Malam semakin larut ketika kelompok Cahaya Pedang dan Asher beristirahat di tepi hutan. Suasana sunyi hanya diiringi gemerisik dedaunan yang bergoyang tertiup angin malam. Udara dingin menyelimuti mereka, namun ketenangan itu mendadak terpecah oleh suara ledakan dahsyat yang mengguncang seluruh hutan.
BOOM!
Kilatan cahaya merah terang membelah gelapnya malam, bersumber dari arah sungai yang tidak jauh dari tempat mereka singgah.
"Apa itu?!" Heldric langsung berdiri dengan pedang terhunus, matanya tajam menatap ke arah datangnya suara.
Niall segera memberi isyarat kepada timnya. "Kita harus memeriksa! Itu dari arah sungai!"
Tanpa membuang waktu, mereka semua bergerak menuju sumber ledakan, berlari di antara pepohonan yang diterangi sinar bulan.
Ketika mereka tiba di tepi sungai, pemandangan mengerikan menyambut mereka.
Di tanah, sebuah pentagram raksasa bercahaya merah menyala, terukir di antara bebatuan dan tanah lembab. Di tengahnya, tumpukan mayat anggota Sekte Penyihir Bintang tergeletak dalam kondisi mengenaskan, tubuh mereka hancur, memar, dan beberapa tampak menghitam akibat terbakar energi gelap.
Namun, yang paling mencolok adalah sosok berjubah hitam yang melayang di atas pentagram. Jubahnya berkibar diterpa angin malam, tudungnya menutupi wajahnya, hanya menyisakan aura kegelapan yang begitu pekat hingga udara di sekitarnya terasa berat.
Velka.
Penyihir Agung dari Kerajaan Kegelapan.
Makhluk yang ditakuti bahkan oleh mereka yang berkecimpung dalam dunia sihir gelap.
Niall menelan ludah, dadanya bergemuruh oleh ketakutan yang mulai menjalar. "Sial..." bisiknya pelan.
Di sebelahnya, Heldric menggeram. "Kita seharusnya hanya menginvestigasi markas mereka, bukan masuk terlalu dalam seperti ini!"
Namun, rasa penasaran sudah menguasai Niall. Tatapannya terpaku pada Velka, yang tampak menikmati kekacauan yang baru saja diciptakannya.
"Aku harus tahu siapa dia..." gumamnya dalam hati.
Saat itu juga, Velka menyadari kehadiran mereka. Ia melirik ke arah mereka, lalu mengangkat tangannya dengan gerakan anggun, seolah-olah hanya mengangkat secuil debu.
Dari telapak tangannya, energi gelap mulai berputar, membentuk pusaran yang berdenyut seperti jantung yang baru terbangun.
Velka berbisik dalam bahasa Araksha yang tidak bisa dipahami manusia biasa, suara dingin yang menggema di udara, seakan berasal dari kegelapan itu sendiri.
WUSHH!
Serangan energi gelap melesat ke arah kelompok Cahaya Pedang, kecepatan dan kekuatannya membuat mereka tak sempat bereaksi.
Namun—
Sebuah gelombang energi tiba-tiba muncul dari samping.
Sylvia telah melangkah maju, tangannya terangkat, memancarkan dinding energi biru kehitaman yang menghantam balik serangan Velka.
CRACK!
Tabrakan kekuatan itu menciptakan percikan cahaya gelap sebelum akhirnya mereda.
Namun, Sylvia tidak berniat menyelamatkan Cahaya Pedang. Gerakannya hanyalah sinyal kepada Velka, pertanda bahwa Tuannya terlibat dalam situasi ini.
Velka melirik Sylvia dengan penuh ketertarikan. Begitu melihat energi yang dikeluarkan gadis itu, ia langsung mengerti.
Senyum tipis muncul di balik bayangan tudungnya.
"Hmph… Jadi kau juga di sini, Tuanku."
