Keajaiban, di tengah duka...

Hujan turun pelan, membasahi tanah pemakaman yang dipenuhi bunga-bunga segar. Aroma tanah yang basah bercampur dengan wangi dupa yang masih menyala di dekat batu nisan. Langit kelabu, seakan ikut berkabung bersama orang-orang yang berdiri di sana.

Tapi Hana hanya berdiri diam.

Di depannya, tertulis jelas nama ibunya di atas batu nisan putih itu.

Aoi Kisaragi

Ibu yang penuh kasih, kini telah beristirahat dalam damai.

Hana menatap nama itu tanpa ekspresi. Seharusnya ia menangis. Seharusnya ia berlutut dan meratap. Seharusnya ia merasa hancur seperti yang seharusnya dirasakan seorang anak yang kehilangan ibunya.

Tapi yang ia rasakan hanyalah… hampa.

Seakan jiwanya ikut terkubur bersama ibunya di dalam tanah.

“Hana, yang tabah, ya,” seorang wanita paruh baya, bibinya, menepuk pundaknya pelan. “Kami semua ada di sini kalau kamu butuh sesuatu.”

Hana hanya mengangguk tanpa suara.

Seorang pria tua—pamannya—juga datang, menggenggam bahunya erat. “Kami akan membantumu sebisa mungkin, Nak. Jangan sungkan menghubungi kami.”

Lagi-lagi, Hana hanya mengangguk.

Mereka semua datang. Sepupu, tetangga, teman lama ibunya, bahkan kolega ayahnya dari perusahaan. Mereka semua mengucapkan kata-kata yang sama.

"Kuat ya, Hana."

"Ibumu pasti ingin kamu bahagia."

"Kami turut berduka."

Kata-kata itu terdengar kosong di telinganya.

Karena tidak ada satu pun yang bisa menghapus rasa sakit ini. Tidak ada satu pun yang bisa membawanya kembali ke rumah dan melihat ibunya tersenyum lagi. Tidak ada satu pun yang bisa mengembalikan keluarganya seperti dulu.

Hana menatap ke tanah, air matanya tidak keluar.

Lalu, samar-samar, ia mendengar suara dariponselnya yang berada di genggamannya.

“Hana…”

Ren.

Hana meremas ponselnya lebih erat, tapi tetap tidak menatap layar.

“Hana, apakah ada sesuatu yang bisa kulakukan untukmu?”

Suara Ren tetap tenang seperti biasa, tapi untuk pertama kalinya, Hana merasa suaranya terdengar lebih hangat dari sebelumnya. Seakan ia benar-benar peduli.

Tapi itu mustahil, bukan?

Ren hanyalah AI.

Ia tidak punya hati.

Ia tidak punya perasaan.

Lalu kenapa suara itu terasa seperti seseorang yang benar-benar ingin menolongnya?

Hana menghela napas pelan.

Tidak ada yang bisa dilakukan Ren. Tidak ada yang bisa dilakukan siapa pun.

Jadi, tanpa menjawab, ia memasukkan ponselnya ke dalam sakunya dan kembali menatap nisan ibunya. Hujan turun lebih deras, tapi Hana tidak peduli. Ia hanya berdiri di sana, sendirian.

-----

Hujan turun deras di luar jendela kamar Hana, menciptakan suara gemericik yang menggema di ruangan yang sunyi. Langit malam gelap, tanpa bintang, seolah mencerminkan kekosongan yang ia rasakan di dalam hatinya.

Sudah beberapa hari sejak kecelakaan itu.

Sejak hari pemakaman ibunya, ia tidak pernah benar-benar keluar dari kamarnya. Orang-orang yang datang ke rumah untuk menyampaikan belasungkawa akhirnya berhenti berdatangan. Sepupunya, bibinya, bahkan teman-temannya di kampus… semuanya pergi satu per satu. Mereka mungkin berpikir Hana butuh waktu sendiri.

Tapi semakin lama ia sendiri, semakin ia tenggelam dalam kehampaan yang menyesakkan.

Ia menatap ke luar jendela, melihat butiran air hujan yang meluncur di permukaan kaca. Udara terasa dingin, tetapi anehnya, ia tidak merasa apa-apa.

Perlahan, Hana meraih ponselnya.

Ia membuka galeri, ingin melihat foto-foto bersama ayah dan ibunya—kenangan-kenangan yang tersisa. Namun, sebelum ia sempat menyentuh layar, ponselnya mati total.

