Sore itu angin berhembus sepoi-sepoi, ranting dan dahan pohon-pohon bergoyang dengan sangat dinamis, menciptakan nuansa yang sejuk dan hangat.
Dua siswi SMA yang masih asik menikmati es krim di salah satu kafe kecil yang kebetulan berada bersebelahan dengan toko buku saling bercerita dengan riang. Begitu banyak hal yang dirasa perlu untuk dibagi bersama, mereka benar-benar tenggelam dalam dunia mereka sendiri, canda tawa riang selalu mengiringi setiap kali mereka selesai menceritakan hal-hal yang bagi mereka menarik untuk didengar.
"Tadi, aku lihat lho kalau Kak Senna ngasih kamu surat," Veronica memandang Irina dengan tatapan menyelidik.
"Oh, Iyaa?! Aku hampir saja lupa!" Irina segera membuka tas nya untuk memastikan bahwa surat yang dititipkan kepadanya masih ada di dalam sana.
"Huffh~" Irina menarik nafas lega.
"Aku kira ketinggalan di kelas, aku benar-benar lupa dengan surat ini." gumam Irina sambil mengelus dada.
"Hmm, kita buka yuuk suratnya?" Veronica kembali cengar-cengir dengan mimik wajah menggoda nan usil.
"Vero....!"
Irina segera buru-buru memasukkan suratnya ke dalam tas. Dia tak mau bermasalah dengan Kak Senna bila mengusik surat cintanya. Lagipula, Kak Adrian nantinya akan punya bahan untuk mencaci makinya karena telah lancang membuka surat yang bukan untuknya.
Irina tertegun dan sibuk membayangkan wajah kakaknya yang menatap tajam kepadanya sembari mengatakan,
"Nggak punya etika!"
"Nggak punya adab!"
"Nggak punya sopan santun!"
"Penasaran banget kah sama urusan orang?"
"Dasar lancang!"
"Dasar kepo!"
Aaargh...!
Semua kata-kata itu seolah berubah menjadi belati yang menusuk seluruh tubuhnya. Irina menggeleng-gelengkan kepalanya, memukul-mukul kecil kedua pipinya, mencoba untuk menghilangkan seluruh lamunan imajinasinya.
Veronica yang sedari tadi memperhatikan tingkah laku Irina hanya bisa shock dan speechless namun bisa mengerti kira-kira apa yang ada dalam pikiran teman baiknya itu.
"Baiklah... Baiklah... Kalau begitu, kita tidak akan membuka suratnya, lagian palingan isinya hanya kata-kata cinta omong kosong." Veronica mencoba menenangkan Irina.
Irina kemudian menjadi tenang, lagi-lagi dia melamun. Veronica kembali menikmati es krim di hadapannya dengan wajah riang. Begitupun Irina, melihat Veronica begitu menikmati es krimnya, Irina pun kembali melahap es krim miliknya yang sudah tinggal sedikit.
Tiba-Tiba, gawai milik Veronica berdering. Veronica menatap layar hapenya dan ketika melihat nama yang tertera di sana, Ia segera mengangkat hapenya dengan malas.
"Halo, ada apa?"
"Heh, kamu dimana?! Kamu nggak ngabarin mama dan papa, nggak ngasih tahu aku juga, aku jadi disalahin nih..." suara laki-laki terdengar geram namun tetap penuh perhatian dari gawai Veronica.
"Ah, Iyaaa! Astagaaa... Maaf kakak, aku lupa ngabarin," Veronica menepuk jidatnya atas kelalaiannya.
"Ya sudah, kamu dimana sekarang? Biar aku kesana."
"Tapi kak, aku lagi sama Irina. Tadi kami jalan kaki kesini, kami cuma di dekat sekolah kok, di kafe kecil samping toko buku di ujung jalan dari area sekolah," Veronica mencoba menjelaskan dengan tergesa-gesa.
"Ya sudah, tunggu disitu. Aku kesana bawa mobil. Nanti sekalian antarin Irina pulang ke rumahnya."
Tuuut... Telepon terputus.
Veronica cengar-cengir menatap wajah Irina yang menunggu penjelasan mengenai obrolan di telpon barusan.
"Hehehe, saking terlalu fokus memikirkan bagaimana biar kamu nggak dilarang sama Adrian, aku malah lupa ngabarin kakakku sendiri." Veronica menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
"Ya ampun, Vero! Jadi sekarang bagaimana?" Irina panik.
"Kata kakak, kita tunggu saja disini. Sebentar lagi kakak akan menjemput kita, palingan hanya butuh waktu 5-10 menit." jawab Veronica dengan entengnya.
***
Sekitar 10 menit kemudian...
"TAKK!!"