Meskipun hanya Velka dan Jellal yang memahami makna kata-katanya, aura penghormatan tersembunyi tersirat dalam nada suaranya.
Sementara itu, kelompok Cahaya Pedang hanya bisa terdiam.
Darian, yang biasanya suka menggoda Sylvia, kini menatapnya dengan rasa hormat.
"Dia… dia baru saja menyelamatkan kita," gumam Darian tidak percaya.
Namun sebelum mereka bisa bereaksi lebih jauh, seseorang melangkah maju dengan tenang.
Jellal.
Dengan ekspresi yang tetap tenang dan penuh kontrol, dia menoleh pada Niall yang masih terdiam dalam kebingungan.
"Kalian tidak akan mampu menghadapi penyihir itu," ujar Jellal, suaranya rendah namun sarat dengan otoritas yang tak bisa ditolak. "Kekuatan dia jauh melampaui batas kalian."
Niall mengepalkan tinjunya, masih berusaha menilai situasi. "Siapa sebenarnya dia?" tanyanya dengan cemas.
Jellal menatapnya sekilas sebelum menjawab dengan nada dingin.
"Dia adalah musuh lama kami. Seorang monster kegelapan yang kekuatannya tak terbayangkan. Kami yang akan menghadapinya. Ini bukan pertarungan untuk kalian."
Velka, yang berdiri di atas pentagram, mendengar percakapan itu dan menyeringai. Ia tahu bahwa Jellal hanya berpura-pura menjadi musuhnya di depan kelompok Cahaya Pedang. Namun, ia memilih untuk ikut bermain dalam sandiwara ini.
Perlahan, ia melayang turun, kakinya menyentuh tanah dengan kesan anggun.
Mata tajamnya tetap tertuju pada Jellal.
"Jadi..." Velka mulai berbicara, suaranya tenang, tetapi penuh intimidasi. "Apa yang membawamu ke sini, Asher? Mengapa kau dan temanmu terlibat dalam urusan kecil ini?"
Jellal tetap berdiri tegak, menyembunyikan identitas aslinya di balik nama samaran.
"Aku bisa bertanya hal yang sama padamu, Penyihir Lemah," balasnya datar, sengaja menekankan kata terakhir.
Sebagian besar orang akan menggigil mendengar nada merendahkan itu, tetapi Velka hanya tertawa kecil. Suara tawanya bergema seperti bisikan kegelapan yang menari di udara.
"Ujian," jawabnya santai, matanya melirik mayat-mayat di sekitarnya. "Aku hanya ingin menguji kemampuan mereka. Tapi ternyata..." ia menghela napas seolah kecewa, "...mereka sangat lemah. Sangat mengecewakan. Aku mengharapkan lebih."
Velka mengangkat tangannya, menunjuk ke pentagram yang bercahaya di bawah kakinya.
"Bahkan dengan semua ritual mereka, mereka tidak mampu menghadapi kekuatanku."
Jellal mengangguk pelan, berpura-pura mempertimbangkan kata-kata Velka.
"Mereka memang tidak sebanding dengan kekuatanmu," katanya datar.
Namun, tatapan matanya tetap tajam, menilai setiap gerakan sekecil apa pun dari Velka.
Niall, yang berada di belakang Jellal, mendengar percakapan itu dengan kebingungan yang semakin dalam. Dia tidak tahu siapa Velka atau seberapa kuat penyihir ini, tetapi satu hal yang jelas baginya, pertarungan ini bukan sesuatu yang bisa dimenangkan oleh kelompoknya. Meskipun harga dirinya sebagai pemimpin merasa tertantang, dia sadar bahwa ini jauh di luar kapasitas mereka.
Velka kemudian menatap langsung ke arah Niall dan kelompoknya, senyum tipis tersungging di wajahnya.
"Apakah kalian berencana untuk bertarung?" tanyanya dengan nada mengejek. "Karena kalau begitu, aku akan dengan senang hati menunjukkan betapa tidak berartinya kalian."
