Irina berdiri tepat di depan pintu kamar Adrian. Padahal tadi dia sudah dengan tergesa-gesa mengambil surat cinta dari Senna Zain di dalam tas-nya namun ternyata Adrian telah lebih dulu masuk ke dalam kamar dan menutup pintunya.
"Hufffh~" Irina menghela nafas dengan berat. Setiap hari memberi surat cinta kepada Adrian adalah sebuah malapetaka. Sikap dinginnya benar-benar merendahkan Irina.
"Tokk.. Tokk.. Tokk.." Irina mengetuk pintu kamar Adrian dengan perlahan. Perlu mengambil beberapa saat untuk Irina mendapati Adrian membukakan pintu untuknya.
"Ada apa?" tanya Adrian datar sambil membuang muka.
"Ini... Aku... Mau... Eng... Mau... Aku mau ngasih surat dari Kak Senna," Irina dengan gugup menyampaikan maksudnya. Irina tidak habis pikir, kenapa malah seolah-olah rasanya seperti dirinya sendiri yang mau memberi surat cinta. Sialan! Irina mengutuk dirinya sendiri di dalam hatinya.
Adrian tak mengatakan sepatah katapun. Irina bisa menangkap pandangan mata Adrian yang menatapnya dengan tajam dan saat ini Adrian mengangkat sebelah alis matanya. Irina sudah tahu mimik wajah Adrian yang seperti ini, ini adalah saat dimana Adrian akan mulai berkata-kata tajam kepadanya.
Adrian menyilangkan tangannya di dada lalu mulailah kata-kata tajam dilontarkannya.
"Kamu itu nggak capek yaa? Baik banget mau menjadi pengantar surat buat mereka,"
"Memangnya kamu dibayar berapa? Uang sakumu nggak cukup kaah sampai kamu harus punya kerjaan sampingan seperti ini?"
"Harus berapa kali sih aku perlihatkan ke kamu kalau aku nggak kepengen baca surat-surat mereka,"
"Lebih baik langsung saja kamu buang, nggak usah bela-belain ngasih semua surat-surat itu ke aku."
Adrian benar-benar mengucapkan semua kata-katanya tanpa menggunakan perasaan. Mimik wajahnya begitu dingin dan datar seolah dirinya adalah orang suci tak berdosa. Semua ucapannya bagaikan petir Dewa Zeus yang menyambar langsung ke tubuh lemah Irina. Irina bahkan bagaikan sedang berhalusinasi bahwa jantungnya sudah diambil dan diremas oleh Adrian hingga berubah menjadi butiran debu yang lenyap dan terbang tertiup angin. Adrian bahkan seperti tidak peduli dengan reaksi Irina yang hanya diam mematung dan kesal.
Irina kemudian tak mampu menahan dirinya lagi untuk membalas semua kata-kata dingin tak berperasaan yang dilayangkan oleh Adrian. Meskipun pada akhirnya dia melontarkan semua kekesalannya, Ia masih mampu menahan dirinya untuk tidak meledak-ledak dalam menuangkan emosinya. Ia hanya berusaha mengucapkan beberapa kalimat yang mewakili perasaannya dengan sedikit memperlihatkan kegeramannya.
"Kakak... Kalau memang tidak ingin surat dari mereka, bukankah lebih baik kakak sendiri yang buat pengumuman di sekolah?"
"Kakak pikir aku suka yaa direpotin untuk dititipin surat kayak begini?"
"Kakak kira aku suka yaa mendatangi kakak hanya untuk semua surat-surat menyebalkan itu dan menerima perlakuan kakak yang kayak begini?"
"Kakak kira, aku ini nggak punya hati yang bisa terluka karena kata-kata tajam kakak, yaa?"
"Asal kakak tahu, yaa? Ini surat terakhir yang aku berikan untuk kakak. Dan perlu kakak tahu, kalau bukan karena diancam jika surat ini nggak sampai ke tangan kakak, mungkin daritadi sudah kubuang!"
"KAKAK JAHAT!!!" Irina mengucapkan kata-kata terakhirnya dengan sedikit keras. Matanya pun mulai berkaca-kaca, namun Ia berusaha agar tak menangis, berharap air matanya masih sanggup terbendung di sudut matanya.
Adrian terdiam. Raut wajahnya mulai menunjukkan rasa bersalah. Adrian selama ini tak pernah berpikir dari sisi perasaan Irina. Adrian mulai menyadari betapa kejam dan jahat sikapnya selama ini kepada Irina. Bahkan meskipun memang dirinya sendiri yang memutuskan untuk bersikap dingin kepada Irina, namun selama ini Adrian tak menyangka bahwa dirinya bukan hanya bersikap dingin melainkan sudah menjadi sosok yang kejam di mata Irina. Adrian merasa bersalah.
