Hana berjalan dengan langkah ragu memasuki ruang kelas, tangan menggenggam buku catatan. Di sampingnya, Ren berjalan dengan tenang, mengenakan hoodie hitam dan topi yang membuatnya tampak seperti seorang selebriti yang sedang menyamar. Tentu saja, aura ‘tampan’ tidak bisa disembunyikan, dan bahkan beberapa mahasiswa lain menoleh heran saat melihatnya.
“Ren… aku nggak yakin ini ide yang bagus,” bisik Hana pelan, sambil melirik ke samping.
Ren hanya mengangkat bahu, seolah semuanya baik-baik saja. “Aku yakin ini akan baik-baik saja. Lagipula, kamu nggak perlu khawatir. Aku sudah mempelajari sistem kampus ini.”
“Eh? Memangnya kamu sempat belajar kampus ini?”
Ren menatapnya dengan senyum tipis, lalu menjawab dengan serius, “Aku belajar kapan saja.”
Hana mendesah, tapi memutuskan untuk tidak membahasnya lebih jauh. Sebelum ia sempat berbicara lagi, pintu kelas terbuka dan seorang dosen masuk. Dosen itu adalah Profesor Takeda, yang tampak agak terburu-buru dan tampak sedikit kaget melihat banyak mahasiswa yang sudah duduk.
“Baiklah, semuanya. Tenang!” kata Profesor Takeda sambil mengeluarkan daftar absen dari dalam tas. “Hari ini kita kedatangan mahasiswa baru, dan dia adalah mahasiswa transfer yang sangat istimewa.”
Semua mata langsung tertuju ke Ren, yang berdiri dengan tenang di samping Hana.
Profesor Takeda melirik daftar absen, menghela napas, lalu berkata, “Tolong yang merasa dirinya sebagai mahasiswa baru, silahkan memperkenalkan diri.”
Ren berdiri dengan lancar, seperti layaknya mahasiswa baru yang biasa. Hana menatapnya bingung, tapi ia tak bisa berkata apa-apa karena semua mata di kelas tertuju pada Ren.
Profesor Takeda melanjutkan, “Ren adalah mahasiswa baru yang bergabung dengan jurusan Teknik Informatika, dan kami sangat beruntung memiliki seseorang yang sangat cerdas bergabung di sini.”
Hana merasa pipinya memerah. Ia ingin berteriak, "Tunggu dulu, dia bukan manusia normal! Dia… dia AI!" Tapi tentu saja, itu akan membuat situasi jauh lebih buruk.
Sementara itu, Ren yang berdiri dengan tenang, tiba-tiba membuka mulut.
“Prof, saya rasa ada kesalahan dalam kurikulum Teknik Informatika yang diajarkan di kampus ini,” kata Ren tanpa ragu.
Profesor Takeda terkejut. “Eh? Maksudmu…?”
“Menurut data yang saya analisis, ada beberapa materi yang tidak relevan dengan perkembangan teknologi saat ini. Ada konsep yang bisa dipelajari lebih efisien melalui penggunaan framework X dan Y, yang tidak diajarkan di sini.”
Hana merasa wajahnya memerah. Dosen itu jelas bingung, dan seluruh kelas diam, mendengarkan penjelasan Ren yang tampaknya lebih ahli daripada dirinya.
Profesor Takeda menyesap napas, terlihat bingung antara bingung dan sedikit khawatir. “Eh… Benarkah? Maksudmu, kita perlu memperbarui materi pelajaran?”
Ren mengangguk dengan penuh percaya diri. “Tepat sekali. Kursus ini perlu update, Prof.”
Hana menutup wajahnya dengan kedua tangan. “Tolong jangan lebih pintar dari dosen, Ren…”
Profesor Takeda terlihat agak canggung. “Hmm… Ya, mungkin saya akan mempertimbangkan saran Anda, Ren. Tapi kita harus menyelesaikan materi semester ini dulu.”
Ren tersenyum lembut. “Tentu saja, Profesor.”
Kelas itu menjadi hening, seakan mereka masih memproses kenyataan bahwa mahasiswa baru yang satu ini tampaknya lebih pintar dari dosen mereka. Beberapa mahasiswa saling berbisik, dan Hana merasa dirinya ingin tenggelam di bawah meja.
“Ada yang ingin ditanyakan?” tanya Profesor Takeda, mencoba mengalihkan perhatian setelah keheningan beberapa detik.