Sebelum Niall bisa menjawab, Jellal melangkah maju, auranya tetap tenang dan terkontrol.
"Itu tidak perlu," katanya dengan nada diplomatis. "Mereka bukan lawan yang pantas untukmu. Biarkan mereka pergi. Ini antara kita."
Velka memiringkan kepalanya sedikit, memperhatikan Jellal sejenak sebelum akhirnya terkekeh kecil.
"Ah, kau selalu pandai berbicara, Asher. Sangat baik… Aku akan membiarkan mereka hidup, tapi cuma karena kau yang memintanya."
Dia lalu berbalik, jubah hitamnya berkibar tertiup angin malam. Namun sebelum benar-benar menghilang, dia menatap Jellal sekali lagi, seolah menilai sesuatu. Dalam hatinya, dia memuji sang tuan yang begitu lihai berbaur dengan manusia, makhluk yang baginya tak lebih dari sekadar cacing tanah.
Saat Velka lenyap ke dalam kegelapan, suasana kembali hening. Namun, pikiran Niall terus bergolak. Kekaguman bercampur dengan rasa takut. Kelompok Asher… mereka bukan cuma kuat, tetapi juga memiliki ketenangan yang luar biasa. Bahkan menghadapi ancaman sebesar penyihir kegelapan, mereka tidak menunjukkan sedikit pun ketakutan.
"Siapa penyihir itu sebenarnya, Tuan Asher?" tanya Niall akhirnya, rasa penasaran kini mulai bercampur dengan rasa hormat.
Jellal menoleh sedikit, ekspresinya tetap datar. "Itu tidak terlalu penting. Dia hanya bagian dari cerita lama, penyihir yang memanfaatkan kekuatan kegelapan."
Nada suaranya terdengar misterius, menyembunyikan lebih banyak daripada yang diungkapkan. Niall semakin penasaran, tetapi tidak ingin menekan lebih jauh.
Dalam perjalanan mereka melintasi hutan, suasana sedikit melonggar. Niall akhirnya mulai membuka dirinya. Dia bercerita tentang masa lalunya, tentang panti asuhan tempat dia tumbuh.
"Panti asuhan itu lebih dari sekadar tempat berlindung bagi kami," katanya lirih. "Di sana, kami menyimpan semua harta dan warisan kelompok kami. Itu adalah tempat yang paling berharga bagi kami."
Jellal tetap berjalan di depan, tetapi bibirnya melengkung dalam senyum samar, senyum yang tidak disadari oleh Niall.
"Menarik…" bisik Jellal, seolah berbicara kepada dirinya sendiri.
Namun sebelum percakapan bisa berlanjut, tiba-tiba suasana berubah tegang. Tiga sosok bertopeng dengan jubah hitam muncul dari balik pepohonan, memotong jalan mereka. Mata mereka bersinar dengan kebencian dan determinasi.
Niall mengenali mereka segera. Wajahnya memucat.
"Itu mereka… para pemimpin Sekte Penyihir Bintang. Eamon, Icarus, dan Saverin."
Eamon, yang tampak paling tua, maju dengan senyum sinis.
"Kami datang untuk membalaskan kematian saudara-saudara kami," katanya dengan suara dalam, penuh kebencian. "Kalian telah melangkah terlalu jauh. Sekarang, terimalah akibatnya!"
Icarus, pria berambut pirang yang menjuntai di bawah tudungnya, menambahkan dengan suara dingin, "Dan sekarang, kalian akan membayarnya."
Saverin, yang paling beringas, menghunus pedangnya dan mengarahkannya ke kelompok Asher. "Ini adalah akhir bagi kalian."
Niall segera melangkah ke samping Jellal, memberikan informasi tentang ketiga pemimpin sekte itu dengan cepat. Namun, Jellal hanya mengangguk dingin. Dia kemudian maju beberapa langkah ke depan, auranya tetap tenang, seolah ancaman ini tidak lebih dari sekadar gangguan kecil.
