Putri Madya Luminya.

Shion Aurelia Von Rosenberg turun dari kudanya yang memiliki nama Solis, dengan langkah mantap. Matanya yang tajam menyapu pemandangan yang mengerikan, panti asuhan itu telah berubah menjadi puing-puing. Dinding yang dulu mungkin dihiasi tawa anak-anak kini hanya berupa reruntuhan. Tubuh kecil berserakan di antara puing, tak ada satu pun yang selamat.

Pasukannya berhenti di belakangnya, tak ada yang berbicara. Reiner mengepalkan tinjunya, wajahnya mengeras menahan amarah. Lucy, yang biasanya paling banyak bicara, kini hanya menggigit bibirnya, tatapannya berkilat dengan kebencian. Sementara itu, Luna melihat ke arah Shion dengan sorot mata penuh pengertian, seolah menunggu perintah dari pemimpinnya.

Shion berjongkok di samping salah satu jasad, seorang bocah laki-laki yang masih menggenggam boneka lusuh. Ia meraba tanah di sekelilingnya, merasakan sisa energi yang bergetar di udara. Itu bukan energi biasa, itu adalah Araksha, kekuatan gelap yang digunakan oleh mereka yang mengabdikan diri pada kegelapan.

Shion menghela napas, menatap boneka itu. Di dalam dirinya, ia tidak merasakan kesedihan yang menggebu, karena ia sudah terlalu sering melihat kematian seperti ini. Namun, ia tidak bisa memaafkan pelaku di balik semua ini.

Tangannya mengepal, kekuatan suci Luminya mengalir secara halus di sekeliling tubuhnya. Perlahan, ia berbisik seorang diri.

"Kenapa mereka… anak-anak tak berdosa ini…"

Kemudian, sesuatu menarik perhatiannya. Di antara reruntuhan, ada sebuah pola terbakar di tanah, simbol terlarang yang cuma digunakan oleh mereka yang menguasai Araksha tingkat tinggi. Saat Shion meneliti lebih dalam, kepalanya berdenyut, seakan memaksanya mengingat sesuatu dari masa lalu. Nama itu melintas dalam pikirannya.

"Jell—"

Sebelum ia bisa menyelesaikan pikirannya, suara langkah kaki mendekat dengan cepat.

"Komandan!"

Luna berlari ke arahnya, wajahnya dipenuhi kebingungan dan kekhawatiran.

"Apa yang terjadi di sini?" tanyanya, matanya menelusuri pemandangan mengenaskan di sekeliling mereka.

Shion bangkit berdiri. Wajahnya kembali netral, sikapnya tetap tenang seperti biasa.

"Kegelapan mulai bergerak," jawabnya dengan suara datar.

Luna mengepalkan tangannya. "Kegelapan? apakah iblis yang melakukan ini?!"

Shion tidak menjawab seketika. Ia memandang Luna, lalu ke arah Reiner dan Lucy yang menunggu di belakang. Mereka semua menanti kepastian darinya.

Namun, ada sesuatu yang ia sembunyikan.

Ia tahu, ini bukan sekadar pembantaian biasa. Ia tahu siapa yang mungkin bertanggung jawab. Tapi, jika ia mengatakannya sekarang, pasukannya akan terseret ke dalam sesuatu yang jauh lebih berbahaya.

Maka, ia hanya berkata, "Masih terlalu dini untuk menyimpulkan."

Luna menatapnya dengan ragu, tetapi akhirnya mengangguk.

Shion melirik ke arah simbol terbakar itu sekali lagi. Di dalam lubuk hatinya, ia merasa hatinya benar-benar terluka. "Aku tidak menduga hal ini pasti terjadi, sebenarnya apa yang sudah kulakukan?"

Kemudian di dalam istana yang megah namun diselimuti aura kegelapan yang pekat, Selene Veildas berdiri sendirian di balkon, menatap bulan merah yang menggantung di langit malam. Angin dingin berembus, menggoyangkan gaun hitamnya yang elegan, sementara matanya yang berwarna ungu gelap memancarkan cahaya.

"Sendirian di malam seperti ini, Nona Selene?"

Tanpa menoleh, Selene tersenyum tipis. "Jarang sekali kau menghampiriku tanpa alasan, Velka," jawabnya dengan nada lembut.

Dari balik bayangan, sosok Velka muncul, jubahnya yang compang-camping berkibar pelan. Wajahnya yang menyerupai tengkorak tersenyum tipis, meskipun tanpa ekspresi sejati. Mata biru mistisnya berkilat dengan ketertarikan, seakan membawa berita yang lebih dari sekadar pertemuan biasa.

"Aku baru saja melihat makhluk itu," kata Velka, suaranya bergetar dengan kesan misterius. "sosok yang seharusnya masih menjadi cahaya… Namun, dia telah kembali."

