Bulan Luminya - III

Komunikasi jarak jauh dengan Jellal baru saja berakhir. Tuan mereka telah memberikan perintah yang jelas, penduduk desa kecil itu harus dihancurkan tanpa ampun.

Selene menoleh ke samping. Dalam bayangan di sudut ruangan, sosok tinggi berjubah kelam melangkah keluar dengan gerakan yang tenang namun mengintimidasi.

Velka, Penyihir Kematian, menatap Selene dengan mata berpendar kehijauan. Tengkorak di ujung tongkat sihirnya bergetar, seolah mendengar bisikan dari alam kematian.

"Aku memanggilmu bukan tanpa alasan, Velka," kata Selene, suaranya terdengar ringan, namun memiliki ketajaman yang tersembunyi. "Tuan Jellal ingin penduduk desa manusia itu dimusnahkan. Kita tidak bisa membiarkan mereka mengira bisa menentang Araksha tanpa konsekuensi."

Velka menyeringai samar. "Dan kau ingin aku menyediakan alat penghancurnya, bukan?"

Selene melangkah mendekat, jemarinya yang ramping menyentuh dagunya seolah berpikir. "Aku ingin sesuatu yang lebih dari sekadar pasukan biasa… Aku ingin kehancuran yang akan menghantui ingatan mereka sebelum ajal menjemput."

Velka tertawa pelan, suaranya serak seperti bisikan kematian. "Permintaan yang menarik… dan tentu saja, sangat mungkin untuk diwujudkan."

Dengan gerakan lambat, Velka mengangkat tongkatnya. Udara di sekelilingnya bergetar, energi gelap mulai merayap dari lantai, membentuk pusaran bayangan yang berkelok-kelok seperti kabut hidup. Baginya ini adalah kemampuan basic tanpa mantra special.

Lalu, suara gemuruh terdengar dari tanah di luar istana.

Selene berbalik, menatap keluar jendela besar. Di halaman hitam yang luas, tanah mulai bergetar, seolah sesuatu sedang berusaha menerobos keluar dari perut bumi.

Retakan-retakan berwarna hijau pucat menyebar di tanah, diikuti oleh suara jeritan hampa yang berasal dari dunia lain.

Dan kemudian, mereka muncul.

Makhluk-makhluk itu bangkit satu per satu, sosok ksatria berbaju zirah hitam legam, tubuh mereka terselimuti kabut pekat. Namun, yang paling mengerikan bukanlah mereka, melainkan tunggangan mereka.

Mereka menunggangi kuda tanpa kepala, makhluk neraka yang tubuhnya tertutup luka menganga dengan nyala hijau yang berkobar dari dalam. Nafas mereka menghembuskan kabut beracun, dan suara derap kaki mereka terdengar seperti genderang perang kematian.

Velka menatap ciptaannya dengan rasa puas. "Para Ksatria Kegelapan ini adalah makhluk abadi. Mereka tidak akan berhenti sampai semua manusia di desa itu habis tak bersisa."

Selene tersenyum sinis, matanya berbinar dengan kegembiraan. "Bagus… Tuan Jellal pasti akan senang."

Ia melangkah maju, mengangkat tangannya dan memberi perintah dengan suara dingin.

"Majulah… dan buatlah mereka menyesali keberadaan mereka."

Tanpa ragu, Ksatria Kegelapan mengangkat pedang mereka yang berkilauan dengan energi kutukan, lalu melesat menuju kegelapan malam.

Suara derap kuda tanpa kepala menggema di sepanjang tanah yang tandus, membawa kematian bagi siapa pun yang malang berada di jalur mereka.

Malam itu terlalu sunyi.

Angin malam berhembus pelan, membawa hawa dingin yang menyelusup ke dalam tulang. Bulan tertutup awan kelam, menyisakan kegelapan yang hanya diterangi oleh lentera-lentera kecil yang dibawa para pengungsi.

