Bab 5 Penguasa Sementara

Di bawah pohon yang rindang, Kenzo bersandar dengan santai di tembok beton kokoh yang membatasi lapangan. Sehelai rumput hijau terselip di sudut bibirnya, digigit ringan seolah tanpa beban.

Tatapannya kosong, tapi kesadarannya tajam.

Matanya menyapu pemandangan lapangan luas di hadapannya. Rumput hijau terhampar, begitu kontras dengan tempat ini—Penjara Isolasi Barisan Terpidana Mati.

Di sekeliling lapangan, pohon-pohon platanus tua berdiri tegak, usianya mungkin lebih dari dua puluh tahun.

Tampaknya, keberadaan mereka adalah pengingat bisu…

Bahwa para narapidana di sini sudah mendekam dalam gelap lebih dari dua dekade.

Bahwa tidak ada yang bisa lolos dari jeratan waktu… kecuali kematian itu sendiri.

---

Dari kejauhan, Max berjalan santai menuju Kenzo, masih mengunyah sisa telur goreng yang tadi ia ambil dengan paksa.

Setiap langkahnya seolah mengguncang tanah, penuh percaya diri, penuh kesombongan.

"Hei, bocah… Sepertinya kau benar-benar punya bakat membuat orang gemetar ketakutan."

Max menyeringai, berdiri di samping Kenzo sambil meregangkan ototnya.

Dari dalam kafetaria, gemuruh suara masih terdengar. Para tahanan di dalam sana belum sepenuhnya pulih dari kejutan akibat apa yang baru saja terjadi.

Kematian narapidana berwajah gemuk tadi menjadi pengingat bahwa hukum di tempat ini berbeda.

Di sini, kekuatan bukan sekadar alat untuk bertahan hidup, melainkan satu-satunya hukum yang berlaku.

---

Tap… Tap… Tap…

Suara langkah kaki terdengar mendekat dari arah pintu selatan lapangan.

Beberapa orang tahanan keluar, sebagian besar berbadan kekar, tubuh mereka penuh tato simbol geng dan lambang kehormatan dari dunia kriminal.

Mereka berjalan santai, tapi tatapan mereka tertuju pada dua orang baru yang kini menjadi pusat perhatian—Kenzo dan Max.

Beberapa tahanan lain yang sebelumnya berada di lapangan mulai berkumpul di sekitar, menciptakan atmosfer yang lebih tegang.

Dari tempatnya, Kenzo menghela napas pelan.

"Hmph… Sepertinya kita benar-benar menarik banyak perhatian." kata Max, masih dengan nada santai.

Kenzo hanya mengangkat bahu, lalu melemparkan sehelai rumput dari mulutnya ke tanah.

Angin berhembus lebih kencang.

Dan di dalam keheningan yang mendadak, pertunjukan baru saja dimulai…

Angin bertiup kencang… Daun-daun platanus berguguran… Derap langkah berat menggema di antara dinding beton penjara…

Di atas batu besar yang jaraknya seratus meter, Max berjongkok santai, menatap dengan senyum yang tak bisa dijelaskan. Seolah ia hanya menunggu pertunjukan yang menarik untuk dimulai.

Sementara itu, para tahanan perlahan keluar dari kafetaria.

Namun, berbeda dari yang dikatakan pria berwajah panjang itu, tak ada perkelahian. Tak ada teriakan. Tak ada provokasi keras.

Mereka hanya berdiri, berjongkok, atau duduk dalam formasi yang aneh—membentuk lingkaran besar dengan diameter lebih dari tiga ratus meter.

Dan pusat lingkaran itu adalah Kenzo.

Di sudut lapangan, pemuda itu tetap bersandar santai. Seolah-olah tak menyadari puluhan pasang mata yang menatapnya dengan penuh kegembiraan—atau mungkin, kehausan akan darah.

Bahkan para sipir penjara yang biasanya acuh tak acuh kini keluar dari pos mereka. Tertarik… atau mungkin, hanya ingin menonton pertunjukan lain di dalam Colosseum bernama Penjara Isolasi Barisan Terpidana Mati ini.

Namun, Kenzo tetap tak terganggu.

Ia hanya menunduk, mengunyah rumput hijau yang terselip di bibirnya, menikmati rasa pahit dan segar yang tak terlukiskan.

---

Tap… Tap… Tap…

Dari kerumunan, seorang pria bertubuh kekar melangkah masuk ke dalam lingkaran.

Di belakangnya, lebih dari tujuh puluh tahanan mengikuti dengan langkah mantap.

Lelaki itu bertubuh besar, agak buncit, namun otot-ototnya menonjol di balik baju tahanannya yang tampak ketat dan hampir robek.

