Sore itu, Shasha membantu Daniar memasak. Tapi gadis itu justru melamun. Daniar yang kesal langsung saja menginjak kaki putrinya. Shasha menjerit tertahan mendapati kakinya yang tiba-tiba sakit. Mulutnya pun hampir kelepasan mengumpat sebelum melihat pelototan mamanya.
“Kesambet baru tahu rasa kamu. Ngelamun terus.”
Daniar mencibir pelan anaknya yang saat ini sedang mencebikkan bibirnya. Shasha yang tahu sang ibu sedang kesal segera memeluknya. Beginilah gadis itu di rumah, selalu manja kepada Daniar. Tidak pernah sehari pun ia tidak menggoda ibunya. Namun setelah itu ia pasti akan memeluk ibunya sebagai permintaan maaf. Seperti itulah kedua orang itu menyalurkan kasih sayangnya.
“Menurut Mama wajar gak sih anak usia empat tahun mukul dan ngeludahin orang lain?”
Daniar mengerutkan keningnya memandang Shasha. Tidak biasanya Shasha menanyakan hal serius seperti itu. Terlebih tentang anak kecil. Daniar ingat betul, dulu putrinya itu mulai tidak menyukai anak kecil saat salah satu keponakannya datang ke rumah dan tidak sengaja mengencingi laptop Shasha. Gadis itu benar-benar tidak terima karena laptop itu baru dibelikan ayahnya kemarin. Lalu saat Shasha memarahi sepupunya itu, semua orang justru menyalahkannya.
“Idih, Mama ganti yang ngelamun! Jawab dong, Ma!” Shasha merengek mengguncang lengan ibunya.
“Ya bisa aja. Gitu tergantung lingkungannya, kok. Kalau gaulnya sama orang gak bener, ya jadinya gak bener.” Daniar mengedikkan bahunya dan terus melanjutkan memotong wortel.
“Ssttt… Mama ini yang aku omongin anaknya Maria Rosani sama suaminya yang kerja di kementerian PUPR itu. Orang kayak gitu kok dibilang gak bener.”
Ditekan telunjuknya di depan mulut Daniar. Membuat Daniar jengah. Ia pun mengusir Shasha ke luar dari dapur. Shasha semakin mencebikkan bibirnya. Sedari tadi pikirannya tidak bisa lepas dari Kia dan Raja. Sungguh dua anak yang malang. Direbahkan tubuhnya di ranjang sembari menatap langit-langit kamar. Ponselnya tiba-tiba berbunyi nyaring menghilangkan kantuk yang sempat dirasakannya.
“Hai,” ucap suara dari seberang telepon. Gadis itu membulatkan matanya setelah mendengar suara familiar tersebut. Dijauhkan ponsel itu dari telinganya karena Shasha penasaran siapakah yang menghubunginya. Nama Gery tertera di sana. Ia mengernyit heran, seingatnya ia tidak pernah kenal dengan seseorang bernama Gery. Apalagi nama itu ada di dalam ponselnya tiba-tiba.
“Ini Gerald, om gantengnya Kia. Kamu lupa?”
“Eh, Mas Gerald ya. Aku kira siapa. Soalnya di kontak aku namanya Gery.” Shasha menjawab dengan menggigit-gigit pipi dalamnya demi menghilangkan kegugupan. Namun dirinya masih kebingungan, kenapa nama Gerald di ponselnya adalah Gery.
“Kaget ya kamu. Saya sengaja simpan nomor saya pakai nama Gery. Anggap saja itu panggilan sayang kamu untuk saya, Shasha. Selamat menikmati sore yang indah mommy bear-nya Kia.”
Shasha bergidik ngeri setelah tahu siapa yang meneleponnya itu. Lelaki yang membuat dirinya salah tingkah sejak beberapa hari yang lalu. Karena gugup, Shasha langsung memutus panggilan itu. Ponselnya pun sengaja ia matikan. Sekarang ia sedang meringkuk di bawah selimutnya. Pipinya juga memerah malu.
Senin pagi tiba, Shasha cepat-cepat turun dari taksi dan masuk ke dalam sekolah. Disapanya Pak Amet, satpam yang sudah mengenalnya sejak ia kecil itu. Ia berlari meminta Pak Amet jangan menutup pintu gerbang dahulu. Saat masuk ke dalam sekolah, di lapangan depan semua guru dan murid sudah berbaris rapi. Upacara yang sebentar lagi akan dimulai membuat Shasha hanya bisa tersenyum sungkan kepada barisan guru yang ada di pojok kanan lapangan. Gadis itu segera menyusul mereka tanpa meletakkan tasnya di ruang guru.
