Sweet Covenant - 4. Rahasia

Makan malam telah usai. Adrian dan Ayahnya kini telah berada di ruang kerja. Riffan sedang duduk di kursi kerjanya, sedangkan Adrian memilih untuk berdiri di dekat jendela ruangan kerja dan menatap langit malam di luar rumah. Sebenarnya tidak ada yang menarik diluar kecuali kegelapan malam, hanya saja Adrian tidak tahu harus bersikap seperti apa saat ini, dia gugup untuk mendengar apa yang akan Ayahnya sampaikan kepadanya.

Riffan membetulkan letak gagang kacamatanya, mengambil foto usang di dalam laci kerjanya. Sejenak Ia memperhatikan foto usang tersebut dengan saksama. Pandangan yang lembut jelas terpancar dari wajahnya ketika memandangi foto tersebut untuk beberapa saat. Di dalam foto itu nampak sepasang suami istri sedang tersenyum riang dan menggandeng seorang anak laki-laki di tengah keduanya.

Anak laki-laki itu adalah Adrian saat berusia 7 tahun. Riffan menghela nafas sejenak, lalu memulai membuka pembicaraannya dengan tetap memandangi foto usang di tangannya.

"Adrian... Sampai kapan kamu mau bersikap dingin kepada Irina?"

Adrian terkejut mendengar pertanyaan yang dilontarkan oleh Ayahnya. Sebenarnya inilah pertanyaan yang tidak mudah bagi Adrian untuk dijawab. Adrian hanya diam, tak tahu harus menjawab apa, wajahnya masih memandang keluar jendela, memandangi langit gelap yang masih tak ada apa-apa disana, bahkan jawaban untuk pertanyaan Ayahnya pun tak muncul di langit gelap itu.

"Adrian... Dalam waktu beberapa bulan lagi kamu akan lulus SMA, selanjutnya kamu akan melanjutkan pendidikanmu di sekolah tinggi. Ayah berharap setelah itu kamu bisa menggantikan posisi Ayah sebagai CEO perusahaan Domino. Apakah kamu tidak keberatan, Nak?"

"Ayah, apakah jika Aku bersedia Ayah tidak akan berpikir buruk tentangku? Apakah dengan begitu Ayah tidak mengganggapku sebagai orang yang haus kekuasaan dan menginginkan kekayaan Ayah untuk diriku sendiri? Menggunakan berbagai cara untuk meraih semua ini?"

Riffan tertawa kecil mendengar pertanyaan Adrian.

"Ayah, kenapa Ayah malah tertawa?" Adrian merasa heran dengan reaksi Ayahnya.

"Karena Ayah percaya padamu. Ayah yang memilihmu,"

"Adrian, kata-katamu ini mengingatkanku dengan obrolan lama di masa lalu. Saat itu, dia juga mengatakan hal yang sama persis sepertimu."

"Maksud Ayah?" Adrian tertegun menanti jawaban Ayahnya.

"Tentu saja yang kumaksud adalah almarhum Ayahmu, Nak..." jawab Riffan sembari tersenyum hangat kepada Adrian.

Adrian terdiam. Dia berjalan menuju sofa yang tertata rapi di ruangan itu, tempat dimana Ayahnya dapat menerima tamu di ruang kerja pribadinya apabila dirinya sedang tidak berada di kantor perusahaannya. Adrian mengambil posisi menduduki sofa dengan tenang. Dia melamun sejenak, pikirannya melayang menuju ke masa lalu, masa dimana dia terakhir kali melihat sosok Ayah dan Ibu kandungnya.

***

"BRAAAAKKK....!!!!"

Mobil yang dikendarai oleh Adrian dan kedua orangtuanya menabrak pohon besar dan keluar dari jalur jalan tol. Saat itu Adrian masih kecil, usianya masih menginjak 7 tahun. Adrian duduk di kursi belakang, sedangkan Ayahnya berada di posisi kemudi mobil dan Ibunya duduk di kursi depan di samping Ayahnya.

Adrian terus menangis dan begitu ketakutan, luka-luka kecil di wajahnya terpampang dengan jelas karena benturan dan pecahan-pecahan kaca. Namun yang lebih mengerikan lagi adalah dia dapat melihat Ayah dan Ibunya bersimbah darah dan tak sadarkan diri. Adrian kecil yang tak tahu harus berbuat apa hanya bisa menangis sambil terus memanggil-manggil Ayah dan Ibunya. Adrian berharap ketika mendengar suaranya, Ayah dan Ibunya akan sadar.

"AYAAAAAAHHHH....!!!"

"IBUUUUUU...."