Berbeda dari yang lain, ekspresinya kosong.

Namun setiap gerakannya memancarkan aura garang, dan dari mata dinginnya, sesekali terpancar cahaya buas—seperti binatang liar yang sudah lama terbiasa dengan darah dan kematian.

Dia berdiri tegak, menatap Kenzo dari atas ke bawah dengan tatapan penuh penilaian.

"Perkenalkan…" suaranya berat dan dingin. "Nama saya Chalk. Saya bawahan Saudara Kaneo. Selama beberapa hari ketika saudara Kaneo pergi, saya yang akan mengambil alih Gedung Darah Harimau. Kau bisa memanggilku Saudara Chalk."

---

Kenzo menghela napas pelan.

Sepertinya… tidak ada yang ingin membiarkannya hidup damai di tempat ini.

Ia mengangkat kepalanya perlahan, menatap Chalk dengan senyum sopan namun datar.

"Halo, nama saya Kenzo. Ada yang bisa saya bantu?"

---

"Sialan! Ada apa dengan nada bicaramu, bocah?! Kau pikir kau siapa, berani bicara seperti itu pada saudara Chalk?!"

Suara bentakan keras menggema di udara.

Seorang pria dengan bekas luka panjang di wajah dan mata kanan yang hampir buta maju selangkah, menatap Kenzo dengan penuh amarah.

Namun sebelum ia bisa berkata lebih jauh, Chalk mengangkat tangannya, memberi isyarat agar pria itu diam.

Ia kembali menatap Kenzo.

"Anak muda memang selalu sombong, tidak apa-apa…" katanya, nada suaranya lebih rendah, tapi penuh tekanan.

"Namun, di dunia ini, ada hukum yang harus dipatuhi. Negara punya hukumnya sendiri, dan keluarga punya aturannya sendiri."

"Aku tidak peduli siapa kau atau pencapaian luar biasa apa yang telah kau buat sebelum datang ke sini. Tapi di Gedung Darah Harimau, ada aturan yang harus diikuti."

Kenzo tetap diam.

Namun di dalam hatinya, ia tahu ke mana arah pembicaraan ini akan berujung.

Seperti yang diduga…

"Tadi malam, kau membunuh seseorang karena perselisihan. Itu adalah pelanggaran aturan serius di Gedung Darah Harimau."

"Sebagai penguasa sementara, aku tak bisa membiarkan aturan ini dilanggar begitu saja saat saudara Kaneo tidak ada."

"Jadi…"

Chalk berhenti sejenak.

Senyum tipis terukir di wajahnya.

"Jadi, kau harus tunduk kepada setiap saudara di Gedung Darah Harimau. Selain itu, karena kau telah membunuh saudaramu sendiri, kau harus memotong dua jarimu."

Di belakangnya, beberapa tahanan menyeringai kejam.

"Meskipun kau pendatang baru, hukum tetap hukum. Tak ada pengecualian."

Chalk mendekat selangkah, suara beratnya terdengar seperti palu yang menghantam udara.

"Lakukan sendiri."

---

Kriiiing… kriiiing…! Suara ranting-ranting pohon bergesekan… Angin bertiup lebih kencang… Daun-daun kering berterbangan di udara…

Namun Kenzo tetap diam.

Ia hanya menatap Chalk, ekspresinya masih tenang dan tak tergoyahkan.

Seolah pria kekar di hadapannya hanyalah bayangan yang tak berarti.

Keheningan panjang menggantung di udara.

Para tahanan di sekeliling menahan napas, menunggu jawaban dari pemuda yang baru saja membuat kekacauan semalam.

Dan di atas batu besar seratus meter dari sana, Max masih menyeringai, matanya berbinar menikmati pertunjukan yang akan datang.

Di sisi lapangan, sipir penjara saling bertukar pandang, beberapa bahkan menyeringai tipis.

Seolah mereka sudah tahu apa yang akan terjadi berikutnya…

Seolah mereka tahu bahwa di dalam Colosseum ini… hanya ada satu hukum yang berlaku…

Hukum rimba.

Hukum siapa yang lebih kuat, dialah yang akan bertahan hidup.

Dan kini, semua mata tertuju pada Kenzo…

Menunggu jawaban yang akan mengubah segalanya.

Angin bertiup pelan… Daun-daun platanus melayang di udara… Udara bergetar oleh ketegangan yang membara…

Kenzo menatap Chalk, lalu melayangkan pandangannya pada lebih dari tujuh puluh tahanan di belakangnya dan kerumunan besar yang mengelilingi mereka.

Senyum getir terukir di wajahnya.

Ia menggelengkan kepala, lalu berkata pelan:

"Aku tidak ingin mencari masalah. Aku hanya ingin menghabiskan dua tahun ke depan di tempat ini dengan tenang."

