Bulan Araksha - IX

Matahari mulai merunduk di cakrawala, melukiskan langit dengan semburat jingga dan emas. Jalanan berbatu di depan Serikat Petualang masih cukup ramai, tetapi Jellal dalam wujud penyamarannya sebagai Asher dan Selvhia dengan nama Sylvia sudah berdiri di sudut yang lebih sepi, menanti kelompok Cahaya Pedang.

Jellal tampak santai, kedua tangannya bersedekap sementara tatapannya tetap tenang di balik topengnya. Namun, Selvhia berbeda. Matanya penuh kebencian setiap kali mengingat bagaimana kelompok itu memperlakukan tuannya. Terutama Niall, manusia arogan yang merasa lebih tinggi dari yang lain, dan Darian, pria menjijikkan yang mengganggu harga dirinya.

"Aku bisa membantai mereka sekarang juga," gumam Selvhia dengan suara rendah, nyaris tidak terdengar.

Jellal menoleh sedikit, ekspresinya tetap datar. "Kekuatan Araksha muncul dari kebencian manusia, jangan lupa bahwa mereka juga adalah sumber energi untuk kita, Selvhia," ujarnya lembut.

Tepat saat itu, pintu Serikat terbuka. Niall melangkah keluar lebih dulu, diikuti Darian dan Heldric.

"Mari kita mulai perjalanan ini," kata Niall dengan nada perintah.

Jellal mengangguk tanpa banyak bicara. Dia berjalan mengikuti mereka, sementara Selvhia tetap di sisinya, diam, tetapi dalam kepalanya sudah menyusun berbagai cara untuk menyiksa manusia-manusia itu jika mereka berani melewati batas.

Langkah mereka menggema di jalan berbatu saat meninggalkan kota dan memasuki jalur menuju hutan luar. Cahaya matahari yang perlahan memudar menambah suasana senja yang sedikit melankolis, namun bagi Jellal, ini adalah momen yang sempurna untuk mengamati kelompok Cahaya Pedang lebih dalam.

Niall berjalan di depan, penuh percaya diri, sementara Darian dan Heldric di belakangnya. Seiring perjalanan, Niall melirik ke arah Jellal dan mulai berbicara.

"Jadi, Asher," katanya dengan nada santai yang dibuat-buat. "Aku dengar kau sudah mencapai tingkat petualang Orichalcum. Itu cukup mengesankan… dan mencurigakan. Bagaimana mungkin seseorang sepertimu tidak dikenal di seluruh Kerajaan Zenithra?"

Jellal, yang sudah memperkirakan pertanyaan semacam ini, tetap tenang. Dia tersenyum samar di balik topengnya. "Aku lebih suka bekerja di balik bayangan," jawabnya, suaranya dalam dan berwibawa. "Popularitas bukanlah tujuanku. Aku mengejar hasil, bukan pengakuan."

Niall mengangkat alisnya, tampak sedikit tertarik dengan jawaban itu. "Hm… pandangan yang menarik. Terlalu banyak petualang yang bisanya hanya mengejar nama tanpa mengukur kemampuannya."

Namun, dari samping, Darian tertawa kecil. "Tapi tetap saja, ini aneh. Kau punya bakat dan pengalaman, tapi memilih tetap di bawah radar? Seperti seseorang yang menyembunyikan sesuatu."

Jellal menatap Darian sejenak, lalu tersenyum kecil. "Mungkin," katanya ringan. "Atau mungkin aku hanya memilih hidup yang lebih sederhana."

Darian hanya mengangkat bahunya, tetapi jelas dia masih memiliki kecurigaan tersendiri.

Selama perjalanan, Darian tampaknya mulai kehilangan minat pada Jellal dan malah beralih ke Sylvia. Dia melirik gadis berambut putih perak itu dengan tatapan yang penuh kelicikan.

"Sylvia, kan?" katanya dengan nada menggoda. "Apa kau selalu setia mengikuti Asher ke mana pun dia pergi? Kedengarannya seperti pekerjaan yang melelahkan."

Selvhia menatapnya tanpa ekspresi, meskipun di dalam hatinya, dia merasa jijik. "Aku melakukan tugasku. Itu saja," jawabnya datar.

Namun, Darian tampaknya semakin tertarik dengan sikap dingin Selvhia. Dia tersenyum miring, melanjutkan provokasinya. "Tapi kau pasti punya pemikiran sendiri, kan? Tidak bosan menjadi suruhan seseorang? Mungkin kau lebih cocok dengan seseorang yang bisa membuatmu… lebih menikmati hidup?"

