Gadis itu berjalan sendiri. Tatapannya kosong.Dia yakin, tak ada orang yang memperdulikannya. Mungkin, karena gadis itu tak pernah menyapa mereka atau berbicara dan tersenyum pada orang selain Ethan.
Pemarah, dingin. Siapa yang mau menyapa? Daripada disemprot dengan air cabai, lebih baik jangan.
Langkahnya terhenti di depan sebuah ruangan dengan pintu yang sedikit terbuka. Ada kucing yang memasuki ruangan itu diam-diam.
Alisnya mengeryit. Entah ada angin apa, langkahnya mengayun kedalam ruangan tersebut. Mencari kucing yang tadi dilihatnya.
"Ckckckck, nisss~~ cing, meaw." Gadis itu mencoba memancingnya sambil celingak-celinguk dan berjongkok. Mencari keberadaan hewan itu.
Namun, pergerakannya terhenti saat mendengar ketukan high heels yang nyaring dari belakang punggungnya. Kalau begini, sudah pasti...,
"Khansa? Kamu ngapain disini? Dihukum lagi?" Tuduh Bu Irene pada gadis yang mendongak menatapnya kosong.
Khansa berdiri. "Suuzon," Cibirnya balik.
Alis guru itu bertautan. "Jadi, kamu ngapain kesini?" Tanyanya sambil melipat kedua tangan di depan dada.
"Nyari ini," Ucapnya sambil mengangkat seekor kucing belang berwarna abu-putih.
"Kamu melihara kucing disekolahan?" Tuduhnya lagi. "Awas ya, ibu laporin ke kepala sekolah!" Ancamnya.
Khansa memutar bolamatanya bosan. "Kucingnya tadi masuk. Gue mau keluarin. Tapi, kalau mau ngelaporin itu ke kepala sekolah juga boleh. Gue nggak masalah. Palingan juga dikeluarin." Jelas gadis itu dengan nada dingin sambil mengelus kepala si Kucing lembut. Membuatnya nyaman di dekapan Khansa.
Irene tertegun. Guru Konseling yang biasanya menghadapi Khansa itu agak curiga. Nada bicara Khansa memang dingin. Tapi, tidak pernah sedingin ini. Pasti ada sesuatu.
"Kamu ada masalah? Sama keluarga, ya?" Tebak Irene.
Khansa menatapnya datar. "Sotoy,"
Jawaban singkat yang menyebalkan itu membuat skill kegalakan Irene jadi terpacu cepat. Niatnya sih, pengen ngebantuin anak ini keluar dari masalahnya. Tahu-tahu malah di giniin. Menyebalkan.
Irene menjewer telinga Khansa kasar. Membuat gadis itu mengaduh tanpa niat. "Aw," pekiknya datar.
"Kamu itu ya, susah banget dibilangin. Ibu cuma mau bantuin kamu. Apa susahnya sih cuma ngomong dan curhat gitu?" Kata Irene meredam kekesalannya. "Pokoknya, kamu nggak boleh keluar sebelum cerita. Walaupun masih ada pelajaran." Paksa Irene.
"Penculikan," Ucap Khansa mengerling tajam. Namun, Irene tak perduli. Yang dilakukan Khansa hanya memancing kekesalannya. Dan itu benar-benar efektif membuat Irene meletup-letup menahannya.
"Iya, iya. Terserah kamu," Kata Irene pasrah. Menghadapi kata-kata dingin Khansa memang takkan ada habisnya kalau tak ada yang mengalah. Entah bagaimana Ethan dan Khansa bisa berteman sekian lama. Padahal, keduanya terkenal egois.
Irene yang kini duduk santai di kursinya membuat Khansa sedikit bingung. Apa yang akan dia lakukan setelah ini? Bercerita? Khansa tidak yakin Irene dapat membantunya. Apalagi, Khansa tidak biasa bercerita panjang-panjang. Jangankan bercerita, Berbicara saja sepadat-padatnya.
"Masalah sama Ethan." Jelas Khansa.
Irene mngeryit. Tak biasanya sepasang bad ini bertengkar. "Kenapa memang sama Ethan?"
