Daniar baru pulang dari pasar, ia mendengar suara deringan ponsel dari arah meja makan. Di sana ia melihat ponsel Shasha tergeletak. Ia pun begitu penasaran siapa yang menelepon anaknya pagi-pagi. Nama Ayah Bian tertera di layar ponsel membuat Ibu Bian bertanya-tanya. Diangkatnya telepon tersebut untuk memastikan siapa Ayah Bian ini sebenarnya.
“Halo, ini siapa?” Daniar bertanya ketus.
“Saya Rangga, salah satu wali murid di sekolah Ibu Shasha.”
Daniar membulatkan matanya setelah mendengar jawaban lelaki itu. Suaranya mirip dengan suara laki-laki yang menelepon Shasha tadi malam. Tanpa basa-basi ia pun mulai bertanya banyak hal pada Rangga. Sedangkan Rangga yang menyadari bahwa suara yang menjawabnya bukan suara Shasha segera dibuat bingung.
“Ada apa kamu telepon Shasha?”
“Saya hanya mau memberitahukan kalau anak saya mungkin akan terlambat.”
Daniar menganggukkan kepalanya lalu memutus telepon saat Rangga belum selesai mengucapkan salam. Perempuan itu masih memegang ponsel Shasha saat pemiliknya tiba-tiba datang dari arah kamar. Shasha melotot kaget melihat ibunya baru saja mengangkat telepon dari ponselnya. Gadis itu segera berlari dan mengambil ponsel dari tangan Daniar. Namun, perempuan paruh baya itu dengan sigap menjauhkan ponsel Shasha dari jangkauan pemiliknya.
Shasha hanya bisa pasrah saat ibunya memeriksa riwayat panggilan di ponselnya. Daniar mengerutkan kening karena mendapati kontak dengan nama Ayah Bian telah menelepon Shasha tiga kali berturut-turut kemarin sore, kemarin malam, dan pagi ini. Shasha kebingungan mendapati ibunya memicingkan mata ke arahnya.
“Ada hubungan apa kamu sama Rangga, Shasha?” Shasha membuka mulutnya tak percaya mendapati Daniar menanyakan hal konyol tersebut. Gadis itu berulang kali mengelak dan menjelaskan kepada ibunya bahwa hubungannya dan Rangga murni hubungan profesional antara guru dan wali murid. Daniar menghela napas lega dan memberikan ponsel itu kepada Shasha. Shasha tersenyum masam namun tetap mencium kedua pipi ibunya sebelum berangkat.
Pagi ini Shasha ingin sarapan bubur ayam di depan komplek rumahnya. Belum sempat ia sampai di warung bubur ayam, ia melihat sosok familiar di tepi jalan. Di sana nampak Bian berdiri di belakang Rangga yang terlihat sedang membuka kap mobil. Shasha mendekati mereka dan menepuk punggung Bian. Bian yang terkejut segera menarik celana ayahnya. Rangga menoleh ke belakang dan mendapati Shasha ada di sana. Laki-laki itu pun menggendong Bian dan berbicara kepada Shasha di atas trotoar.
Shasha yang melirik jam menunjukkan pukul tujuh lewat lima berinisiatif mengajak Bian berangkat bersama. Gadis itu juga mendapat persetujuan dari Rangga. Segera Rangga memesankan taksi untuk mereka berdua dan berpesan kepada sopir taksi untuk mengantar mereka sampai tujuan dengan selamat.
Shasha dan Bian duduk di kursi belakang. Beberapa kali Bian melirik Shasha diam-diam. Namun Shasha yang gemas terhadap kelakuan Bian segera tertawa kecil. Bian tidak berani lagi melirik Shasha. Ia hanya duduk dengan badan kaku menghadap ke depan. Shasha tidak kehilangan akal untuk mencairkan suasana. Ia menggelitik kedua pinggang Bian menyebabkan anak itu tertawa terbahak-bahak.
Bian menggeliatkan tubuhnya ke kanan dan ke kiri untuk menghindari gelitikan Shasha. Ia tertawa sampai terengah-engah. Shasha pun menghentikan gerakan jarinya setelah Bian memohon ampun terus-menerus. Hubungan mereka menjadi tak secanggung sebelumnya. Di dalam mobil mereka pun berulang kali bercanda dan bercerita banyak hal.
Tepat sebelum bel berbunyi, Shasha dan Bian sampai di sekolah. Shasha berlari ke ruang guru setelah memastikan Bian memasuki kelas. DI ruang guru, banyak orang yang memandangnya penasaran. Bu Wina menghampirinya dan menanyakan kenapa dia bisa berangkat bersama Bian. Shasha hanya menjawab dengan jujur bahwa ia melihat mobil anak itu mogok dan mengajaknya berangkat bersama daripada Bian terlambat.
“Aku titip anak-anak ya, Win. Jangan biarin mereka berantem!”
“Tenang aja, Sha. Anak-anak aman aku handle. Semangat!”