Sebuah jitakan kecil mendarat di kepala Veronica.
"Aduuuh, kakak...! Sakit!!!"
Veronica mengusap-usap kepalanya yang sedikit sakit karena jitakan tadi.
"Biarin, kamu pantas dapat hukuman. Ngerepotin aja kamu itu, udah asik-asik santai di rumah, terpaksa harus keluar lagi demi nyariin kamu. Males banget tahu!"
Irina tertawa kecil sambil menutup mulutnya karena merasa lucu dengan tingkah kakak beradik di hadapannya.
"Kak Revano, apa kabar?" Irina menyapa kakak laki-laki dihadapannya dengan lembut.
"Oh, Irina. Hai... Apa kabar? Adikku bikin kamu sesat yaa? Jangan ditiru dia ini.." Revano menatap ke arah Veronica dengan tajam namun kembali tersenyum ramah kepada Irina.
"Woaaaa...! Muka sok malaikat kayak gitu buat apa Kak? Irina nggak mempan diramahin begitu." Veronica meledek Revano yang berubah kembali seperti harimau yang siap menerkam rusa kecil dihadapannya.
"DIAM KAMU!!!" gertak Revano di telinga Veronica.
Veronica adalah sosok gadis cantik yang terlihat dewasa. Veronica sendiri merupakan salah satu kandidat murid perempuan idola di sekolah. Tampilannya begitu elegan seperti seorang puteri raja. Hanya Irina yang bisa melihat sisi kekanak-kanakan Veronica seperti saat ini terutama ketika dia sedang bersama dengan kakaknya, Revano. Mereka berdua benar-benar mencapai sibling-goals. Lagi-lagi Irina tertawa kecil cekikikan memperhatikan tingkah laku mereka berdua.
Tidak ada yang menyangka bahwa mereka berdua bisa sekocak ini. Lagipula mereka berdua ini sangat kompak menjaga image di sekolah. Ketika mereka berdua sedang bersama di sekolah, mereka terlihat bagaikan dua orang bangsawan elit.
Revano Flores, bukan seorang laki-laki yang bisa diremehkan. Mungkin dia tidak lebih unggul dari Adrian Domino, tapi tetap saja dia termasuk seseorang yang menarik, sosoknya sangat tampan dan hangat. Dijuluki sebagai Pangeran Charming, seringkali membuat hati kelinci-kelinci kecil alias adik-adik kelas di sekolah menjadi terpesona dengan sikapnya yang seperti malaikat turun dari langit. Sosok penuh kehangatan yang dimiliki oleh Revano sangat cocok disandingkan dengan sosok Adrian yang dingin. Sebagai sahabat baik, mereka berdua sering terlihat bersama di sekolah. Yaa, Revano ini selain kakak dari Veronica, juga merupakan sahabat baik dari Adrian, kakaknya Irina.
Tiba-tiba Irina teringat sosok Adrian. Laki-laki dingin yang merupakan kakaknya itu entah mengapa seringkali membuatnya merasa asing. Irina begitu merindukan sosok Adrian yang penuh kehangatan seperti dulu ketika mereka berdua masih kecil.
"Seandainya..."
"Seandainya bisa seperti mereka..."
Irina menatap dengan penuh harap atas pemandangan kakak beradik di depan matanya. Irina begitu iri dengan aura kehangatan yang muncul ketika Veronica dan Revano sedang asik bersama, meskipun kebersamaan itu seringkali dibumbui pertengkaran kecil. Lamunannya seketika terhenti karena Revano segera mengajaknya untuk masuk ke dalam mobil.
Mobilpun melesat, meninggalkan kafe kecil yang menjadi saksi kebersamaan sore mereka hari ini.
***
Di dalam mobil...
"Aaah... Enaknya habis makan es krim..." Veronica yang duduk di kursi depan samping kemudi, merebahkan tubuhnya di sandaran kursi sambil mengelus perutnya yang merasa kekenyangan.
"Ya ampuuun, seandainya anak-anak di sekolah tahu betapa jeleknya dirimu saat ini..." Ledek Revano sambil tetap menyetir dan melirik penuh meledek kepada Veronica.
"Aaah... Kakak ini..." Veronica melayangkan tinjunya ke bahu milik Revano.
"Aduh... Aduh... Aku lagi nyetir niih, kamu mau aku antar ke surga kaah?" Ledek Revano lagi sambil masih fokus menyetir dan sedikit meringis kesakitan.
Irina yang duduk di kursi belakang lagi-lagi cekikikan melihat kelakuan Veronica dan Revano. Mereka berdua memang selalu kocak jika sedang bersama.
"Irina, kamu daritadi diam aja lho? Kenapa?" Revano tiba-tiba menyadari bahwa Irina sedari tadi hanya diam saja setelah mendengar suara cekikikan Irina.
