...Perhatian adegan ini penuh kesadisan dan unsur seksual tidak untuk anak dibawah umur....
Keduanya kembali ke gedung tempat mereka mengobrol sebelumnya.
Rai melangkah masuk, masih mengenakan pakaiannya yang berlumuran debu dan bercak darah dari pertarungan barusan.
Tubuhnya terasa pegal, tapi tidak ada luka serius, Phantom Stride dan kecepatannya memungkinkan dia untuk menghindari sebagian besar serangan lawan.
Rivia mengamatinya dari ujung kaki hingga kepala, lalu tersenyum sambil menuangkan dua gelas anggur.
“Kau mengejutkanku lagi.”
Rai tidak langsung merespons, hanya mengambil gelas yang diberikan dan meneguk isinya tanpa ragu.
Anggur yang mahal, bukan minuman murahan dari bar pasar gelap.
“Jadi, apakah ini cukup membuktikan kemampuanku?” tanyanya, meletakkan gelasnya di meja.
Rivia tersenyum kecil, lalu berjalan mendekat dan duduk dipangkuannya
“Lebih dari cukup.”
Dia menyentuhkan jari ke dada Rai, merasakan detak jantungnya yang masih stabil meskipun baru saja bertarung.
“Kau tenang… bahkan setelah pertarungan sengit.”
Rai tetap diam, membiarkan Rivia mengamatinya sepuasnya.
"Aku sudah melihat kejantananmu dalam pertarungan, tetapi aku belum melihat kejantananmu dalam hal lain."
Rai hanya menyeringai dan berdiri sambil menggendong Rivia dan berjalan menuju Kamar besar dan menutup pintunya.
"Kau akan melihat dan merasakannya."
Rai melepaskan semua pakaian serta perlengkapannya dan melucuti pakaian Rivia.
Keduanya tanpa busana, Rai segera menunjukan skill bercintanya, membuat Rivia hanya bisa merintih dan mendesah.
"Ka-kau luar biasa Rai," pujinya sambil menahan berat tubuh Rai.
Semalaman mereka bergelut diranjang hingga membuat Rivia tidak dapat mempertahankan ekspresi dinginnya
Rai benar-benar mempermainkan tubuh Rivia, membolak-balik tubuhnya sesuka hati dan Rivia memilih pasrah dengan perlakuan Rai.
Rivia baru pertama merasakan hubungan seks seperti ini dan memutuskan bahwa Rai adalah yang terhebat yang pernah dia rasakan.
******************************
Rivia terbangun dengan tubuh masih terasa lemas, sisa kehangatan semalam masih membekas di setiap inci kulitnya.
Selimut tipis melingkari tubuhnya, sementara matanya yang masih setengah terbuka menangkap sosok Rai yang sudah berpakaian lengkap, duduk di tepi ranjang dengan ekspresi tenang.
Dia mengerjapkan mata beberapa kali sebelum menyeringai kecil.
"Pagi, sayang," suaranya sedikit serak, khas seseorang yang baru bangun tidur.
"Mau ke mana pagi-pagi begini?"
Rai menoleh, menatapnya dengan sorot mata yang sulit ditebak. Dengan santai, dia mengulurkan tangan dan menyentuh paha Rivia yang masih tersembunyi di balik selimut.
"Aku sudah menunjukkan kemampuanku," katanya pelan, suaranya penuh keyakinan. "Bagaimana menurutmu? Apakah aku diterima?"
Rivia tersenyum, lalu menarik selimut lebih erat ke tubuhnya sambil menatap Rai dengan penuh arti.
"Tentu saja," jawabnya, suaranya lembut namun menggoda.
"Aku tak pernah menolak pria yang bisa membuktikan dirinya dengan cara yang menarik."
Dia mengangkat satu alis, menatap Rai dengan mata penuh rasa ingin tahu.
"Tapi katakan padaku, sebenarnya apa yang kau inginkan, hm? Aku yakin bukan hanya tempat tidurku yang kau incar."
Rai tersenyum tipis, lalu melepaskan tangannya dari paha Rivia dan berdiri.
"Sesuai perkataanku kemarin, aku ingin pekerjaan dengan bayaran tinggi," jawabnya langsung.
"Dan juga jaminan perlindungan"
Rivia menatapnya beberapa detik, lalu tertawa kecil sebelum duduk di tempat tidur, membiarkan selimut meluncur sedikit dari bahunya.
"Kau memang menarik, Rai," katanya sambil meregangkan tubuhnya yang masih lelah.
"Baiklah, kau bisa bekerja padaku sebagai tangan kananku dan selama kau bersamaku, Guild Iron Fang akan melindungimu dan aku jamin tidak ada yang berani menyentuhmu."
Rai tersenyum tipis, karena rencananya untuk menyusup sudah berhasil.
"Cukup bagus."
