Saat pintu tertutup di belakang Elise, keheningan kembali menyelimuti ruangan.
Jellal Astraus menyandarkan kepalanya ke sofa, menghela napas panjang.
Terkadang, mengendalikan makhluk-makhluk kejam dan ambisius itu lebih mudah dibanding menghadapi para pelayan pribadinya.
Ebonveil Maidens...
Kelompok maid yang diciptakannya sendiri, bukan sekadar pelayan biasa.
Mereka adalah wanita-wanita kuat, masing-masing memiliki spesialisasi unik yang bahkan membuat musuh sekelas Adamantite gentar.
Tetapi, justru karena mereka begitu kuat, mereka juga begitu bermasalah.
Jellal menutup matanya sejenak, lalu mulai memikirkan satu per satu.
"Selvhia Natch."
Dingin, loyal, dan mematikan. Selvhia bukan hanya sekadar maid, tetapi juga tangan kanan yang mengatur para maid lain.
Ia sangat membenci manusia, bahkan lebih dari beberapa bawahannya yang lain.
"Apakah Selvhia cocok dengan pakaian biasa?"
Jellal mengernyit.
Itulah yang membuatnya berpikir sejak awal.
Wanita itu terlalu terbiasa dalam pakaian maid formalnya, terlalu terbiasa berada di sampingnya sebagai pelindung bayangan.
Tetapi untuk misi penyamaran ini... apakah dia bisa menyesuaikan diri?
Jellal menggelengkan kepala, membiarkan pertanyaan itu untuk nanti.
"Marionette Weiss."
Tidak memiliki emosi, hanya bergerak sesuai perintah. Marionette adalah satu-satunya maid yang tidak akan pernah mengeluh atau bertindak di luar tugasnya. Namun, justru karena itu, ia tidak bisa dianggap sebagai "penghibur" seperti yang lain.
"Claris.. Umbra."
Misterius, senyap, dan nyaris tak pernah terlihat kecuali dipanggil langsung. Claris bukan tipe yang berbicara banyak, tetapi ia selalu tahu segalanya, bisa menyusup ke mana pun, menghilang ke dalam kegelapan tanpa jejak.
Kadang Jellal bertanya-tanya, apakah ia sedang diawasi oleh Claris sekarang juga?
"Yang terakhir.. Elise Rosethorn."
Maid yang baru saja meninggalkannya. Menggoda, manipulatif, tetapi cerdas.
Elise bukan cuma pelayan, tetapi juga seorang peracik strategi dalam diam.
Meskipun ia selalu terlihat seperti main-main, dalam situasi serius, ia bisa memutarbalikkan keadaan dengan cepat. Namun, tetap saja.. Jellal tahu bahwa Elise masih memiliki rasa cemburu terhadap Selvhia.
Jellal mendesah..
Mengendalikan Ebonveil Maidens bukan cuma soal memberi perintah, tetapi juga memastikan mereka tidak membantai satu sama lain hanya karena konflik pribadi.
"Sial... Aku lebih pusing mengurus mereka dibanding pasukan perangku."
Jellal akhirnya bangkit dari duduknya.
Ia mungkin bisa berpikir lebih jernih setelah melihat keadaan para bawahannya yang lain.
Begitu Jellal turun ke lantai satu, ia segera merasakan kehadiran seseorang yang menunggunya.
Di tengah aula besar yang masih terasa megah meskipun baru saja dibangun ulang, Selene Veildas berdiri dengan anggun.
Mata ungunya yang tajam menatap lurus ke arahnya, dan senyum tipis penuh keangkuhan menghiasi bibirnya.
Jubah hitam ungu yang membalut tubuhnya berkibar perlahan, seolah menari dengan bayangan.
Jellal berhenti melangkah, menatapnya dalam-dalam.
"Menungguku?" tanyanya santai.
Selene menyeringai.
"Tentu saja, Yang Mulia. Aku selalu menunggu untuk sesuatu yang menarik."
Jellal tahu, ini bukan sekadar sapaan biasa.
Mungkin, Selene memiliki sesuatu yang ingin ia sampaikan. Jellal Astraus menghentikan langkahnya beberapa meter darinya.
Mereka saling bertukar pandang sejenak, lalu Selene berbicara lebih dulu.
"Jadi, apa langkah selanjutnya, Yang Mulia?"
Suara lembutnya mengalun dengan nada yang sulit ditebak, campuran antara ketertarikan, rasa ingin tahu, dan sedikit... godaan.
Jellal menatapnya sebentar sebelum menjawab.
"Aku akan segera menyusun rencana infiltrasi ke dunia luar. Kita perlu tahu seberapa banyak yang telah berubah selama 200 tahun ini."
Selene menyeringai kecil.
"Oh? Apakah itu alasan mengapa kau berencana memberikan pakaian biasa kepada Selvhia?"
Tatapannya semakin tajam, seolah menyelidik.
Jellal sedikit mengangkat alisnya, tetapi tidak terlalu terkejut bahwa Selene sudah mengetahuinya.
