"Ngomong-ngomong, selama di kantor, Kak Alam pernah melihat Kak Angkasa bersama seorang wanita?" tanya Elisabeth dengan nada penuh rasa ingin tahu.
Ia menatap Alam dengan saksama, mencoba mencari kepastian dari ekspresi wajahnya. "Atau... apakah ada rumor bahwa Kak Angkasa sudah memiliki kekasih?"
Alam menghentikan kegiatannya sejenak, lalu mengangkat wajahnya menatap Elisabeth. "Angkasa?"
Elisabeth mengangguk penuh antusias, menunggu jawaban darinya.
Alam berusaha mengingat, tetapi sejauh yang ia tahu, tidak ada tanda-tanda bahwa Angkasa memiliki hubungan dengan seorang wanita di kantor.
"Aku rasa tidak ada," jawabnya akhirnya. "Memangnya kenapa?"
Elisabeth menghela napas pelan sebelum berkata, "Kak Angkasa akan menikah."
Alam terkejut. "Menikah?"
Elisabeth kembali mengangguk, meyakinkan Alam bahwa apa yang ia katakan benar.
"Itulah yang membuatku penasaran. Dengan siapa Kak Angkasa menjalin hubungan? Setahuku, dia bahkan tidak pernah terlihat dekat dengan seorang wanita," ujar Elisabeth dengan nada penuh kebingungan.
Alam terdiam sejenak, lalu berkata, "Tapi bukankah itu kabar baik? Saudaramu akan menikah. Dulu, banyak rumor yang mengatakan bahwa Angkasa tidak tertarik pada wanita. Sekarang, dengan keputusannya untuk menikah, bukti itu terbantahkan."
Elisabeth justru tampak semakin resah. "Masalahnya, dengan siapa dia menikah? Aku tidak ingin wanita yang tidak pantas menjadi kakak iparku. Bagaimana jika dia berasal dari keluarga miskin dan hanya mengincar harta kami?" ucapnya penuh kecurigaan.
Alam menatap Elisabeth dengan ekspresi yang sulit diartikan. Tatapan matanya seolah menyiratkan ketidaksetujuan atas kata-kata adiknya itu.
"Inilah yang tidak kusukai darimu, Elisa. Kau selalu berpikir negatif tentang orang lain, bahkan sebelum bertemu dengan mereka," ujar Alam dengan nada sedikit menegur. "Kau tahu itu tidak benar, bukan?"
Menyadari bahwa Alam mulai kesal, Elisabeth mengalihkan pandangannya, menghindari kontak mata.
Alam menghela napas, lalu melanjutkan dengan suara yang lebih lembut. "Aku tahu kau hanya khawatir jika Angkasa memilih orang yang salah. Aku paham. Tapi itu bukan alasan untuk berprasangka buruk terhadap seseorang yang bahkan belum kau kenal."
Ia menatap Elisabeth dengan penuh keyakinan. "Aku percaya, jika Angkasa sudah memilih, maka wanita itu pasti seseorang yang baik."
Elisabeth terdiam sesaat sebelum akhirnya berkata lirih, "Tapi cinta itu bodoh, Kak. Sama seperti aku sekarang..."
Nada suaranya terdengar menyindir seseorang, membuat Alam sedikit mengernyit, tetapi sebelum ia sempat menanggapi—
Tok, tok.
"Maaf mengganggu, Pak Alam. Sudah waktunya untuk rapat," ujar sang sekretaris dengan sopan.
Alam menghela napas, lalu merapikan berkas-berkas di mejanya sebelum menutupnya.
"Aku harus pergi. Jika kau ingin menunggu, silakan. Tapi aku belum bisa memastikan jam berapa aku akan kembali," ujarnya.
Elisabeth mengangguk pelan, suasana di antara mereka terasa canggung.
Alam meninggalkan ruangan menuju ruang rapat.
Ruang rapat utama Dewantara Group di lantai 25 dipenuhi keheningan tegang. Sebuah meja panjang dari kayu mahoni mengisi ruangan, dikelilingi para petinggi perusahaan yang duduk dengan ekspresi serius. Di ujung meja, Bima, Direktur Utama Dewantara Group, duduk dengan sikap tegas. Di sampingnya, Angkasa, putra sulungnya yang baru bergabung dalam perusahaan, diam sambil mencermati dokumen di tangannya. Alam, manajer proyek, bersiap mempresentasikan laporan terbaru, sementara para petinggi lainnya duduk dalam posisi waspada.