Shion menunggangi kudanya, Solis, yang melangkah perlahan di depan barisan. Di belakangnya, puluhan penduduk berjalan dalam kelelahan, sebagian besar wanita dan anak-anak. Elder Garrick berada di tengah-tengah mereka, memastikan tidak ada yang tertinggal.

Di depan barisan, Luna, Reiner, dan Lucy memimpin para ksatria dalam formasi ketat. Mereka selalu waspada, karena perjalanan menuju Valderia ini jauh dari kata aman.

Dan benar saja…

Suara aneh tiba-tiba terdengar dari dalam hutan.

Bunyi langkah berat bergema, disertai suara tarikan napas kasar yang tidak berasal dari manusia. Pepohonan di sekitar mereka bergoyang, bayangan-bayangan aneh bergerak di antara kegelapan.

Luna segera mengangkat tangannya, memberi tanda berhenti. "Semua bersiap!" serunya.

Para ksatria segera menarik pedang mereka. Penduduk mulai gemetar ketakutan.

Shion, yang berada di bagian belakang bersama Aria, menyipitkan mata. "Ini bukan monster biasa..."

Dan kemudian, mereka muncul.

Dari dalam hutan, sosok-sosok tinggi mengendarai kuda tanpa kepala. Kuda-kuda itu tidak bergerak seperti makhluk hidup, melainkan seperti boneka terkutuk yang digerakkan oleh kekuatan tak terlihat. Mata mereka kosong, tubuh mereka diselimuti kabut gelap.

Di atas mereka, duduk para Ksatria Kegelapan, zirah hitam mereka memancarkan aura dingin, mata mereka bersinar merah di balik helm gelap.

Jumlah mereka tidak banyak… hanya lima.

Tapi atmosfer yang mereka bawa…

Terasa seperti kematian itu sendiri.

"SIAPA KALIAN?!" teriak Luna, suaranya tegas meski ada sedikit ketegangan.

Tak ada jawaban.

Salah satu ksatria kegelapan mengangkat pedangnya yang berselimut kabut hitam. Begitu pedang itu bergetar di udara, angin kencang menerjang barisan mereka.

"MEREKA MENYERANG!!" Luna berteriak.

Ksatria Luminara langsung maju, pedang mereka berkilauan tajam.

Namun…

Saat serangan pertama mendarat, tidak ada suara logam beradu.

Sebaliknya, saat pedang para ksatria menebas tubuh makhluk-makhluk itu, tubuh mereka hanya terbelah sesaat… sebelum menyatu kembali.

"M-Mustahil!" seru salah satu ksatria.

Luna menggigit bibirnya. "Mereka tidak bisa mati begitu saja…!"

Reiner, yang berada di garis depan, meraung keras. "Kalau begitu, aku akan menghancurkan mereka berkeping-keping!"

Dengan tubuh besarnya, ia melompat ke depan dan mengayunkan pedangnya dengan kekuatan penuh. Tebasannya benar-benar membelah salah satu ksatria kegelapan menjadi dua.

KRAAK!!

Tubuh ksatria itu jatuh ke tanah.

Reiner menghela napas, puas. "Hah! Begitu saja?"

Namun…

Sesuatu yang mengerikan terjadi.

Potongan tubuh ksatria itu bergerak sendiri. Kabut hitam mengalir seperti racun yang mengalir di udara… dan dalam hitungan detik, tubuhnya menyatu kembali.

"Apa…?" Mata Reiner membelalak.

Luna terkejut. "Mereka… abadi?!"

Para penduduk mulai berteriak panik. Suara ketakutan memenuhi udara.

Di kejauhan, dari atas Solis, Shion tetap diam.

Ia mengamati.

Matanya yang tajam melihat detail yang tidak disadari orang lain.

"Bukan… mereka bukan abadi."

Shion berbisik pelan, tangannya dengan lembut menepuk kepala Aria yang kini memeluknya erat.

"Mereka… memiliki kemampuan pemulihan yang cepat."

Malam ini, darah akan mengalir lagi.

Dan Shion tahu, hanya dirinya yang bisa mengakhirinya.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!