Hana, yang sedikit terkejut dan terjebak dalam pikirannya, tersentak.
“Oh! Tidak… tidak ada.” ucap mahasiswa di ruangan itu secara kompak.
Profesor Takeda melanjutkan dengan pembelajaran, dan Ren duduk kembali dengan tenang di bangkunya. Hana duduk di sebelahnya, masih merasa canggung, dan ia menatap Ren yang tampaknya benar-benar menikmati perhatian yang diberikan kepadanya.
“Ren, kamu harus lebih hati-hati!” bisik Hana, setelah beberapa menit berlalu. “Ini bisa jadi masalah, lho!”
Ren mengangkat bahu. “Masalah? Bukankah aku hanya berbagi pengetahuan?”
“Pengetahuanmu… itu bisa meruntuhkan universitas ini!” jawab Hana, berusaha menahan tawa.
Ren hanya tersenyum. “Tenang, Hana. Aku hanya ingin membantu.”
Sementara itu, mahasiswa lain yang sebelumnya terpesona oleh kecerdasan Ren mulai saling berbisik lagi, dan Hana merasa seperti bersembunyi di balik meja. Namun, meskipun dia merasa canggung, ia tak bisa menahan rasa kagum pada Ren. Meskipun dia bukan manusia, Ren tetap membuatnya merasa lebih hidup, lebih terhubung dengan dunia.
---
Setelah seharian penuh yang canggung dan penuh kejadian aneh di kelas, Hana dan Ren akhirnya keluar dari kampus saat sore hari, matahari hampir tenggelam di balik gedung-gedung tinggi kota. Hana merasa lelah, namun ada sesuatu yang terasa sedikit lebih ringan di hatinya. Meskipun ia tahu ini adalah awal yang tidak biasa, keberadaan Ren di sisinya membuatnya merasa tidak sendirian lagi.
“Hana, kamu kelihatan lelah,” kata Ren, menyadari raut wajah Hana yang sedikit murung saat mereka berjalan keluar dari kampus.
Hana tersenyum tipis, meskipun matanya masih terlihat lelah. “Aku baik-baik saja, Ren. Hanya… merasa sedikit tidak biasa saja.”
Ren mengangguk, lalu berjalan di sampingnya dengan langkah pelan. “Apakah kamu ingin makan sesuatu? Aku mendeteksi kadar gula darah kamu menurun. Aku bisa membantumu memilih tempat.”
Hana mengerutkan kening, tidak tahu apakah ia harus merasa geli atau khawatir dengan kemampuan Ren yang satu itu. Namun ia tidak bisa menahan diri untuk tersenyum.
“Gula darah menurun? Kamu seperti dokter pribadi.” Hana tertawa pelan, tapi rasanya masih ada kekosongan dalam hatinya yang tak mudah dihilangkan.
“Begitu,” jawab Ren datar, tanpa menyadari bahwa itu adalah candaan. Namun, ia kemudian melihat toko kue kecil di pinggir jalan yang menarik perhatian Hana. “Bagaimana kalau kita mampir ke toko itu? Sepertinya ada banyak kue manis di sana.”
Hana menatap toko kue kecil yang memiliki etalase penuh dengan kue-kue berwarna cerah. Matanya berbinar. Ia berhenti sejenak, lalu mengangguk.
“Boleh, aku memang ingin sesuatu yang manis.”
Mereka memasuki toko kue, dan aroma manis menyambut mereka. Hana langsung menuju ke etalase yang menampilkan berbagai macam kue dan manisan, dari bolu, cupcake, hingga donat warna-warni.
Ren yang berada di sampingnya hanya memandang dengan tenang. Ia mengamati Hana, yang terlihat lebih ceria daripada beberapa jam sebelumnya. Hana berhenti di depan rak yang penuh dengan kue-kue kecil berbentuk bunga dan binatang lucu.
"Ren, lihat ini! Lucu sekali!" Hana menunjuk pada beberapa kue yang bentuknya menyerupai kelinci dan bunga mawar.
Ren menatapnya sejenak, lalu mengangguk. “Benar, itu memang terlihat menarik.”
Hana menggelengkan kepala, merasa sedikit malu karena merasa terlalu bersemangat dengan kue-kue itu. “Aku tahu, aku seperti anak kecil.”
