Hujan dan Kesepakatan

Hujan turun deras di luar rumah sakit, suara rintiknya hampir menenggelamkan percakapan antara Alexa dan Angkasa.

"Aku akan memberimu uang itu, asalkan kau menikah denganku." Kata-kata Angkasa menghantam Alexa seperti petir yang membelah malam.

Alexa terdiam sejenak, kata-kata itu begitu mengejutkan, membekukan waktu dan pikirannya. Hatinya berperang antara dua pilihan yang sangat berat. Di satu sisi, ia membutuhkan uang untuk operasi ibunya yang sangat mendesak. Namun, di sisi lain, harga dirinya berteriak menolak tawaran yang begitu memalukan itu.

Angkasa menatapnya tanpa ekspresi. "Kau tidak punya banyak pilihan, Alexa. Ini satu-satunya cara aku bisa membantumu."

Alexa menggigit bibir, menahan emosinya. Suasana di sekitar mereka terasa sangat berat, seolah setiap detik membawa beban yang semakin menekan dada. "Kenapa harus seperti ini?" gumamnya dalam hati. Namun, suara kecil dalam dirinya mengingatkan bahwa ini mungkin satu-satunya jalan yang bisa ia tempuh untuk menyelamatkan ibunya.

Beberapa detik berlalu sebelum Alexa akhirnya mengangkat wajahnya, menatap Angkasa "Iya, aku akan melakukannya," katanya dengan suara yang lebih tegas dari yang ia rasakan. "Aku akan menikah denganmu, jika itu yang diperlukan untuk menyelamatkan ibuku."

Angkasa tersenyum, sebuah senyuman dingin yang menunjukkan bahwa ia merasa telah mendapatkan apa yang ia inginkan. Namun di hati Alexa, ada rasa kepedihan yang dalam. Ia tahu, keputusan ini akan mengubah hidupnya selamanya.

Malam itu, mereka duduk bersama di ruang tunggu, menunggu hasil operasi ibunya. Angkasa tetap duduk di sampingnya, berusaha menunjukkan ketenangan yang kontras dengan gelisahnya Alexa.

"Ibumu akan baik-baik saja," Angkasa berusaha menenangkan Alexa.

Alexa hanya menatap kosong ke depan, pikirannya terpecah. Ia merasa cemas tentang ibunya, dan sekaligus tertekan oleh janji yang baru saja ia buat dengan pria yang duduk di sampingnya. Apa yang telah ia lakukan?

Dua jam berlalu sebelum dokter keluar dari ruang operasi. Alexa segera bangkit dan berlari mendekat. "Bagaimana ibu saya, dok?"

Dokter tersenyum, "Semua berjalan lancar. Kami akan tetap memantau perkembangan ibu Anda pasca operasi. Untuk sekarang, pasien akan tetap berada di ruang IGD. Keluarga mohon menunggu di luar."

Alexa menghela napas lega. "Terima kasih, Dokter."

Angkasa menambahkan, "Dokter yang menangani ibumu adalah dokter terbaik di sini. Aku sudah mengurus semua biaya dan pemindahan ibumu ke rumah sakit terbaik di grup Dewantara."

"Terima kasih," Alexa menjawab tanpa menatap Angkasa, perasaannya campur aduk.

Angkasa melanjutkan, "Tinggallah di apartemenku. Aditya akan mengantarmu ke tempat yang tidak jauh dari rumah sakit ini."

Alexa menggelengkan kepala. "Aku akan menunggu ibuku di sini," jawabnya dengan tegas.

"Alexa, kau akan sakit jika tetap berada di sini dengan pakaian basah itu. Setidaknya gantilah pakaianmu," kata Angkasa dengan nada yang lebih lembut.

Tak lama, Aditya datang membawa beberapa kantong pakaian. "Saya tidak tahu yang mana lebih cocok dengan nona," katanya, memberikan tas berisi pakaian.

Alexa melihat ke arah Aditya dan kemudian mengambil salah satu tas tersebut. "Aku ambil satu, terima kasih," jawabnya datar, lalu berjalan menuju kamar mandi untuk mengganti pakaian.

Sementara Alexa pergi, Aditya mendekat pada Angkasa. "Semua biaya dan kamar yang akan dihuni oleh ibu nona Alexa sudah siap, Tuan."

Angkasa mengangguk, menganggapi dengan nada serius. "Baik, kau bisa pulang. Aku akan tetap di sini. Pastikan semua perjanjian sudah siap besok pagi."

Aditya mengangguk hormat, "Baik, Tuan."

 

Setelah berganti pakaian, Alexa berdiri di depan kaca, menatap dirinya yang kini mengenakan pakaian yang lebih nyaman. Semua yang terjadi terasa seperti mimpi. Ia akan menikah dengan Angkasa, seorang pria asing yang bahkan belum sepenuhnya ia kenal.