Ucapan itu, beserta nada suaranya yang penuh kepongahan, membuat Selvhia muak. Dia merasa seperti ingin meremukkan tengkorak pria itu dengan tangannya sendiri. Namun, dia masih menghormati keinginan Jellal.

Jadi, dengan suara pelan, hanya cukup untuk didengar oleh tuannya, dia berbisik dengan penuh kebencian.

"Dasar cacing tanah."

Jellal, yang selalu memperhatikan pelayannya dengan saksama, menyadari perubahan sikap Selvhia. Dengan gerakan halus, dia meletakkan tangan di lengan gadis itu, menghentikannya sebelum amarahnya lepas kendali.

"Ingat posisi kita, Sylvia," katanya lembut, tetapi ada ketegasan dalam suaranya. "Kita harus menghormati mereka, bahkan ketika mereka tidak menghormati kita. Kau harus memahami itu."

Selvhia terdiam, meskipun matanya masih penuh amarah. Namun, jika itu perintah tuannya, dia akan menaatinya. Dia menundukkan kepalanya sedikit. "…Ya, Tuan."

Sementara itu, Niall yang sejak tadi memperhatikan interaksi mereka akhirnya menghentikan langkahnya. Dia menatap Darian dengan tatapan tajam yang penuh ketidakpuasan.

"Darian," katanya, suaranya rendah tetapi mengandung ancaman, "Kita di sini untuk menyelesaikan misi, bukan untuk bermain-main. Jika kau tidak bisa menghormati rekan kita, lebih baik kau tutup mulut."

Darian tampak sedikit kaget karena ditegur di depan semua orang. Heldric, yang berdiri di sampingnya, hanya tertawa kecil dan menepuk pundaknya.

"Kau lebih baik berhenti sekarang, Darian," katanya santai. "Jika kau terus menggoda Sylvia, mungkin kau tidak akan bangun besok pagi."

Darian menggerutu kecil tetapi akhirnya memilih diam.

Selvhia, yang biasanya membenci manusia secara keseluruhan, terkejut mendapati dirinya sedikit menghargai kata-kata Niall. Setidaknya pemimpin mereka memiliki wibawa dan disiplin, meskipun dia tetap seorang manusia menjijikkan di matanya.

Malam merayap perlahan di perbatasan hutan, menyelimuti dunia dalam bayangan kelam. Angin dingin berdesir di antara pepohonan, membawa bisikan samar yang entah berasal dari hembusan malam atau sesuatu yang lebih menyeramkan. Di bawah langit yang gelap, sekelompok petualang bergerak dalam diam, langkah mereka nyaris tak bersuara di atas tanah berlapis daun kering.

Sepanjang perjalanan, Niall terus berbincang dengan Asher, terbuai oleh kisah-kisah heroik yang Jellal ciptakan untuk menutupi kebenaran tentang dirinya.

"Kau penuh kejutan, Asher," ujar Niall, matanya bersinar dengan ketertarikan. "Kau punya pengalaman luar biasa, meski jarang terlihat di sekitar sini. Aku senang kita punya sekutu sepertimu."

Jellal hanya tersenyum samar di balik topengnya, membiarkan kebohongan itu mengakar lebih dalam. Sementara itu, Sylvia tetap diam, tatapannya penuh kebencian setiap kali menatap kelompok petualang manusia di hadapannya.

Baginya, manusia adalah makhluk lemah yang tahu berbicara besar. Mereka licik, egois, dan hanya berpikir untuk kepentingan mereka sendiri. Dia bisa merasakan hawa tubuh mereka, panas, menjijikkan. Jika bukan karena perintah tuannya, dia sudah lama menghabisi mereka tanpa ragu.

Ketika mereka mendekati perbatasan, Niall mengangkat tangannya sebagai isyarat untuk berhenti.

"Kita sudah mendekati markas mereka," bisiknya. "Tetap waspada. Mereka mungkin mengintai."

Hening. Terlalu hening.

Jellal merasakan sesuatu yang ganjil. Udara dipenuhi ketegangan yang tidak wajar, seperti saat malam menjelang badai. Lalu, tiba-tiba—

SWOOSH!

Sosok-sosok berkerudung muncul dari kegelapan, menyerbu dengan kecepatan luar biasa. Sepuluh orang dengan jubah keagamaan, wajah mereka tertutup kain, mata mereka berkilat dengan cahaya berbahaya. Mereka tidak berteriak, tidak memberikan peringatan, hanya menyerang dengan brutal.

