Lintang Kejora

Lintang Kejora

Bagian 1 : Pertemuan Kembali

Bagian 1

            Pintu kamar mandi terbuka perlahan. Pemuda tampan bermata sipit yang  tengah mengeringkan rambut keluar dari kamar mandi. Wajah ovalnya tampak riang. Bibirnya menyenandungkan lagu bertempo cepat.

Si pemuda melangkah ringan menuju lemari pakaian, membuka pintu kotak persegi berwarna abu-abu itu dan meraih seragam cokelat kebanggaannya. Seulas lekukan proporsional tersungging di bibir, bangga melihat bordiran bertuliskan “Lintang” di dada sebelah kanan.

Pemuda bernama Lintang itu berhenti mengancingkan seragam saat tak sengaja melihat ponsel bergetar. Keningnya berkerut, tak mengerti kenapa alat komunikasi itu dalam mode getar. Padahal, biasanya dia selalu menyetel volume paling keras karena sebagai petugas kepolisian Divisi Kriminal Umum panggilan darurat bisa datang kapan saja.

Lengan atletis meraih ponsel di atas tempat tidur. Mata sipit melirik layar ponsel, nama sang atasan terukir di layar. Jemarinya gesit menggeser layar untuk segera menerima panggilan.

“Selamat pagi, Pak!”

“Saya sudah puluhan kali melakukan panggilan ke nomormu dan  Bima! Kenapa baru diangkat? Apa kamu mau meremehkan atasan, Saudara Lintang?”

“Maaf, Pak. Saya tidak menyadari ponsel saya dalam mode getar!”

“Mode getar? Kamu adalah petugas yang harus siap siaga 24 jam! Bagaimana bisa ... argh! Nanti saja kita urus kedisiplinan kalian!”

Jeda sejenak. Terdengar tarikan dan embusan napas beberapa kali dari saluran telepon. Lintang masih dalam posisi siaga menunggu intruksi sang atasan.

“Kita mendapat kasus baru. Jam 2 dini hari terjadi pembunuhan di hotel Marilyn. Detailnya sudah dikirim lewat email. Segera menuju ke TKP! Petugas Iman sudah ada di sana!” perintah sang atasan.

“Siap laksanakan!”

Panggilan diakhiri oleh atasannya. Lintang segera mengancingkan seragam serta memakai celana cokelatnya dengan terburu-buru. Setelah menyisir rambut sekenanya, Lintang memasukkan dompet dan ponsel ke dalam saku. Tak ketinggalan memasang jaket kulit hitam kesayangannya.

“Bim, ayo cepat!” seru Lintang. Tak ada sahutan.

Lintang membalikkan badan. Dia menepuk kening melihat sahabat sekaligus rekan kerjanya, si Bima Sakti masih terlelap sambil memeluk erat guling bergambar gadis anime berambut ungu dengan gaun seksi. Lintang menggelengkan kepala sembari mendekati tempat tidur Bima yang juga dilapisi sprei bergambar sama.

 “Woy! Bima! Bangun!” panggilnya setengah membentak. Bima tak membuka mata, malah mengusap iler yang menetes dari sudut bibir.

“Haruka-chan, lima menit lagi, plis!” gumam Bima dengan suara manja.

Hampir saja Lintang muntah mendengarnya. Lekukan tak proporsional terukir di sudut bibir. Lintang mendadak menarik sprei, Bima seketika jatuh terguling.

“Arghh!” Bima meringis. Matanya membuka dengan malas. “Lintang!” seru pemuda berambut ikal itu berang ketika menemukan senyuman jahil di wajah Lintang.

Bima berdiri sambil mengusap dahi benjolnya. Lintang tertawa lepas melihat sang kawan yang tengah bersungut-sungut. Bima mendelik. Lintang menggeleng-gelengkan kepala sambil mendecak-decakkan lidah.

“Bagaimana nasib negara ini, kalau petugas keamanannya begini?” keluh Lintang, sengaja memancing emosi Bima. Dia menatap Bima dengan wajah sok prihatin. “Sepertinya lo harus melupakan gadis berambut ungu itu dan mengakhiri masa jomlo, Bim.”

Bantal hampir mendarat di muka Lintang. Beruntung, dirinya sempat menangkap bantal yang juga bergambar gadis berambut ungu. Bima mendengkus-dengkus sebal. Lemparannya tak membuahkan hasil yang memuaskan.

