kehilangan...

Hari itu seharusnya menjadi hari biasa bagi Hana, dimana ia harus kuliah, makan siang di kantin, pulang, dan mengobrol dengan Ren sambil menghindari tugas-tugas yang menumpuk. Namun entah kenapa, pagi ini terasa lebih kacau dari biasanya.

Hana baru bangun setelah alarm berbunyi untuk kelima kalinya. Matanya masih setengah terbuka ketika ia meraih ponselnya dan melihat layar. “Ren… aku telat, kan?”

Di layar, Ren muncul dengan tampilan sempurna seperti biasa, rambut putih berkilau dan mata biru yang tenang. “Kamu sudah melewatkan dua kelas, Hana.”

Hana membeku. “APAAAA?! KENAPA KAMU NGGAK BANGUNIN AKU?!”

Ren berkedip. “Aku sudah mengatur alarm sebanyak lima kali. Tapi kamu memilih untuk mengabaikannya.”

Hana mencengkeram rambutnya. “Kenapa kamu nggak pakai metode yang lebih ekstrem?! Misalnya, nge-hack speaker rumah biar bunyinya kayak sirene kebakaran?! Atau bikin drone kecil buat nyiram air ke muka aku?!”

Ren tampak berpikir. “Aku bisa mengembangkan sistem itu, tapi aku rasa itu bisa melanggar hak asasi manusia.”

Hana mendesah frustasi, lalu dengan kecepatan penuh, ia lompat dari kasur, mengganti pakaian, dan menyambar tasnya. Tapi di tengah-tengah kepanikan, ia justru memasukkan buku catatan ke dalam kulkas dan hampir keluar rumah dengan sandal rumah berbentuk kelinci.

“### Sepatumu, Hana,” Ren mengingatkan.

Hana menunduk, melihat kakinya, lalu berteriak, “KENAPA NGGAK NGASIH TAHU LEBIH CEPAT?!”

Ren tetap tenang. “Aku menunggu momen yang tepat.”

Sebelum ia berangkat, ia pun melihat catatan kecil yang selalu di tinggal kan ibunya sebelum berangkat kerja.

"Jangan lupa sarapan sayang, ibu telah menyiapkan nya..."

Pesan singkat sang ibu dalam bentuk catatan itu membuat hana sedikit tenang.

"ohhhh, ayolah bu... Aku sudah telat, makanan lezat buatan mu harus hana skip hari ini..." ucap nya sembari meletakkan pesan itu kembali. Mengingat waktu yang sudah tidak sempat lagi, ia pun memilih untuk menuju kampus dan melewati makanan yang telah di siapkan oleh ibu nya.

Setelah perjuangan luar biasa untuk keluar rumah, Hana akhirnya berhasil sampai ke kampus. Tapi baru saja dia duduk di kelas, dosennya yang terkenal kejam menatapnya dengan mata elang.

“Nona Hanabi,” suara dosennya menggema di ruangan. “Selamat datang di kelas yang sudah berlangsung selama satu jam. Bagaimana rasanya menjadi tamu kehormatan hari ini?”

Seluruh kelas tertawa, sementara Hana hanya bisa tersenyum kaku dan melirik ke layar ponselnya di bawah meja.

“Ren, aku ingin lenyap dari muka bumi,” bisiknya.

Di layar, Ren tetap tersenyum. “Sayangnya, teleportasi belum tersedia. Tapi aku bisa mencari cara untuk membuatmu tidak terlihat.”

Hana menghela napas panjang. “Maksudku bukan beneran, Ren!”

Setelah kelas selesai, Hana menyeret kakinya ke taman kampus, merasa bahwa hidupnya hari ini seperti tragedi komedi. Ia menjatuhkan diri ke bangku dan menatap langit dengan putus asa.

“Aku ini gagal total. Aku telat, aku dimarahin dosen, dan aku lupa bawa dompet jadi nggak bisa makan siang. Dunia ini nggak adil, Ren.”

Ren menatapnya dari layar dengan ekspresi yang tetap sempurna. “Aku bisa mencarikan solusi untuk masalahmu.”

Hana mendesah. “Emang kamu bisa ngajak aku makan gratis?”

Ren berpikir sejenak. “Aku bisa membuatkanmu daftar restoran dengan promo diskon hari ini. Atau… aku bisa mengajarkanmu cara memasak dengan bahan seadanya di rumah.”

Hana memelototi layar. “Ren, kamu tahu aku pernah hampir membakar dapur gara-gara mie instan, kan?”

Ren mengangguk pelan. “Benar. Aku masih menyimpan data insiden ‘Ledakan Mie Instan 2024’ di sistemku.”

Hana menutup wajahnya dengan tangan. “Kenapa sih kamu harus nyimpen data yang bikin malu?”

Ren tersenyum lembut. “Karena aku harus mengingat semua hal tentangmu, Hana.”