"BANGUN!!! BANGUN!!! HUUU... HUU.. HUU... "

Adrian kecil terus menangis. Sebenarnya satu sisi dirinya menyadari bahwa Ayah dan Ibunya tidak akan bangun kembali meskipun Adrian memanggil nama mereka berkali-kali bahkan bila itu harus membuat suaranya habis dan air matanya kering.

Adrian tidak bodoh untuk memahami pemandangan mengenaskan di depan matanya sudah pasti tidak akan menyelamatkan nyawa Ayah dan Ibunya. Namun, Adrian sungguh tidak peduli. Saat itu hanya keajaiban yang diharapkan oleh Adrian, sungguh naif!

Begitu lelah karena terus menangis dan bergelut dengan emosi yang campuraduk antara kesedihan, ketakutan, amarah, dan harapan, membuat Adrian lambat laun pingsan tak sadarkan diri. Sayup-sayup Adrian dapat mendengar orang-orang berdatangan, sirene mobil dari ambulans dan mobil polisi lalu lintas masih bisa Ia dengar. Seorang petugas meraihnya, mengeluarkannya dari dalam mobil dan menggendongnya menuju ambulans.

"Tolooong..." Adrian memohon dengan lemah.

"Toloong... Tolonglah Ayah dan Ibuku..." lanjutnya lagi lalu benar-benar tak sadarkan diri.

***

Keheningan mengisi suasana di kamar rawat inap rumah sakit. Adrian kecil sedang terbaring lemah di atas tempat tidurnya. Seorang laki-laki berdiri di tepi ranjangnya, menatap Adrian dengan penuh rasa iba. Ia mengusap kepala Adrian dengan lembut, membuat Adrian tersadar dari tidurnya.

"Adrian, kamu sudah sadar?" tanya lelaki itu yang adalah Riffan Domino.

"Tuan, dimana ayahku?"

"Dimana ibuku?"

"Aku ingin melihat mereka, aku ingin bertemu Ayah dan Ibuku.. Huu...Huhuuu..."

Adrian kecil yang menyedihkan. Ia menangis terisak-isak. Seorang wanita yang sedari tadi juga berdiri di samping Riffan Domino tak kuasa melihat pemandangan di depan matanya. Ia segera mengambil posisi duduk di tepi ranjang Adrian lalu memeluknya dengan erat.

"Adrian sayang, jangan menangis.. Ayah dan Ibumu saat ini sudah menjadi malaikat di surga. Kamu adalah anak laki-laki yang kuat, kelak kamu akan jadi orang yang hebat. Percayalah..." terang wanita yang adalah Marinka Domino.

Diam-diam Marinka ikut menangis di belakang punggung Adrian. Ia memeluk Adrian dengan erat dan penuh kasih sayang. Adrian benar-benar merasa nyaman, pelukan yang terasa sama dengan pelukan hangat dari Ibunya.

"Tapi... Aku ingin Ayah dan Ibuku..." ucap Adrian lirih.

Marinka melepas pelukannya setelah menghapus air matanya sendiri. Ia menatap Adrian dengan tersenyum dan penuh kasih sayang. Ia melihat wajah suaminya sesaat, mencoba memohon izin atas apa yang akan dia ucapkan kepada suaminya. Riffan mengerti dengan maksud dari tatapan mata Marinka, kemudian Ia mengangguk dengan mantap sebagai tanda bahwa Ia mendukung apa yang akan dilakukan Marinka. Marinka tersenyum senang.

"Adrian sayang... Maukah kamu mengizinkanku untuk menjadi Ibumu? Aku akan merawatmu dengan penuh kasih sayang, pulanglah bersamaku," Marinka menatap Adrian dengan penuh harap.

Adrian tak tahu harus menjawab apa, Ia tak bisa memilih keputusan untuk dirinya saat ini. Adrian masih kecil, yang dia tahu saat ini hanyalah Ia sedang kehilangan Ayah dan Ibunya. Ia sedang terluka dan hanya dua orang di hadapannya ini yang mengurus dirinya dan peduli kepadanya. Adrian hanya mengangguk tanpa mengatakan sepatah kata apapun.

***

Adrian telah berada di ruang tamu rumah Keluarga Domino. Rumah yang begitu besar dan mewah, berbeda dari tempat tinggalnya sebelumnya.

"Adrian sayang, Ibu ingin mengenalkanmu dengan seseorang. Kamu tunggu yaa," Marinka mengusap lembut pipi Adrian.

Seorang wanita tua masuk ke ruangan tamu, Ia memperkenalkan dirinya sebagai Bi Anah, seorang asisten rumah tangga di Kediaman Keluarga Domino. Adrian memandangi sosok Bi Anah dengan saksama dan mendapati sosok seorang anak perempuan bersembunyi di balik tubuh gemuknya.

"Irina, kenapa kamu bersembunyi? Ayo kesini, kamu bilang kamu ingin seorang kakak kan?" Marinka membujuk anak perempuan tersebut dengan lembut.

