, karena menciptakan seorang pendekar dengan seni bela diri yang tak tertandingi, tetapi gagal mengajarkannya bagaimana mengendalikan jiwanya?
Dunia luar, yang mengubah seorang biksu menjadi buronan hanya karena ia tidak punya cara lain untuk bertahan hidup?
Atau dirinya sendiri, karena pada akhirnya, ia adalah orang yang memilih jalannya?
Kenzo menggelengkan kepalanya.
Tidak ada jawaban.
Suara napas berat… suara air yang menetes perlahan… lalu kembali sunyi.
—
Max menegakkan tubuhnya, menatap Kenzo dengan tatapan penasaran.
"Kau tidak menghakimiku?" tanyanya.
Kenzo hanya tersenyum tipis, mengambil roti kukus dari piringnya, dan mulai mengunyahnya dengan santai.
"Untuk apa? Kau sudah menerima hukumanmu, bukan?"
Max terdiam sejenak, lalu tertawa keras.
"Kau ini menarik, Kenzo. Aku mulai suka berbicara denganmu."
Kenzo tersenyum kecil.
"Bagus. Karena kita akan tinggal di sini cukup lama, lebih baik punya teman bicara."
Suara langkah kaki mendekat… suara kunci berderit… suara penjaga membuka pintu sel.
Tiba-tiba, suara derit pintu yang berat membuyarkan percakapan mereka. Seorang penjaga berdiri di ambang pintu dengan wajah datar.
"Max. Kau dipanggil ke ruang interogasi."
Max menyeringai, bangkit dari tempat duduknya.
"Sepertinya mereka belum selesai denganku." katanya ringan, lalu berjalan keluar tanpa sedikit pun keraguan.
Kenzo menatap punggungnya yang menjauh, matanya menyipit.
"Harimau Gila, ya?" pikirnya. "Kita lihat seberapa liar kau sebenarnya."
Suara pintu besi tertutup… suara langkah kaki yang menjauh… lalu keheningan yang mencekam.
Kenzo dan Max duduk di sudut sel mereka. Cahaya lampu redup menggantung di langit-langit, melemparkan bayangan panjang di dinding batu yang kusam.
Max menyeringai lebar, matanya berbinar dengan gairah bertarung yang liar.
"Jadi… setelah kita sembuh, kita langsung berburu?" tanyanya sambil meregangkan otot-ototnya yang mulai pulih.
Kenzo mengangguk pelan, matanya tajam seperti mata elang yang mengintai mangsa.
"Tidak ada tempat bagi dua raja dalam satu hutan. Jika kita ingin menguasai penjara ini, kita harus menyingkirkan mereka yang merasa berkuasa. Enam tiran dari Gedung Timur dan para pemimpin di tiga Gedung lainnya… mereka semua harus diadili. Dengan cara kita."
Suara logam bergesekan… suara gigi yang beradu karena dingin… lalu suara napas berat dari seorang tahanan di kejauhan…
Max tertawa, suaranya berat dan penuh kegilaan.
"Sial… aku sudah gatal ingin menghancurkan seseorang! Sudah lama aku tidak merasakan darah segar di tanganku."
Kenzo tidak membalas. Ia tahu bahwa di dalam hati Max, keinginan membunuh adalah bagian dari jiwanya. Tapi kali ini, bukan sekadar membunuh. Ini tentang menguasai.
"Bersabarlah," kata Kenzo dengan nada datar. "Kita tidak akan bergerak sembarangan. Kita akan mulai dengan yang terlemah lebih dulu, membuat mereka ketakutan, lalu mengincar kepala-kepala besar itu. Begitu Kaneo turun tangan… saat itulah kita akan menentukan siapa yang benar-benar mengendalikan tempat ini."
Suara air menetes dari langit-langit… suara langkah kaki penjaga mendekat… pintu besi bergetar sedikit… lalu kembali sunyi.
Max mengangguk perlahan. Matanya bersinar penuh antisipasi.
"Baiklah… aku akan menikmati ini."
—
Malam yang Gelap, Pemburu yang Bangkit
Dua hari kemudian, luka-luka mereka sudah cukup sembuh untuk bertarung. Kenzo dan Max berdiri di sudut kafetaria penjara, mengamati setiap tahanan dengan seksama.
Daren, pria dengan wajah seperti batu dan mata penuh perhitungan, duduk di meja tengah, dikelilingi oleh anak buahnya. Axel, seorang pria besar dengan otot seperti baja, sedang melahap makanannya tanpa peduli pada sekelilingnya. Di sisi lain, Lucas dan dua bawahan Pangeran berbicara pelan, mata mereka sesekali melirik ke arah Kenzo dan Max.
Suara logam beradu… seseorang menjatuhkan sendok… suara bisikan para tahanan… ketegangan mulai terasa di udara.
Max berbisik pelan.
"Aku ingin menghancurkan mereka sekarang."
Kenzo menggeleng.
"Terlalu dini. Kita buat mereka merasa aman dulu. Lalu, saat mereka lengah… kita serang."
Max terkekeh pelan.
"Kau benar-benar iblis yang cerdas, Kenzo."
Kenzo hanya tersenyum tipis.
"Kita bukan iblis. Kita hanya pemburu yang baru saja memulai perburuan."
Suara angin bertiup pelan dari ventilasi… suara langkah berat seorang penjaga yang berlalu… lalu hanya keheningan yang mencekam.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 36 Episodes
Comments