Angin sore menyapu lembut dedaunan, membawa aroma tanah basah dan udara segar setelah hujan semalam. Langit tampak bersih, menyisakan semburat jingga keemasan saat matahari perlahan turun. Hana memandangi sekeliling rumahnya yang tenang, sesekali menatap jam tangannya dengan gelisah.
Ren berdiri tak jauh dari sana, menyandarkan tubuhnya di pagar depan. Sorot matanya sesekali berpindah pada Hana, seolah ingin menenangkan, tapi tak ada kata yang keluar dari mulutnya. Suasana terlalu hening untuk dipecah oleh percakapan biasa.
Hingga suara langkah mendekat dari arah jalan setapak. Hana sontak menoleh. Sosok itu berjalan perlahan, langkahnya terlihat ragu namun tetap teguh. Pria paruh baya dengan wajah penuh guratan lelah dan rambut yang memutih sebagian. Matanya—mata yang sama seperti milik Hana—menatap penuh kerinduan.
“Ayah…?”
Suaranya lirih, seperti angin tipis yang menyentuh udara. Tapi cukup untuk membuat pria itu berhenti. Kemudian ia tersenyum—senyum lembut yang sudah lama tidak dilihat Hana.
“Ayah!” pekiknya kali ini, lalu berlari tanpa menunggu jawaban.
Gadis itu langsung memeluk tubuh pria itu erat, seolah tak ingin melepaskannya lagi. Air mata mengalir begitu saja, membasahi bahu ayahnya. Pria itu tidak berkata apa pun, hanya memeluknya balik, kuat, lama.
“Aku… aku pikir Ayah—” Hana tak sanggup melanjutkan kalimatnya.
Ayahnya mengusap lembut kepala Hana. “Maaf karena membuatmu menunggu selama ini.”
Ren mendekat, diam. Pandangannya penuh makna, namun tak menyela. Hana tersadar akan kehadirannya dan segera menarik ayahnya menuju Ren.
“Ini Ren,” kata Hana sambil menyeka air matanya, “Dia muncul tak lama setelah… yah, waktu itu. Aku nggak tahu bagaimana, tapi dia berubah dari AI jadi manusia. Mungkin aja itu keajaiban, atau teknologi aneh…”
Ia tertawa gugup, berharap ayahnya akan terkejut atau sekadar mengangkat alis. Tapi tidak. Pria itu menatap Ren dengan tenang, bahkan sedikit terlalu tenang.
“Salam kenal,” ucap Ren pelan sambil mengulurkan tangan.
Ayah Hana menjabatnya tanpa ragu. “hmmm ya salam kenal..." katanya singkat.
Ren sedikit kaku dengan respon dari ayah hana, namun cepat menyembunyikan reaksi itu.
Hana memandangi keduanya bergantian. Merasa suasana tampak canggung ia pun langsung mengajak ayah nya masuk ke rumah.
“Emmm... Ayah, ayo masuk dulu... Di luar sangat dingin.. ”
Pria itu menatap wajah hana Hana sesaat lalu mengangguk pelan, dan melangkah kan kakinya menuju rumah.
Meski heran, Hana berusaha tetap santai. Sebab ia tau, bahwa ayah nya tak pernah menyembunyikan apapun darinya. Ia memeluk lengah ayahnya, sembari melangkah masuk ke rumah. Ren tetap tinggal di luar sejenak, menatap langit yang mulai gelap. Angin membawa hawa yang aneh—seperti pertanda bahwa malam ini tidak akan biasa saja.
---
Malam itu, rumah yang biasanya hanya dihuni dua jiwa terasa lebih hidup. Ayah Hana duduk di ruang tengah, menatap foto-foto yang masih tergantung di dinding. Foto keluarga. Foto Hana kecil. Namun, tak ada satu pun yang menunjukkan kehidupan mereka setelah usia 17 tahun Hana. Seolah waktu berhenti pada titik itu.
Ren berdiri di dekat jendela, sesekali mencuri pandang ke arah pria itu. Akhirnya, sang ayah bangkit dan melangkah ke arahnya.
“Kita bicara di luar,” katanya singkat.
Mereka duduk di teras belakang, di bawah langit penuh bintang. Hening beberapa saat sebelum ayah Hana bicara lebih dulu.
“Waktu pengaturan ulang… sudah dekat.”
Ren diam. Matanya menatap lurus ke depan. “Kau yakin ini waktunya?”
Pria itu menghela napas berat. “Percobaan ini… bukan yang pertama. Kau tahu itu. Dan sejauh ini, tak satu pun yang berhasil sepenuhnya.”