"SERANGAN!" teriak Niall, segera mencabut pedangnya.

Pertempuran pecah dalam sekejap. Pedang beradu dengan dentingan nyaring, senjata berkelebat di udara, dan jeritan terdengar ketika darah pertama kali mengotori tanah. Niall, Darian, dan Heldric menunjukkan keahlian mereka sebagai petualang berpengalaman, mereka bertarung dengan efektif, memanfaatkan pengalaman bertahun-tahun.

Jellal bergerak seperti bayangan, menghindari setiap serangan dengan mudah, tangannya meluncurkan serangan balik yang mematikan. Namun, dia menahan diri, menyesuaikan kekuatannya agar tidak menarik perhatian. Pedangnya hanya menyerang bagian vital dengan ketepatan luar biasa, cukup untuk melumpuhkan, tetapi tidak membunuh secara terang-terangan.

Sebaliknya, Sylvia tidak menahan diri.

Pedangnya meluncur dengan kecepatan mengerikan, menebas satu demi satu musuh tanpa ampun. Setiap gerakan adalah tarian kematian yang mematikan. Dalam satu tebasan, dia membelah tubuh seorang musuh hingga darah menyembur ke tanah. Wajahnya tetap tanpa ekspresi, seolah membunuh hanyalah tindakan biasa baginya.

Namun, ada sesuatu yang mengganggunya, musuh-musuh ini tidak menggunakan sihir.

Mereka Sekte Penyihir Bintang, tetapi mereka hanya bertarung dengan senjata biasa. Tidak ada mantra, tidak ada kutukan, tidak ada energi arcana yang terpancar dari tubuh mereka.

"Ini aneh…" pikir Jellal, matanya mengamati dengan seksama.

Lalu—

SHINK!

Sebuah pedang terangkat tinggi dari belakang Jellal, siap menebasnya dalam satu serangan mendadak. Namun sebelum pedang itu bisa mengenai tuannya—

CRACK!

Sylvia muncul dalam sekejap, menangkis serangan itu dengan kekuatan luar biasa. Dentingan logam memenuhi udara, dan dalam satu gerakan cepat, dia menghunus pedangnya ke leher musuh.

SLASH!

Tebasan itu sehalus sutra. Kepala pria itu terpisah dari tubuhnya, jatuh ke tanah dengan bunyi tumpul. Darah menyembur, membasahi sedikit jubah Sylvia.

Dia menatap mayat itu dengan ekspresi dingin, lalu menggerutu rendah, suaranya penuh penghinaan.

"Serangga menjijikkan… Kau pikir bisa menyentuh tuanku?"

Darian, yang melihat adegan itu, hanya bisa menelan ludah. Beberapa saat lalu dia sempat mencoba menggoda Sylvia dan kini, dia sadar bahwa perempuan itu bukan cuma kuat, tetapi juga mengerikan.

Sisa anggota sekte yang masih hidup melarikan diri ke dalam hutan, meninggalkan teman-teman mereka yang telah tumbang.

Niall menghela napas lega, pedangnya masih berlumuran darah. "Kerja bagus, semuanya," katanya, menepuk bahu Darian dan Heldric. Lalu dia menoleh ke arah Asher dan Sylvia. "Aku harus mengakui, kalian sangat terampil. Aku melihat bagaimana Sylvia melindungimu, Asher. Loyalitas yang luar biasa."

Jellal hanya mengangguk ringan, menyembunyikan ekspresi puas di balik topengnya.

Sementara itu, Darian akhirnya mengumpulkan keberaniannya untuk berbicara. "Tebasanmu cukup tajam, Sylvia," katanya dengan senyum kecil namun ada sedikit kegugupan di dalamnya.

Sylvia hanya menatapnya sekilas. Tidak ada penghargaan, tidak ada rasa hormat.

Dia tidak menjawab, hanya melangkah pergi, mendekati Jellal seperti bayangan yang selalu berada di sisinya. Baginya, manusia seperti Darian hanyalah makhluk lemah yang tidak layak mendapat respons.

Niall menatap hutan yang semakin gelap di depan mereka. "Aku ragu ini adalah kekuatan penuh Sekte Penyihir Bintang. Ini hanya serangan awal," katanya. "Kita harus tetap waspada. Kita akan bergerak ke dalam markas mereka setelah beristirahat sejenak."

Di belakang mereka, Sylvia berdiri di samping Jellal, matanya masih dipenuhi kebencian.

"Tuanku," bisiknya pelan. "Aku lelah melihat manusia-manusia ini."

Jellal hanya tersenyum kecil..

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!