Baru saja lima menit upacara dimulai. Salah satu murid Shasha—Yuri, tiba-tiba jatuh pingsan. Refleks Shasha berteriak dan menggendongnya ke ruang kesehatan. Mbak Sari, petugas kesehatan segera menanganinya. Gadis itu gugup dan bingung melihat wajah Yuri yang pucat. Ia pun segera menghubungi Ibu Yuri. Beruntung, Ibu Yuri segera mengangkat panggilannya dan akan segera sampai ke sekolah untuk menjemput Yuri.
“Anak-anak, kita doain Yuri, ya. Semoga Yuri cepet sembuh.”
Shasha mengajak anak-anak untuk mendoakan kesembuhan Yuri. Anak-anak ttu menurut dan berdoa bersama. Lalu Shasha meminta mereka membuka buku berhitung. Hari ini mereka akan belajar berhitung satu sampai sepuluh. Gadis itu pun memutar video menyanyi dan berhitung. Gerakan itu diikuti oleh anak-anak dengan ceria.
Mereka bernyanyi, berhitung, dan menari bersama. Tubuh gembul mereka bergoyang mengikuti irama yang ada. Membuat Shasha tersenyum simpul. Direkamnya aksi anak-anak itu dan dikirimnya ke grup wali murid sebagai laporan hariannya. Setelah selesai Shasha memasukkan ponselnya dan ikut menari bersama anak-anak.
Jarum jam menunjukkan pukul sepuluh. Anak-anak kelas bear sekarang sedang mengikuti kelas musik. Khusus untuk kelas ini, bukan Shasha yang mendampingi, namun guru musik bernama Bu Wina. Umurnya hanya beda dua tahun dari Shasha. Potongan rambut mereka pun sama, sehingga kadang orang-orang salah mengenali mereka dari belakang.
Dikarenakan ada beberapa pertanyaan yang akan ia ajukan kepada Raja, ia meminta izin membawa Raja dari kelas musik Bu Wina. Saat ini Shasha kembali masuk ke ruang konsultasi. Digandengnya Raja dan didudukkannya di sofa. Gadis itu mengeluarkan kertas dan pulpen sebelum mulai bertanya kepada Raja.
“Raja, boleh Miss tanya sesuatu?” Raja hanya mengangguk singkat menanggapi pertanyaan Shasha.
“Kemarin Miss denger Raja dipukul Papa?” Shasha bertanya dengan suara pelan tidak ingin membuat Raja merasa tidak nyaman.
Kali ini Raja menatap matanya. Mulutnya masih bungkam. Ia menunduk seakan menghindari Shasha. Gadis itu pun meyakinkan Raja bahwa bercerita adalah hal yang menyenangkan. Shasha juga mengatakan bahwa dia akan membantu Raja agar sang papa tidak memukulnya. Asalkan Raja menceritakan semuanya pada Shasha.
“Bukan Cuma Papa yang pukul Raja, Mommy bear. Mama juga pukul Raja. Di sini, di sini, terus di sini.” Bocah itu menunjuk tangan, kaki, dan pantatnya.
“Kemarin Mama jewer Raja. Mama juga cubit Raja. Sakit, Mommy bear…”
Raja menatap Shasha sendu. Tatapan sengitnya tadi telah hilang diganti dengan mata yang berkaca-kaca. Dipeluknya Shasha yang kini termenung. Gadis itu mendekap Raja erat dan menenangkannya. Diusapnya kepala anak itu berulang kali.
“Papa sama Mama gak sayang Raja. Papa sama Mama Jahat!” Bocah itu terisak pelan di pelukan Shasha. Mengoceh berkali-kali tentang perbuatan orang tuanya. Gadis itu tak bisa berkata apa pun. Ia hanya bisa menenangkannya.
“Jangan sedih lagi, Raja. Mama sama Papa sayang, kok sama Raja. Nanti Miss bakal buat Mama sama Papa Raja gak pukul-pukul lagi. OK?”
Raja tersenyum ceria dan mengecup pipi Shasha sekilas. Lalu bocah laki-laki itu segera berlari ke luar ruangan meninggalkan Shasha yang membeku. Gadis itu pun tersenyum dan menggelengkan kepalanya.
Karena kelas terakhir bukan ia yang mengajar, Shasha memilih untuk mengerjakan laporan perkembangan siswa di mejanya. Walau baru dua minggu ini gadis itu mengajar, ia lebih memilih mencicil pekerjaannya daripada harus lembur di akhir bulan.
Dibukanya lembar demi lembar catatannya selama dua minggu ini. Juga foto dokumentasi yang selalu diambilnya di setiap kegiatan untuk dilampirkan dalam laporan bulanannya. Ia pun tersenyum melihat foto-foto menggemaskan itu. Diingatnya kembali saat ia memotret tingkah lucu mereka.
