"tidak"
Ibu langsung menolak tanpa bertanya lebih lanjut.
"Ibu tidak setuju."
Ibu kemudian menatap Alexa.
"Alexa.. kenapa kamu tidak membicarakan hal ini dulu pada ibu ?"
"Kamu Taukan pernikahan itu sangat penting"
Ibu kemudian mengalihkan pandanganya ke Angkasa.
"Bagaimana bisa kalian menikah tanpa melakukan pendaftaran ?" Tanya Ibu lagi.
"Bu.. Angkasa punya alasan mengapa ia melakukan ini" bela Alexa.
"Apapun alasannya, pendaftaran dipernikahan itu penting Alexa"
"Tidak ada alasan yang kuat bisa mengalahkan hal ini" ucap Ibu.
"Bu.." angkasa mencoba menenangkan sang ibu.
"Saat ini Angkasa sedang menangani proyek cukup besar, banyak rival yang mencoba mengagalkan proyek ini"
"Dalam bisnis mereka akan melakukan segala hal untuk menghancurkannya."
"Mereka bisa saja menganggu hal privasi"
"Angkasa tidak ingin sesuatu buruk terjadi pada Alexa" angkasa mencoba menjelaskan secara detail pada sang ibu, mencoba meyakinkan ibu Alexa agar dia menyetujui pernikahan itu.
Ibu Alexa tampak terdiam sejenak, ia mengalihkan pandangannya bergantian kearah Alexa dan juga Angkasa.
"Alexa.. kamu yakin soal ini ?" Tanya ibu.
"Ketika kau maju, kau tidak bisa lagi mundur" ucap ibu.
Alexa menatap ibunya, bukan soal pendaftaran pernikahan tapi lebih tepatnya pernikahan itu sendiri.
Meskipun Alexa tau bahwa pernikahan mereka bukanlah hal yang sesungguhnya namun ada sebuah beban yang membuat Alexa menjadi ragu.
"Bu.." angkasa menatap sang ibu dan kemudian meyakinkan dirinya kembali.
"Ibu percaya pada Angkasa, tidak akan ada hal buruk yang terjadi pada Alexa.
"Aku akan menjaganya" ucap Angkasa tanpa ragu.
Alexa menatap Angkasa, melihatnya berbicara seolah ia benar-benar serius dalam pernikahan ini.
Dengan permintaan berkali-kali Angkasa, akhirnya sang ibu menginjikan pernikahan itu. Cepat atau lambat pernikahan Angkasa dan Alexa akan diselenggarakan.
--
Beberapa hari kemudian, Angkasa tampak menghadiri sebuah pertemuan penting.
Malam itu, ballroom hotel bintang lima di pusat kota dipenuhi oleh para pemimpin perusahaan ternama. Angkasa berjalan dengan percaya diri, mengenakan setelan abu-abu yang rapi. Ia telah bersiap untuk pertemuan ini sejak lama, mencari peluang baru bagi perusahaannya.
Saat ia sedang berbicara dengan salah satu pemimpin perusahaan teknologi, sebuah suara memanggil namanya.
"Angkasa? Apa benar ini kamu?" Suara perempuan itu terdengar akrab.
Angkasa menoleh dan mendapati seorang wanita elegan dengan gaun biru tua. Rambutnya disanggul rapi, dan senyum ramah menghiasi wajahnya.
"Ibu Rita? Lama tidak bertemu," kata Angkasa, menjabat tangannya.
"Aku tidak menyangka bisa bertemu denganmu di sini. Kenalkan, ini suamiku," kata Rita, menoleh ke pria paruh baya di sampingnya.
Angkasa menatap pria itu. Wajahnya tampak familiar. Mata tajam itu, rahang tegas yang sama dengan seseorang yang dikenalnya baik. Lalu, kesadarannya datang bagai gelombang besar.
"Bapak Roni?" bisik Angkasa, hampir tak percaya.
Pria itu tersenyum tipis, seolah tidak ada yang aneh. "Ah, jadi kamu mengenalku?" katanya tenang.
Angkasa merasakan emosinya bergejolak. Pria di depannya bukan hanya sekadar kenalan bisnis. Ia adalah ayah Alexa. Pria yang telah pergi meninggalkan keluarga Alexa bertahun-tahun lalu, tanpa kabar.
"Tentu saja, bagaimana mungkin aku melupakanmu?" Angkasa menjawab dengan nada tersirat.
Rita menatap mereka bergantian. "Kalian sudah saling kenal rupanya. Suamiku pemimpin perusahaan properti besar, mungkin kalian bisa bekerja sama."