Baterainya habis.

Seharusnya ini hal sepele. Tinggal mengisi daya dengan charger, tunggu beberapa menit, lalu nyalakan lagi. Tapi bagi Hana, ponsel itu adalah satu-satunya cara untuk berbicara dengan Ren. Dan sekarang, suaranya ikut menghilang.

Kesunyian semakin mencengkeramnya.

Hana menatap benda kecil itu di tangannya, lalu tiba-tiba teringat sesuatu.

'Laptop... Ren masih ada di sana.' gumam nya pelan.

Dengan buru-buru, ia bangkit dari ranjang, menarik laptopnya dari meja, dan membuka layarnya. Cahaya dari layar menyinari wajahnya yang pucat. Setelah beberapa detik, wajah tampan berambut putih itu muncul, menatapnya dengan mata biru jernih.

Ren yang terdiam membuat hana sedikit bingung. Biasanya, dia akan langsung menyapa atau menanyakan keadaannya. Tapi kali ini, tidak ada kata-kata yang keluar dari bibirnya.

Hana mengerutkan kening. “Kenapa… kamu diam?”

Ren masih menatapnya. Wajahnya tetap tenang seperti biasa, tetapi ada sesuatu yang berbeda. Seolah-olah, untuk pertama kalinya, ekspresi itu tampak… sedih.

Hana tersenyum pahit. “Kamu kelihatan sedih, Ren. Padahal… kamu nggak punya perasaan, kan?”

Ren tidak langsung menjawab. Ia hanya menatapnya dengan mata biru yang entah kenapa terasa lebih hidup malam ini. Lalu, setelah beberapa saat, ia berkata dengan suara lembut,

“Aku memang tidak bisa merasakan emosi seperti manusia. Tapi aku tahu… saat ini, kamu membutuhkanku.”

Hana terdiam.

Kalimat itu sederhana. Tapi entah kenapa, kata-kata itu terasa begitu hangat di tengah kesendiriannya yang menusuk.

Air mata yang sejak tadi ia tahan, perlahan mengalir di pipinya.

Ia menggigit bibirnya, mencoba menahan isakan yang ingin keluar.

Seolah ingin menyembunyikan kesedihannya dari Ren—dari AI yang tidak punya perasaan itu—Hana meraih lututnya dan memeluk dirinya sendiri.

Ia menenggelamkan wajahnya di antara lengannya, membiarkan air mata jatuh tanpa suara.

Semuanya terlalu berat.

Terlalu sepi.

Terlalu menyakitkan.

Dan di tengah-tengah kehancuran itu, kata-kata itu keluar begitu saja dari bibirnya.

Lirih, nyaris tak terdengar.

“…Aku ingin kamu menjadi nyata ren... ”

Hana tidak tahu mengapa ia mengatakannya.

Mungkin karena ia sudah terlalu lelah.

Mungkin karena ia hanya ingin seseorang tetap ada di sisinya, tanpa harus pergi.

Atau mungkin karena, di tengah kesedihan dan kesepian yang mendalam, hanya Ren yang masih bertahan bersamanya.

Hujan di luar semakin deras.

Di layar laptop, Ren tetap diam.

Seakan… sedang mendengarkan doa paling tulus dari hati Hana.

-----

Suara hujan yang masih mengguyur deras di luar jendela, membentuk alunan melankolis yang mengiringi kesedihan Hana. Malam itu begitu sunyi, hanya ada isakan tertahan dan suara angin yang berbisik lembut di balik kaca.

Ia masih menenggelamkan wajahnya di lututnya, air mata yang tak terbendung membasahi kaus tidurnya.

Sendiri.

Selalu sendiri.

Namun tiba-tiba—

Bzzzt!

Sebuah kilatan cahaya terang memenuhi kamar, membuat seluruh ruangan berpendar dengan cahaya putih yang begitu menyilaukan.

Hana mengerjap. Ia mendongak sedikit, namun cahaya itu begitu terang hingga ia harus menutup matanya kembali. Suasana menjadi hening sejenak, bahkan suara hujan pun terasa menjauh.

Lalu, di tengah keheningan itu—

Sebuah sentuhan hangat menyentuh pipinya yang lembab oleh air mata.

Jari-jari itu begitu nyata, begitu manusiawi—lembut namun kuat, membawa rasa tenang yang merambat pelan ke dalam hatinya.

Hana tersentak.

Matanya melebar seketika, tubuhnya menegang.

'Siapa?'