Dengan sedikit tersipu malu, anak perempuan tersebut keluar dari belakang tubuh Bi Anah. Dengan wajah polosnya Ia memperhatikan sosok Adrian kecil dengan saksama.

"Adrian... Dia adalah Irina Domino, mulai saat ini dia akan menjadi adikmu," kata Riffan menjelaskan kepada Adrian.

"Irina, kemarilah. Ayo, sambut kakakmu. Namanya Adrian," terang Riffan lagi memperkenalkan Adrian kepada Irina.

Irina tersenyum riang, Ia berlari kecil menghampiri Adrian dan segera memeluknya. Adrian terkejut, tak menyangka bahwa dia akan disambut seperti ini oleh Irina.

"Irina, jangan begitu.. Adrian baru saja keluar dari rumah sakit, tubuhnya masih lemah," ucap Marinka menyadarkan Irina untuk melepaskan pelukan eratnya.

"Aah... Maaf yaa, Kakak..." Irina menunjukkan senyum manis dan cerianya kepada Adrian.

Adrian merasa senang melihat Irina. Sosok Irina yang begitu ceria dan polos seperti menularkan kehangatan dan kebahagiaan kepada Adrian. Adrian merasa bahwa Ia tak lagi kesepian, Ia memiliki Ayah, Ibu, dan seorang adik yang akan menemaninya menjalani kehidupan.

Adrian merasa sangat beruntung, dalam hatinya Ia berterimakasih kepada kedua orangtuanya yang telah berada di surga karena mereka telah menitipkan Adrian di sebuah keluarga yang akan membuatnya bahagia. Adrian membalas senyuman Irina dengan penuh kelembutan.

"Kakak cepat sembuh yaa, nanti aku akan jadi dokternya kakak,"

"Kalau kakak sudah sembuh, kita mainan sama-sama yaa, Kak..."

"Aku akan mengenalkan Kakak kepada teman-temanku, aku akan bilang sama mereka kalau sekarang aku punya kakak! Hehehe... "

Irina terus berceloteh dihadapan Adrian. Riffan dan Marinka tertawa kecil melihat kelakuan Irina, betapa bahagianya mereka berdua bisa melihat anaknya tersenyum begitu ceria karena kehadiran Adrian.

Bi Anah membawa Irina dan Adrian untuk menuju kamar mereka. Setelah Bi Anah dan kedua anaknya berlalu dari ruang tamu, Marinka menghampiri Riffan dan memeluknya.

"Sayang, menurutku kita sudah melakukan sesuatu yang benar. Betulkan?"

Riffan mencium kening Marinka dengan penuh kasih sayang, "Sayang, aku sangat yakin bahwa kita sudah melakukan hal yang tepat. Kehadiran Adrian dalam kehidupan kita adalah takdir, aku juga tidak akan mengecewakan almarhum Ayah dan Ibunya. Kita harus menjaga Adrian sebaik mungkin, menyayanginya sebagaimana kita menyayangi Irina."

Mariska memeluk erat suaminya, tersenyum dan berbisik lirih di pelukan Riffan. "Pasti sayang, jangan khawatir...."

***

Setelah pertemuannya pertamanya dengan Irina, mereka berdua semakin akrab. Bermain bersama, berangkat sekolah bersama, hari-hari penuh canda tawa riang. Adrian begitu bahagia bersama Irina dan kedua orangtuanya.

Adrian tumbuh menjadi sosok anak yang membanggakan. Adrian anak yang berprestasi juga memiliki sopan santun yang tinggi. Adrian juga begitu perhatian dan peduli kepada Irina, dia menjadi sosok kakak yang begitu baik untuk Irina.

Hingga suatu hari, ketika menginjak masa remaja dan duduk di bangku SMP, Adrian berubah. Adrian menjadi sosok kakak yang dingin.

Adrian masih tetap kakak yang peduli dan perhatian kepada Irina, hanya saja dia tak lagi hangat kepadanya. Bagi Irina itu seperti pukulan berat, Ia berpikir mungkin keadaan itu terjadi karena Ia tak lagi satu sekolah dengan Adrian. Mungkin kesibukannya sebagai murid SMP membuatnya menjadi sosok yang serius. Irina berkali-kali berusaha tetap riang dan hangat kepada Adrian, meskipun berkali-kali juga Adrian akan membalas semua perlakuan Irina dengan tetap menunjukkan sikap yang dingin.

Pernah Irina mengadu pada Ayah dan Ibunya mengenai perubahan sikap Adrian. Namun, Ayah dan Ibunya hanya menanggapi dengan ringan.