Angkasa tersenyum tipis. "Oh, aku tidak menyangka kita bisa bertemu dalam konteks bisnis. Dulu aku mengenalmu dalam kondisi yang berbeda, Bapak Roni."
Roni tetap tenang, tetapi ada keraguan yang mulai tampak di matanya. "Ya, hidup membawa kita ke berbagai arah. Mungkin ini kesempatan baik untuk membicarakan kerja sama?"
Angkasa menatap pria itu dengan tajam. "Tentu, aku tertarik mendengar rencanamu. Tapi..." Angkasa berhenti sejenak, menatap Roni penuh makna. "Aku selalu percaya bahwa seorang pemimpin yang baik adalah yang tidak meninggalkan apa yang telah dibangunnya, termasuk keluarga."
Roni mengerutkan kening, ekspresinya berubah seketika. "Apa maksudmu, Angkasa?" tanyanya dengan nada bingung, mencoba memahami arah pembicaraan.
Rita juga tampak kebingungan. Ia menatap Angkasa, lalu kembali menoleh ke Roni, mencari jawaban yang tak ia pahami sepenuhnya. "Angkasa, ada sesuatu yang perlu kami tahu?"
Angkasa tersenyum sinis. "Oh, tidak ada, Ibu Rita. Hanya saja, aku selalu menghargai orang-orang yang tetap berpegang pada tanggung jawab mereka."
Wajah Roni sedikit tegang, tetapi ia cepat mengendalikan ekspresinya. "Terkadang, keputusan yang diambil seseorang tidak bisa dipahami oleh semua orang."
Angkasa tetap tersenyum. "Mungkin. Tapi aku selalu percaya bahwa tanggung jawab tidak bisa dihindari. Bagaimanapun, kerja sama ini akan sangat menarik untuk dibahas."
--
Angkasa kemudian melangkahkan kakinya bertemu dengan petinggi lainnya, disisi lain Pak Roni seolah mencoba mendekati Angkasa, seakan ada hal yang ia dapatkan darinya.
"Bisa kita bicara soal pekerjaan ?"
"Saya punya beberapa planning yang mungkin cocok dengan anda" ucap Pak Roni.
Angkasa menghela nafas tipis,lalu melihat kearah Pak Roni.
"Saya sudah mengatur beberapa proposal untuk dipelajari."
"Jika ada waktu, bukankah lebih baik kita mengatur pertemuan diperusahaanmu ?" Tanya pak robi.
"Kenapa saya harus mengatur pertemuan itu ?" Tanya Angkasa.
"Apa ?" Pak Robi tampak bingung dengan pertanyaan Angkasa.
"Anda bisa mengirimkan proposal itu,jika menarik saya akan mempertimbangkan untuk kerja sama dengan anda"jawabnya.
"Ahya.. baik tentu saja saya akan mengirimkan proposal itu secepatnya" ucap Pak Roni.
Angkasa tak mengalihkan pandangannya sama sekali pada pak Roni.
"Sudah berapa lama anda menikah dengan Bu Rita ?"
"Setau saya dia sudah berpisah dengan suaminya" tanya Angkasa.
Pak robi menatap Angkasa, menarik nafas panjang sebelum menjawab pertanyaan Angkasa.
"Kami bertemu beberapa tahun lalu,setelah mereka berpisah" ucap Roni.
"mendengar pertanyaanmu, sepertinya kamu begitu mengenali istri saya ?" tanya Roni
Angkasa tersenyum kemudian menaruh tangannya disaku celana.
"lumayan, makanya saya cukup terkejut melihat pria yang bersamanya saat ini" ucap Angkasa.
Roni mengangguk walau ia masih tampak curiga dengan Angkasa, namun ia mencoba mengesampingkan hal itu.
---
Angkasa kemudian menyadari seseorang yang ia tunggu. Pak Robert. ia adalah petinggi yang paling ditunggu oleh semua orang yang ada disana termasuk Angkasa.
Proyek yang sedang ia kerjakan memerlukan kerja sama dengan perusahaan Robert.
"selamat malam pak robert" sapa Angkasa.
Pak robert menoleh dan tampaknya dirinya pun mengenali Angkasa. "oh hallo malam Angkasa, sudah lama tidak bertemu denganmu. apa kabar?" tanyanya.
"sangat baik pak. bagaimana bapak dan keluarga ?" tanya Angkasa.
"baik" jawabnya dengan tersenyum.
"ohya.. saya mendengar bahwa kamu sedang mengerjakan proyek yang cukup besar?" tanya Robert.
"ah.. sepertinya berita itu sudah tersebar pada anda Pak" ucapnya.