Ren menggertakkan gigi pelan. “Kau sudah tahu risikonya sejak awal. Tapi kenapa... kenapa terus memaksakan?”
“Karna aku kehilangan mereka. Berkali-kali,” suara ayah Hana rendah, nyaris seperti bisikan. “Dan setiap kali aku mencoba memutar waktu... jika bukan Hana yang pergi, maka istriku yang hilang. Atau keduanya.”
Hening kembali turun di antara mereka.
“Aku tak bisa memilih, Ren. Tapi dunia ini… dunia yang kubangun… perlahan retak. Keseimbangannya terganggu.”
Ren menatapnya, ekspresi keras. “Dan jika gagal lagi?”
Sang ayah tak menjawab. Ia menatap langit, seperti mencari jawaban di antara bintang-bintang.
“Jika gagal lagi…” ia menghela napas, “Bukan hanya mereka. Dunia nyata dan dunia digital akan berbenturan. Kita harus memilih.”
Ren mencengkeram kedua tangannya. “Tidak.”
“Ren…”
“Tidak,” ulang Ren lebih keras. “Aku tidak akan membiarkan itu terjadi. Bukan lagi. Aku… sudah terlalu jauh untuk mundur sekarang.”
Sang ayah menatapnya, pandangan yang tak bisa dibaca.
“Semoga saja tak terjadi hal yang tak kita inginkan,” katanya pelan. “Tapi jika percobaan terakhir gagal... maka kita harus memilih. Pertahankan… atau ikhlaskan.”
Ren menunduk, diam. Dadanya sesak, tenggorokannya tercekat.
---
Sementara itu, di dalam kamar, Hana menatap ke luar jendela. Ia tidak tahu apa yang dibicarakan ayahnya dan Ren di luar sana, tapi hatinya gelisah. Ada sesuatu yang tidak ia pahami. Tapi juga, ada sesuatu yang baru—sebuah rasa nyaman yang perlahan mengisi ruang kosong di hatinya.
Ayahnya telah kembali. Itu saja sudah cukup baginya saat ini.
Atau… setidaknya, itulah yang ia yakini.
----
Pagi hari setelah kembalinya sang ayah, suasana rumah dipenuhi keheningan yang berbeda dari biasanya. Tidak canggung, tidak pula aneh. Hanya… tenang. Seolah semua telah kembali ke tempatnya—seolah sesuatu yang hilang akhirnya kembali mengisi celah kosong yang dulu tak terlihat.
Hana duduk di meja makan, menatap dua cangkir kopi yang sudah mulai mendingin. Ia sudah bangun lebih awal, ingin membuatkan sarapan untuk ayah dan Ren, tapi keduanya belum muncul juga. Di luar jendela, burung-burung berkicau, menandai awal hari yang cerah. Tapi hati Hana tetap merasa sedikit berat.
Malam tadi, ia tidak tidur dengan nyenyak. Bukan mimpi buruk, hanya perasaan aneh yang muncul begitu saja—seperti ada sesuatu yang tidak semestinya, tapi sulit untuk dijelaskan.
Langkah kaki terdengar dari arah tangga. Ren muncul lebih dulu, dengan mata sedikit lelah. Senyumnya tetap sama seperti biasa, tapi gerak tubuhnya… terasa lebih pelan dari biasanya.
“Pagi,” katanya sambil duduk di sebelah Hana.
“Pagi. Kamu… nggak tidur nyenyak ya?” tanya Hana sambil menyodorkan roti panggang.
Ren menggeleng ringan. “Agak sulit tidur. Banyak pikiran.”
Hana memandangi wajahnya sejenak. “Tentang Ayahku?”
Ren tidak langsung menjawab. Ia menyesap kopinya dulu, lalu mengangguk pelan. “Mungkin.”
Sebelum Hana sempat bertanya lebih jauh, ayahnya muncul dari balik pintu, mengenakan kemeja sederhana dan membawa beberapa buku tebal di tangannya. Ia tampak seperti biasa, bahkan lebih segar dari kemarin.
“hmm ternyata kalian sudah bangun lebih dulu,” ucapnya santai.
Hana tersenyum. “Tentu saja! Aku senang banget Ayah pulang. Rasanya kayak mimpi.”
Ayahnya menarik kursi dan duduk. “Dan Ayah masih belum terbiasa dengan suara tawa pagi dari rumah ini. Sudah lama sekali…”
Ren dan ayah Hana bertukar pandang singkat, lalu kembali berpaling. Hana tidak menyadarinya.