"Irina, bukan begini sebenarnya yang kuinginkan," batin Adrian.
"Tidah boleh! Aku harus kuat! Ini semua demi kebaikan Irina." Adrian menyadarkan dirinya dari perasaan emosi yang menyelimutinya, perasaan ingin menghangatkan hati perempuan di depan matanya.
Yaa, Adrian sebenarnya merasa sakit melihat Irina bersedih seperti yang sekarang disaksikannya ini. Tapi, Adrian tetap ingin bertahan. Adrian merasa harus kuat, sedikit lagi, sedikit lagi untuk hubungan yang lebih baik kedepannya. Setidaknya itulah hal yang bisa dipikirkan Adrian demi kebaikan Irina.
Adrian mengabaikan raut wajah Irina yang menyedihkan. Pandangan tajamnya kini beralih fokus ke surat cinta yang berada di genggaman tangan Irina.
Tanpa mengucapkan sepatah kata apapun, Adrian segera meraih surat tersebut dengan kasar, merobek dengan penuh emosi di depan mata Irina, bahkan membuang serpihannya di depan wajah Irina.
Irina tentu saja sangat terkejut hingga terkesiap!
"Apa yang kakak lakukan?"
"Kakak, itu surat dari Senna Zain, murid perempuan tercantik di sekolah,"
"Kakak bodoh yaa?"
Entah datang darimana ide untuk mengucapkan semua kata-kata itu. Padahal sebenarnya Irina juga tidak suka dengan Senna Zain, tapi entah apa yang membuatnya mengatakan semua itu. Semua kata yang diucapkannya terasa seperti dirinya sedang mempromosikan Senna Zain untuk kakaknya.
Adrian semakin muak setelah mendengar semua kata-kata Irina. Adrian tidak suka mendengarnya. Adrian bersiap untuk menutup pintu kamarnya kembali. Namun sebelum Ia menutup pintu kamarnya, Adrian mengucapkan sepatah dua kata penutup untum Irina.
"AKU TIDAK BERMINAT PACARAN DENGAN SIAPAPUN!"
"BLAMM!"
Tanpa permisi Adrian langsung menutup pintu kamarnya. Meninggalkan Irina yang masih terdiam mematung di depan pintu kamarnya. Irina menghela nafas berat dan mengusap-usap wajahnya dengan kesal, tak lupa dia menghapus air mata yang masih duduk manis di sudut matanya.
Irina pun berlalu dari depan pintu kamar Adrian lalu segera turun ke lantai bawah dan mencari sosok Ibunya. Dia menemukan Ibunya sedang sibuk di dapur bersama Bi Anah, asisten rumah tangga mereka. Irina bermaksud untuk membantu menyiapkan makan malam di meja makan.
***
Hidangan untuk makan malam telah siap tersaji di meja makan. Irina seketika lupa dengan masalahnya barusan, saat ini yang dia rasakan hanyalah rasa lapar dan ingin sekali segera menikmati hidangan yang ada di depan matanya. Dengan tergesa-gesa Irina segera mengambil posisi untuk duduk di kursi makan yang ada di dekatnya. Belum ada beberapa detik dia menikmati kursinya, Ibunya menghampiri dan meminta tolong kepadanya.
"Irina, tolong panggilkan Ayahmu yaa, dia ada di ruang kerjanya."
Irina sedikit kesal karena harus menunda menikmati makan malamnya. Dia segera bangkit dari tempat duduknya, bermaksud untuk menuju ke ruang kerja untuk mengajak Ayahnya ikut makan bersama.
"Irina, jangan lupa ke lantai atas juga untuk memanggil Adrian." sambung Ibunya lagi dari arah dapur.
Irina sedikit enggan, namun dirinya tak kuasa untuk tidak mematuhi perintah Ibunya. Ia mulai menuju Ayahnya terlebih dulu di ruang kerja, kemudian setelah itu Ia akan ke lantai atas untuk memanggil kakaknya.
***
Irina membuka pintu ruang kerja milik Ayahnya. Ia mendapati Ayahnya masih duduk manis di depan meja kerjanya sambil sibuk menatap layar laptopnya. Sesekali Ayahnya mengetik beberapa kalimat yang entah untuk apa, intinya tentu saja berhubungan dengan pekerjaannya dalam mengurus perusahaan keluarga milik mereka.
Lelaki paruh baya yang adalah Ayahnya itu bernama Riffan Domino, seorang CEO dari perusahaan besar milik mereka yang masuk dalam daftar 3 besar perusahaan terbaik di Kota X. Sosoknya sangat tegas, rapi, dan berwibawa.
Sejenak Riffan Domino menghentikan aktivitasnya ketika melihat Irina telah berada di ruangannya. Senyum penuh kehangatan pun terlukis di wajahnya.