"Berikan nomormu dan aku akan menghubungimu setiap kali aku membutuhkanmu...termasuk layanan kamarmu," kata Rivia dengan senyum menggoda.
Rai hanya mengangkat alis, lalu menyerahkan kontaknya.
"Baiklah...hubungi aku kapan pun kau butuh."
Dia melangkah menuju pintu, namun sebelum tangannya menyentuh gagang, suara Rivia menghentikannya.
“Hati-hati, Rai.”
Rai menoleh dengan ekspresi datar.
“Kau takut kehilanganku?”
Rivia bangkit dari tempat tidur, masih membalut tubuhnya dengan selimut, lalu berjalan mendekat.
Jemarinya menyentuh pipi Rai dengan lembut, tatapannya penuh godaan.
“Aku hanya tidak ingin kehilangan mainan baruku terlalu cepat.”
Rai menatapnya, lalu tersenyum samar.
“Jangan khawatir. Aku bukan tipe yang mudah rusak.”
Dan dengan itu, dia melangkah keluar.
Sesampainya diluar pasar gelap Rai mengambil handphone dari sakunya dan menghubungi seseorang
"Bagaimana Rai?"
"Aku berhasil."
**************************************
Selama beberapa hari hingga berganti minggu, Rai terus menerima panggilan dari Rivia dengan berbagai tugas.
Mulai dari pengawalan, eksekusi Player yang dianggap sebagai ancaman bagi Iron Fang, hingga pemusnahan manusia biasa yang telat membayar upeti kepada Guild.
Namun, setiap kali diperintahkan untuk menargetkan mereka yang lebih lemah, Rai selalu menolak.
Alasannya tetap sama, dia tidak tertarik melawan mereka yang tidak sepadan dengannya.
Meski begitu, Rivia tidak pernah benar-benar marah.
Dia hanya tertawa dan menyebutnya keras kepala, lalu menggantinya dengan tugas lain yang lebih menantang.
Dan tentu saja, setiap malam, wanita itu selalu menuntut kehadiran Rai di tempat tidurnya.
Sementara itu, di balik semua interaksi mereka, Rai memanfaatkan waktunya untuk mengamati Guild Iron Fang.
Dia memperhatikan bagaimana organisasi itu beroperasi, menghafal rute patroli, jumlah anggota, dan mencari setiap celah yang bisa dimanfaatkan.
Dia tahu, saat waktunya tiba, semua informasi ini akan menjadi kunci untuk menjatuhkan mereka.
Tetapi Sudah berminggu-minggu, Rai masih belum menemukan petunjuk tentang Damar atau Bloodhound dan hanya data mengenai Player rendah saja yang didapatkannya.
Semua akses informasi tampak tertutup rapat, seolah seseorang dengan sengaja menyembunyikannya.
Kondisi ini mulai membuatnya frustrasi, meskipun dia berusaha menyembunyikannya dari Rivia. Namun, wanita itu cukup peka untuk merasakan perubahan dalam dirinya.
Malam itu, di dalam kamar tidur mewah mereka, Rivia yang hanya mengenakan jubah sutra tipis memeluk Rai dari belakang, menempelkan tubuhnya dengan manja.
"Ada apa, sayang?" bisiknya lembut.
"Sepertinya ada yang merisaukanmu."
Rai tetap tenang, tak ingin menunjukkan kelemahannya.
Dia tersenyum kecil, lalu mengecup kening Rivia.
"Tidak apa-apa, aku hanya bosan," jawabnya ringan.
Rivia memiringkan kepala, menatapnya dengan penuh selidik, lalu tersenyum menggoda.
"Kalau begitu, bagaimana kalau kita pergi ke Arena Darah besok?"
Rai yang awalnya acuh langsung mengangkat alis.
Arena Darah, tempat pertarungan ilegal di mana para Player mempertaruhkan nyawa demi hiburan.
Tidak sembarang orang bisa masuk ke sana, apalagi ke bagian terdalamnya.
Tapi yang lebih penting…
Togar ada di sana.
Salah satu dari enam pembantai keluarganya.
Rai menyembunyikan keterkejutannya dan segera mengubah ekspresinya menjadi penuh semangat.
"Serius? Kau bisa membawaku ke sana?" tanyanya, pura-pura antusias.
Rivia terkikik, lalu duduk di pangkuan Rai, menggoda pria itu dengan tatapan manja.
"Tentu saja, aku punya akses ke mana pun aku mau," katanya bangga.
"Tapi sebelum itu… jangan merajuk lagi seperti anak kecil, mari kita mainkan satu ronde lagi."
Dia tersenyum nakal sambil mulai membuka jubahnya, membuat Rai harus berpura-pura mengikuti permainan.
Namun di dalam pikirannya, dia sudah sedikit menemukan petunjuk terkait Togar.
************************************
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 20 Episodes
Comments