Setelah mengantar Bian pulang, Shasha memutuskan untuk pergi ke mal. Dia ingin cuci mata dan membeli beberapa kemeja baru. Suasana jalanan sore Jakarta memang tidak begitu menyenangkan. Ini selalu menjadi hal melelahkan bagi Shasha. Walau bukan ia yang ada di kursi kemudi, namun tetap saja kepalanya pusing melihat banyaknya kendaraan dan juga mendengar bisingnya klakson. Ia memutuskan untuk menutup mata dan akhirnya tertidur di kursi belakang.
“Mbak, sudah sampai di depan Gandaria City. Mbak, bangun.” Sopir taksi itu membangunkan Shasha. Shasha mengerjapkan matanya dan tersenyum sungkan kepada sopir taksi yang sudah membangunkannya. Gadis itu pun turun dan ingin segera ke toilet untuk mencuci muka. Saat masih berjalan, Shasha merasakan ponselnya bergetar berulang kali. Dilihatnya layar ponsel yang menampilkan nama Ayah Bian di sana. Namun, melihat kondisi ramai, ia memutuskan mengangkat panggilan itu saat sampai di toilet.
“Halo… Iya Pak Rangga, ada yang bisa Saya bantu?” Shasha bertanya.
“Saya mau minta maaf karena perlakuan Saya tadi mungkin menyinggung Bu Shasha. Maaf juga Ibu harus melihat saya memarahi Bian.”
Shasha mendengarkan Rangga berbicara seraya menyandarkan tubuhnya di dinding. Kakinya diketuk pelan di lantai dan bibirnya pun sejak tadi ia gigit-gigit kecil menandakan dia salah tingkah. Gadis itu kembali mengingat penampilan ayah muridnya itu tadi. Suara berat laki-laki itu juga membuat Shasha terkikik pelan
.
“—Halo, Bu Shasha masih di sana, kan?”
“Eh, iya Pak Rangga. Saya dengar, kok. Gak perlu dipikir Pak, saya juga mengerti mungkin Bapak tadi lelah. Saya hanya menyarankan jangan jadikan Bian pelampiasan kelelahan dan kemarahan Bapak.”
Setelah sama-sama mengucapkan selamat sore, panggilan itu selesai dengan Shasha yang masih memegang dadanya. Jantungnya berdetak mendengar suara lelaki itu. Ditambah bayangan Rangga tadi yang sampai saat ini tidak berhenti terngiang di pikiran Shasha.
Shasha segera mencuci mukanya dan memulas pemerah bibir sebelum keluar dari toilet. Tujuannya sekarang mencari kemeja. Dia sudah bosan dengan kemeja miliknya di rumah. Gadis itu masuk ke salah satu toko pakaian wanita dan memilih tiga kemeja dan satu blus. Sebenarnya Shasha melihat beberapa pakaian yang ingin ia beli namun apa daya harga beberapa potong pakaian itu pasti akan mengosongkan dompetnya.
Sudah puas melihat-lihat, ia membawa belanjaannya ke kasir. Di sana antrean masih mengular panjang membuat Shasha nampak bosan. Ia pun memasang earphone dan menonton video milik Gerald. Shasha tertawa pelan saat melihat lelaki itu tampak kesal dengan Kia. Lima menit mengantri, akhirnya giliran Shasha tiba di depan meja kasir. Gadis itu masih memasukkan ponsel dan mencari dompetnya di dalam tas.
Shasha dibuat terdiam saat melihat laki-laki asing di belakangnya dengan topi, kaca mata hitam, dan jaket hoodie hitam tiba-tiba memberikan kartu kreditnya kepada kasir. Belum sempat gadis itu memberikan uangnya, laki-laki asing itu sudah mendahuluinya. Barang belanjaan Shasha yang sudah dimasukkan ke dalam tas belanjaan segera diambil oleh lelaki itu. Shasha masih bingung saat dirinya ikut ditarik oleh lelaki berjaket hitam tersebut.
“Gerald!!!”
Suara teriakan perempuan menggema di telinga Shasha. Ia melihat segerombol perempuan yang berlari ke arahnya dengan menyerukan nama Gerald berulang kali. Shasha masih kebingungan. Dilihatnya lelaki yang masih menggenggam tangannya itu. Dia membuka kaca mata hitamnya dan membuat Shasha begitu terkejut. Laki-laki itu kini berlari sambil menariknya menuju Basement. Shasha dengan bodohnya mengikuti Gerald berlari.