Setelah sarapan, Ren menawarkan diri untuk mencuci piring. Hana ingin membantu, tapi ayahnya menarik tangan Hana dan mengajaknya ke halaman belakang untuk berbincang ringan. Mereka duduk di ayunan kecil yang biasa digunakan Hana saat masih kecil.
“Ayah…” Hana memeluk lengannya. “Waktu itu, apa yang sebenarnya terjadi? Semua orang bilang Ayah dan Ibu meninggal, yah meskipun ayah masih belum di temukan, namun setelah melihat ayah, keyakinan sera ternyata benar, bahwasanya ayah akan baik-baik saja…”
Wajah pria itu berubah sedikit muram. Ia menatap jauh ke arah pohon-pohon yang menjulang.
“Kami jatuh ke jurang dalam perjalanan pulang malam itu. Ibumu—” suaranya tercekat sejenak, “tidak berhasil. Tapi Ayah… seseorang menemukanku dan membawaku ke desa terpencil, sangat jauh. Tak ada listrik, tak ada sinyal. Aku terluka parah, hampir tak bisa bicara. Hanya bisa bertahan.”
Hana menunduk, matanya mulai berkaca-kaca. “Kenapa Ayah nggak cari cara untuk kembali?”
“Ayah ingin,” katanya pelan. “Tapi Ayah juga harus bertahan dulu. Dan ketika Ayah bisa kembali ke sini… aku tidak tahu apakah aku akan menemukanmu, atau hanya kenangan kosong.”
Hana memeluknya dengan erat. “Aku masih di sini, Ayah…”
Dan saat itu juga, Ren memperhatikan dari balik pintu. Tatapannya penuh pertimbangan. Tapi matanya… menyimpan beban yang tak bisa dijelaskan.
---
Malam itu, suasana kembali hening. Hana tidur lebih dulu karena kelelahan setelah seharian bersama ayahnya. Di lantai bawah, Ren duduk di ruang tamu sendirian. Sesekali ia menatap layar tablet yang menyala samar—data rumit dan grafik aneh melintas cepat di layarnya.
Ayah Hana keluar dari kamar kerja, menghampirinya.
“Kau masih memantau sistem?” tanyanya.
Ren mengangguk. “Ada fluktuasi kecil lagi hari ini. Tidak mencolok, tapi… berulang.”
“Bagaimana dengan dirinya?”
Ren menatap layar, lalu memejamkan mata. “Ia belum menyadari. Tapi aku… mulai merasakan sesuatu yang lain.”
Sang ayah duduk di sebelahnya. “Maksudmu?”
“Ada bagian dari sistem… yang tidak aku pahami. Beberapa fragmen kode mulai tidak stabil. Seolah ada ingatan yang ingin muncul, tapi terhalang. Dan—” Ren berhenti sejenak, “ada momen-momen kecil… saat dia tampak… transparan.”
Pria itu menoleh cepat. “Apa maksudmu?”
Ren menggeleng. “Aku tidak tahu. Mungkin aku yang salah. Tapi tubuhnya… kadang tidak memberi bayangan. Kadang aku tak bisa merasakan suhu tubuhnya. Sangat singkat. Tapi itu terjadi.”
Ayah Hana terdiam lama. “Itu tak seharusnya terjadi.”
“Makanya aku takut,” ucap Ren lirih. “Bagaimana kalau sistem mulai menolak? Bagaimana kalau—”
“Kita masih punya waktu,” potong pria itu. “Tapi jangan biarkan dia tahu. Belum saatnya.”
Ren menunduk. “Dan kalau sistem kolaps?”
Pria itu bangkit perlahan. “Kita belum sampai ke titik itu.”
Tapi Ren bisa melihat dari sorot matanya—ia juga takut. Dan untuk pertama kalinya sejak awal semua ini dimulai… Ren merasa benar-benar tidak siap kehilangan seseorang.
---
Keesokan harinya, Hana mulai menyadari sesuatu yang kecil. Saat ia memegang tangan Ren pagi itu—tangannya terasa… lebih ringan. Seolah tidak ada beban. Tidak dingin, tidak hangat. Hanya… seperti udara.
“Ren,” panggilnya pelan.
Ren langsung menatapnya. “Ada apa?”
“Aku cuma… merasa aneh. Mungkin masih ngantuk.”
Ren tersenyum, meski matanya tak menyampaikan senyum yang sama. Ia menggenggam tangan Hana lebih erat. “Kau nggak sendirian.”
---
Hari-hari berikutnya berjalan lambat namun hangat. Namun di balik kehangatan itu, diam-diam waktu mulai bergerak menuju sesuatu yang tak pasti. Dan Ren tahu, cepat atau lambat… pilihan itu akan datang lagi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 26 Episodes
Comments