Meskipun ia adalah Jenderal Kegelapan dan pemimpin pasukan utama, Selene juga memiliki kebiasaan mencampuri urusan pribadi dengan caranya sendiri.
"Ya," jawab Jellal santai. "Agar penyamarannya tidak mencolok."
Selene tersenyum tipis, lalu dengan nada yang lebih menggoda, ia berkata..
"Kalau begitu, aku juga ingin sesuatu darimu."
Jellal terdiam sejenak, mencoba membaca maksud di balik kata-kata Selene. "Eh?!"
Wanita ini tidak mungkin meminta sesuatu tanpa alasan.
"Dan apa yang kau inginkan?" tanyanya akhirnya.
Selene menyilangkan tangan di bawah dadanya, membuat jubahnya sedikit terbuka, memperlihatkan bagian kulit pucatnya yang kontras dengan aura kegelapan di sekelilingnya.
Ia tersenyum dengan percaya diri.
"Kau tahu, aku bukan sekadar bawahan biasa. Aku adalah tangan kananmu di medan perang, pemimpin para pasukanmu. Jadi... bukankah wajar jika aku menerima sesuatu yang spesial darimu?"
Nada suaranya penuh dengan keyakinan, tidak ada permohonan, tidak ada sikap merendah, hanya tuntutan halus dari seseorang yang tahu betul nilainya sendiri.
Jellal menghela napas dalam.
Ia tidak bisa membantahnya.
Selene bukan cuma kuat, dia adalah simbol teror bagi dunia luar dan salah satu sosok yang paling dihormati di antara semua bawahan.
Lagipula, ia tidak bisa membiarkan Selvhia saja yang mendapatkan perhatian.
"Baiklah," katanya akhirnya. "Aku akan memberimu sesuatu yang pantas untukmu."
Jellal mengangkat satu tangan, dan energi kegelapan mulai berkumpul di sekelilingnya.
Bayangan dari pilar-pilar aula perlahan menyatu, berputar di udara, membentuk sesuatu yang berkilauan dengan warna hitam keunguan.
Sebuah jirah gelap, armor perang yang terbuat dari energi murni kegelapan.
Jellal menurunkan tangannya, dan armor itu melayang ke hadapan Selene.
Bukan sekadar baju besi biasa, melainkan sebuah perlengkapan perang yang hanya bisa dikenakan oleh seorang penguasa dominion tingkat tinggi.
Bagian dadanya ramping dan kokoh, melindungi tubuh dengan fleksibilitas yang luar biasa.
Tulang bahu dan lengan dilapisi dengan ukiran rune gelap yang memancarkan aura kekuatan.
Jubah panjang dari bayangan melayang di belakangnya, seolah hidup dan siap menelan siapa pun yang menantang pemiliknya.
"Ini bukan armor biasa."
Jellal menatap Selene dalam-dalam.
"Jirah ini akan menyatu dengan tubuhmu, menjadi bagian dari kegelapanmu. Tak ada pedang atau sihir yang bisa menembusnya kecuali milikku sendiri."
Selene menatap armor itu dengan mata yang berbinar.
Ia bisa merasakan kekuatan yang mengalir di dalamnya, kehadiran Jellal sendiri tertanam di sana.
Sebuah hadiah yang bukan hanya berupa perlengkapan perang, tetapi juga simbol kepercayaan langsung dari sang Raja Kegelapan.
Selene menyentuh permukaan jirah itu, lalu tersenyum tipis.
"Hah... Aku pikir kau akan memberiku sesuatu yang lebih pribadi," gumamnya dengan nada main-main.
Jellal hanya mendengus.
"Tidak cukup bagimu?"
Selene tertawa pelan.
"Tidak, ini lebih dari cukup... untuk sekarang."
Ia mengangkat armor itu, dan dalam sekejap, armor gelap itu mulai menyatu dengan tubuhnya, membentuk lapisan perlindungan yang menyatu dengan aura kegelapan di sekelilingnya.
Kepalanya sedikit menunduk, lalu ia menatap Jellal dengan senyum puas.
"Terima kasih, Yang Mulia. Aku akan menggunakannya dengan baik."
Jellal hanya mengangguk, sementara dalam pikirannya, ia tahu...
Selene tidak akan berhenti di sini.
Wanita itu akan selalu meminta lebih, mencari cara agar tetap mendapatkan perhatian langsung darinya. Aura kegelapan Selene terasa semakin tajam, seolah kehadirannya semakin menyatu dengan kegelapan yang memenuhi ruangan ini.
Namun, Jellal bukan tipe yang berlama-lama dalam satu urusan.
"Aku punya tugas lain untukmu, Selene," katanya dengan nada tegas.
Selene mengangkat alisnya sedikit. "Oh? Apa itu?"
"Panggil Selvhia dan Noa. Aku ingin mereka di sini sekarang."
Selene terdiam sejenak, lalu menghela napas dengan ekspresi yang sulit ditebak.
Seakan memahami bahwa perhatiannya baru saja dialihkan.
Tetap saja, ia tidak akan membantah.
"Baiklah, Yang Mulia."
Dengan satu gerakan tangan, Selene menghilang ke dalam bayangan.