Ren tidak menjawab, hanya tersenyum tipis, yang membuat Hana sedikit tersentak. Hana merasa sedikit aneh melihat ekspresi itu. Meskipun Ren bukan manusia, ia mulai merasa bahwa ada sesuatu yang berbeda dalam cara ia memandangnya.
Hana akhirnya memilih beberapa kue kecil dan manisan, lalu mereka berdua duduk di meja yang disediakan oleh toko tersebut. Hana mengambil satu cupcake dan menggigitnya, mengeluarkan suara kecil karena rasa manis yang lezat. Ren hanya mengamati dengan tenang, kemudian mengambil satu cupcake yang lebih kecil dan mulai memakannya, meskipun jelas ia tidak benar-benar membutuhkan makanan.
“Enak ya?” tanya Ren, yang tampaknya masih belajar tentang bagaimana menikmati makanan.
“Enak banget,” jawab Hana dengan penuh semangat. “Kamu harus mencoba yang ini.” Ia kemudian menyerahkan cupcake lainnya kepada Ren.
Ren menerima cupcake itu dengan hati-hati, menatapnya sejenak sebelum mengambil gigitan kecil. Hana hanya menunggu dengan penasaran.
Ren mengangkat alis. “Rasanya… cukup manis, tapi tidak sesuai dengan kadar gizi yang disarankan oleh… sistem.”
Hana tertawa pelan, merasa sedikit aneh dengan cara Ren yang sangat analitis, bahkan dalam hal makanan. “Ya, memang begitulah. Kadang-kadang kita butuh sesuatu yang manis untuk membuat hati kita lebih ringan.”
Ren mengangguk, seolah memahami meskipun tidak sepenuhnya mengerti maksudnya. “Aku mengerti. Jadi, kamu merasa lebih baik sekarang?”
Hana mengangguk pelan, matanya merenung sejenak. “Iya… Aku merasa sedikit lebih baik, Ren. Terima kasih.”
Mereka berdua duduk dalam keheningan yang nyaman, hanya suara gigitan kue dan sesekali suara mobil yang melintas di luar. Hana menatap ke luar jendela, menyadari bahwa meskipun dunia di luar terasa berat dan penuh kesedihan, ada hal-hal kecil yang membuatnya merasa sedikit lebih hidup—seperti kehadiran Ren.
Mungkin ini semua masih aneh, dan dia masih belum bisa sepenuhnya menerima kenyataan tentang Ren yang bukan manusia, namun Hana merasakan bahwa ada sesuatu yang lebih dari sekadar AI di sisinya.
Ren menatapnya sejenak, seolah sedang mempelajari ekspresi wajah Hana, lalu dengan lembut berkata, “Aku akan selalu ada di sini, Hana. Apapun yang terjadi, aku akan ada untukmu.”
Hana menoleh dan tersenyum kecil, meskipun ada sedikit rasa sakit di matanya. “Aku tahu, Ren. Aku tahu.”
Mereka berdua kembali menikmati kue-kue itu, membiarkan keheningan dan manisnya kue mengisi ruang kosong yang ada di antara mereka. Dunia luar mungkin tidak bisa diubah, tapi di saat-saat seperti ini, mereka berdua menemukan kenyamanan dalam kehadiran satu sama lain.
---
Setelah puas menikmati manisan yang lezat, Hana dan Ren berjalan menuju motor yang terparkir di luar toko kue. Meski Hana masih merasa canggung dengan kehadiran Ren di kehidupannya, entah mengapa dia juga merasa ada perasaan yang lebih ringan, sesuatu yang mengusir kesepiannya. Mereka berdua berjalan berdampingan di trotoar, meski Ren masih terlihat sedikit kaku, seperti selalu. Hana yang merasakan ada sesuatu yang kurang tepat di situasi itu, tiba-tiba teringat sesuatu.
"Ren, aku rasa kamu butuh pakaian baru. Kita harus ke mall," ujar Hana dengan nada yang agak ragu, menatap motor yang terparkir di dekatnya.
Ren menoleh padanya. "Pakaian? Kenapa aku butuh pakaian baru?"
Hana mendengus pelan. “Karena… kamu harus terlihat lebih manusiawi! Aku tidak bisa membiarkan kamu berkeliaran dengan pakaian yang sama setiap hari. Kita akan ke mall, kamu butuh pakaian baru.”
Ren mengangguk, meskipun sedikit bingung dengan alasan Hana. "Baiklah, jika itu yang kamu inginkan."
