Arena Darah

Keesokan harinya, Rai dan Rivia tiba di Arena Darah, sebuah bangunan besar yang tersembunyi di bawah tanah, di balik sebuah gudang tua di pusat wilayah Iron Fang.

Dari luar, tempat ini terlihat biasa saja, tetapi begitu mereka melewati lorong-lorong rahasia, suasana berubah drastis.

Dindingnya berlapis baja tebal, diterangi lampu merah redup.

Teriakan dan sorakan terdengar dari dalam, bercampur dengan suara dentingan besi dan gelegar tubuh yang bertabrakan.

Arena utama berbentuk lingkaran besar, dikelilingi oleh tribun VIP tempat para penonton kelas atas duduk menikmati pertarungan mematikan.

Di tengah arena, dua Player bertarung brutal, darah mereka mengotori lantai pasir.

Salah satu dari mereka mencoba menyerang, tetapi dalam satu gerakan cepat, lehernya ditebas, dan tubuhnya tumbang tanpa nyawa.

Sorakan menggema di seluruh ruangan.

Rai tetap diam, tetapi matanya mengamati setiap sudut tempat itu.

Di sisi lain tribun, ada sekelompok orang berbaju hitam dengan lambang khusus di dada mereka.

Bloodhound.

Pasukan elit Iron Fang, berisi Player Rank A, pemburu tanpa belas kasihan.

Dan di tengah mereka, duduk seorang pria bertubuh besar dengan wajah penuh bekas luka.

Togar.

Rai mengepalkan tangannya di balik mantel panjangnya.

Akhirnya aku menemukanmu.

Rivia yang berdiri di sampingnya menyandarkan tubuhnya dengan manja.

"Menarik, bukan?" bisiknya.

Rai menoleh, tersenyum tipis.

"Ya… sangat menarik."

***********************************

Setelah beberapa malam mengunjungi Arena Darah, Rai akhirnya mendapatkan kesempatan untuk mendekati Togar.

Rivia, yang semakin nyaman dengannya, membawanya ke area VIP pribadi, sebuah ruangan mewah yang hanya bisa diakses oleh petinggi Iron Fang.

Malam itu, arena tengah menyajikan pertarungan berdarah antara dua Player Rank C, tetapi perhatian Rai hanya terfokus pada satu orang.

Togar.

Lelaki bertubuh besar itu duduk di kursi paling depan, segelas minuman keras di tangannya.

Wajahnya penuh bekas luka, tubuhnya kekar, dan sorot matanya dingin seperti algojo.

Di sekelilingnya, beberapa pria berbaju hitam dengan lambang taring merah di dada mereka berdiri dengan sikap waspada.

Bloodhound.

Pasukan elit Iron Fang, yang selama ini tersembunyi di balik bayang-bayang, kini berdiri tepat di hadapan Rai.

Rivia menarik tangan Rai dan membawanya lebih dekat.

"Duduk di sini," katanya sambil menepuk kursi di sebelahnya.

"Aku ingin mengenalkanmu pada seseorang."

Saat itulah mata Togar bertemu dengan mata Rai.

Seketika, udara di ruangan itu berubah.

Rai bisa merasakannya.

Darahnya mendidih.

Pembunuh keluarganya kini hanya berjarak beberapa langkah di depannya.

Tetapi dia menahan diri, dia tidak bisa gegabah.

Rivia tersenyum dan mengangkat gelasnya.

"Togar, kenalkan, ini tangan kananku Rai, dia cukup berbakat dalam bertarung."

Togar menatapnya dari ujung kaki hingga kepala, lalu mendengus kecil.

"Hmph, anak muda ini? Rivia, kau selalu punya selera aneh, aku tidak yakin jika dia hanya menjadi petarungmu, bagaimana jika Damar mengetahuinya," katanya dengan suara berat.

"Huh lupakan Pria itu, dia sibuk dengan dirinya sendiri," dengus Rivia.

"Haha, Saat ini Damar sedang sibuk menguasai daerah Riau."

Pandangan Togar kembali ke arah Rai.

Rai tersenyum tipis, lalu mengulurkan tangan.

"Sebuah kehormatan bisa bertemu langsung dengan tangan kanan tuan Damar the Butcher."

Togar menatap tangan itu selama beberapa detik.

Lalu, dengan gerakan pelan, dia menyambut uluran tangan Rai.

Untuk pertama kalinya, tangan pembunuh dan tangan pembalas dendam bersentuhan.

Rai bisa merasakan kekuatan di balik genggaman itu, keras, kasar, penuh pengalaman membantai.

Togar menarik tangannya kembali dan meneguk minumannya.

"Nikmati waktumu disini, bocah," katanya dingin.

Rai hanya membungkukan badan sampai Togar kembali ke kursinya.

*********************************

Malam itu, setelah pertemuan dengan Togar, Rai berpisah dengan Rivia untuk mencari udara segar di luar arena.