Alexa menghela napas panjang, berusaha menenangkan diri. "Kamu sudah mengiyakan, Alexa. Tidak ada jalan mundur sekarang," bisiknya pada dirinya sendiri.

Ia kemudian berjalan kembali ke ruang tunggu dan melihat Angkasa masih duduk di sana. Mendekatinya, Alexa duduk di tempat yang sama, berusaha meredam kegelisahan yang masih melanda.

"Aku bisa sendiri di sini. Pulanglah," kata Alexa, berharap bisa menyendiri sejenak.

Angkasa menoleh, matanya tajam namun penuh keteguhan. "Aku akan menemanimu. Aku tidak akan membiarkan calon istriku sendiri," jawabnya dengan nada yang tidak bisa ditolak.

Alexa menatapnya, merasa bingung dengan sikap Angkasa. Apa yang membuatnya begitu ingin menikah dengannya? Namun, ia tidak mengungkapkan rasa penasaran itu, memilih untuk tetap diam dalam keheningan yang semakin menyesakkan.

 

Keesokan harinya, suasana berbeda. Di luar, matahari bersinar cerah. Elisabeth, dengan senyum di wajahnya, memarkirkan mobilnya di basement sebuah gedung tinggi. Ia membawa rantang yang sudah disiapkan dengan penuh perhatian, menuju lantai 10 gedung tersebut.

"Selamat pagi, Nona. Tuan Alam sedang meeting. Mau menunggu atau ditinggal?" tanya wanita, sekretaris Alam.

"Seperti biasa. Saya tunggu saja," jawab Elisabeth dengan senyum hangat.

"Baik, silakan Nona," sang sekertaris mempersilakan Elisabeth untuk duduk.

Beberapa saat kemudian, Alam keluar dari ruangannya, tampak tidak terkejut melihat kedatangan Elisabeth. "Hallo El," sapanya, dan segera mengajak Elisabeth masuk ke ruangannya.

Elisabeth mengangkat rantangnya, "Aku sudah siapkan makan siang untukmu. Kamu belum makan siang kan?"

Alam tersenyum, "Tentu, aku lapar sekali. Terima kasih."

Elisabeth membuka rantang itu, memperlihatkan ayam asam pedas kesukaan Alam. "Taraa, silakan dinikmati."

Sembari menikmati makan siang itu, Alam tampak fokus pada tab miliknya.

"Ayolah kak Alam, kau sedang makan dan ini jam istrihatmu. Berhentilah bekerja untuk sejenak" ucap Elisabeth ketika melihat Alam tampak sangat sibuk.

"Aku tidak bisa meninggalkan pekerjaan ini El, atau jika tidak aku akan kehilangannya" ucapnya sambil mengunyah makanan.

"Kau percis dengan saudaraku"

"Kenapa aku harus bertemu dengan pria yang gila kerja seperti kalian" ucap Elisabeth dengan kesal.

"Jika tidak seperti ini.. siapa wanita yang mau menikah dengan kami ?" Tanya Alam.

"Aku .. aku mau menikah denganmu"

Terdengar bercanda, namun Elisabeth tak sedang bercanda. Ia serius dengan kata-katanya.

"Terima kasih makan siangmu" ucap Alam.

Namun Alam tak merespon ucapan Elisabeth seolah menghindari pernyataan itu.

--

Beberapa hari setelah operasi ibu Alexa, ia kini telah dipindahkan ke ruang inap. Kondisinya membaik, Alexa tak pernah sekalipun meninggalkan ibunya dalam waktu yang lama.

Pagi hari, ibunya tersadar, melihat ibunya membuka mata Alexa tentu senang, ia bangkit dan mendekat keibu.

"Ibu.. ibu.. ini Alexa " ucap Alexa.

Ibu menoleh, dengan tenaga yang masih ia kumpulkan, ia memanggil nama Alexa.

"Alexa.." ucap ibu dengan nafasnya.

"Bu ? Jangan banyak bergerak. Ibu baru selesai dioperasi" ucap Alexa.

"Operasi ?"

" Uang dari mana ? Kamu mendapatkan uang dari mana Alexa ?" Tanya ibu.

"Ibu yang tenang, ibu jangan cemas" ucap Alexa mencoba menenangkan ibu yang terlihat panik.

"Alexa.. apa benar kamu berhenti dari sekolah ?" Tanya ibu.

"Tentang bilang.. ia melihatmu keluar malam ?"

"Sebenarnya apa yang terjadi ?"

"Jangan bohongi ibu Alexa" ucap ibu.

Alexa terdiam beberapa saat, ia tampak bingung apakah ia harus jujur pada sang ibu.

"Hallo Bu.. perkenalkan saya Angkasa.."

"Calon suami Alexa"

Alexa dan sang ibu menoleh, ia terkejut dan saling menatap.

To be continued..

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!