Berburu Player

Malam menyelimuti kota yang hancur, lampu-lampu redup menerangi jalanan yang dipenuhi reruntuhan dan sisa-sisa kehidupan lama.

Di atas salah satu gedung tua yang masih berdiri kokoh, Rai berjongkok, matanya tajam mengamati pergerakan di bawah dengan alat teropong khusus.

Alat itu bukan sekadar teropong biasa pemberian Profesor, sebuah perangkat yang dapat mendeteksi mana dalam tubuh seseorang, membedakan Player dan manusia biasa.

Malam ini, Rai berburu.

Dan buruannya telah muncul.

Di kejauhan, dua pria berjaket kulit hitam berlari mengejar seorang wanita yang tampak ketakutan.

Dari ekspresi mereka, jelas mereka tidak sekadar ingin merampok.

Rai mengamati mereka dengan tenang, lalu teropongnya menunjukkan aura mana dari kedua pria itu.

Player Rank E.

Rai menyeringai tipis.

"Sempurna."

Wanita itu berlari, napasnya tersengal, tubuhnya gemetar ketakutan.

Kakinya berbelok ke gang sempit, berharap bisa lolos dari kejaran mereka.

Namun langkahnya terhenti.

Di depannya hanya ada dinding bata tinggi yang menutup jalan.

Sial!

Ia menoleh, kedua pria itu sudah berdiri di mulut gang, menatapnya dengan senyum licik.

"Hei, cantik... mau lari kemana?" kata salah satu dari mereka dengan nada melecehkan.

"Kau seharusnya bersyukur bisa melayani Player seperti kami," tambah yang satunya.

Wanita itu menggeleng panik, air matanya mulai mengalir.

"T-tolong... Aku hanya bekerja di sana... aku tidak melakukan apa-apa..."

Salah satu pria itu tertawa kecil, lalu berjalan mendekat.

"Wanita seperti kau seharusnya tahu tempatnya."Tangannya terangkat, bersiap meraih wanita itu.

Namun sebelum ia bisa menyentuhnya, suara dingin terdengar dari belakang mereka.

"Dua tikus sedang memojokkan seekor kelinci...menyedihkan."

Kedua Player itu menoleh dengan kesal.

Di ujung gang, seorang pria berdiri dengan jaket hitam panjang, wajahnya setengah tertutup bayangan.

Mata dinginnya menatap mereka tanpa emosi.

"Siapa kau?! Berani mengganggu kami?" bentak salah satu Player.

"Kau sudah tidak sayang nyawa, tampaknya," sahut yang lain.

Rai tidak menjawab, tatapan matanya seolah menembus mereka, melihat mereka hanya sebagai target, bukan manusia.

"Seekor hama berbicara besar." Hina si Player marah, mencabut pisau dari pinggangnya.

"Biar kubunuh dia!"

Ia menerjang Rai dengan cepat, pisaunya berkilat di bawah cahaya lampu.

Namun sebelum pisaunya mencapai tubuh Rai...

DOR!

Suara tembakan terdengar.

Si Player berhenti, matanya melebar.

Tubuhnya tidak terluka, tetapi ada sesuatu yang berbeda.

"A-apa ini...?!"

Tangannya bergetar, tubuhnya terasa lemah.

"Bagaimana rasanya menjadi manusia biasa?" tanya Rai dengan senyum dingin.

Pemain itu merasakan mana di tubuhnya menghilang, seolah dirinya bukan Player lagi.

Ia menatap Rai dengan ketakutan.

"Ka-kau apa yang kau lakukan padaku?!"

Rai tidak menjawab.

Ia mengangkat pistol satunya, senjata sungguhan dan mengarahkannya ke dahi pria itu.

DOR!

Satu tembakan.

Darah menyembur, dan pria itu jatuh ke tanah tak bernyawa.

Player yang tersisa melangkah mundur, wajahnya pucat melihat temannya mati dengan mudah.

"Ka-kau... bagaimana bisa?!"

Ia tahu betul Player tidak bisa dibunuh dengan senjata biasa.

Kulit mereka diperkuat oleh mana, membuat mereka kebal terhadap senjata manusia biasa.

Namun temannya mati hanya dengan satu peluru.

Rai tetap diam, menatapnya dengan tatapan tanpa belas kasihan.

Player itu mengaktifkan skill-nya.

Tubuhnya mulai berubah menjadi logam, mencerminkan cahaya di bawah lampu jalan.

"Iron Body."

Sebuah skill yang memberikan perlindungan mutlak, membuat penggunanya kebal terhadap peluru dan serangan fisik.

Dengan percaya diri, Player itu berjalan ke arah Rai.

"Coba tembak aku lagi."

Senyum sinis muncul di wajah Rai.

Ia menurunkan pistolnya, lalu menarik pelatuk.

DOR!

Peluru mengenai tubuh Player itu.

Namun sesuatu yang aneh terjadi.

Armor logam yang menyelimuti tubuhnya menghilang dalam sekejap.

"A-apa?! Apa yang terjadi?!"

Matanya melebar, panik.

Tubuhnya kembali menjadi daging dan darah, skill-nya benar-benar menghilang.

"Ka-kau... tunggu sebentar! Kita bisa bicara!"

Rai tidak tertarik berbicara.

"Terlambat."

DOR!

Tembakan terakhir mengakhiri nyawanya.

Tubuhnya tersungkur di tanah, darah menggenang di bawah kepalanya.