Mereka berdua sekarang ada di dalam mobil Gerald. Di sana lelaki itu membuka topi dan kaca mata hitamnya. Napas mereka berdua tersengal-sengal, namun akhirnya mereka bisa berhenti berlari dari kejaran penggemar-penggemar Gerald. Shasha menyandarkan punggungnya di jok mobil, lalu telinga kanannya menangkap suara Gerald yang tiba-tiba tertawa. Kening Shasha mengernyit heran lalu menghadap lelaki itu.
“Makasih udah ikut lari bareng aku. Aku juga liat kamu ketawa-ketawa nontonin video aku tadi,” ucap Gerald genit. Shasha hanya bisa membuka mulutnya namun tak dapat membalas perkataan lelaki itu. Pipinya juga memerah melihat Gerald mengedipkan sebelah matanya dan tersenyum jahil kepadanya. Gadis itu merasa begitu bodoh kenapa ikut berlari bersama lelaki itu. Padahal ini sama sekali tidak berhubungan dengan dia.
Gerald melajukan mobilnya ke luar dari basement. Langit di luar sudah gelap, Shasha melirik jam di dashboard mobil yang menunjukkan pukul enam lewat sepuluh. Suasana di dalam mobil begitu sepi. Gerald yang biasanya jahil kali ini juga diam.
“Kita mau kemana?” Tanya Shasha tanpa menatap lelaki itu.
“Aku laper, temenin aku makan, ya.” Gerald memandang Shasha.
Shasha kebingungan untuk menjawab. Gadis itu sadar, ia tidak begitu kenal dengan lelaki ini. Ditambah, dia adalah salah satu keluarga dari muridnya. Jadi Shasha tidak ingin dicap tidak profesional. Gadis itu memandang ke kanan jalan, di sana ia melihat sebuah masjid dengan beberapa penjual makanan di sebelahnya. Kebetulan di sana juga sepi sehingga Gerald tidak perlu menyamar seperti tadi.
“Gerald, bisa tolong berhentiin Aku di masjid itu? Aku mau salat dulu. Di sana juga ada beberapa warung. Mungkin kamu mau makan di sana.”
Gadis itu berbicara seraya menunjuk beberapa pedagang yang sedang duduk di dalam warungnya. Setelah mengatakan itu, Gerald tiba-tiba terkejut memandang Shasha. Lelaki itu bungkam tanpa menanggapi pertanyaan Shasha. Namun, ia tetap membelokkan mobilnya ke area parkir masjid.
Perasaan Shasha waswas setelah melihat tanggapan Gerald. Shasha takut lelaki itu tersinggung dengan perkataannya yang menawari dia makan di warung kecil itu. Dia pikir Gerald tidak mau makan di tempat sembarangan. Sehingga Shasha ingin mengatakan sesuatu namun Gerald lebih dulu bicara.
“Oke, kamu ke masjid dulu. Aku tunggu di sini, nanti temenin aku makan.”
Gerald tersenyum simpul sambil menunjuk ke arah warung pecel lele di sebelah masjid. Shasha yang dibuat terkejut segera keluar dari mobil dan berjalan ke masjid. Gerald menyandarkan kepalanya. Matanya ditutup lalu ia kembali memandang Shasha yang sedang berjalan memunggunginya menuju masjid.
Saat ini mereka berdua duduk di sudut warung. Memakan sepiring pecel lele dan segelas es teh. Shasha melihat Gerald makan begitu lahap, membuat gadis itu menahan tawanya. Gerald yang menyadari Shasha menertawakannya segera pura-pura marah dan mencebikkan bibirnya. Shasha semakin tertawa terpingkal-pingkal melihat kelakuan laki-laki itu.
“Persis Kia banget kamu kalau marah.” Shasha terkikik pelan.
“Kan Aku omnya, pasti mirip dong! Oiya gimana Kia di sekolah?”
Gerald bertanya tentang Kia pada Shasha dengan mulut yang masih terus mengunyah. Shasha hanya bisa menggelengkan kepala lagi menatap laki-laki itu. Shasha tersenyum mendengar pertanyaan Gerald lalu menceritakan keseharian Kia di sekolah. Gerald yang mendengar perkembangan positif keponakannya juga ikut tersenyum. Lalu Shasha dengan hati-hati juga menceritakan kelakuan konyol Kia yang kadang membuat gadis itu jengah. Namun, Gerald justru tertawa saat membayangkan cerita Shasha.
Shasha mendengus sebal lalu segera menghabiskan pecel lelenya. Setelah es tehnya tersedot habis,
gadis itu menepuk perutnya yang kekenyangan dan mendahului Gerald untuk membayar makanan mereka. Shasha memaksa walau laki-laki itu kesal karena makanan mereka dibayar oleh Shasha. Mereka pun kembali ke mobil dan Gerald mengantarkan Shasha pulang.
