Angin musim semi mengalir pelan di sela-sela dedaunan. Aroma tanah yang basah tersapu embun pagi menyambut hari dengan kesegaran yang menenangkan. Di sisi luar balkon, bunga-bunga yang ditanam Hana mulai merekah satu per satu. Namun keindahan itu tak sepenuhnya menyentuh pikirannya.
Hari itu, Hana terlihat lebih diam dari biasanya. Ia duduk di ruang tamu, menatap ke arah cangkir teh yang mulai mendingin. Tatapannya kosong, namun tidak kosong seperti kehilangan arah—melainkan penuh keraguan yang dipendam sendiri.
Ren muncul dari dapur, membawa dua piring kecil berisi pancake hangat yang ia tata dengan hati-hati. Ia tersenyum tipis saat melihat Hana belum menyentuh apapun.
“Kamu nggak lapar?” tanyanya pelan, sambil duduk di sebelahnya.
Hana mengangguk, mengambil garpu tanpa berkata-kata. “Aku... cuma lagi mikir.”
Ren tidak bertanya lebih lanjut. Ia tahu Hana sedang berusaha memahami apa yang terasa ganjil, tapi belum cukup jelas untuk didefinisikan. Dan itu membuat Ren harus lebih berhati-hati dalam bersikap.
“Masalah kuliah?” Ren mencoba memberi pengalihan lembut.
“Bukan.” Hana menoleh, menatap mata Ren. “Masalah kita.”
Ren tak bisa menahan ekspresinya untuk sesaat. Tapi ia segera menunduk, mengambil potongan pancake kecil, lalu menyuapkannya ke mulut Hana.
“Aku lagi mikirin kamu juga,” ucap Ren, seolah tak ingin memperbesar suasana.
Hana tidak tertawa seperti biasanya. Ia tetap menatap Ren, dalam dan dalam, seperti mencoba membaca lapisan terdalam dari pria yang kini duduk bersamanya.
“Aku mimpi aneh semalam,” bisiknya. “Kamu ada di sana, tapi... aku nggak bisa bicara sama kamu. Kamu diem aja, terus menghilang pelan-pelan. Kayak... kayak kamu nggak tahu aku ada.”
Ren menghela napas perlahan. Tangannya yang menggenggam garpu sedikit bergetar, tapi tak kentara. Ia meletakkannya di piring, lalu memegang tangan Hana.
“Itu cuma mimpi, kan?”
Hana mengangguk. “Iya. Tapi kenapa terasa nyata?”
Ren tidak menjawab. Ia hanya memeluk tangan Hana lebih erat. Dan dalam hati, ia menahan rasa panik yang mulai menyusup perlahan.
Ia tahu... mimpi itu bukan sekadar mimpi.
---
Hari itu mereka memutuskan untuk keluar. Ren mengajak Hana jalan-jalan ke taman kecil di pinggiran kota—tempat yang jarang mereka kunjungi. Taman itu tenang, penuh bunga liar dan jalan setapak yang dikelilingi pohon besar.
Hana berjalan di depan Ren, kadang berputar-putar seperti anak kecil yang menemukan tempat bermain. Tapi Ren hanya mengikuti dari belakang, sesekali memperhatikan gerakannya yang mulai... lambat.
Tidak dalam arti fisik—tapi seperti sinyal yang tidak stabil. Seperti delay yang sangat tipis, yang hanya bisa dilihat oleh seseorang yang sangat memperhatikan.
“Ayo foto!” seru Hana, mengambil ponselnya. “Aku mau kamu jadi latarnya!”
Ren tersenyum, berdiri di balik pohon besar.
Hana mengatur kamera, memencet tombol.
Tak ada tanggapan.
Ia menatap layar.
Putih.
Berkedip.
Lalu kembali ke mode awal.
“Eh?” Hana menekan lagi. “Kok gagal ya?”
Ren segera menghampiri. “Coba aku bantu.”
Hana menyerahkan ponsel itu. Tapi saat Ren mencoba membuka aplikasi kamera, semuanya berjalan normal.
“Sekarang bisa...” gumam Ren.
Hana mengambilnya kembali, mencoba memotret Ren lagi.
Layar putih.
Kembali gagal.
Wajah Hana mulai menegang.
“Jangan-jangan ini... HP-ku rusak?”
Ren mengambil ponsel itu, menyembunyikan ekspresi tegangnya. Ia tahu ini bukan soal ponsel. Bukan juga soal aplikasi.
Ini... tentang realita yang mulai tidak sinkron.
Dan itu artinya...
Prosesnya berjalan lebih cepat dari yang ia prediksi.
---
Mereka duduk di bangku taman. Hana diam, memeluk lengan Ren. Tapi matanya tidak menunjukkan kebahagiaan seperti biasanya.
Ren menyandarkan kepalanya di atas kepala Hana.
“Maaf kalau hari ini terasa aneh,” ucapnya.
Hana tertawa kecil, tapi tidak lepas. “Kita akhir-akhir ini sering merasa hari terasa aneh.”
Ren mengangguk. “Tapi satu hal yang pasti nggak aneh... adalah aku sama kamu.”
Hana menatapnya. “Yakin?”
Ren menoleh, memperhatikan wajah Hana dalam-dalam. Lalu ia membungkuk, mencium keningnya perlahan.
“Yakin banget.”
Dan dalam pelukan itu, Ren menahan napas. Karena ia bisa merasakan kulit Hana tak lagi sehangat biasanya. Seperti udara kosong.
Ia memejamkan mata.
Tolong, jangan dulu...
---
Malamnya, Hana tertidur lebih awal di sofa ruang tengah. Ren menyelimutinya, lalu duduk di lantai sambil menatap layar proyektor kecil yang terhubung ke jaringan lokal rumah mereka.
Ia membuka data log terakhir yang disembunyikan dari sistem utama.
"Error sinkronisasi dimulai: subjek H. Error kecil di bagian visual, audio stabil. Kehilangan frame diperkirakan bertambah dalam 3 hari ke depan jika tidak ditangani."
Ren memejamkan mata. Kepalanya menunduk dalam, menahan sesak di dada.
“Aku nggak akan biarin kamu pergi lagi...” bisiknya lirih, menggenggam tangannya sendiri. Dari balik sofa, suara Hana terdengar samar.
“Ren... kamu bicara sama siapa?”
Ren kaget. Ia menoleh, tapi Hana masih tertidur dengan mata tertutup rapat.
Ia menatapnya lama... lalu menyesuaikan selimut yang mulai terlepas dari bahunya.
“Tidurlah... sayang,” ucapnya pelan.
Dan malam itu, hanya suara angin yang menemani Ren terjaga hingga pagi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 26 Episodes
Comments