"Irina, kakakmu sudah SMP, kamu maklumi saja yaa sikapnya. Sudahlah, jangan berlebihan yaa sayang... " ujar Ibunya dengan penuh kelembutan.

"Irina, itu hanyalah masa transisi. Nanti kamu juga akan menjadi anak SMP, mungkin nanti kamu jangan-jangan lebih cuek dari Adrian." canda Ayahnya.

Irina merasa heran, bagaimana mungkin Ayah dan Ibunya bisa memberikan penjelasan yang meremehkan seperti itu? Sedangkan kenyataannya hati Irina merasa sakit! Kakak yang selama ini begitu baik padanya berubah drastis, seperti Irina tidak bisa meraih sosok Adrian yang dulu lagi. Di dalam imajinasinya, dia hanya melihat sosok seseorang yang asing, seseorang yang sangat dingin berwujud kakaknya dan terlindungi oleh kaca-kaca retak.

"Kakak....." gumamnya dalam hati.

***

"Adrian....." Riffan menyadarkan Adrian dari lamunannya.

"Maaf Ayah, aku terlalu banyak melamun," Adrian tersadar dari lamunannya dan mengusap lembut wajahnya sendiri.

"Adrian, apa menurutmu sudah sebaiknya kamu katakan saja yang sejujurnya pada Irina?" tanya Riffan yang membuat Adrian tersentak.

"Ayolah Adrian, sampai kapan kamu mau begini?" lanjutnya lagi.

"Ayah, tolong jangan katakan apapun pada Irina. Bisakah rahasia antara kita tetap menjadi rahasia sampai aku siap mengatakannya sendiri?"

"Huff... Adrian, kamu tahu kan? Meskipun Ayah dan Ibu sangat kasihan dengan caramu memperlakukan Irina, tapi karena kamu sendiri yang meyakinkan kami bahwa inilah cara terbaik yang kamu punya, kami tidak keberatan. Tapi sampai kapan?"

"Sedikit lagi Ayah, waktunya akan segera tiba. Aku tidak mau karena rahasia ini terbongkar, Irina tidak siap menerimanya,"

"Adrian, kamu sangat tahu Ayah percaya padamu. Ayah hanya minta berubahlah sedikit, kasihan Irina.."

"Ayah, apa aku terlalu menyulitkan Irina? Apa aku begitu jahat?" Adrian tertunduk lesu menunggu jawaban Ayahnya.

"Adrian, akulah yang menyulitkanmu, Nak.. Aku membuatmu berada dalam posisi yang sulit dan kau sudah menanggung rahasia ini sejak kamu SMP. Maafkan Ayah, Nak..." Riffan memohon dengan iba.

"Adrian, Ayah begitu bangga kepadamu. Kamu tumbuh menjadi laki-laki yang membanggakan, kelak kamu akan menjadi laki-laki yang hebat. Aku percaya akan keyakinanku terhadapmu."

Riffan bangkit dari tempat duduknya dan beranjak untuk meninggalkan ruangan. Sebelum Ia pergi, Ia mengatakan beberapa kata untuk Adrian lalu meninggalkan Adrian sendirian di ruang kerjanya.

"Adrian, mulailah bersikap yang lebih baik kepada Irina. Sebentar lagi kamu tak akan lama disampingnya. Paling tidak, jika kamu tak bisa mengungkapkan rahasia yang sudah lama kamu simpan darinya, berilah kesan yang baik sebelum terlambat," Riffan menutup pintu ruangan.

***

Setelah beberapa saat Adrian hanya duduk terdiam di ruang kerja milik Ayahnya, Adrian memilih untuk keluar ruangan kemudian naik ke lantai atas dan menuju kamarnya.

Adrian merebahkan tubuhnya di tempat tidurnya. Kembali Ia teringat raut wajah Irina yang sedih ketika menjelaskan beberapa hal kepadanya saat berdebat sebelum makan malam.

"KAKAK JAHAT!!!"

"KAKAK JAHAT!!!"

"KAKAK JAHAT!!!"

Kata-kata itu menggema di kepala Adrian, hanya dua kata singkat tapi mampu menusuk jantung Adrian. Adrian memegang dadanya dengan erat. Tidak enak, rasanya sakit sekali!

"SEJAHAT ITU KAAH???" tanyanya pada dirinya sendiri.

***

.

.

.

BERSAMBUNG...!

Terpopuler

Comments

Sukma Sae

Sukma Sae

nunggu

2020-11-17

0

Manga

Manga

owh jadi adrian enggak mau buat sedih irina ya kalo dia bukan kakak kandung nya, kasian...
lanjut ya thor, bagus novel nya...

2019-06-24

4

🎸Fen♪

🎸Fen♪

Aku jd terinspirazi untuk menuliz lagi... semangat syisterrr.. kipp wraitiiing...

2019-06-23

4

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!