"*Ethan," Panggil gadis kecil berumuran 5 tahun itu.
Anak laki-laki berumur 7 tahun yang bernama Ethan hanya menanggapinya dengan gumaman. Ia sedang membaca sebuah buku.
Jujur saja, Ethan tidak suka pada gadis itu. Tapi, orangtuanya yang selalu datang berkunjung sejak ia bayi malah membuatnya tidak memiliki teman hingga terpaksa bermain dengan gadis kecil yang umurnya tidak terlalu jauh dengannya ini.
Khansa itu cengeng apalagi mukanya datar, dingin. Dibentak sedikit sudah menangis. Ethan tidak suka itu. Ia mau nemiliki teman yang keren. Bukannya tukang nangis.
Khansa menarik lengan baju Ethan. Membuat anak itu menoleh. Lagi-lagi ia menemukan wajah dingin itu.
"Apa?" Tanya Ethan datar.
"Mau main keluar?" Tawar Khansa.
Ethan memutar bolamatanya jengah. Lalu menghela napas. "Nggak ah, males."
Khansa hanya menggumam kecil sambil melirik ke jendela. Dibawah sana, ada banyak anak seumuran mereka yang sedang bermain. Sungguh, Khansa sangat ingin bermain dengan yang lainnya. Tapi, kalau Ethan tidak mau, Khansa juga tidak mau.
Sementara itu, Ethan terfokus pada buku yang dipegangnya. Astronomi. Ia suka buku yang mempelajari tentang luar angkasa. Dirumah Khansa, banyak sekali buku yang berkenaan dengan itu. Makanya, terkadang jika ia malas melayani Khansa, ia hanya perlu mengalihkan perhatiannya untuk buku yang ia pilih.
Selain karena buku yang ada padanya menarik, Ethan juga tidak suka bermain dengan Khansa. Khansa 'kan perempuan. Pasti diajak main masak-masakan. Ia tidak mau.
"Baca buku apa?" Khansa mengintip dari belakang bahu Ethan. Dan menemukan potret seseorang yang memakai baju terbuat dari besi berwarna putih. Kepalanya di tutupi oleh sebuah kaca bulat. "Astronot?" Tanyanya.
Ethan mengeryit. "Kamu tau?"
Khansa menyengir. "Tau. Kalo mau keluar angkasa harus belajar ini dulu, kan? Kalo nggak salah, ada yang namanya NASA, kan? Mereka khusus belajar tentang astronomi." Jelas Khansa.
Mulut Ethan agak terbuka. Ia ingin mendengar lebih. "Terus?"
Khansa mengetuk-ngetuk dagunya. Terlihat berfikir. "Terus? Terus...," Ia tersenyum penuh arti. "Mau tau lebih banyak?"
Ethan terdiam sejenak. Dan sedetik kemudian, ia berubah pikiran. "Palingan kamu cuma tau sedikit. Bisa aku cari tau sendiri." Kata Ethan tak peduli.
Khansa menatapnya tajam. "Yakin? Aku selalu diajarin Kak Reza tentang bintang, bulan, meteor, planet dan yang lain, tuh. Aku juga punya teropongnya. Besar lagi,"
"Mana?"
Khansa menarik tangannya dan pergi ke teras kamarnya. Disana ada teropong yang cukup besar seukuran gading gajah. Ethan berdecak kagum. Pertama kalinya melihat benda seperti ini.
Ethan mengintip di lubang kecil teropong itu. Namun, tidak terlihat apapun. "Kok nggak nampak?"
"Iya iyalah. Ini kan siang. Kalau mau liat bintang, ya malam." Jelas Khansa.
Bibir Ethan membulat. "Kalau gitu aku nginap aja malam ini." Putusnya.
"Boleh. Tapi ada syaratnya," Kata Khansa.
"Apaan?"