Selene menoleh sedikit, senyumnya melebar. "Oh?"

Velka melangkah lebih dekat, suaranya menjadi lebih rendah, seolah-olah rahasia yang ia bawa terlalu berharga untuk diucapkan dengan lantang. "Dan dia tidak cuma kembali… Tapi juga lebih kuat dari sebelumnya."

Sejenak, hanya suara angin malam yang terdengar. Lalu, tawa lirih keluar dari bibir Selene, tawa yang tidak mengandung kebahagiaan, melainkan menakutkan.

"Heh… Hehehe… Hahaha…"

Dia menutup mulutnya dengan punggung tangan, bahunya sedikit bergetar karena kegembiraan yang ia tahan. "Jadi… bener-bener muncul, ya?"

Velka tidak menjawab, hanya mengangguk perlahan.

Selene memejamkan matanya sejenak, merasakan hawa kehadiran sesuatu yang lebih besar, sesuatu yang akan segera mengguncang dunia. Saat ia membuka matanya kembali, cahaya keunguannya tampak lebih bersinar, seperti bintang yang bersinar di dalam kehampaan.

"Tidak lama lagi," gumamnya pelan, nyaris seperti bisikan.

Velka menatapnya dalam diam, sebelum akhirnya berkata, "Sepertinya kau senang sekali."

Selene membalikkan tubuhnya, berjalan melewati Velka dengan langkah anggun. Sebelum menghilang ke dalam istana, dia berbisik dengan nada penuh kepastian.

"Tentu saja… Aku sudah menunggu ini selama berabad-abad untuk membunuhnya."

"Indah," kata Selene, matanya berkilat. Ia terkekeh pelan, mengusap bibirnya dengan ujung jarinya seolah membayangkan sesuatu yang sangat memuaskan. "Tapi tentu saja… Tuanku Jellal selalu berada di atas segalanya."

Velka mengangguk, aura kegelapan di sekitarnya berkedip samar. "Bahkan aku harus mengakui… energi yang dia pancarkan sekarang lebih murni daripada sebelumnya. Araksha benar-benar akan kembali untuk menguasai seluruh dunia."

Suasana di aula semakin dingin, seakan kegelapan semakin menebal di sekitarnya. Namun sebelum percakapan bisa berlanjut, suara langkah kaki berat terdengar menggema di sepanjang koridor batu.

Darius muncul dari balik bayangan, tubuh raksasanya diselimuti armor hitam yang dihiasi bekas pertempuran. Matanya yang keemasan berkilat tajam, dan senyum penuh kebanggaan terlihat di wajahnya.

"Jadi, dia benar-benar kembali," gumam Darius dengan nada rendah yang penuh penghormatan. "Aku sudah lama menunggu momen ini."

Selene menoleh ke arahnya, ekspresinya masih penuh kegembiraan yang mengerikan. "Oh? Kau juga merindukannya, Darius?"

Darius menghela napas kasar, tangannya mengepal erat. "Tentu saja. Aku sudah bosan melihat dunia ini tanpa lawan yang sepadan. Kini, aku akhirnya bisa berperang di bawah bendera yang sesungguhnya."

Selene menyeringai lebih lebar. Matanya berkilat dengan kegilaan yang semakin dalam, dan ia perlahan berdiri dari tempatnya, menatap Darius dengan tajam, bengis, penuh keinginan yang teramat dalam.

"Tuanku Jellal pasti akan senang…" suaranya bergetar dengan nada aneh, hampir seperti desahan penuh kepuasan. Lalu, ia tertawa kecil. "Betapa bodohnya… Ah~ aku tidak sabar melihat wajahnya."

Velka tetap diam, tetapi ia bisa merasakan sesuatu yang berbahaya di balik ekspresi Selene. Darius juga merasakan sedikit getaran insting predator dalam suara perempuan itu.

Tiba-tiba suara langkah kecil bergema di sepanjang aula megah Istana Kegelapan. Dengan gaun putihnya yang kontras dengan aura hitam yang melingkupinya, Noa berjalan dengan anggun, tetapi ada kilatan licik di matanya. Bibir mungilnya melengkung dalam seringai usil ketika melihat Selene berdiri di tengah aula bersama Velka dan Darius.

"Oh~ Selene," Noa menyenandungkan namanya dengan nada menggoda, kedua tangannya bertaut di belakang punggungnya. "Aku bisa mendengar suaramu dari jauh. Sepertinya kau sangat bersemangat… Apa karena kau ingin mendapatkan perhatian dari Tuan Jellal?"

Selene menoleh dengan cepat, ekspresinya berubah dari santai menjadi tajam dalam sekejap. "Noa…" desisnya, pupil matanya menyempit seperti ular yang terganggu. "Apa urusanmu?"