“Mmm… Gerald boleh Aku tanya kenapa Kia susah banget diajak ngomong pake Bahasa Indonesia?” Shasha memandang Gerald.
Lelaki itu nampaknya terkejut mendengar perkataan Shasha. Alisnya terangkat satu lalu bibirnya menyunggingkan senyum kecut. Dia diam beberapa saat lalu mulai menghela napas. Ia pun mulai menceritakan beberapa kisah pahit yang membuat Shasha iba pada anak sekecil itu.
“Ya gitu, karena Mama sama Papanya cerai dan udah pada nikah lagi, Kia tinggal sama Aku dan neneknya dari dia bayi. Sedangkan Mama sendiri asli orang Inggris, jadi di rumah bahasa sehari-hari kami memang Bahasa Inggris.”
Gerald menatap Shasha sekilas dan tersenyum kecut karena mengingat kehidupan pahit Kia. Shasha dibuat bungkam oleh kata-kata Gerald. Gadis itu diam dan menatap ke luar jendela. Sudah kesekian kalinya ia mengetahui kisah pahit muridnya. Dia akhirnya mengerti kenapa gadis kecil itu selalu berteriak saat berbicara ke semua orang. Shasha tahu bahwa Kia melakukan itu karena ia ingin menarik perhatian orang terdekatnya.
Setengah jam kemudian mobil hitam itu sampai di depan pekarangan rumah Shasha. Daniar yang kebetulan sedang menutup tirai jendela depan pun keluar melihat siapa pemilik mobil itu. Ia terkejut saat Shasha turun dari mobil itu bersama seorang lelaki berambut coklat. Daniar tersenyum girang dan mendapat pelototan tajam dari Shasha. Ibunya itu kini sudah berlari menghampiri mereka dan membukakan gerbang.
Daniar mengamati laki-laki itu dari ujung ramput sampai ujung kaki. Setelah beberapa saat ia pun membuka bibirnya sambil menunjuk-nunjuk Gerald. Shasha mengalihkan pandangannya dari sang ibu yang kini benar-benar membuatnya malu. Gerald yang ditunjuk-tunjuk segera mencium tangan Daniar dan memperkenalkan dirinya.
“Ini beneran Gerald yang sering kamu tonton videonya, Sha? Ini Gerald yang adiknya Marchella Anastasia pemain film itu kan, Sha?”
Daniar berceloteh panjang meyakinkan dirinya sedari tadi tentang identitas lelaki itu. Hal tersebut membuat Shasha jengah. Ia pun segera berbalik dan berjalan masuk ke dalam rumah tanpa mengacuhkan ibunya dan Gerald yang masih mengobrol di depan. Gadis itu pun masuk ke dalam kamarnya untuk segera memejamkan matanya.
Selesai berganti pakaian, ia melihat notifikasi panggilan tak terjawab dari ponselnya. Ia pun mengernyitkan kening heran karena nama Ayah Bian sekali lagi muncul di layar ponselnya. Ia menggeser tombol hijau dan suara lelaki itu memasuki telinganya.
“Halo, Ibu Shasha…” Suara laki-laki itu pelan namun begitu khas.
“...” Shasha tergagap sesaat, “I…Iya, halo Pak Rangga.”
“Baru saja ada sopir taksi yang mengantarkan biodata peserta didik ke rumah Saya. Mungkin ini punya Ibu Shasha ketinggalan.”
Shasha yang mendengar perkataan Rangga segera berdiri dan mengambil tasnya. Ia pun membuka
dan mengeluarkan semua isi tas tersebut. Benar saja satu dokumennya hilang. Padahal besok pagi akan ada evaluasi mingguan dan pelatihan dari dinas pendidikan. Shasha menepuk dahinya pelan dan merutuki kecerobohannya.
“Iya Pak Rangga itu dokumen saya ketinggalan.”
“Oke, Ibu Shasha besok Saya titipkan dokumennya ke satpam.”
Shasha berdeham pelan dan mengucapkan terima kasih kepada Rangga. Laki-laki itu belum juga memutuskan teleponnya membuat Shasha bimbang apa ia yang harus mengakhiri telepon tersebut. Berulang kali Rangga terdengar ingin mengatakan sesuatu namun kembali terdiam.
“Selamat MalamShasha, semoga mimpi indah.”
“Sel—“ Telepon tiba-tiba terputus.
Gadis itu memandang ponselnya dengan pikiran kosong dan pipi memerah. Ia menggelengkan kepala berulang kali dan segera meringkuk dalam selimut. Daniar yang ada di depan pintu mendengar percakapan telepon yang sedang dalam mode loudspeaker itu. Membuat matanya memicing tajam dan mengintip anaknya yang terlihat salah tingkah di dalam selimut.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 20 Episodes
Comments