Shasha sengaja pulang terlambat. Semua guru sudah pulang sejak dua jam yang lalu. Tadi ia mengunduh banyak video pembelajaran anak usia dini di laptopnya. Ditambah beberapa video youtube di ponselnya. Namun tidak ada satu pun video Gerald yang ia unduh. Padahal biasanya video lelaki itu yang selalu ia tonton. Karena Shasha tidak kuat menahan malu saat wajah lelaki itu terpampang nyata di layar ponselnya. Bayangan senyum dan kedipan matanya yang genit serta suaranya di telepon kala itu membuat Shasha tak berhenti memerah.
Dipesannya taksi online yang biasa ia pakai. Kakinya melangkah ke luar pintu ruang guru. Ditentengnya tas laptop di tangan kanannya. Namun saat ia melewati taman bermain, Shasha melihat anak laki-laki sedang duduk di ayunan. Ia kenal benar anak itu. Anak yang sampai saat ini masih bersikap dingin kepadanya. Namanya Bian.
“Bian, kamu belum dijemput, Sayang?”
Shasha menghampirinya dan duduk di sebelahnya. Sedangkan anak itu hanya menjawab pertanyaan Shasha dengan gelengan. Beberapa kali gadis itu mencoba mengajak Bian berkomunikasi. Namun Bian sama sekali tidak mengacuhkannya. Gadis itu menghembuskan napas berulang kali lalu melirik jam tangannya. Gak mungkin aku tinggalin Bian sendirian. Shasha mengecek kembali ponselnya yang berdering, telepon dari sopir taksi yang ia pesan tadi.
“Bian mau Miss anterin pulang, ya? Udah mau sore ini.”Shasha membujuk Bian.
“Nggak usah Miss. Ayah janji mau jemput Bian.”
Shasha pun membujuk Bian. Ia mengatakan bahwa Ayah Bian sudah menunggu Bian di rumah. Bocah itu akhirnya mau ikut pulang bersama Shasha. Di dalam taksi pun Bian hanya memandang ke luar jendela. Shasha yang tidak tahu rumah Bian pun segera mengambil biodata yang ada di tasnya.
“Kita ganti tujuan ke Pasar Minggu ya, Pak.”
Setelah empat puluh menit, mereka akhirnya sampai di depan rumah Bian. Diantarkannya bocah itu sampai di depan gerbang. Namun setelah berkali-kali memencet bel, tidak ada seorang pun yang membuka gerbang.
“Miss, semua orang hari ini libur. Gak ada orang di rumah.”
Bian berbicara pelan sambil menunduk. Ia takut Shasha marah karena ia tidak mengatakannya dari tadi. Shasha yang mendengar pernyataan Bian akhirnya membayar taksi itu dan memilih menemani Bian di depan gerbang rumahnya.
Lima menit mereka menunggu, datang sebuah mobil hitam dengan kecepatan tinggi. Shasha terkejut mendengar suara pintu mobil terbanting keras. Di depannya ia melihat laki-laki dewasa yang menggetarkan jiwa perempuannya. Walau rambutnya berantakan dan kemeja putihnya kusut, sama sekali tidak mengurangi kadar ketampanannya.
Shasha terpana melihat badan tegapnya dengan kulit kecoklatan dan juga cambang tipis di wajahnya. Namun kekagumannya sirna seketika. Ia yang mendengar lelaki itu memarahi Bian dengan intonasi yang cukup keras ikut terbawa emosi.
“Ayah kan udah bilang, Bian. Tunggu Ayah! Kamu malah udah sampe rumah! Ayah bingung cariin kamu!”
Bian mengambil kunci dari tangan ayahnya dan segera berlari masuk ke dalam rumah. Sedangkan ayah bocah laki-laki itu mengacak rambutnya frustasi. Shasha benar-benar tidak terima lelaki itu memarahi Bian.
“Maaf, Bapak kalau saya ikut campur. Seharusnya Bapak tidak memarahi Bian karena saya yang memaksa Bian untuk pulang.”
Shasha melangkah ke depan Rangga—Ayah Bian. Menatapnya berani. Rangga yang sepertinya baru menyadari kehadiran Shasha hanya bisa menghembuskan napas. Wajahnya diraup kasar sebelum menatap Shasha dengan perasaan jengah. Gadis itu menyadari mungkin lelaki ini sedang lelah, namun Shasha juga tak bisa melakukan apa-apa. Mau menasihati pun rasanya percuma.
“Perkenalkan, nama saya Kanasha Rifani, penanggung jawab kelas Bian.” Rangga mengangguk dan menerima jabatan tangan Shasha.
“Saya Ranggana Hernanta, Ayah Bian.”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 20 Episodes
Comments