Jellal menutup matanya sejenak, menunggu.
Tak butuh waktu lama sebelum dua sosok muncul di hadapannya.
Selvhia Natch, kepala pelayan pribadinya, berdiri dengan ekspresi tenang seperti biasanya.
Matanya yang merah darah menatap lurus ke arah Jellal, penuh rasa hormat yang tak tergoyahkan.
Di sebelahnya, Noa Evernight, sang nephilim kecil, langsung menunjukkan reaksi yang berbeda.
Begitu melihat Jellal, mata merahnya membulat dengan kilauan antusias. Tanpa pikir panjang, Noa langsung melompat maju.
"Jellal~! Aku merindukanmu~!"
Dalam sekejap, ia sudah berada di dekatnya, mencoba meraih tangan Jellal dengan ekspresi penuh harapan.
Namun—
"Berhenti di situ, bocah."
Sebuah suara tajam memotong antusiasme Noa.
Selene yang baru kembali berdiri di samping mereka dengan ekspresi dingin.
Matanya berkilat penuh sindiran.
"Jangan mengganggu Yang Mulia dengan tingkah kekanak-kanakanmu."
Noa berkedip, lalu menyipitkan matanya ke arah Selene.
"Hah? Kenapa kau mengatur-aturku, huh? Aku bisa melakukan apa pun yang kuinginkan."
Nada ceria Noa tidak berubah, tetapi ada sesuatu yang berkilauan di balik kata-katanya.
Selene mendengus. "Tingkah manjamu tidak cocok di sini."
"Aku bukan manja~ Aku hanya menunjukkan kasih sayangku yang tulus kepada Jellal~"
Noa tersenyum lebar, tetapi Selene hanya menatapnya dengan dingin.
"Menjijikkan."
Ekspresi Noa berubah sekilas.
"Oh? Kau cemburu, ya?"
Noa menyeringai, menyipitkan matanya ke arah Selene.
"Tsk. Jangan khawatir, Selene~ Aku tidak akan mengambil tempatmu~ Aku tahu kau ingin dimanja juga, kan?"
Selene mengangkat alisnya, lalu tertawa kecil.
Tawa yang tidak menyenangkan.
"Lucu sekali. Aku tidak seperti bocah sepertimu yang cuma bisa merajuk untuk mendapatkan perhatian."
Mata Noa berkilat. "Apa kau ingin bertarung?"
Aura kegelapan dan cahaya mulai berdesir di sekitar gadis kecil itu, tetapi sebelum situasi semakin panas—
"Cukup."
Suara Jellal terdengar, dingin dan penuh otoritas.
Dalam sekejap, tekanan di ruangan itu meningkat.
Selene dan Noa langsung terdiam, merasakan dominasi mutlak yang dipancarkan oleh Jellal.
Noa meringis kecil, sementara Selene mengatupkan bibirnya tanpa berkata-kata.
Jellal menatap keduanya dengan tajam, sebelum akhirnya menghela napas pendek.
"Jangan buang waktaku dengan pertengkaran bodoh."
Selene langsung menunduk sedikit sebagai tanda mengerti.
Noa, meskipun masih tampak sedikit kesal, akhirnya menurut juga.
Jellal mengalihkan perhatiannya ke Selvhia yang sejak tadi hanya diam, mengamati dengan ekspresi datar.
"Selvhia."
"Ya, Yang Mulia."
Jellal mengulurkan tangannya, dan dalam sekejap, sebuah pakaian petualang berwarna hitam abu muncul di udara, melayang ke arahnya.
"Coba pakai ini."
Selvhia menerima pakaian itu tanpa ragu.
"Apa ini?" tanyanya dengan suara dingin.
"Pakaian untuk penyamaran. Jika kita akan bergerak di dunia luar, kau butuh sesuatu yang tidak mencolok."
Selvhia mengangguk tanpa bertanya lebih lanjut.
Namun, sebelum ia bisa pergi untuk menggantinya, Jellal menambahkan sesuatu yang membuat semua orang terdiam.
"Dan setelah itu, Noa akan menyerangmu."
Mata Selvhia menyipit.
Noa, yang awalnya masih dalam suasana hati buruk, langsung menegakkan tubuhnya dengan penuh semangat.
"Eh? Benarkah~? Boleh kan kalau aku tidak menahan diri?"
Jellal menatapnya sekilas.
"Terserah. Aku ingin menguji ketahanan pakaian itu. Seharusnya tidak mudah hancur oleh sihir kuat."
Noa menyeringai lebar.
"Heh~ Menarik~! Aku jadi tidak sabar!"
Selvhia tidak mengatakan apa pun, tetapi ekspresinya sedikit berubah.
Seolah ia menyadari bahwa tugasnya sebagai tangan kanan Jellal bukan sekadar melayani, tetapi juga membuktikan dirinya di setiap kesempatan.
Selene yang berdiri di samping hanya menyilangkan tangan, memperhatikan dengan ekspresi sedikit tertarik.
Jellal menyandarkan punggungnya ke singgasana, menunggu.
Pertunjukan baru saja dimulai.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 21 Episodes
Comments