"Dia suka gue,"
"Terus?" Irene memandang Khansa tak mengerti. Bukannya mereka ini pacaran, ya? Memang dengar-dengar dari siswa yang lain, sih. Tapi, mereka memang cocok, kok. Sama-sama dingin dan suka melanggar peraturan.
Khansa membalas tatapan Irene dengan pedih. "Kita ini sahabat. Tapi, dia suka gue. ******!" Marahnya. Namun, Irene tau ucapan itu bukan untuknya. Melainkan pada Ethan.
Mata Irene membulat. Eh, tunggu. Jadi, maksudnya perkiraannya salah, begitu?
Mana mungkin. Terlihat sekali dari tatapan mereka bahwa mereka sangat bahagia berada disamping satu sama lain. Tapi, tidak jadian? Bohong. Irene tidak percaya. Mana ada orang dingin yang bisa cair pada orang yang tidak dicintainya?
"Jadi, kalian nggak pacaran?" Pasti Irene.
Khansa menggeleng. "Sahabat," Katanya. Tapi, terselip nada kekecewaan disana.
Irene mengangguk mengerti. Sepertinya, tak ada kebohongan dari tatapan mata Khansa. Mereka benar-benar bertengkar. Tapi,
ETHAN MENCINTAI KHANSA?! Dan Khansa mengakui Ethan sebagai sahabat. Sedangkan Ethan mencintai Khansa. Jadi, ini semacam 'cinta tak terbalas' begitu? Dan pelakunya adalah sahabat sendiri yang mungkin sudah Khansa akui sebagai figur seorang kakak. Bukan seorang lelaki yang patut dicintai.
Oh, Irene sudah tau situasinya.
"Kamu nggak ada sedikitpun perasaan sama dia?" Tanya Irene.
Khansa menggeleng lemah. "Dia itu, orang yang gue percaya. Yang bisa gue andalin. Meskipun Playboy, Dia itu sahabat setia gue dari kecil. Kemana gue pergi, disitu ada dia. Waktu gue sedih, dia datang walau sejauh apapun jaraknya. Tapi, dengan kata 'cinta' yang bisa ngerubah pandangan dan status itu, Ethan juga ikut berubah. Dia benci gue yang egois." Jelasnya.
Irene menyandarkan punggungnya disandaran kursi. Hm, jika begini sulit sekali cara menyelesaikannya. Selain mereka itu sahabat kecil, Irene juga belum pernah berpengalaman.
Ironis. Umur 37 masih ngejomblo.
"Hm, kamu nggak bisa jalani dulu? Rasain dulu gimana rasanya pacaran."
"Nggak. Rasa pacar dan sahabat itu beda." Balas Khansa mantap.
Irene diam. Berfikir, apa solusi yang paling tepat untuk gadis ini?
Ah, kalau dipikir lagi, lucu juga ya. Guru honor yang ditugaskan untuk mendidik anak-anak nakal malah jadi tuntunan cinta bagi mereka. Padahal gurunya sendiri tidak berpengalaman.
Irene kembali meluruskan punggungnya. Mendapat sebuah ide. Nah, ini dia yang namanya guru kreatif. Bisa mengenai dua burung dengan satu batu alias membuat gadis ini bahagia sekaligus berubah.
Ia berdeham. "Beberapa minggu setelah ujian nanti ada acara yang namanya promnait. Kalau di sekolah ini, itu acara yang dibuat untuk memberi kenangan terakhir pada Kakak-kakak kelas tiga yang akan jadi alumni." Awalnya.
Khansa mengeryit. "Hubungannya?" Tanya Khansa to the point.
"Hubungannya, nanti disana kamu harus lakuin sesuatu yang sesuai dengan prosedur yang ibu buat. Oke?" Ajunya.
"Jangan yang aneh-aneh," Syarat Khansa.
Irene mengangkat dua jempolnya sambil mengerling genit. "Sip,"
Khansa masih memandangnya aneh. Guru yang selama ini sering tidak dia hargai dan ia ejek ingin membantunya? Kenapa? Apa tidak ada rasa debdan disana? "Kenapa ngebantu?"
Irene berdecak. "Kamu itukan murid ibu. Udah kewajiban guru untuk mendidik anak-anaknya ke jalan yang baik." Katanya. "Selain cuma untuk mengisi waktu kosong, Ibu juga ga suka ada pertengkaran. Lebih baik mati aja deh," Candanya sambil mengibaskan tangan.