"Irina, kamu daritadi berdiri disitu? Maafkan Ayah yaa nak, Ayah tidak menyadarinya."
Ayahnya membenarkan letak kacamatanya dan bangkit dari tempat duduknya. Irina menghampiri Ayahnya dan mengintip sedikit pekerjaan Ayahnya.
"Waah, banyak sekali pekerjaan Ayah. Ibu memintaku untuk memanggil Ayah, makan malam sudah siap," ucap Irina menggandeng tangan Ayahnya.
"Ayah, lain kali Ayah jangan banyak bekerja seperti ini, Ayah jangan sampai kurang istirahat," lanjutnya lagi sambil mengajak Ayahnya menuju ruang makan.
"Aah iyaa, kamu benar Irina. Ayah memang sudah tua. Ayah sangat berharap banyak agar nantinya Adrian bisa menggantikan Ayah bila sudah waktunya,"
"Ayah jangan khawatir, Kak Adrian pasti akan jadi CEO yang hebat!" Irina mengesampingkan rasa kesalnya pada Adrian, mengucapkan kata-katanya dengan bangga di depan Ayahnya.
Irina bukan sedang berakting, memang Irina sangat mengakui bahwa kakaknya memang pantas untuk dibanggakan. Irina tidak hilang akal untuk menyadari kehebatan kakaknya meskipun Ia benar-benar kesal dengan sikap dingin Adrian.
"Ah iyaa.. Ayah, aku panggil kakak dulu yaa di kamarnya," Irina pamit untuk naik ke lantai atas rumahnya.
"Baiklah, Ayah akan menunggu kalian berdua di ruang makan. Kita makan sama-sama yaa,"
Irina tersenyum manis membalas senyuman penuh kehangatan yang diberikan oleh Ayahnya. Setelah Ayahnya berlalu dari pandangannya, Irina segera menuju ke kamar Adrian. Dari kejauhan, Irina menatap pintu kamar Adrian yang tertutup rapat. Rasanya Irina seperti sedang melihat pintu besar yang kokoh terbuat dari bongkahan es. Hawa dingin mulai menusuk di dalam imajinasinya.
"Ayolah Irina, lupakan perdebatan kalian. Kamu harus memanggilnya untuk makan malam," Irina mencoba menguatkan dirinya sendiri.
Irina mengetuk pintu kamar Adrian, tak ada jawaban. Irina menunggu beberapa saat dan mengulangi ketukan pintunya. Masih tetap tak ada jawaban. Pada akhirnya Irina memutuskan untuk mencoba membuka pintu kamar Adrian.
"Klak!" pintu terbuka.
"Eh? Rupanya pintunya tidak terkunci?" gumam Irina sedikit terkejut.
Irina masuk ke dalam kamar Adrian, dirinya mendapati Adrian sedang terbaring pulas di tempat tidurnya. Di dalam imajinasinya, sosok Adrian begitu bersinar dan menyilaukan. Dia seperti sosok pangeran suci yang sedang terbaring di singgasananya.
"Astagaaa, bagaimana bisa perempuan tidak terpesona olehnya? Kak Adrian memang tampan seperti ini," gumam Irina.
"Siapa dulu, kakakku gitu lhoo.." Irina menyeringai bangga akan keberuntungannya memiliki kakak setampan Adrian.
Tiba-tiba Adrian membuka sebelah matanya, setelah Ia yakin mendapati sosok Irina telah berdiri disamping sisi tepi tempat tidurnya, Adrian perlahan bangkit dari tidurnya sambil mengucek kedua matanya.
"Ngapain kamu disini?" ucap Adrian dengan nada dingin.
"Sudah waktunya makan malam," ucap Irina tak kalah dingin dan segera pergi dari kamar Adrian.
Irina tak menunggu Adrian untuk turun. Ia segera bergegas menuju ruang makan dengan kesal. Tanpa sepatah katapun Irina langsung duduk di kursinya dan mulai mengambil makanan. Ayah dan Ibunya yang telah sedari tadi menunggu dan telah siap duduk di kursi mereka masing-masing saling menatap heran dengan sikap Irina.
"Ada apa, kok kelihatannya lagi kesal?" tanya Ibunya sambil memandang Irina dengan saksama.
"Kok, Adrian nggak turun sama kamu?" Ayahnya ikut melontarkan pertanyaan.
Irina menghela nafas panjang. Irina malas sekali untuk menjelaskan perdebatan yang baru saja terjadi antara dirinya dan Adrian. Lagipula paling-paling kedua orangtuanya hanya akan menanggapi dengan sepele dan menganggap Irina perlu memaklumi sikap Adrian.