"Nggak ada apa-apa kok kak, aku hanya..." Irina merasa ragu untuk melanjutkan kalimatnya.
"Aaah, kakak ini kayak nggak tahu aja. Palingan dia mikirin Adrian. Kak Adrian itu kenapa sih? Seingatku sejak usia remaja berubah drastis sama Irina?" Veronica bertanya penuh selidik kepada Revano.
"Kakak kan teman dekatnya, masa Kak Adrian nggak pernah cerita apa-apa sih?" sambungnya lagi masih bertanya dengan penuh selidik.
"Heh... Anak laki-laki itu nggak sama kayak anak perempuan, apa aja diceritain sama teman, jerawat kecil muncul aja heboh laporan sama orang lain. Yaa kayak kelakuanmu itu..." lagi-lagi Revano meledek Veronica.
"Biarin... Week..!" Veronica menjulurkan lidahnya, meledek Revano.
"Jangan-jangan Kak Adrian itu punya pacar yang sangat disayangi sampai-sampai lupa sama adiknya sendiri." Veronica mulai membuat argumen asal-asalan.
"HAHAHAHAHAAAA..." Revano tak dapat menahan diri untuk tertawa terbahak-bahak mendengar ucapan adiknya.
"Dengerin yaa, Adrian itu nggak pernah punya pacar. Meskipun banyak anak perempuan yang mau jadi pacarnya sampai saat ini dia nggak mau pacaran. Kalau informasi ini aku berani menjamin."
"Irina, kamu jangan berpikiran buruk terhadap Adrian. Adrian mungkin punya sosok yang dingin tapi sebenarnya dia tetap sayang dan penuh perhatian sama kamu. Kamu harus berhenti berfikiran yang tidak-tidak, belajarlah menerima sikapnya yang seperti itu." Revano bicara dengan serius sambil tetap fokus menyetir.
Irina terdiam, dia merasa apa yang dikatakan Revano memang benar. Irina seharusnya mulai melihat kakaknya dari sisi yang berbeda, bukan terus-terusan bersedih hati dengan sikap dinginnya. Selama ini dia berfikir mungkin suatu hari kakaknya akan kembali seperti dulu, bukankah akan lebih baik kalau dia berfikir untuk menerima saja dengan apa adanya atas sikap Adrian?
Revano benar-benar sudah mengatakan hal-hal yang menyadarkan Irina.
"Kak Revano, terimakasih yaa atas nasehatnya, aku merasa lega mendengarnya."
"Kakakku keren kan?" Veronica menoleh ke arah Irina dan mengangkat alisnya dengan penuh kebanggaan di hadapan Irina. Kali ini Irina hanya bisa speechless melihat kelakuan Veronica.
Tak berapa lama kemudian, Revano menghentikan mobil tepat di depan rumah Irina. Tak terasa mereka sudah sampai. Irina segera turun dan tak lupa mengucapkan terimakasih kepada Veronica dan Revano karena sudah repot-repot mengantarkannya pulang.
***
Langit sudah hampir menunjukkan warna jingga, tak terasa waktu sudah menunjukkan tepat pukul 17.00 sore. Irina membuka pintu rumahnya dengan perlahan. Dia tak menyangka, dirinya sudah terlambat 2 jam dari jadwal pulang sekolahnya.
"Irina, kamu sudah pulang?"
Nampak seorang wanita paruh baya yang masih terlihat cantik diusianya. Wanita itu bernama Mariska Domino, Ibunya. Ibu menghampiri Irina dan memberikan tatapan yang lembut kepadanya.
"Bagaimana tadi bersama Veronica, asik nggak?" Ibu lagi-lagi memberikan senyum lembut kepada Irina dan mengajak Irina duduk di sofa ruang tengah.
"Ibu nggak marah?" Irina bertanya dengan sedikit takut. Ia merasa bersalah karena sudah pulang terlalu sore.
Ibu tersenyum lucu melihat tingkah laku Irina yang terlihat gugup, "Kenapa harus marah? Tadi sepulang sekolah, Adrian sudah memberitahu Ibu bahwa kamu pergi dengan Veronica, lagipula Adrian bilang tidak perlu khawatir dan barusan Ibu lihat Revano juga yang mengantarmu pulang. Kenapa Ibu harus khawatir?"
"Itu karena... Itu karena... " Irina merasa sungkan untuk menjelaskan.
"Kamu merasa bersalah? Kalau kamu merasa bersalah sama Adrian, mendingan kamu segera minta maaf aja," Irina terkejut, Ibu memang selalu paham dengan perasaannya tanpa harus dia berusaha keras mengutarakannya.
"Eng... Ibu... Irina naik dulu yaa..."