"Jadi teman aku*,"
"Nggak,"
***
Mata Ethan masih memandang keluar jendela. Biasanya mereka berdua menghabiskan waktu berdua di kamar. Mau itu dikamar Khansa ataupun di kamar Ethan. Mereka bisa melakukan apa saja. Membaca buku astronomi atau main game. Apapun.
Kali ini, Khansa tidak bersamanya. Mereka terpisah. Padahal, sebelumnya mereka selalu terlihat berdua. Seperti sepasang kembar yang tak ingin berpisah dimanapun. Dimana ada Ethan, disitu Khansa.
Cowok itu menghela napasnya. Berat rasanya berpisah dengan Khansa. Sepi. Hatinya pun terasa kosong. Yang dipikirannya hanya ada Khansa. Namun, entahlah. Rasanya seperti khawatir. Takut, bagaimana kalau Khansa menjauh darinya?
Ethan, kan, hanya perlu sedikit waktu untuk berpikir. Bagaimana kalau ada yang mendekati Khansa?
Argh, bagaimana ini? Ia sangat takut.
Kakinya melangkah mendekati kasur. Sialan, dikamar ini penuh dengan kenangan bersama Khansa. Mau melihat ke atas ataupun ke bawah tetap saja ada kenangan yang mereka buat.
Andai saja ia tidak bersahabat dengan Khansa sejak kecil, mungkin saat ini mereka tidak akan seperti ini. Mereka bisa saja pacaran, kan?
Hmm, apa dia minta maaf saja? Rasanya tidak enak jika terus-terusan saling diam seperti ini.
Mungkin, besok saja.
***
Mata Ethan terus menyapu sakitarnya. Mencari sosok Khansa yang ingin ia temui. Ia ingin minta maaf. Tidak seharusnya ia bersikap seperti itu. Dan tentu saja Khansa terkejut. Syok dengan sikapnya yang begitu tiba-tiba.
Pada akhirnya, Ethan memutuskan untuk mengalah. Ia tidak akan memaksa Khansa menyukainya. Karena Ethan yakin, perlahan-lahan rasa itu pasti akan tumbuh dihati Khansa.
"Tunggu!" Seseorang berteriak dan menarik lengan bajunya. Membuat Ethan menoleh kebelakang. Mendapati seorang gadis bertubuh mungil yang sedang menatapnya serius.
"Apa?" Tanya Ethan acuh tak acuh sambil menarik lengannya sendiri. Melepaskan tarikan tangan dari gadis itu.
Si Gadis terlihat ragu-ragu. Namun, akhirnya gadis itu mengeluarkan suaranya. "Ehm, nama aku Lyra. Dari kelas yang sama dari kelas Khansa." Jelasnya singkat.
Dahi Ethan menyatu. "Terus? Ada hubungannya sama Khansa?"
Lyra menggaruk tengkuk lehernya. "Nggak, sih..." Gumamnya.
"Kalau gitu gue pergi." Ethan kembali melangkahkan kakinya. Baginya informasi selain tentang Khansa itu tidak penting.
Lyra membuka mulutnya tak percaya. "Eh, tunggu dulu!!" Ia kembali menarik lengan Ethan. Membuat cowok itu berdecak.
"Apalagi?" Tanyanya dengan nada kesal.
Gadis itu menunduk melihat ekspresi wajah Ethan. Sepertinya, mood Ethan sedang buruk. Eh, tapi kapan mood Ethan jadi baik? Kan cuma sama Khansa moodboster-nya. Kalau Khansa tidak ada, Ethan bisa berubah jadi harimau.
Apapun yang terjadi, Lyra tidak bisa mundur lagi. Sudah terlanjur berhadapan dengan orangnya, bagaimana ia bisa kabur?
"Ehmmm... Itu, sebenarnya..." Aduh, Lyra gugup sekali. Tinggal bilang saja, kok susah. "Aku tau kita belum kenalan lama. Tapi, kak, aku udah perhatiin Kakak sejak aku sekolah disini. Aku sih, nggak-..."
"Intinya?" Tanya Ethan penuh penekanan. Gara-gara cewek ini, waktunya mencari Khansa terbuang sia-sia. Menyebalkan.