Irina benar-benar malas untuk angkat bicara, saat ini yang ingin dia lakukan hanyalah segera menikmati hidangan di depan matanya. Ia begitu kelaparan karena belum makan daritadi sore dan energinya telah banyak terkuras untuk menahan emosi terhadap kakaknya sendiri, Adrian Domino si Manusia Berhati Dingin.
Tak lama kemudian, sebelum Irina harus mencari ide untuk memberikan penjelasan yang tak akan diperpanjang oleh Ayah dan Ibunya, sosok Adrian muncul dan segera mengambil posisi duduk di kursi sebelah Irina.
"Ayah, Ibu, maaf tadi aku ketiduran," ucap Adrian dengan sangat santun.
"Woaaa, hebat! Bisa gitu yaa?! Benar-benar beda sikapnya!" batin Irina.
Irina berpura-pura tidak peduli dengan kehadiran Adrian dan mencoba fokus menikmati makanan yang ada di hadapannya.
Begitupun Adrian segera menikmati makanannya setelah memberikan senyuman manis kepada Ayah dan Ibunya.
Tinggallah kedua orangtua mereka yang saling beradu tatapan mempertanyakan keadaan canggung yang terjadi dihadapan mereka. Meskipun Irina dan Adrian berusaha menutupi keadaan, Ayah dan Ibunya sudah memahami tingkah laku mereka dan sadar ada yang salah. Namun mereka memilih untuk mengabaikan dan tak membahas ataupun meminta klarifikasi dari kedua mulut anak mereka.
"Baiklaaah, Ibu juga mau makan... Sayang, apa mau kuambilkan nasinya?" ucap Marinka kepada suaminya. Marinka berusaha mencairkan suasana dan memberi kode kepada Riffan untuk lebih baik menikmati makanan saja.
"Hmm... Aku rasa aku harus mulai bicara kembali dengan Adrian. Banyak hal yang harus disampaikan," ucap Riffan dalam hatinya sambil fokus menikmati makanan yang sudah diambilkan oleh istrinya tesayang, Marinka.
"Adrian... Setelah makan malam, bisakah kamu ikut Ayah ke ruang kerja?" Riffan memandang Adrian dengan lembut
"Baiklah, Ayah. Setelah ini aku akan ikut pergi ke ruang kerja Ayah," ucap Adrian masih dengan sangat santun.
"Bagus, ada beberapa hal yang ingin Ayah bicarakan denganmu mengenai rencana masa depanmu."
Adrian terdiam. Ia tahu bahwa Ayahnya sedang memberikan kode untuk siap mendengarkan pembicaraan serius. Pembicaraan yang sangat serius hingga mempertaruhkan nasibnya beberapa tahun ke depan.
"Baiklah, Ayah." ucap Adrian singkat lalu kembali fokus melanjutkan makan malamnya.
"Eng? Ada apa yaa?" Irina membatin menyaksikan percakapan singkat antara Ayah dan Adrian.
"Apa mungkin Ayah tahu yaa kalau tadi dia dan kakaknya berdebat sengit di kamar?"
"Atau ada hal lainnya?"
Irina berpikir keras. Irina penasaran ada hal apa yang mau dibicarakan Ayah dengan kakaknya sampai-sampai harus dilakukan secara empat mata di ruang kerja miliknya.
Bukankah bisa saja dibicarakan saat ini?
Kenapa harus menghindar dari Irina dan Ibunya?
"Ayah, kenapa kalian harus bicara berdua saja? Memangnya ada apa?" Irina tak sadar melontarkan pertanyaannya yang dipicu oleh rasa penasaran yang begitu besar dalam dirinya.
"Dasar kepo!" celetuk Adrian pelan namun masih bisa terdengar oleh Irina dan sukses membuat Irina melayangkan pandangan sadis kepada Adrian yang tetap terlihat tenang menikmati makanannya dengan penuh wibawa.
"Irina, sebenarnya Ayah ingin membicarakan mengenai kelanjutan pendidikan Adrian setelah lulus SMA. Selain itu Ayah ingin menunjukkan beberapa hal penting yang perlu dipahami oleh Adrian mengenai berkas perusahaan. Apa Irina mau ikut bergabung di ruang kerja Ayah?" Ayah tersenyum manis menatap Irina.
"Eh... Tidak... Tidak... Tidak... Hehehe..." Irina menolak dengan cengengesan. Ia mengusap tengkuk lehernya yang tidak pegal, hanya salah tingkah mendengar jawaban Ayahnya.
***
.
.
.
BERSAMBUNG...!
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 30 Episodes
Comments
Sukma Sae
nunggu..
2020-11-17
0
Ira Xia
bagus
2019-10-05
3
kepleset mbelek lancung
kykny ad Sesuatu,mungkin kakak adik g sedarah kyk endles lope 🤔🤔🤔
2019-06-18
8