"Biarkan aku yang mengurus mereka," katanya pelan, lalu melirik Sylvia di sampingnya.
"Sylvia, kalahkan mereka atas nama kekuatan Araksha."
Perintah itu tegas dan jelas. Selvhia mengerti maksud tuannya. Jellal ingin menghancurkan sekte ini sepenuhnya, membiarkan musuh-musuhnya musnah dalam teror kekuatan sejati. "Tidak ada kegelapan dimanapun yang tak bisa tunduk kepadaku, sebagai sekte yang tidak layak mendapatkan permadani hitam, harus segera dilenyapkan!"
Dengan senyum kecil, Selvhia melangkah maju. "Atas perintah tuanku, Araksha akan menguasai seluruh dunia Luminya!"
Dalam sekejap, bayangan pekat menyelimuti area itu. Aura mengerikan menyebar, membuat ketiga pemimpin sekte itu merasakan sesuatu yang belum pernah mereka alami sebelumnya, ketakutan sejati. "Serangga tidak layak hidup ditempat yang gelap!"
"Apa… apa ini?!" teriak Eamon, tangannya bergetar saat mencoba melawan rasa takut yang merambat ke seluruh tubuhnya.
Icarus jatuh ke tanah, menggeliat kesakitan. Kulitnya memucat dan melemah di bawah pengaruh aura Selvhia. "Tidak mungkin…!" suaranya melemah, tubuhnya tak lagi bisa melawan.
Saverin, yang mencoba bertahan paling lama, mengayunkan pedangnya dengan liar, tetapi sia-sia. "Tidak… aku tidak bisa…"
Dalam sekejap, Selvhia menghilang dari pandangan mereka.
SHLAAAK!
Darah memercik.
Saverin terbelalak saat tubuhnya merasakan dingin yang luar biasa. Ketika dia menunduk, dia melihat… dadanya telah berlubang.
"Kau… k-kapan…?"
Selvhia, yang kini berada di belakangnya, berbisik lembut di telinganya. "Sudah selesai."
Saverin terjatuh ke tanah, tubuhnya mulai membusuk dengan cepat.
Eamon dan Icarus, yang masih tersisa, mencoba melarikan diri dari Selvhia, tetapi Selvhia cuma mengangkat tangannya sedikit.
Menyeringai kecil, "Blood Dominion."
Darah mereka tiba-tiba berhenti mengalir. Mereka terbatuk, merasakan sesuatu yang mengerikan terjadi dalam tubuh mereka.
"Tolong… ampuni kami…!"
Selvhia tersenyum tipis. "Menyedihkan."
Dalam sekejap, tubuh mereka runtuh ke tanah, wajah mereka membeku dalam ekspresi ketakutan dan penderitaan yang amat luar biasa.
Ketika semuanya berakhir, Selvhia berdiri tegak di atas mayat mereka, menatap tanpa emosi.
"Hmph… serangga tidak pantas untuk hidup," gumamnya dengan nada meremehkan.
Di tengah sunyi itu, suara langkah pelan terdengar. Jellal bergerak maju, menembus genangan darah dengan santai, seolah cairan merah pekat itu hanyalah hujan ringan yang membasahi sepatunya. Tatapannya dingin, nyaris tanpa emosi, tetapi dalam matanya, ada kegelapan yang berkilau ganas.
"Kerja yang bagus, Selvhia," ucapnya datar, nada suaranya begitu tenang hingga terasa lebih menyeramkan daripada teriakan peperangan.
Selvhia menoleh, matanya berkilat dalam nafsu membunuh yang masih tersisa. Bibirnya menyeringai puas, darah menetes dari ujung pedangnya. "Apakah ingin aku membunuh lebih banyak lagi, Tuanku?" tanyanya dengan suara halus, penuh harapan.