Lyra terlihat semakin gugup. "Sebenarnya..., Aku...." Lyra menutup matanya sambil menghela napas. "Aku suka sama Kakak." Lanjutnya.
Ethan berdecak. Ia kira apa. Ternyata sesuatu yang tidak penting. Dan tentunya, ia tidak terkejut. Bukan cuma Lyra yang pernah menembaknya. Gadis lain juga banyak. Tapi, orang lain tidak pernah menjadi yang Ethan suka. Hanya Khansa yang ada dihatinya dan selalu begitu. Meski ia gonta-ganti pacar. Itupun dalam jangka waktu seminggu yang paling lama.
Bagi Ethan, mereka semua hanyalah boneka yang bisa ia mainkan. Para gadis yang menembaknya itu, bukankah memalukan? Kalau mereka punya harga diri, harusnya mereka tidak menembak cowok, dong? Apa mereka punya malu?
Ethan menunjukkan senyum sarkastik-nya. "Gue nggak--"
Baru saja ia ingin mengeluarkan suara untuk mempermalukan gadis itu, ucapannya menggantung. Ia melihat Khansa yang sedang berbicara dengan seorang cowok berperawakan tinggi. Ethan kenal anak itu. Dia, Dika. Sekelas dengannya. Terkenal ganteng dan pintar juga.
Ethan menggertakkan giginya dan mengepalkan tangannya. Semudah itu Khansa melupakannya? Tidak disangka.
"Kak?" Panggilan Lyra membuyarkan lamunannya. Ia kembali menatap Lyra.
Sebuah Smirk Devil terpampang jelas di bibir Ethan. Ah, kalau Khansa begitu, Ethan lebih bisa lagi.
Mata gelap itu menatapnya. Namun, tak sedikitpun Lyra mengalihkan perhatiannya dari mata itu. Mau dilihat dari manapun, Ethan selalu berhasil menarik perhatian dan detak jantungnya.
"Mau jadi pelampiasan gue?"
Mata Lyra melebar. Apa? Barusan apa yang Ethan katakan?
"Iya, gue mau." Jawab Lyra tanpa berpikir dua kali. Ia menatap mata Ethan lurus.
Ethan terdiam sesaat. Awalnya, ia hanya bercanda. Tapi, apa benar Lyra mau menjadi pelampiasannya?
Senyumnya mengembang. Ah, bodo amat.
"Oke. Mulai hari ini kita resmi pacaran." Kata Ethan sambil melenggang dan melambaikan tangan.
Lyra memegang dadanya sambil tersenyum miris. Tidak masalah. Ethan sudah memberinya kesempatan. Setidaknya, Lyra bisa menemani Ethan melewati masa sakitnya.
Ethan tidak sendiri, ada Lyra dengan perasaan tulusnya disini.
Tidak masalah jadi pelampiasan. Lyra bahagia dapat menjadi apapun yang penting ada disamping Ethan. Walaupun posisi ini menjadi posisi yang paling menyakitkan dan itu tandanya Ethan tak memiliki sedikitpun perasaan padanya.
Katakanlah dia bodoh. Tapi, cinta yang dipahami Lyra sebenarnya bukan rasa ingin untuk memiliki. Namun, ingin melihat orang yang dia cintai bahagia. Walau Ethan bahagia dengan Khansa suatu saat nanti, tidak masalah.
Karena, Lyra tidak pernah berharap menjadi milik Ethan. Cukup menjadi bagian dari ceritanya saja itu sudah cukup.
Agar suatu saat nanti, bila Ethan sudah punya anak, namanya tersampaikan pada mereka. Itu akan membuat Lyra bangga dengan dirinya sendiri. Meski hanya Ethan. Ia mencintai Ethan dan akan selalu begitu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 44 Episodes
Comments
Nofa_
hai hai thor.
jgn lupa mampir jg ke karya ku yaa
2020-07-25
0