Noa menggeleng kecil, melompat ringan ke salah satu pilar batu dan duduk di sana, kakinya bergoyang santai. "Aku hanya penasaran. Aku tahu kau sangat setia pada Tuan Jellal, tapi…" ia memiringkan kepalanya dengan senyum penuh tipu daya, "Bukankah lebih baik jika dia lebih menyayangiku daripada dirimu?"

Selene mengerutkan kening, lalu tertawa kecil, bukan tawa bahagia, tetapi tawa yang sarat dengan bahaya. "Hah? Kau yakin, Noa? Tuan Jellal tidak akan menyia-nyiakan waktunya dengan anak kecil yang cuma bisa merengek untuk diperhatikan."

Noa mengangkat bahunya dengan sikap tak peduli, tetapi tatapan liciknya semakin tajam. "Oh? Tapi setidaknya aku masih sering dipanggil olehnya, tidak seperti seseorang yang hanya bisa bermimpi mendapatkan kasih sayang dari tuannya."

Mata Selene berkilat marah, tetapi senyum di wajahnya tidak pudar. "Hati-hati, bocah kecil. Aku bisa saja mengubahmu menjadi bayangan abadi yang tidak bisa bicara lagi."

Velka dan Darius, yang sejak tadi mengamati perdebatan ini, saling bertukar pandang. Velka menghela napas ringan, sementara Darius menyilangkan tangan dengan ekspresi bosan. Keduanya tahu ini bukan pertama kalinya Selene dan Noa bertengkar soal siapa yang lebih pantas mendapatkan perhatian Tuan Jellal, dan mereka berdua juga tidak tertarik untuk ikut campur.

Namun, sebelum perdebatan bisa semakin memanas, tiba-tiba ekspresi Selene berubah. Matanya membelalak sedikit, lalu tatapannya menjadi fokus seakan mendengarkan sesuatu yang tidak bisa didengar oleh yang lain.

Sebuah suara bergema langsung di dalam pikirannya. Suara yang dalam, dingin, dan penuh otoritas.

"Selene."

Itu adalah suara Tuan Jellal.

Selene segera diam, ekspresinya berubah serius. Noa, yang awalnya menikmati perdebatan, langsung memperhatikan perubahan wajah Selene dengan rasa ingin tahu. Velka dan Darius pun mulai menajamkan pendengaran, menyadari bahwa sesuatu sedang terjadi.

"Pastikan semua harta itu tersimpan dengan baik di ruang tahtaku."

Selene segera menundukkan kepala sedikit sebagai bentuk penghormatan, meskipun komunikasi ini hanya ada dalam pikirannya.

"Seperti yang kau perintahkan, Tuan," jawab Selene dengan penuh kesetiaan. "Emas itu akan disegel dengan sihir bayanganku agar tak ada yang berani menyentuhnya tanpa izinmu."

"Bagus," suara Jellal terdengar puas. "Aku tidak ingin ada masalah dalam pengelolaannya. Jangan sampai ada makhluk bodoh yang berpikir bisa mencuri sesuatu dariku."

Selene tersenyum tipis. "Tidak ada yang cukup gila untuk mencoba hal itu, Tuan."

Sejenak, komunikasi itu terhenti. Namun, sebelum Jellal benar-benar mengakhiri percakapan, suaranya terdengar lagi.

"Aku akan segera kembali… Pastikan semuanya berjalan sesuai rencana."

Selene menutup matanya, merasakan hawa dingin yang selalu menyertai setiap perintah Jellal. "Ya, Tuanku."

Begitu suara itu lenyap dari pikirannya, Selene menarik napas dalam dan membuka matanya kembali. Tatapannya kini dipenuhi dengan determinasi yang lebih kuat.

Noa mengangkat alisnya. "Hmm? Apa yang dikatakan Tuan Jellal?"

Selene meliriknya sekilas, lalu tersenyum penuh kemenangan. "Oh, bukan sesuatu yang bisa kau pahami, bocah kecil."

Noa mengerucutkan bibirnya, tidak senang dengan jawaban itu. "Hmph. Suatu hari nanti, aku akan mendapatkan lebih banyak perhatian darinya daripada kau!"

Selene tertawa kecil, lalu melirik Velka dan Darius. "Kita harus segera memastikan emas itu tersimpan dengan baik. Aku tidak ingin ada gangguan yang membuat Tuan Jellal kecewa."

Velka mengangguk. "Aku bisa menempatkan beberapa kutukan perlindungan di ruang tahtamu."

Darius menghela napas. "Kalau ada yang mencoba mencuri, aku sendiri yang akan mencabik-cabik mereka."

Selene menyeringai puas. Malam ini, segala sesuatu berjalan sesuai rencana. Dan yang terpenting, perintah Tuan Jellal adalah prioritas utama. Tak ada yang lebih indah daripada melayani Raja Kegelapan mereka.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!