Suara Kenzo terdengar datar, nyaris tanpa emosi.

"Mengapa kalian ingin aku melakukan ini? Aku sungguh tidak ingin melakukannya…"

Keheningan menyelimuti tempat itu.

Namun, kalimat berikutnya menghantam udara seperti petir di siang bolong.

"Kau boleh mengambil jariku…" Kenzo mengangkat tangannya, jari telunjuk dan tengahnya sedikit bergerak.

"Tapi aku tidak pantas untuk kau tundukkan."

Matanya bersinar dingin, penuh keteguhan yang tak tergoyahkan.

"Aku, Kenzo, hanya berlutut kepada langit, bumi, orang tuaku, dan guruku. Aku tidak akan pernah berlutut di hadapan siapa pun."

---

"Bah...haha…! Kau terlalu sombong!"

Suara tawa kasar membelah kesunyian.

Seorang tahanan berwajah penuh luka melangkah maju. Mata kanannya yang cacat berkilat penuh penghinaan.

"Di gedung Timur, di Gedung Darah Harimau kami, Kaneo dan Chalk adalah orang tua kandungmu!"

---

Duar…!

Seperti sumbu api yang tersulut…

Tatapan Kenzo berubah dalam sekejap.

Dari tenang dan tak acuh, menjadi sedingin kematian.

Matanya menyipit tajam, membara seperti dua cahaya merah dari jurang neraka.

Dan… hanya sekedip mata, pria berwajah luka itu menggigil hebat.

Tubuhnya gemetar tanpa kendali.

Dari ujung kepala hingga ujung kaki, keringat dingin mengalir deras meski matahari bersinar terik.

Seolah tikus yang baru saja bertatapan dengan ular berbisa.

Namun, di depan semua tahanan dan sipir, bagaimana mungkin dia mundur begitu saja?

Chalk terbatuk pelan, memberikan isyarat kecil.

Dan dalam sekejap…

Pria berwajah luka itu melompat ke depan!

Kakinya berputar di udara—menendang ke arah kepala Kenzo dengan kecepatan kilat!

Wushh! Angin tendangan melesat tajam!

—Namun, saat itu juga…

Kenzo tersenyum sinis.

Duar…!

Hanya satu benturan.

Satu benturan tumpul antara pergelangan kaki dan pergelangan tangan.

Namun hasilnya…

Kenzo tidak bergeming.

Sebaliknya…

Pria berwajah luka itu terlempar mundur!

Sebelum bisa menyadari apa yang terjadi, Kenzo bergerak.

Dalam satu tarikan napas, tangan kanannya mencengkeram kaki pria itu…

Dan…

Breett!

Mengayunkannya ke belakang sekuat tenaga!

BRAKK!

Tubuh pria itu menabrak tembok batu seperti karung daging!

Darah bercipratan ke mana-mana…!

Tahanan lain bergidik ngeri.

Dinding tempat pria itu menghantam basah oleh darah dan otak yang pecah.

Tak ada jeritan kesakitan…

Tak ada ratapan meminta ampun…

Pria berwajah luka itu mati seketika.

Keheningan menyelimuti Colosseum buatan ini.

Beberapa tahanan memuntahkan sarapan yang baru mereka makan.

Sedangkan Chalk…

Matanya berkedut, wajahnya tegang, dan otot-ototnya mengeras.

Namun sebelum dia sempat berkata apa pun…

Kenzo mendongak.

Ia menatap langsung ke arah Chalk dan berkata dengan suara berat:

"Kalian boleh menghinaku, dan aku boleh mengacungkan jari tengahku…"

"Tetapi jangan pernah mengolok-olok orang tuaku."

Srak!

Kenzo mengangkat kakinya, lalu menendang seorang tahanan di depannya.

Duar!

Pria itu terlempar jauh, menghantam tujuh orang lainnya berturut-turut!

Jalan pun terbuka.

Dan tanpa ragu, Kenzo melangkah pergi.

---

"Kenzo! Kau bertindak terlalu jauh!"

Chalk meraung!

Tiba-tiba…

Ia melesat ke depan!

Dengan kecepatan dan kekuatan luar biasa, tinju kanannya meluncur deras ke arah bagian belakang kepala Kenzo!

Anginnya berdesing tajam, membelah udara dengan kekuatan yang bisa menghancurkan batu!

Tahanan-tahanan yang menyaksikan membelalak kaget.

Mereka tahu…

Chalk bukan orang sembarangan.

Sebagai orang nomor dua di Gedung Darah Harimau, kekuatannya hanya kalah dari Kaneo.

Bahkan, dalam seluruh gedung Timur, hanya ada lima belas orang yang bisa menandingi kekuatannya.