Irina memohon izin kepada ibunya untuk meninggalkan ruangan tengah.
***
Irina memasuki kamarnya, menghempaskan badannya di atas kasurnya. Teringat kata-kata ibunya sebelum dirinya naik ke atas menuju kamarnya.
"Irina, minta maaflah kepada Adrian. Percayalah meskinya sikapnya dingin, dia begitu menyayangimu."
"Tapi Ibu... Kenapa? Kenapa Kakak selalu bersikap dingin begitu kepadaku?"
"Mungkin masa puber membuatnya menjadi sosok yang kaku. Sudahlah sayang, itu hanya masa transisi. Intinya kakakmu itu sayang sama kamu." Ibu tersenyum manis meyakinkan Irina.
Meskipun Ibu bilang begitu, tetap saja Irina merasa sedih. Sedih yang tak bisa diungkapkan, dia merasa kehilangan sosok kakaknya yang begitu hangat di masa lalu.
Sikap dingin Adrian muncul sejak memasuki sekolah SMP, waktu itu setiap kali Irina bertanya kepada Adrian mengapa menjadi sosok yang dingin, Adrian hanya mengabaikannya. Jika dia bertanya kepada Ayah dan Ibunya, mereka hanya memberikan penjelasan ringan seperti masa transisi, masa puber, dan lainnya. Mereka menganggap perasaan Irina hanyalah sesuatu yang sepele, sedangkan di mata Irina sesungguhnya sikap Adrian benar-benar mengusik perasaannya. Irina jadi sering bertanya-tanya pada dirinya sendiri,
Mungkinkah dia adik yang nakal atau mungkin begitu menyebalkan di mata kakaknya?
Mungkin Adrian merasa Irina malu-maluin, bila mengingat popularitas Adrian di sekolah, bukankah bisa saja Adrian merasa seperti itu?
Pada akhirnya Irina berhenti bertanya dan mulai terbiasa dengan sikap dingin Adrian. Adakalanya Irina bahkan lupa bahwa Adrian pernah bersikap begitu hangat kepadanya di masa lalu, senyuman yang begitu hangat, uluran tangan yang begitu penuh kasih sayang, semua itu pernah dia dapatkan dari Adrian sebelum Adrian beranjak remaja dan duduk dibangku SMP.
Dan sekarang, mengingat Adrian sudah menjadi murid kelas 12 tingkat SMA, terhitung sudah 6 tahun lamanya Adrian menjadi sosok kakak yang dingin kepadanya tanpa alasan yang benar-benar bisa dimengerti oleh Irina.
"Kakak, apa kamu membenciku?"
Irina menutup matanya dengan kedua tangannya.
Dari sudut matanya nampak bulir air mata mulai berjatuhan.
Yaa, dia menangis.
***
"Dokk... Dokk... Dok..."
Suara ketukan dari luar pintu kamar Irina menyadarkan Irina.
Irina segera bangkit dari tenpat tidurnya dan tak lupa menghapus air mata yang sempat membasahi pipinya.
"Krieett..."
Pintu terbuka dengan sendirinya, sosok laki-laki yang baru saja membuat Irina menangis muncul berdiri mematung di depan kamarnya.
"Irina... Ibu memintaku memanggilmu untun makan. Barangkali kamu lapar." Adrian mengucapkan kalimatnya dengan wajah datar.
Irina teringat bahwa dia harus minta maaf kepada kakaknya, dengan tergesa-gesa Ia bangkit dari tempat tidurnya dan menghampiri Adrian.
"Kakak...." Irina menunduk malu tak berani melanjutkan kalimatnya.
"Ada apa?" Lagi-lagi Adrian hanya memasang wajah datar.
"Itu... Aku... Aku... Eng...Maaf, maaf karena tadi aku minta izin secara sepihak dan langsung pergi dengan Veronica."
Adrian diam sejenak lalu menghela nafas panjang.
"Sudahlah, nggak perlu dipermasalahkan."
Adrian masih memasang wajah datar dan berlalu dari hadapan Irina. Pergi masuk ke dalam kamarnya sendiri tanpa mengucapkan sepatah kata lagi.
Irina meraih tas nya, teringat surat cinta hari ini yang harus dia berikan kepada Adrian. Digenggamnya surat cinta dari Senna Zain, Ia bermaksud untuk segera memberikannya.
***
BERSAMBUNG...!
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 30 Episodes
Comments
Sukma Sae
manis
2020-11-17
0
Yuni Saputra
sprt nya bukan anak kandung dech.. ap mgk Adrian mencintai dlm diam???
2020-11-09
1
queenice
sampai sini saya belum menemukan inti cerita.. sungguh membuat pnasaran
2019-11-27
3