Bima mengetuk ujung jarinya ke atas meja, suaranya berat ketika akhirnya ia berbicara.
"Baik, kita mulai. Alam, beri laporan tentang progres proyek apartemen di pusat kota."
Alam mengangguk, membuka laptopnya, dan menampilkan presentasi di layar proyektor. Grafik dan angka-angka muncul di hadapan mereka.
"Sejauh ini, konstruksi sudah mencapai 45%. Struktur utama sudah berdiri hingga lantai 15. Tapi ada kendala dalam pengadaan material. Vendor utama kita mengalami keterlambatan pengiriman. Estimasi mereka… tiga minggu dari jadwal seharusnya."
Bima menghela napas, ekspresinya mengeras. "Tiga minggu? Itu bukan keterlambatan kecil. Apa penyebabnya?"
"Masalah distribusi dari pemasok utama mereka. Kami sudah menekan mereka untuk mempercepat, tapi mereka tidak bisa memberikan jaminan."
Angkasa, yang sejak tadi diam, akhirnya angkat bicara. Suaranya tenang, tapi tajam.
"Apakah kita punya alternatif vendor?"
Alam mengangguk. "Ada beberapa opsi lain, tapi harga mereka lebih tinggi. Jika kita beralih ke mereka, biaya proyek akan naik."
"Seberapa besar kenaikannya?" Bima menatap lurus ke arah Alam, matanya tajam.
"Sekitar 7% dari total anggaran konstruksi."
Ruangan hening sejenak. Para petinggi saling bertukar pandang, menyadari angka tersebut tidak bisa dianggap enteng.
"Apakah kenaikan itu bisa dikompensasi dengan penyesuaian harga unit?" salah satu petinggi bertanya.
"Sulit," jawab petinggi lainnya. "Pasar sedang sensitif. Jika kita menaikkan harga, bisa berdampak pada daya tarik pembeli."
Angkasa mengetuk ujung penanya ke atas meja, berpikir cepat. "Kalau kita tidak bisa menaikkan harga unit, berarti kita harus mencari efisiensi di tempat lain. Bisa tidak kita tekan biaya di sektor lain untuk menutupi kenaikan dari vendor baru?"
Alam mengangguk pelan. "Itu memungkinkan, tapi butuh kalkulasi ulang."
Bima menatapnya dalam-dalam. "Hitung semuanya. Buat simulasi anggaran dengan opsi vendor baru dan cari di mana kita bisa menghemat biaya. Saya mau laporan lengkap sebelum sore ini."
Alam mengangguk tegas. "Baik, Pak. Saya akan segera kerjakan."
Bima mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan. "Kita tidak bisa menunda proyek ini. Saya ingin keputusan final besok pagi. Semua harus bergerak cepat."
Mereka semua mengangguk, merasakan tekanan yang memenuhi udara. Alam segera mengemasi dokumennya, bersiap kembali ke timnya. Para petinggi lainnya mulai berdiskusi kecil sebelum meninggalkan ruangan.
Angkasa tetap duduk di tempatnya, menatap layar presentasi yang sudah mati. Pikirannya berputar, mencari solusi lain yang mungkin luput dari perhatian.
Sementara itu, hanya tersisa Angkasa dan Alam di ruangan itu. Sunyi. Hanya terdengar suara napas keduanya yang terasa berat di udara.
"Angkasa..." panggil Alam, suaranya lirih, namun penuh makna.
Angkasa mengangkat wajahnya, menatap Alam dengan ekspresi yang sulit ditebak.
"Aku dengar kau akan menikah?" tanya Alam, suaranya berusaha terdengar ringan, tetapi ada nada getir yang tak bisa disembunyikan.
Angkasa menoleh perlahan, tatapannya tajam namun juga dipenuhi kebingungan.
"Bagaimana kau bisa tahu?" tanyanya, alisnya sedikit berkerut.