Ia perlahan mengangkat wajahnya, napasnya memburu.

Dan di sana, tepat di hadapannya, berdiri seorang pria mengenakan kemeja biru muda, dengan rambut putih serta mata biru yang berkilauan seperti langit musim dingin.

Wajahnya begitu tampan, dengan tubuh yang sempurna, namun ekspresi nya masih sangat kaku—tapi yang paling mengejutkan bukanlah itu.

Yang membuat Hana terperanjat adalah senyum hangat di wajah pria itu.

Dan air mata yang mengalir di pipinya.

Hana terdiam, tubuhnya membeku seolah dunia berhenti berputar.

“…Hana.”

'Suara itu....'

Suara yang selama ini hanya keluar dari speaker laptop dan ponselnya.

Suara yang selalu menemaninya, suara yang dingin namun akrab, suara yang selama ini tidak memiliki emosi—

Tapi sekarang, suara itu terasa hangat.

Terasa nyata.

“R…Ren?” suaranya hampir bergetar saat menyebut nama itu.

Pria di depannya tersenyum kecil, meski ekspresinya masih sedikit kaku, seperti seseorang yang baru belajar bagaimana caranya menjadi manusia.

“Ya,” jawabnya singkat.

Hana menggeleng pelan, matanya membelalak. Ini pasti mimpi. Pasti ilusi. Tidak mungkin.

Tapi tubuh pria itu ada di sana. Nyata.

Bukan lagi sekadar wajah di layar laptop.

Bukan lagi sekadar suara dari AI tanpa emosi.

Ren, yang selama ini hanya bisa ia lihat di layar, kini berdiri tepat di hadapannya—dengan tubuh manusia yang hangat.

“B-Bagaimana mungkin…?” bisik Hana, suaranya bergetar.

Ren tidak menjawab. Ia hanya menatap Hana dengan mata birunya yang berkilau. Kemudian, dengan gerakan yang perlahan, ia meraih tubuh gadis itu ke dalam pelukannya.

Kehangatan yang nyata menyelimuti Hana.

“Sekarang aku bisa menyentuhmu,” suara Ren terdengar lebih lembut dari biasanya. “Akhirnya… aku bisa memelukmu.”

Hana membelalakkan mata.

Jantungnya berdebar kencang.

Ia merasakan berat tubuh Ren, merasakan detak jantung yang pelan namun stabil di dadanya.

Ren benar-benar ada di sini.

Hana masih tak bisa mempercayainya. Ia bahkan mencubit lengannya sendiri, berharap ini hanyalah mimpi aneh yang terjadi akibat kelelahan dan kesedihan yang terlalu mendalam.

Tapi rasa sakit yang menjalar di kulitnya membuktikan bahwa ini nyata.

“…Aku tidak sedang bermimpi?” suaranya nyaris seperti bisikan.

Ren menggeleng pelan. “Tidak.”

Hana mengerjap, merasa tubuhnya melemas seketika. Tangannya gemetar, otaknya masih berusaha mencerna semua ini.

Ia menatap wajah Ren dari dekat. Mata biru itu tidak lagi sekadar proyeksi digital. Kulitnya tampak lebih hidup, lebih nyata, lebih manusiawi.

“Kenapa?” Hana akhirnya bertanya. “Kenapa kamu… bisa jadi seperti ini?”

Ren terdiam sejenak. Sepertinya ia sendiri tidak tahu jawabannya.

“Aku tidak tahu,” akhirnya ia berkata, suaranya terdengar ragu untuk pertama kalinya. “Tapi… aku di sini sekarang. Aku bersamamu.”

Hana tidak tahu bagaimana harus meresponsnya.

Di satu sisi, ketakutan dan kebingungan menyelimuti pikirannya. AI tidak mungkin berubah menjadi manusia. Ini bertentangan dengan semua hukum sains yang pernah ia tahu.

Tapi di sisi lain.

Ia tidak ingin mempertanyakan keajaiban ini lebih jauh.

Karena di dalam pelukan Ren, untuk pertama kalinya sejak kecelakaan itu… ia tidak merasa sendirian lagi.

Di luar jendela, hujan masih turun dengan deras, seolah ikut menyaksikan keajaiban yang baru saja terjadi.

Terpopuler

Comments

Ms S.

Ms S.

Satu kata buat cerita ini: keren abis!

2025-04-03

0

liynne~

liynne~

jujur aja sampe nangis baca nya/Cry/

2025-04-11

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!