Entah kenapa, ada rasa hangat disudut hatinya. Tidak ada orang yang benar-benar ingin membantunya. Tidak ada selain Ethan. Tapi, Ethan adalah musuhnya saat ini.
Khansa mengangguk patuh. Yah, terserahlah selama hubungan mereka bisa baik kembali. Ia juga berharap Ethan dapat memakluminya. Karena, sebuah hati tak pernah dapat dipaksa untuk mencintai.
"Makasih," Gumam Khansa kecil. Ada sedikit senyuman yang terpampang disana.
Wanita berperawakan ramping dengan rambut sebahu itu melongo ketika Khansa keluar. Apa dia tidak salah lihat? Khansa tidak pernah tersenyum walau sekecil apapun. Dan kali ini ia tersenyum dalam kegelapan matanya yang mengerikan itu?
Tanpa sadar, Irene ikut tersenyum. Tetap saja gadis itu terlihat cantik.
***
Ethan masih ada disekolah. Untuk yang keberapakalinya ia menjadikan samsak tinju diclub karate sebagai pelampiasannya. Yang jelas, ia tidak bisa menahan segala amarah yang bersarang di otaknya.
Apakah Khansa tidak tau seberapa cintanya ia? Ethan sudah mengorbankan segalanya. Tapi, kenapa Khansa tidak bisa melihat ketulusannya? Apa usahanya selama ini kurang?
Atau, waktunya tidak tepat?
Tidak. Ethan sudah menunggu sekian lama. Dan setiap detik selalu terlewatkan. Ia kira, ia sudah memberikan banyak peluang dan saat itu adalah waktu yang tepat dimana mood Khansa sedang baik dan tidak bermasalah dengan hal apapun.
Lalu, kenapa ia ditolak? Alasan apa lagi? Walau dipikir ribuan kalipun, tidak ada celah bagi Khansa untuk menolaknya. Ia sempurna. Ia tulus, kaya, setia, tampan dan pintar. Jadi, apa alasannya?
Ethan kembali melayangkan tinjunya dengan ganas. Ia sungguh benci situasi dimana ia ingin memiliki namun dengan segala cara tetap tidak bisa ia gunakan. Sebuah ketidakpastian, kekhawatiran, kekecewaan dan kesedihan.
Ini kali pertama ia bertengkar dengan Khansa. Ini lali pertama ia membuat Khansa sedih. Ini kali pertama ada kata-kata kasar yang keluar dari mulutnya untuk Khansa.
Ah, ia lemah. Dan Khansa adalah kelemahannya yang nomor satu. Ia tidak pernah memikirkan dirinya sebelum Khansa. Apapun akan ia berikan demi membuat gadis itu bahagia.
Tinjunya menggantung. Wajahnya menegang.
Lalu, jika menjadi kekasihnya tak dapat membuat Khansa bahagia?
Ethan menggertakkan giginya geram. Kemudian, meninju samsak tersebut semakin ganas dan berteriak kencang. Seakan meneriakkan rasa sakitnya yang tak dapat diungkapkan saking perihnya. Berharap ada orang yang menanggung rasa yang sama sepertinya.
Dari kejauhan, gadis itu menahan air matanya. Memang ia baru saja mencintai cowok gila ini. Cowok yang jatuh cinta pada sahabat semasa kecilnya sendiri. Namun, hatinya tak kuasa menahan teriakan itu. Ikut merasakan hal yang sama ; tidak bisa memiliki.
Padahal, dia belum melakukan tindakan yang membuat cowok itu tau perasaannya. Tapi, ia langsung tau dari suara yang sedang menggelegar seperti petir itu.
Bahwa cinta yang sudah bersemi sejak ratusan musim berganti, takkan dapat diobati dengan mudahnya. Bahkan emas atau dunia sekalipun yang diberi, tetap takkan membuatnya senang.
Dan gadis ini percaya akan satu hal; cinta yang tulus dapat menyembuhkan segalanya
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 44 Episodes
Comments
embun_senja
Bagus ceritanya, aku suka. Saran saya, coba diperhatikan tanda bacanya...selebihnya oke. Tetap semangat ya...
2020-01-09
2