Dan hari ini, di bawah tatapan ratusan orang, ia ditantang oleh pemuda baru yang sombong ini.

---

Apakah Chalk akan menghabisi Kenzo dalam satu serangan?

Ataukah…

Pemuda itu masih menyimpan kekuatan yang belum ia tunjukkan?

Wuuussshh…!

Udara bergetar.

Angin berdesir tajam, membawa tekanan mencekam yang menyelimuti lapangan.

Chalk, orang nomor dua di Gedung Darah Harimau, mengerahkan seluruh kekuatannya!

Demi martabat Gedung Darah Harimau…

Demi gengsi di hadapan ratusan mata yang menyaksikan…

Demi menghancurkan keangkuhan seorang bocah bernama Kenzo…

Ia meluncurkan tinju mautnya!

Duarr!!

Udara meledak ketika tinjunya menembus angin.

Kekuatan ini bisa meremukkan batu!

Tak ada yang meragukan, sekali saja tinju itu mengenai kepala Kenzo, maka pemuda itu akan remuk seketika.

Namun…

Tepat pada saat itu…

---

Kenzo berhenti.

Ia memutar tubuhnya dengan cepat, menatap langsung ke arah tinju yang meluncur ke arahnya.

Dan dalam sekejap mata…

DUAR!!

Dua tinju bertemu dalam benturan dahsyat!

Suara gelegar keras mengguncang seluruh lapangan seperti guntur yang menghantam bumi.

Getaran menyebar ke segala arah!

Tanah di bawah mereka bergetar hebat…

Udara bergejolak seperti ombak yang menghantam karang…

Dan…

SRAKK!!

Chalk terpental ke belakang!!

Tubuhnya terhuyung-huyung, kedua kakinya meninggalkan jejak panjang di tanah saat ia berusaha menahan diri agar tidak jatuh.

Di sisi lain…

Kenzo tetap berdiri tegak.

Tak ada tanda-tanda terhuyung, tak ada ekspresi kesakitan.

Yang ada hanya senyum tipis di bibirnya.

Senyum yang bukan dari kesombongan, melainkan dari kebosanan.

Seolah Chalk bukan lawan yang layak untuk diperhitungkan.

---

Para tahanan membelalak tak percaya.

Sipir-sipir penjara menahan napas.

Sementara itu, di atas batu raksasa tak jauh dari sana…

Si Harimau Gila—tertawa kecil.

"Menarik… Menarik sekali…" gumamnya pelan, sorot matanya penuh kegembiraan liar.

Seolah baru saja menemukan sesuatu yang sangat menghibur.

---

Sementara itu…

Chalk menggertakkan giginya.

Tangannya bergetar.

Rasa mati rasa menyebar dari buku-buku jarinya ke seluruh lengan.

Ia menatap Kenzo dengan mata melebar, tak percaya dengan apa yang baru saja terjadi.

Sebagai salah satu petarung terkuat di gedung Timur, ia tak pernah menyangka akan kalah dalam benturan kekuatan murni.

"Tidak mungkin…" gumamnya dalam hati.

Namun rasa sakit di tinjunya adalah kenyataan yang tak bisa dibantah.

Dan yang paling menghancurkan mentalnya adalah…

Kenzo bahkan tidak menganggapnya serius.

Ia tidak mengambil sikap bertarung, tidak menunjukkan niat membunuh…

Ia hanya memukul balik secara refleks.

Dan tetap menang dengan mudah.

---

Keheningan melanda gedung Timur.

Hanya desiran angin yang terdengar, membawa aroma darah yang masih segar.

Di tengah keheningan itu, Kenzo akhirnya berbicara.

"Aku sudah bilang…" katanya pelan, suara tenangnya mengandung ketegasan yang tak terbantahkan.

"Aku tidak ingin mencari masalah."

Tatapannya menyapu seluruh tahanan yang mengelilinginya.

"Tapi jangan paksa aku untuk membantai kalian semua di tempat ini."

---

Chalk mengepalkan tangannya.

Wajahnya merah padam, entah karena amarah atau malu.

Namun…

Sebelum ia sempat melancarkan serangan lagi…

CLAP… CLAP… CLAP…!

Suara tepuk tangan terdengar dari arah batu raksasa.

Harimau Gila tertawa lebar.

"Luar biasa, luar biasa…" katanya sambil melompat turun.

Ia mendarat dengan ringan, lalu berjalan mendekati Kenzo dengan senyum lebar.

Sorot matanya berkilat penuh rasa ingin tahu.

"Aku semakin penasaran… Seberapa kuat sebenarnya dirimu?"

Dan dengan itu…

Sebuah pertarungan baru pun di ambang pintu.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!