Wanita yang tadi hampir menjadi korban terus berdiri di tempatnya, gemetar.

Matanya menatap dua mayat Player yang mati dalam hitungan detik.

Takut.

Namun sekaligus lega.

"Kau... siapa?" tanyanya dengan suara bergetar.

Rai menatapnya sebentar, lalu berbalik.

"Pergilah. Anggap kau tidak melihat apa-apa."

Wanita itu menelan ludah, lalu mengangguk cepat.

"Te-terima kasih, Tuan!"

Tanpa membuang waktu, ia berlari pergi, meninggalkan gang yang kini dipenuhi darah.

Rai menatap mayat di depannya, lalu merogoh sakunya, mengeluarkan ponsel kecil.

Ia menekan sebuah nomor.

Tak butuh waktu lama, telepon diangkat.

"Disini ada dua mayat Player," kata Rai dengan suara datar.

"Segera merapat."

Suara di ujung telepon tertawa kecil.

"Seperti biasa, cepat dan bersih."

"Aku segera ke sana."

Rai menutup telepon, lalu menatap langit malam.

Dua Player bukan apa-apa.

**************************

Rai akhirnya kembali ke markas rahasianya, sebuah bangunan tua yang tersembunyi di antara reruntuhan kota.

Langkahnya terasa berat.

Meski pertempuran tadi singkat, perburuan tetaplah melelahkan.

Begitu memasuki markas, ia menjatuhkan diri di kursi, merenggangkan tubuhnya yang tegang.

Dari dalam ruangan, seorang pria paruh baya dengan kacamata tebal dan rambut berantakan berjalan mendekat, menatapnya dengan senyum tipis.

"Kerja bagus, Nak," ucap pria itu.

"Bukan apa-apa, Prof," jawab Rai, menghembuskan napas panjang.

Pria itu adalah Profesor Lamberto, seorang ilmuwan yang selama ini menjadi sekutu terpenting Rai dalam misinya.

Tanpa Profesor, Rai tidak akan memiliki senjata yang mampu melawan Player.

Dan salah satu ciptaan Profesor yang paling berguna adalah Disruptor.

Rai mengangkat pistolnya, Disruptor, lalu memeriksa amunisinya.

Senjata ini tidak membunuh secara langsung, tetapi memiliki efek yang jauh lebih menakutkan bagi Player.

Menghapus kemampuan mereka untuk sementara waktu.

"Disruptor memang luar biasa..." gumam Rai, mengamati senjata itu.

Profesor mengangguk, lalu duduk di kursinya, menyalakan beberapa layar monitor yang menampilkan data tentang senjata tersebut.

"Sayangnya, senjata ini masih memiliki keterbatasan," katanya.

Disruptor hanya efektif melawan Player Rank E dalam waktu yang cukup lama.

Tetapi untuk Player Rank D, C dan B, efeknya semakin melemah:

Player Rank D hanya kehilangan kemampuan selama 30 detik.

Player Rank C hanya kehilangan kemampuan selama 15 detik.

Player Rank B bahkan hanya 5 detik.

Sedangkan Player Rank A ke atas? Tidak berpengaruh sama sekali.

Rai mendengar penjelasan itu dengan tenang.

Ia sudah tahu semua itu.

Namun masalahnya, musuh utamanya bukan hanya Player Rank E.

Ia harus menemukan cara untuk menghadapi Player yang jauh lebih kuat.

"Profesor," kata Rai akhirnya.

"kira-kira masih membutuhkan berapa mayat Player lagi untuk menjalankan rencana berikutnya?"

Profesor tidak langsung menjawab.

Ia mulai mengetik cepat di keyboardnya, memeriksa data yang tersimpan di dalam sistemnya.

Beberapa grafik dan angka muncul di layar, menghitung jumlah mana yang telah dikumpulkan dari mayat-mayat Player sebelumnya.

"Hmmm..." Profesor menggumam.

"Kalau melihat dari data ini, masih perlu banyak sekali mayat Player untuk eksperimen kita... kecuali..."

Rai langsung menatapnya.

"Kecuali apa?"

Profesor menoleh ke arah Rai dengan ekspresi serius.

"Kecuali kau mulai memburu Player Rank D."

Ruangan itu terdiam sesaat.

Rai menggelengkan kepalanya.

"Itu terlalu berat," katanya dengan nada tegas.

"Aku tidak akan bisa bertahan melawan Player Rank D tanpa strategi yang matang."

Rai tahu betul bahwa Player Rank D jauh lebih berbahaya dibandingkan Rank E.

Mereka bukan hanya lebih kuat secara fisik, tetapi juga memiliki skill yang lebih kompleks dan sulit dihadapi.

Jika Disruptor masih bisa menonaktifkan mereka, maka itu hanya keuntungan kecil.

Namun tetap saja, tanpa perencanaan matang, berburu Player Rank D sama saja dengan bunuh diri.

Profesor menghela napas, lalu mengangguk pelan.

"Aku mengerti," katanya.

"Untuk saat ini, kita tetap dengan rencana lama... Tapi cepat atau lambat, kau harus mulai menaikkan level targetmu, Rai."

Rai tidak membantah.

Ia hanya menatap senjatanya sekali lagi, lalu bersandar di kursinya.

Perburuan masih panjang.

Namun ia tahu, pada akhirnya ia harus menghadapi musuh yang lebih kuat.

Dan saat itu tiba, ia harus benar-benar siap.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!