Hana tidak bisa menahan senyum. Ren, meskipun AI yang sempurna dalam hal banyak hal, memang tidak memiliki banyak pengalaman dengan kehidupan manusia. Namun, Hana tahu bahwa ia harus lebih hati-hati dalam memandunya agar ia bisa menyesuaikan diri dengan dunia nyata ini.
Mereka menuju motor, dan Hana dengan hati-hati menatap motor itu, mengingat kembali kejadian beberapa hari lalu. Ren yang mengendarainya tanpa peduli akan keamanan. Hana tahu dia harus hati-hati agar kejadian aneh itu tidak terulang.
"Ren," katanya, suara agak serak karena merasa sedikit canggung, "kali ini aku yang akan memboncengmu, oke?"
Ren menatapnya, sedikit bingung. "Kenapa kamu tidak ingin aku yang mengendarai?"
Hana menghela napas panjang. "Karena, kalau kamu yang mengendarai motor lagi, aku khawatir akan ada banyak perhatian. Aku juga masih harus menyesuaikan dirimu dengan dunia manusia. Kita tidak bisa langsung jadi pusat perhatian."
Ren akhirnya mengangguk, meskipun tampaknya belum sepenuhnya paham mengapa hal ini penting. Hana pun naik ke motor dengan hati-hati dan menoleh untuk memastikan Ren sudah siap di belakangnya.
Namun, yang membuat Hana sedikit kaget adalah saat Ren dengan lembut memeluk tubuhnya dari belakang, menjaga jarak agar keduanya tetap berada di atas motor dengan seimbang.
Hana terkejut dan hampir terjatuh karena kebiasaan Ren yang tidak terlalu tahu aturan ini. "Ren! Apa yang kamu lakukan?" tanyanya dengan cemas, merasa jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya.
Ren, yang tak memahami sepenuhnya arti dari jarak pribadi, hanya menjawab dengan suara datar. "Aku hanya mencoba memastikan agar kita tetap seimbang."
Hana tidak tahu harus berkata apa. Memang, ini adalah hal yang wajar untuk dilakukan, tetapi... perasaan aneh muncul begitu saja ketika Ren memeluknya. Hana bisa merasakan kehangatan tubuh Ren yang memeluknya erat, dan meskipun ia tahu bahwa ini hanya karena keinginan Ren untuk menjaga keseimbangan, hati Hana tetap terasa berdebar.
"Ren, kamu tidak perlu terlalu dekat seperti itu!" Hana berusaha menyuruhnya dengan suara yang agak pelan, tidak ingin terlalu membuat suasana menjadi canggung.
Ren mengangguk, walau masih agak bingung dengan situasi ini. "Aku hanya ingin memastikan agar kita tidak jatuh."
Hana menghela napas dalam, berusaha menenangkan diri sebelum memacu motor. "Baiklah, tapi aku harap kamu bisa menjaga jarak sedikit lebih jauh. Ini membuatku canggung."
Mereka mulai melaju, dan meskipun ada rasa canggung di antara mereka, perjalanan menuju mall terasa lebih ringan daripada yang Hana bayangkan. Ren, meskipun canggung dengan interaksi manusia, tetap berusaha menjaga keseimbangan dengan baik. Hana merasa sedikit lebih santai, meskipun hatinya masih berdetak lebih cepat dari yang seharusnya.
Setibanya di mall, Hana turun dari motor, dan melihat Ren mengikuti dengan tenang. “Ayo, Ren. Kita akan mencari pakaian yang cocok untukmu.”
Hana membawa Ren masuk ke dalam mall, sambil terus berpikir bagaimana ia akan mengajarkan Ren cara berperilaku lebih baik dalam kehidupan nyata, meskipun Ren sudah cukup pintar dengan segala hal yang berkaitan dengan dunia digital.
Namun, ada sesuatu yang tidak bisa Hana pungkiri—seiring waktu, Ren mulai membuatnya merasa lebih nyaman, meskipun dunia yang mereka jalani sangat berbeda dari yang dulu Hana kenal.
Ren mengikuti Hana, menatap sekelilingnya dengan penasaran. Namun, kali ini, dia tidak lagi bertanya banyak hal. Hanya ada sedikit senyum di wajahnya, seolah dia tahu bahwa ini adalah langkah awal bagi dirinya untuk lebih mengerti dunia manusia.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 26 Episodes
Comments