"tentu saja, apa yang dikerjakan oleh Dewantara group akan menjadi berita yang bergerak secepat angin" ucapnya sambil tertawa.
"sebenarnya saya sangat ingin berbicara banyak hal dengan pak Robert, tapi sepertinya tempat ini tidak cocok."
"bisa saya buat janji temu dengan bapak dilain waktu ?"
"boleh, saya tunggu kabar baiknya" ucap robert.
Angkasa tampak senang, ketika ia mendapatkan kesempatan untuk bicara lebih banyak pada pak Robert.
---
Ruang tamu rumah keluarga Angkasa terasa hangat dengan pencahayaan temaram. Dua keluarga duduk berhadapan di sofa besar, ada ketegangan samar yang menggantung di udara. Angkasa merasakan jantungnya berdebar pelan. Ia tahu ini akan menjadi pertemuan yang tidak mudah.
Ibu Alexa, seorang wanita anggun dengan sorot mata tenang, akhirnya membuka pembicaraan setelah beberapa menit hanya terdengar suara gelas teh yang diletakkan di meja.
"Terima kasih telah menerima kami di sini. Kami semua sudah mengetahui keputusan kalian berdua. Meski pernikahan ini tanpa pendaftaran resmi, kami ingin memastikan bahwa semuanya berjalan dengan baik dan tidak ada yang merasa dirugikan," ucapnya dengan lembut.
Clarisa, ibu Angkasa, meneguk tehnya tanpa menoleh, lalu menjawab dengan nada datar dan dingin, "Ya, begitulah. Kalau memang itu keputusan mereka, apa yang perlu dibahas lagi?"
Dari awal, Clarisa memang tidak setuju dengan pernikahan ini. Bukan hanya karena tidak ada pendaftaran resmi, tetapi juga karena ia tidak menyukai keluarga Alexa yang berasal dari kalangan biasa. Baginya, Angkasa layak mendapatkan pasangan dari keluarga yang lebih berada dan berpengaruh. Di sampingnya, Elisabeth, adik Angkasa, juga tampak enggan dengan situasi ini. Raut wajahnya memperlihatkan ketidaksetujuan yang sama seperti ibunya.
Pak Bima, suami Clarisa, segera menimpali dengan suara lebih bijak, "Maksudnya, tentu saja kami ingin membicarakan bagaimana ke depannya. Pernikahan adalah keputusan besar, dan walaupun tidak terdaftar secara hukum, tetap ada tanggung jawab yang harus diemban."
Alexa duduk di samping ibunya, tetapi tidak mengatakan apa pun. Ekspresinya tetap tenang, namun ia membiarkan Angkasa yang mencoba menjelaskan semuanya.
"Kami sudah memikirkannya dengan matang," kata Angkasa dengan suara mantap. "Aku dan Alexa telah mengambil keputusan ini bersama, dan kami siap menghadapi konsekuensinya. Kami ingin membangun hidup bersama, dan meskipun saat ini pernikahan kami tidak resmi secara hukum, itu tidak mengurangi komitmen kami satu sama lain."
Clarisa menoleh sejenak, menatap putranya sebelum menghela napas. "Siap? Siap untuk apa? Menghadapi komentar orang-orang? ." Suaranya sarat dengan ketidaksukaan yang ia rasakan terhadap keluarga Alexa.
Pak Bima meletakkan tangannya di atas tangan istrinya dengan penuh ketenangan. "Kita di sini bukan untuk memperdebatkan keputusan mereka, tapi untuk memastikan ada langkah-langkah yang tepat ke depannya. Apa rencana kalian setelah ini?"
Angkasa kembali menjelaskan, "Kami akan tetap bersama, bekerja sama membangun kehidupan kami, dan jika di kemudian hari ada kesempatan untuk meresmikan pernikahan ini secara hukum, kami akan mempertimbangkannya."
Ibu Alexa tersenyum tipis. "Yang terpenting adalah kalian tetap bertanggung jawab atas pilihan kalian. Kami akan tetap mendukung selama kalian saling menghormati dan menjaga komitmen."
Namun, di sisi lain, Clarisa dan Elisabeth masih tampak tak setuju. Tatapan mereka belum luluh, dan tidak ada satu kata pun yang mereka ucapkan untuk menyatakan dukungan.
Pak Bima mengangguk setuju, sementara Nabila akhirnya berbicara untuk pertama kalinya.
"Kalian harus benar-benar siap. Pernikahan tanpa pendaftaran bukan berarti tidak ada masalah. Jangan sampai keputusan ini justru merugikan kalian berdua."
To Be Continued..
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 21 Episodes
Comments