Wina menyemangati Shasha yang akan mengikuti seminar pelatihan dari Dinas Pendidikan. Namun, sebelum itu ia pergi ke ruang Kepala Sekolah untuk menyerahkan evaluasi mingguan dari kelas bear. Di tempatnya, Tante Rahma bertanya banyak hal setelah melihat laporan yang Shasha bawa. Ditambah setelah ia membaca kasus Kia dan Raja. Perempuan paruh baya itu hanya bisa menggelengkan kepala dan menepuk lengan Shasha beberapa kali.
“Harus kuat ngadepin mereka, Sha. Kalau kamu nggak bisa memperbaiki sifat mereka, kasihan masa depan mereka.” Tante Rahma tersenyum tulus dan segera berlalu pergi ke luar ruangan. Shasha hanya bisa memandang punggungnya, namun kata-kata Tante Rahma benar-benar melekat di otaknya.
Pukul sembilan Shasha sudah duduk di dalam aula gedung serbaguna Sasana Pakarti . Seminar yang diadakan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta itu diikuti hampir 2000 guru TK baik dari TK swasta maupun negeri. Gadis itu begitu antusias dan berkenalan dengan banyak rekan seprofesinya.
Gadis itu tertegun sesaat setelah membaca nama pembicara seminar di spanduk yang terpasang di dinding gedung. Ia mengingat kembali nama Ayah Bian setelah melihat nama dr. Ranggana Hernanta,Sp.KJ tertera di sana. Kepalanya menoleh ke kanan dan ke kiri melihat ke sekililing namun ia tidak menemukan laki-laki itu ada di sana. Namun, saat ia mengalihkan pandangannya ke depan, ia mendapati Rangga sedang berdiri di samping pembawa acara seminar.
Pipi Shasha memerah karena Rangga sedang memperhatikannya. Kebetulan pula Shasha duduk di baris kursi terdepan. Jadi, ia bisa memandang Rangga secara jelas. Laki-laki itu hanya tersenyum singkat lalu mulai berbicara tentang cara-cara penanganan tantrum yang terjadi pada anak. Ia juga berbicara tentang anak-anak saat ini yang kecanduan gawai bisa berdampak mengkhawatirkan.
Bukannya mendengarkan apa yang Rangga sampaikan di depan, Shasha justru hanya melamun memandangi Rangga. Ia hanya dapat menangkap sepuluh persen dari materi yang disampaikan Rangga. Selebihnya yang ada di otak Shasha adalah penampilan Rangga yang nampak memukau saat menjadi pembicara.
Lamunan Shasha buyar setelah Rangga selesai melakukan tugasnya di depan. Digantikan oleh seorang psikolog wanita paruh baya yang juga membahas kesehatan mental anak dari aspek sosial. Kali ini Shasha dapat menangkap banyak materi dari psikolog tersebut karena gadis itu memperhatikan. Namun tidak dapat dipungkiri ia masih sering melirik Rangga yang sedang duduk di kursinya.
Tak sengaja Rangga menoleh ke arah Shasha saat gadis itu sedang memandangnya. Shasha sontak mengalihkan pandangannya kembali ke depan. Ia mengambil notebook di depannya untuk menutupi sisi kanan wajahnya dari pandangan Rangga. Saat gadis itu kembali melirik ke arah Rangga, ia merutuk karena mendapati laki-laki itu tersenyum kecil ke arahnya serta melambaikan tangannya.
“Ibu Shasha setelah ini mau ke mana?”
Rangga tiba-tiba muncul di sebelah Shasha membuat gadis itu terkejut. Ia kembali bertanya karena Shasha belum menjawab pertanyaannya tadi. Gadis itu pun menjawab bahwa ia akan kembali ke sekolah untuk melakukan presensi siang. Rangga pun menawarkannya tumpangan karena ia juga akan menjemput Bian. Shasha awalnya menolak tapi akhirnya ia setuju setelah dibujuk oleh Bian.
Shasha mengernyit saat Bian mengikutinya terus-menerus. Setelah finger print, Shasha pun mengikuti Bian yang menarik tangannya. Di sana ia melihat Rangga yang sedang duduk bersandar di mobil. Ia tersenyum menatap Shasha yang mengikuti Bian.
“Saya sama Bian mau mengajak Ibu Shasha makan siang, ucapan terima kasih saya karena sudah mengajak Bian berangkat tadi pagi.” Laki-laki itu masih tersenyum dan membukakan pintu mobil sebelah kiri. Bian
juga hanya diam memandangnya tanpa ekspresi sedari tadi. Namun akhirnya Shasha luluh setelah anak itu memintanya untuk ikut.
Bian yang biasanya begitu mandiri kali ini tiba-tiba bersikap manja kepada Shasha. Ia benar-benar tidak mau duduk di kursi belakang. Ia ingin duduk dipangku oleh Shasha. Hal ini membuat Rangga kewalahan
membujuknya. Namun, sifat Bian ini membuat Shasha geli sendiri. Anak itu bersikap manja tapi masih enggan menunjukkan ekspresinya. Saat ia merengek pun ia tidak tersenyum, marah, maupun menangis. Wajahnya begitu datar membuat Shasha ingin menggelitikinya seperti pagi tadi.