“Sialan! Lo sendiri juga jomlo, Lintang!” Bima mendadak tersenyum jahil. “Kejora oh Kejora wanita yang takkan terganti di hatiku owwooohhh,” dendang Bima dengan nada mengolok-olok.

Suara sumbang Bima baru berhenti ketika bantal mendarat tepat di wajahnya. Lintang tentu tak rela bibir si mesum Bima menyebut-nyebut nama cinta pertamanya yang sangat berharga. Bima melotot. Mata belonya menjadi tampak seperti ikan mas koki.

Lintang mendesah berat. Dia tak seharusnya terlibat hal konyol dengan Bima dan segera memenuhi panggilan. “Ada kasus! Kita harus segera ke TKP,” sergahnya.

 “Iya! Iya!” sungut Bima sambil berjalan ke arah lemari pakaian.

Tangannya segera membuka lemari dan mengeluarkan seragam cokelat yang sedikit kusut. Bima mengenakan pakaian dengan asal-asalan, sedikit kesusahan karena perut buncitnya. Berbeda dengan Lintang, pemuda itu  hanya akan berolahraga ketika didesak latihan oleh atasan.

Setelah mencuci muka di wastafel, dia meraih ponsel dan dompet. “Kapan kejadiannya? Barusan?” cetus Bima sambil menyisir rambut dengan kecepatan bayangan.

“Tadi malam.”

“Eh, tadi malam? Kenapa Pak Raden baru menghubungi pagi ini? Tumben.”

Lintang mendengkus. Bima memang suka mengolok-olok atasan mereka dengan sebutan Pak Raden. Dia mendesah berat sebelum menceritakan kemarahan Pak Arga.

“Entahlah dengan ponsel lo tapi gue nggak ngerti kenapa ponsel gue dalam mode getar. Padahal sebelumnya sudah disetel volume paling tinggi.” Bima tampak menelan ludah, membuat Lintang mengernyitkan dahi. “Ini bukan perbuatan lo, kan, Bim?”

“Ah, anu ... itu karena berisik jadi gue ....”

“BIMA!”

Bima langsung melenggang ke luar kamar. Sementara itu, Lintang mengatur napas, berusaha menahan emosi. Setelah merasa lebih tenang, tangannya meraih kunci mobil di meja. Baru saja hendak melangkah keluar, Bima malah menahannya di depan pintu.

“Apa lagi, Bim? Kita udah telat banget. Lo mau kita dipecat, hah?”

Bima mendecakkan lidah. Ancaman Lintang seolah tak menganggunya. Dia  malah menggeleng-gelengkan kepala dengan sorot mata meremehkan.

“Lo yakin mau berangkat ke TKP dengan penampilan ‘abang tukang bakso’ begini?” tanya Bima sambil menahan tawa. Lintang mengerutkan kening. Sang kawan menunjuk bahu Lintang, di mana handuk bekas mengeringkan rambut masih tersampir di sana.

“Shit!” serapah Lintang. Bima tertawa lepas.

***

Porsche Cayman, melaju dengan kecepatan sedang di antara lalu lintas ibukota. Bima tak henti berdecak kagum sambil mengelus-elus dashboard, masih tak percaya dirinya bisa menaiki mobil mewah tersebut. Lintang mendesah berat.

‘Kenapa juga gue kabur dari rumah malah bawa mobil yang ini?’

“Gue beneran nggak nyangka lo punya mobil mewah begini. Sekarang gue percaya lo anaknya, Pak Bayu Widjaya.”

Tatapan Lintang berubah menjadi dingin. Tangannya mencengkeram kemudi dengan kuat. Meski samar terdengar gemeletuk gigi yang beradu. Namun, Bima memang tidak peka. Dia tak menyadari perubahan drastis sahabatnya.

“Tapi, lo aneh, Ntang! Masa lo mau tinggal sama gue di kosan butut dibandingkan rumah eh bukan istana bokap lo?”

Lintang mendelik.

“Mending lo buka email, Bim. Bacakan kasus yang sudah dikirimkan Pak Arga!” perintah Lintang tak peduli pada bibir Bima yang sudah maju lima senti.

“Serius amat, sih, lo!”

Lintang berdeham.

“Iya! Iya!” Bima mengeluarkan ponsel pintarnya, membuka email. “Gue bacakan, ya!” ketus Bima sebelum membacakan kasus yang akan mereka tangani.

Pak Abimanyu (45 tahun) ditusuk pada dada kiri menggunakan belati ukuran 17 cm, subuh tadi di hotel Marilyn. Sebelumnya, korban diketahui memasuki kamar hotel pada pukul 23.15 WIB bersama seorang wanita panggilan. Pukul 02.25 WIB terdengar jeritan dari kamar korban.

