Masih tentang Ethan dan selalu Ethan yang ada di pikiran Lyra. Seakan-akan tak ada hal lain yang perlu dipikirkan. Padahal, UAS sudah dekat. Ia masih saja berkutik dengan kamera canon-nya yang dipenuhi dengan foto-foto Ethan yang ia ambil secara diam-diam.
Tentu saja, efek Candid lebih menarik baginya. Dan mengambil foto disetiap waktu bahagia akan mencetak kenangan yang indah pula. Setidaknya, kenangan itu bisa tersimpan di memori kameranya.
Pintu kamarnya terbuka. Seorang lelaki berumur 30-an masuk ke kamarnya.
"Ayah!" Seru Lyra sambil memeluk ayahnya yang bernama Rian itu. Rian membalas pelukannya sambil mencium kening gadis itu dalam. Ia suka sekali aroma dari gadis kecilnya ini. Manis.
"Kamu sehatkan? Ayah beliin kamu roti bakar bandung tadi. Mau?" Tawar ayahnya.
Wajah Lyra jadi cemberut. "Yeeehh... Ayah baru dari Kanada, kok, belinya roti bakar bandung? Aneh nih, ayah." Katanya sambil memukul lengan Rian pelan.
Rian tertawa. "Hahaha... Iya. Oleh-olehnya di depan. Yuk," Ajak Rian merangkul Lyra dan dibalas pelukan menyamping dari gadis itu.
"Yah, gimana di Kanada?" Tanyanya dengan manik mata yang berbinar. Rian selalu bekerja di Luar Negri tanpa Lyra. Dan Lyra sangat mengagumi keindahan luar negri. Tapi, Lyra paham bahwa jika membawa dirinya akan banyak resiko yang harus mereka hadapi karena tuntutan pekerjaan Rian.
Rian mengetuk dagunya. "Keren. Nanti, kalau liburan Ayah bawa kesana."
Wajah Lyra kembali cemberut. "Selalu 'kalau'. Kapan liburannya, Yah? Lyra juga mau libur sama Ayah." Rengeknya. Namun, terdengar seperti keluhan.
Rian mengerti. Sangat mengerti apa yang dirasakan Lyra. Anak itu pasti kesepian sehari-hari berada di rumah sendirian tanpa adanya dirinya. Ditambah lagi, anak itu Ansos. Tetangga saja tidak pernah disapa. Apalagi teman sekolahan.
Andai saja ia tidak punya pekerjaan yang serumit ini hingga membawa keamanan keluarganya, maka ia pasti tidak akan meninggalkan Lyra sendirian. Ia tidak tau Lyra pernah sakit atau tidak. Yang jelas, pasti sangat tersiksa rasanya ketika sendiri.
Lyra itu anak yang baik. Jarang mengeluh, palingan jika sudah jenuh saja. Lalu, Lyra juga mandiri. Pernah, saat ia masuk SMA, Lyra mengurus segala keperluannya sendiri tanpa memberitau Rian. Wali murid kelas satu di panggil saja ia tidak tau. Ketika ia bertanya pada Lyra, kenapa tidak mengatakan padanya, Lyra hanya menjawab,
Nggak usah. Ayah, kan, sibuk. Istirahat aja.
Jawaban Lyra yang masih polos itu secara tidak langsung membuat Rian merasa tidak becus menyandang figur seorang ayah. Ia jarang memperhatikan Lyra. Teman pun tak ada. Setidaknya, kalau teman tidak ada, ada keluarga, kan?
Rian bahkan tidak tau apakah Lyra pernah menangis demi kepulangannya. Rian juga pernah membawakan Lyra sebleng bandung dengan senang hati. Berharap anaknya itu suka pada apa yang dibawanya. Namun, sepulangnya kerumah, Lyra malah menekuk wajahnya. Dan berkata,
Ayah nggak tau? Lyra alergi pedas.
Lagi-lagi perkataan Lyra menohok hatinya. Ayah macam apa yang tidak tau anaknya alergi apa? Rian merasa sangat tidak pantas menjadi seorang ayah.
"Ayah mau kemana lagi liburan ini?" Pertanyaan Lyra membuyarkan lamunan Rian.
"Eh? Ehmm..." Rian tidak yakin Lyra akan senang mendengar ini. Tapi, ia harus memberitaukannya. "Ayah ke Polandia selama sebulan."
"Sebulan? Lama banget," Kata Lyra dengan nada kecewa. Hah, Rian yakin satu hari sebelum ia pergi nanti Lyra akan badmood dan tidak mau bicara padanya.
Lagi-lagi ia mengecewakan Lyra, anak semata wayangnya. Rian yakin, Lyra pasti sangat ingin menghabiskan waktu dengannya sesekali. Hanya sesekali. Tapi, Rian tak pernah bisa memberikan itu. Setelah pulang kerumah, karena lelah, ia terus-terusan tidur. Bahkan, tak pernah melihat Lyra pergi sekolah. Namun, setelah Lyra pulang sekolah, dia pergi bekerja lagi.
Terkadang, dalam berminggu-minggu ia tak pernah bertatapan muka dengan Lyra. Kalau Lyra rindu, maka ia akan berusaha bergadang dan menunggu Rian pulang. Tapi, tidak jarang juga ketika Rian pulang, Lyra sudah ketiduran di sofa.
Ketika bangun paginya lagi, Lyra malah mengoceh dan semakin badmood karena satu-satunya waktu yang ia punya terlewatkan. Bila weekend, Rian jarang pulang. Lengkaplah sudah ketidakbecusan seorang Rian sebagai Ayah.
"Nanti, kalau--"
"Lyra udah punya temen, Yah." Curhatnya sebelum Rian kembali membual dengan 'kalau-kalau'nya itu. Lyra sudah kenyang mendengarnya.