Jellal tersenyum kecil. "Tentu… Kita masih punya urusan yang belum selesai."
Niall, yang selama ini masih berusaha memahami apa yang terjadi, merasakan sesuatu yang tidak beres. Ia menelan ludah, jantungnya berdegup keras. "Masalah… terakhir?" ulangnya, mencoba memastikan bahwa ia tidak salah dengar.
Jellal menatapnya, lalu menyeringai. "Kau pikir aku akan membiarkan kalian begitu saja, manusia lemah?" katanya dengan nada mengejek. "Tadi, kau mengatakan sesuatu yang menarik… Panti asuhanmu… tempat kalian menyimpan harta dan warisan kelompokmu."
Sejenak, dunia Niall terasa berhenti. Ia membelalakkan mata, rahangnya mengatup erat. "Tidak… Kau tidak mungkin…" bisiknya, tubuhnya mulai gemetar.
Jellal hanya tertawa kecil, sebuah suara yang nyaris terdengar seperti melodi kematian. "Aku akan memusnahkan tempat itu. Semua yang kau coba lindungi akan lenyap… dan kau, Niall, akan mati di sini, tidak bisa melakukan apa-apa itu sangat disayangkan."
Mata Niall dipenuhi keputusasaan, tetapi sebelum ia sempat berbuat sesuatu—
"Selvhia," panggil Jellal.
"Hamba siap, Tuanku."
Seketika, Selvhia menghilang dari pandangan dan dalam hitungan detik, jeritan bergema di seluruh hutan.
Salah satu anggota kelompok Niall yang bernama heldric tiba-tiba melayang ke udara, tubuhnya menegang sebelum darah meledak dari lehernya, mengalir seperti air mancur yang memancar tinggi. Selvhia muncul di belakangnya, tangannya yang ramping menggenggam jantung yang masih berdenyut, meremasnya hingga hancur, mencipratkan darah ke wajahnya sendiri.
"Ahh…" Selvhia mendesah puas, menjilati darah yang mengalir di jemarinya. "Darah manusia lemah selalu punya rasa yang khas."
Darian, salah satu bawahan setia Niall, mencoba melarikan diri, tetapi—
Crasak!
Kakinya dipenggal dalam satu tebasan. Ia terjatuh ke tanah, merangkak dengan sisa tubuhnya. Selvhia berjalan mendekat dengan santai, matanya penuh sadis.
"Kau tidak akan pergi ke mana-mana, anjing kecil," gumamnya.
Darian menatapnya dengan horor, keringat dingin membasahi wajahnya. "T-tolong…!"
"Tolong?" Selvhia terkikik. "Aku tidak ingat kapan terakhir kali aku mendengar kata itu. Sayangnya, aku tidak tertarik dengan permohonan menyedihkanmu."
Dengan gerakan lambat, Selvhia meraih wajah Darian, menatap matanya dalam-dalam. Lalu, dengan kasar, ia memasukkan jari-jarinya ke dalam rongga matanya—
CRAAK!
Darian menjerit histeris saat matanya dicungkil paksa, urat-urat sarafnya terputus dengan suara yang amat menjijikkan. Selvhia memegang bola mata itu dengan penuh rasa ingin tahu, lalu… memasukkannya ke dalam mulutnya.
Kres!
Ia menggigitnya, cairan bening dan darah bercampur meleleh di bibirnya.
Kengerian menelan Niall dalam hitungan detik. Dia hanya bisa berdiri di tempat, tubuhnya bergetar, keringat dingin membasahi wajahnya. Jeritan teman-temannya menggema di malam yang kelam, mereka jatuh dengan cara yang mengerikan.
Niall tersentak ketika seorang sahabatnya, Darian, yang telah bersamanya sejak kecil, disayat pelan-pelan oleh Selvhia. Perutnya dibuka dengan jari-jarinya, ususnya dikeluarkan sedikit demi sedikit seakan Selvhia sedang menguliti seekor binatang. Darian menjerit dalam kesakitan yang tak terbayangkan, tangannya terangkat lemah ke arah Niall, memohon bantuan yang tidak akan pernah datang.