Namun, langkahnya baru beberapa meter saat seseorang menghentikannya.

Seorang pria berbadan tegap dengan tatapan tajam.

Seragam hitam dengan lambang taring merah di dadanya memberi tahu Rai bahwa pria ini adalah bagian dari Bloodhound, pasukan elit Iron Fang.

Rai memperhatikan pria itu dengan tenang, bersiap menghadapi segala kemungkinan.

Namun, yang terjadi justru mengejutkannya.

Pria itu menghela napas dan menatap Rai dengan ekspresi ragu.

"Aku butuh bantuanmu," katanya pelan.

Rai menyipitkan mata.

"Bantuan? seorang Bloodhound?"

Pria itu mengangguk.

"Namaku Kian, dan aku ingin kau membantuku… dengan Rivia."

Sejenak, Rai terdiam.

Dari semua hal yang dia duga akan terjadi, ini bukan salah satunya.

Kian melanjutkan, suaranya lebih pelan, seolah takut ada yang mendengar.

"Aku sudah lama mengabdi di Iron Fang, bertarung dan membunuh demi guild ini, tapi hanya satu hal yang selalu aku inginkan… Rivia."

Rai menatapnya tajam, berusaha membaca maksud di balik permintaannya.

"Dan kau ingin aku… menjembatani kalian?" Rai bertanya dengan nada skeptis.

Kian mengangguk cepat.

"Kau dekat dengannya, aku melihat bagaimana dia memperlakukanmu, aku tahu ini terdengar konyol, tapi…aku tidak bisa terus menyimpan perasaan ini sendiri."

Rai berpikir cepat.

Kian adalah anggota Bloodhound. Salah satu pasukan elit yang paling tertutup di Iron Fang.

Jika dia bisa memanipulasinya, ini bisa menjadi celah besar untuk mendapatkan informasi rahasia.

Namun, dia tidak bisa terburu-buru.

"Aku tidak yakin bisa membantumu," kata Rai santai, berpura-pura tidak terlalu tertarik.

"Rivia bukan tipe wanita yang mudah dipengaruhi."

Kian mengepalkan tangannya, lalu menatap Rai dengan penuh harapan.

"Tolong, aku akan melakukan apa pun sebagai balasannya."

Rai tersenyum dalam hati.

Kesempatan itu akhirnya datang dengan sendirinya.

"Baiklah," katanya akhirnya.

"Aku tidak berjanji apa-apa, tapi aku akan mencoba."

Kian mengangguk penuh rasa terima kasih.

Rai tahu ini adalah awal dari sesuatu yang jauh lebih besar.

Jika dia bisa menarik Kian ke sisinya maka sedikit demi sedikit Tabir tertutup Bloodhound akan terbuka

*************************************

Keesokan harinya, sesuai rencana, Kian datang menemui Rai di tempat biasa mereka bertemu.

Namun, begitu Rivia melihatnya, ekspresinya langsung berubah dingin.

Tatapan tajamnya menusuk seperti belati.

"Mau apa dia di sini?" Rivia bertanya, suaranya penuh kecurigaan.

Kian, yang tidak menyadari ketegangan di udara, hanya tertawa kecil dan mengangkat tangan.

"He he… jangan salah sangka, Rivia, aku ke sini bukan untuk mengganggumu."

Dia menunjuk Rai dengan ekspresi polos.

"Aku hanya ingin berbicara dengannya."

Rivia mengangkat alis, lalu menoleh ke arah Rai.

Namun, sebelum dia bisa berkata lebih jauh, Rai hanya tersenyum santai.

"Tenang saja sayang, aku akan menemuinya sebentar, lalu kembali padamu."

Rivia masih tampak tidak senang, tetapi akhirnya hanya mendesah sebelum berbalik pergi.

Begitu dia pergi, Kian langsung menatap Rai dengan ekspresi penuh harapan.

"Bagaimana? Kau sudah bicara dengannya?"

Rai menyandarkan diri ke dinding, pura-pura berpikir.

"Aku sudah mencoba, tapi seperti yang kuduga, Rivia bukan orang yang mudah tertarik."

Wajah Kian menegang, jelas kecewa.

Namun, sebelum dia bisa merespons, Rai menepuk bahunya.

"Tapi… dia tidak menunjukkan penolakan yang jelas, itu berarti masih ada peluang."

Ekspresi Kian langsung berubah, ada harapan di matanya.

"Serius?!"

Rai hanya mengangguk santai.

"Tentu saja, tapi butuh waktu."

Kian tersenyum lega, lalu menepuk dada Rai dengan penuh semangat.

"Terima kasih, Rai. Kau benar-benar teman yang bisa diandalkan!"

Rai hanya tersenyum samar.

Dia bukan teman Kian.

Dia adalah musuh dalam selimut.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!