"Aku tahu dari Elisabeth," ucap Alam sambil menatap lurus ke mata Angkasa, seolah ingin mencari kejujuran di dalamnya.
Angkasa menghela napas panjang, matanya sedikit meredup. Seolah tak menyangka bahwa berita ini akan sampai ke telinga Alam secepat itu.
"Selamat ya," ucap Alam lagi, kali ini dengan senyum tipis yang terasa dipaksakan.
Angkasa tidak segera merespons. Sorot matanya berubah lebih dingin. Ia mengalihkan pandangannya, seakan ingin menghindari pembicaraan ini.
"Soal ini, aku harap berhenti di kamu," ujar Angkasa datar. Ia lalu bangkit dari kursinya, langkahnya tegas, meninggalkan ruangan tanpa menoleh lagi.
Alam hanya bisa menatap punggung Angkasa yang semakin menjauh, merasakan sesuatu yang mengganjal di dadanya.
Setelah pemeriksaan yang cukup panjang, akhirnya ibu Alexa diizinkan kembali ke rumah. Namun, dokter menegaskan bahwa beliau harus rutin memeriksakan diri setiap dua hari sekali.
Alexa segera menggenggam tangan ibunya yang terasa dingin. Kekhawatiran masih terlihat jelas di wajahnya.
"Ayo, Bu, hati-hati," ucap Alexa lembut, tangannya dengan sigap menopang sang ibu yang masih terlihat lemah.
Ketika mereka baru saja melangkah keluar dari ruangan, suara langkah seseorang terdengar mendekat.
"Selamat pagi, Nona dan Ibu," sapa Aditya dengan sopan, suaranya terdengar ramah namun tetap berwibawa.
Alexa menoleh dan tersenyum tipis.
"Oh... halo, Pak Adit," sapanya balik.
Aditya mengangguk kecil sebelum melanjutkan, "Tuan Angkasa kebetulan sedang sibuk, jadi dia meminta saya untuk mengantar Ibu dan Nona Alexa pulang."
Alexa dan ibunya saling bertukar pandang. Ada sedikit kebingungan di mata mereka.
"Tidak perlu, Pak Aditya. Saya sudah memesan taksi online," tolak Alexa dengan suara tenang namun tegas.
Aditya tersenyum simpul, tetapi tetap teguh pada tugasnya. "Maaf, Nona... ini perintah Pak Angkasa. Lebih baik kalian pulang bersama kami," ujarnya, lalu dengan sigap mencoba mengambil barang bawaan mereka. "Saya bantu."
Alexa dengan refleks menahan tasnya, matanya menatap Aditya dengan ragu.
"Sungguh, Pak Aditya. Kami bisa pulang sendiri," katanya, sedikit menekan kata-katanya.
Aditya menarik napas dalam, lalu berkata lebih pelan, "Nona... tolong." Ada nada harapan dalam suaranya, seakan ia hanya menjalankan sesuatu yang lebih besar dari sekadar tugas.
Sebelum Alexa sempat menjawab, ibunya menepuk tangannya lembut.
"Sudahlah, Nak. Nak Aditya sudah meluangkan waktunya untuk kita," ucap sang ibu dengan suara lembut, penuh pengertian.
Alexa akhirnya melepas genggamannya pada tas dan membiarkan Aditya membawanya. Meskipun enggan, ia memilih untuk tidak memperpanjang perdebatan.
Di perjalanan, suasana terasa begitu hening. Hanya suara mesin mobil yang menderu pelan, sesekali diselingi suara klakson kendaraan lain yang melintas.
Dari kursi belakang, sang ibu tiba-tiba bersuara, memecah keheningan.
"Kalian sudah membahas tanggal pernikahan kalian?" tanyanya mendadak, suaranya terdengar tenang namun dalam.
Alexa yang sedari tadi tenggelam dalam pikirannya langsung tersentak.
"Tanggal?" ulangnya dengan ekspresi bingung, seolah pertanyaan itu baru saja menampar kesadarannya.
Ia menoleh ke arah ibunya, tetapi tak ada jawaban yang keluar dari bibirnya. Hanya detak jantungnya yang mendadak terasa lebih cepat.
To Be Continued..
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 21 Episodes
Comments