"A-aku tidak ingin mati…N-" Darian merintih, darah keluar dari mulutnya.
Selvhia hanya tertawa pelan. "Tenang saja, kau akan mati… Tapi aku ingin melihat berapa lama kau bisa bertahan."
Kemudian, dengan gerakan lambat yang disengaja, Selvhia menekan ujung pedangnya ke tenggorokan Darian dan mendorongnya masuk dengan perlahan, sangat perlahan. Darian tersedak darahnya sendiri, matanya membelalak penuh penderitaan sebelum akhirnya tubuhnya ambruk, tak bernyawa.
Saat itulah, sesuatu dalam diri Niall patah.
Dia tidak bisa lagi merasakan tubuhnya. Tangannya bergetar hebat, jari-jarinya gemetar seperti daun tertiup angin. Ini bukan pertarungan. Ini adalah pembantaian. Ini adalah neraka yang turun ke bumi.
Jellal berjalan mendekat, menatap Niall dengan seringai dingin yang mengiris ke dalam jiwanya. "Aku ingin melihat bagaimana kau akan menghadapi akhir hidupmu," bisiknya.
Selvhia mendekat, pedangnya masih meneteskan darah segar. "Kau ingin aku menghabisinya dengan cepat atau lambat, Tuanku?" tanyanya, matanya berbinar.
Niall mundur selangkah. Lalu dua langkah. Nafasnya pendek dan tersengal, dadanya naik turun tak terkendali. Tidak ada harapan. Tidak ada jalan keluar.
Dan… ia tidak akan membiarkan dirinya mati di tangan monster seperti mereka.
Dengan tangan yang gemetar, Niall merogoh ke dalam jubahnya, mencari sesuatu, ya, itu ada di sana. Sebilah belati kecil yang selalu ia bawa.
"Jangan dekati aku…" bisiknya, matanya kosong.
Selvhia hanya tertawa kecil. "Lucu sekali. Kau masih berpikir bisa melawan?"
Jellal mengangkat alisnya, menunggu.
Niall menatap mereka berdua untuk terakhir kalinya, lalu mengangkat belati itu dan tanpa ragu menancapkannya ke lehernya sendiri.
CRACK!
Darah menyembur deras, mengalir dari luka yang ia ciptakan sendiri. Mata Niall membelalak saat tubuhnya kehilangan kendali, kakinya melemas. Ia jatuh ke tanah, tangannya masih mencengkeram gagang belati yang tertanam dalam di tenggorokannya.
Napasnya tersengal, terhenti, lalu tubuhnya diam.
Sunyi.
Selvhia berkedip, ekspresi terkejut muncul di wajahnya sebelum berubah menjadi kecewa. "Oh? Dia bunuh diri…?"
Jellal menatap mayat itu dengan ekspresi yang sulit diartikan. Ia lalu tersenyum kecil. "Bodoh sekali. Bahkan kematian pun lebih baik daripada menghadapi kita, ya?"
Selvhia mendesah, mengibaskan pedangnya untuk menghilangkan darah yang tersisa di ujungnya. "Sungguh tidak memuaskan…"
Jellal tersenyum tipis, mendekat ke Selvhia dan mengusap pipinya yang ternoda darah. "Kau benar-benar luar biasa, Selvhia."
Selvhia menghela napas penuh kenikmatan, seolah pujian itu lebih manis daripada darah yang baru saja ia telan. "Aku hidup hanya untuk melayani Anda, Tuanku."
Jellal menatap ke arah mayat Niall yang tergeletak dengan wajah penuh teror yang membeku. "Sekarang, saatnya menuju tujuan berikutnya… Panti asuhan itu."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 21 Episodes
Comments