Mata Rian membulat. "Iya? Cewek? Cowok?"
"Cewek sama cowok. Tapi, cowoknya pacar Lyra."
"Iya? Ayah kira kamu bakal ngejomblo seumur hidup," Ejek Rian
"Ish! Ayah nggak boleh doain anaknya yang kayak begituan." Oceh Lyra.
Rian tertawa. Senang jika Lyra sudah memiliki teman walau hanya dua orang. "Terus, mereka orangnya gimana? Baik?"
"Hm. Baik, kok. Mereka berdua sahabatan. Yang terpenting nih, Yah, pacar Lyra itu orangnya cool banget. Terus, Lyra udah lama suka sama dia. Untung aja kita bisa pacaran." Curhatnya panjang lebar tanpa memberitau poin terpenting bahwa ia sedang menjadi pelampiasan.
"Wah, kok Ayah nggak tau?"
"Lyra mau bilang, tapi Ayah kayaknya nggak ada waktu." Katanya sambil menunduk. Menyembunyikan air matanya yang membuktikan bahwa ia sekarang sedang rapuh.
Hati Rian serasa terenyuh mendengar ungkapan Lyra. Lagi-lagi begini... Apa Rian tidak tau apapun mengenai Lyra? Walau ia mengetahui segala informasi tentang dunia ini, kenapa ia merasa bodoh jika itu bersangkutan dengan Lyra?
Ia harus membuat Lyra tenang.
"Nanti, kalau--"
"Hoaamm... Lyra ngantuk, Yah. Lyra tidur dulu, ya? Malam, Ayah." Katanya sambil mencium kening Rian dan pergi ke kamarnya.
Rian menyentuh keningnya. Mengapa begini? Apa dia tidak pantas mendapatkan keluarga? Apa Lyra akan bahagia kalau tidak bersama dirinya? Kenapa begini? Padahal, ia berharap bisa membahagiakan Lyra. Tapi, yang ia perbuat malah sebaliknya.
Ingin rasanya ia keluar dari pekerjaan ini. Namun, akan ada resikonya. Dan resiko itu sangat membahayakan Lyra. Anak gadis seumurannya pasti susah untuk menjaga diri. Lalu, bagaimana caranya agar Lyra bisa bahagia? Sedangkan dirinya sendiri sulit untuk bahagia.
Awalnya, ia kira, ia akan bahagia jika membesarkan Lyra. Ternyata, ia malah semakin tersiksa dengan kekecewaan anaknya itu.
Ia hanya bisa membuat Lyra senang dengan segala perandaian yang ia buat dan bahkan semua itu takkan pernah ia berikan.
*Ayah, kapan bawa Lyra ke Bali?
Ayah, kapan kita makan bakso?
Ayah, kapan kita ke taman sama-sama?
Katanya Ayah mau bawa Lyra ke kalifornia kalau udah libur. Lyra, udah libur. Ayuk, Ayah*!
Semua pertanyaan Lyra yang sebenarnya dijanjikannya itu tak pernah dapat ia berikan dari hal terkecil sampai hal terbesar sekalipun. Apakah Lyra akan mengerti dirinya? Tentu saja.
Lyra tidak pernah berbuat mengecewakan seperti Ayahnya. Lyra tidak akan mau membuat orang kecewa karena tau bagaimana rasanya dikecewakan. Sungguh.
Rasa kecewa itu sangat pahit. Lebih pahit dari kopi atau masakan gosong.
***
Lyra menarik napasnya sambil menyandarkan punggungnya di balik pintu. Dalam hatinya, ia sungguh meminta maaf pada Ayahnya yang ia tinggalkan begitu saja di meja makan.
Ia membekap mulutnya kuat-kuat agar isak tangisannya tak pecah dan terdengar ketelinga Rian.
Lyra sangat ingin menghabiskan segala waktunya dengan Rian. Ia sangat menyayangi Rian seperti Ayah kandungnya sendiri. Tapi, apakah Rian tidak menganggapnya begitu?
Ia melangkah menuju ke nakas yang memiliki figura kecil berukuran sedang. Disana, ada foto Lyra kecil yang sedang dipeluk erat oleh Rian. Tawa mereka begitu lepas.
Lyra jadi rindu dengan masa-masa itu. Ingin rasanya kembali ke masalalu dan mengulang kembali kejadian yang hanya terjadi sekali dalam seumur hidupnya itu. Ketika Rian membawanya pergi ke Amazone dan melayani Lyra main disana layaknya tuan putri.
Apa tidak ada sedikitpun waktu lagi yang tersisa? Untuk dirinya, bahkan satu menit saja untuk menghirup udara di luar. Rasanya Lyra seakan ingin mati berada di dalam rumah besar ini tanpa adanya Rian. Seakan oksigen yang ada di dalam rumah ini adalah racun, ia tidak betah di rumah.
Lyra merasa sepi.
Ia membaringkan tubuhnya di atas kasur. Ia lelah terus mendengar janji-janji yang di ucapkan Ayahnya. Daripada kebohongan, Lyra lebih baik memilih kejujuran walau sakit. Setidaknya, itu bisa membuat Lyra berhenti berharap.
Bahkan dengan Ethan, ia tidak bisa bahagia karena kebahagiaan Ethan bukanlah dirinya. Melainkan Khansa.
Tak apa. Lyra sudah biasa dengan harapan. Ia kebal dengan rasa sakit dan kekecewaan. Pahitnya dunia ini, hanya Lyra yang tau detilnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 44 Episodes
Comments
Black Hawk
fucek ethan, fucek rian 🗿👍
2022-10-07
0
Jess ♛⃝꙰𓆊
aku mampir nih 👋
semangat ya
2020-09-25
0