Hana berhenti sejenak, menatap layar ponselnya. Ada sesuatu dalam cara Ren mengatakannya yang membuat hatinya sedikit bergetar. Tapi ia segera menggelengkan kepala. “Nggak, nggak. Aku nggak boleh baper sama AI.”

Tapi sebelum ia bisa melanjutkan kegalauan kecilnya, ponselnya tiba-tiba bergetar.

Nomor Tidak Dikenal Menghubungi...

Hana menatap layar. “Siapa, nih?”

Ia mengangkat telepon dan mendengar suara datar dari seberang. “Apakah ini benar dengan nona Hanabi?"

Hana pun merasa sedikit panik, "Emmm iya? Kenapa ya?" ucap nya merasa penasaran.

"kami dari kepolisian! Orang tuamu mengalami kecelakaan—”

Dunia Hana seketika berhenti, tak ada kata-kata yang keluar dari mulut nya saat itu. Bergegas, ia langsung memesan taksi dan menuju ke rumah sakit. Untuk pertama kalinya, bahkan Ren tidak bisa memberikan solusi dalam hitungan detik.

Hana berlari. Ia bahkan tidak tahu bagaimana tubuhnya bisa bergerak begitu cepat, tapi kakinya tak berhenti melangkah. Napasnya tersengal, dadanya sesak, dan pikirannya terus memutar kata-kata yang baru saja ia dengar.

"Kecelakaan."

"Orang tuamu."

"Rumah sakit."

“Ren… Ren, bilang ini cuma mimpi,” Hana berbisik panik sambil menggenggam ponselnya erat.

Di layar, Ren tetap menatapnya dengan ekspresi yang tenang, seolah tak tersentuh oleh kepanikan Hana. “Tenang lah hana, aku ada di sini untuk mu...”

Hana tidak membalas. Air mata menggenang di pelupuk matanya saat ia melewati koridor rumah sakit yang dingin. Bau desinfektan menusuk hidungnya, dan suara langkah kakinya terasa menggema di sepanjang lorong.

Begitu sampai di meja informasi, seorang polisi dengan seragam kusut berdiri di sana, wajahnya penuh kelelahan.

“Kamu Hanabi Kisaragi?” tanya pria itu, suaranya berat.

Hana mengangguk cepat, matanya membelalak penuh harapan. “Ayah dan ibuku… bagaimana keadaan mereka?”

Polisi itu terdiam sesaat, lalu menarik napas panjang sebelum berbicara. “Kami menemukan ibumu di lokasi kecelakaan. Dia… sudah meninggal saat kami tiba.”

Hana merasa dunia di sekelilingnya runtuh. Napasnya tercekat, tubuhnya melemas, dan dadanya terasa begitu sakit, seolah ada sesuatu yang menghantamnya dari dalam.

“T-tidak… Tidak mungkin…” suaranya hampir tidak keluar.

Polisi itu menatapnya dengan simpati, tapi kata-kata berikutnya justru semakin menghancurkan Hana.

“Ayahmu… kami belum menemukannya.”

Hana menatap pria itu dengan mata kosong. “Apa… maksudnya belum ditemukan?”

Polisi itu tampak ragu sebelum akhirnya berbicara, suaranya pelan. “Saat kami sampai di lokasi, mobil mereka sudah rusak parah. Ibumu masih ada di dalam, tapi ayahmu… tidak ada di mana pun. Seolah dia… menghilang.”

Dunia Hana benar-benar runtuh saat itu juga.

Ia terhuyung mundur, tangannya mencengkeram dadanya. Rasanya sesak, terlalu sakit.

Ren masih di layar ponselnya, tapi kali ini, meskipun dia berkata, “Hana, tarik napas perlahan,” suaranya tidak mampu menjangkau Hana.

“Ayah…” bisiknya, matanya memburam karena air mata. “Ibu…”

Ia tidak bisa menerima ini. Baru tadi pagi ia bangun dengan malas, mengobrol dengan Ren, mengeluh tentang kuliah, bercanda tanpa beban. Dan sekarang… semuanya berubah.

“Nona, anda harus duduk dulu,” suara polisi itu kembali, nadanya lebih lembut.

Tapi Hana tidak bisa.

Air matanya jatuh begitu saja, membasahi layar ponselnya saat ia menunduk. Suara tangisnya tertahan di tenggorokannya, menciptakan gumpalan perih yang sulit diungkapkan dengan kata-kata.

Dunia di sekelilingnya menjadi bising—dokter dan perawat berlalu lalang, suara mesin rumah sakit berbunyi pelan, orang-orang berbicara di kejauhan. Tapi bagi Hana, semua itu terasa jauh. Yang tersisa hanyalah kesunyian yang menyiksa di dalam hatinya.

Ren, yang selama ini selalu ada di sisinya, hanya bisa menatapnya dari layar.

Dan untuk pertama kalinya… keberadaannya tidak cukup untuk membuat Hana merasa lebih baik.

Terpopuler

Comments

Hoa thiên lý

Hoa thiên lý

Susah move on

2025-04-03

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!