Benar saja, setelah Shasha menggelitik pinggang Bian, anak lelaki itu menggeliat dan tertawa terbahak-bahak. Bian pun berbalik ke arah Shasha dan ikut menggelitiki pinggang Shasha. Mereka berdua akhirnya sama-sama tertawa. Bahkan Bian sampai mengeluarkan air matanya.
Rangga melirik mereka berdua dan tertegun mendapati anaknya bisa tertawa sedemikian lepasnya.
Bertahun-tahun ia hidup bersama Bian, ia belum pernah melihat Bian tertawa seperti itu. Shasha yang melihat Rangga meliriknya segera menghentikan tawanya. Lalu menundukkan kepalanya dan tersenyum kepada Bian.
Mereka bertiga makan siang di restauran seafood. Shasha menggelengkan kepalanya saat tahu Rangga memesan banyak makanan. Mulai dari salmon, udang, lobster, kepiting, cumi, dan kerang. Sebenarnya gadis itu tidak begitu suka makan seafood. Namun ia tidak enak hati karena Rangga sudah memesan seafood begitu banyak.
Shasha ingin mengambil Salmon teriyaki, namun Bian lebih dulu . mengambilnya. Ia pun hanya bisa tersenyum dan mengambil sup kerang bambu. Namun ia hanya menyendok kuahnya. Bian yang belum sempat memakan salmonnya melihat itu. Ia pun mendorong piringnya ke arah Shasha.
“Miss makan salmon Bian aja. Bian gak terlalu suka salmon, kok.”
Senyum gadis itu mengembang mendapati Bian perhatian padanya. Ia pun mengelus puncak kepala Bian dan membagi dua salmon itu. Ia memberikan separuhnya pada Bian karena ia yakin Bian ingin memakannya juga. Bian tersenyum ceria dan memakannya lahap. Rangga juga terkejut saat Bian memberikan salmonnya pada Shasha padahal anak itu tidak pernah mengizinkan siapapun menyentuh salmonnya.
Rangga pun sengaja mencomot sedikit daging salmon milik Bian. Namun ia segera menutupi piringnya dan memandang Rangga sengit. Shasha dibuat tersenyum geli melihat adegan itu. Rangga pun hanya menggelengkan kepalanya melihat anaknya begitu pelit.
Selesai makan, Rangga memutuskan untuk membungkus udang dan cumi yang belum sempat dimakan. Di mobil Shasha dan Bian bernyanyi banyak lagu anak-anak. Lelaki kecil itu berulang kali bertepuk tangan dan menggoyangkan badannya. Shasha ikut bernyanyi dan juga menggoyangkan badannya. Terkadang mereka juga tertawa tanpa menghiraukan Rangga yang menyetir sendirian. Namun laki-laki itu juga tersenyum melihat anaknya bisa tertawa lepas.
Di saat mereka berhenti menunggu lampu lalu lintas berganti hijau, Bian memandang ke luar jendela. Ia mengamati interaksi seorang ibu dan anaknya yang sedang dibonceng sepeda motor di sebelahnya. Tawanya yang sejak tadi bergema segera sirna. Anak itu bahkan menempelkan kepalanya ke kaca jendela.
Shasha tidak tahu kenapa Bian tiba-tiba menjadi sedih. Ia pun berusaha melontarkan candaan kepada Bian, namun ia sama sekali tidak menanggapi. Lalu tanpa Shasha sadari ia pun menanyakan pertanyaan tabu untuk Bian.
“Bian kangen ya sama Mama? Kok ngeliatin mereka gitu banget. Sebentar lagi kan Bian sampai di rumah. Bisa juga dong ketawa-ketawa sama Mamanya.”
Gadis itu masih terus berceloteh dengan mulut yang tersenyum. Ia tidak menyadari bahwa suasana di dalam mobil berubah drastis. Ia baru sadar setelah mendengar isak tangis Bian di pangkuannya. Shasha terkejut melihat Bian menangis tersedu-sedu. Anak itu bahkan tidak mau memandangnya. Shasha yang kebingungan segera melihat ke arah Rangga yang hanya tersenyum masam.
“Mama Bian sudah tidak ada, Bu Shasha.”
Hening pun menemani mereka sampai di depan rumah Shasha. Gadis itu merasa tak enak hati kepada Rangga dan Bian. Setelah ia turun pun ia hanya bisa melihat Bian yang tertidur di kursi belakang setelah menangis beberapa saat. Shasha hanya bisa menghapus air mata anak itu yang masih membasahi pipinya lalu segera menutup pintu mobil perlahan.
“Saya minta maaf sudah berbicara seperti itu, Pak Rangga. “ Shasha menunduk.
“Gak apa-apa, Bu Shasha.” Rangga menjawab.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 20 Episodes
Comments