Petugas hotel membuka kamar dengan kunci cadangan dan menemukan korban sudah terbunuh. Sebelum melakukan aksinya, sepertinya, pelaku mencampurkan obat tidur ke dalam minuman korban karena tidak ditemukan adanya tanda perlawanan. Pelaku kabur setelah membunuh korban dan melukai wanita panggilan yang ada bersama korban.

“Lelaki brengsek sepertinya pantas mendapatkan hukuman seperti itu,” gumam Lintang lirih.

“Eh?” Bima syok. Lintang tersentak, tak mengira Bima akan mendengar gumaman lirihnya. Bima menatap lekat wajah Lintang.

“Kira-kira begitu yang akan dikatakan istri korban,” kilah Lintang cepat. Mata kanannya berkedip dua kali, pertanda dirinya tengah menyembunyikan sesuatu. Beruntung, si polos Bima tidak menyadarinya.

Bima meninju pelan bahu Lintang sembari terkekeh. “Sialan lo, Ntang. Lo mau bikin gue jantungan, ya?”

Lintang acuh tak acuh. Bima kehabisan obrolan akhirnya memutuskan untuk memainkan salah satu permainan di ponselnya. Sementara itu, Lintang menatap hampa jalanan, membiarkan benaknya menampilkan kembali peristiwa masa lalu yang masih menorehkan luka dalam jiwa.

*Lintang dan Bumi bersenandung riang. Kakak beradik terpaut usia dua tahun itu mengenggam jemari ibu mereka. Sang ibu memang tengah mengajak mereka ke kantor ayah untuk mengantarkan dokumen yang tertinggal. Ketiganya begitu riang, tak menyadari bencana yang akan terjadi begitu sang ibu membuka pintu ruangan kerja.

“Papa!” jerit sang ibu penuh kemarahan untuk kemudian terdiam lama.

Bibirnya gemetar. Tubuh bergetar hebat. Dokumen di tangan jatuh mengempas lantai, lalu berhamburan. Buliran bening perlahan menuruni pipi. Bumi menarik saputangan di saku dan menyodorkannya pada sang ibu.

Sementara itu, Lintang menatap nyalang pada sang ayah dengan tangan terkepal kuat. Bayu Widjaya memang tengah mendekap erat gadis muda berparas cantik dengan rok mini dan kemeja super ketat dengan sebagian kancing terbuka.

Uluran sapu tangan Bumi tak disambut. Sang ibu malah melangkah cepat ke hadapan ayah mereka dan melayangkan tamparan keras ke pipi kanan. Tawa sinis mengudara. Bayu Widjaya bangkit dari sofa dan mengangkat dagu istrinya.

 “Ya ampun kamu ini berlebihan, Ma. Ini biasa saja terjadi di kalangan eksekutif. Kami bisa saja bosan dengan istri di rumah dan bermain dengan sekretaris sedikit,” cerocos sang ayah ringan.

“Papa keterlaluan! Aku mau minta ce—”

“Kenapa? Ingin cerai? Jangan bercanda, Purnama! Perusahaan kecil ayahmu itu takkan kulepaskan jika kamu berani macam-macam dan juga ...,” sang ayah bangkit dari sofa, mendekat dan mengusap-usap kepala Lintang dan Bumi, “kamu takkan pernah bisa bertemu dengan mereka lagi. Jadi, pulanglah sekarang! Jadilah istri yang penurut,” tutup sang ayah.

Ibu muda itu pun menarik tangan kedua putranya, bergegas meninggalkan ruangan dengan deraian air mata*.

Lintang mendesah berat. Sejak kejadian itu, ibunya tak pernah lagi sama. Beliau seolah menjelma menjadi sosok yang berbeda, menjadi sosok wanita yang dingin dan tak acuh. Lintang membenci ayah yang telah membuatnya kehilangan figur ibu sejak usia delapan tahun.

Lintang melambatkan laju mobilnya ketika melihat gedung bertingkat bertuliskan ‘Marilyn Hotel’ dalam jarak 20 meter.

***

Pintu lift terbuka perlahan tepat di lantai tujuh. Bima dan Lintang keluar berbarengan dan bergegas menuju kamar nomor 715. Salah seorang rekan yang sudah ada di TKP langsung menyambut keduanya. Pemuda itu segera membawa Lintang dan Bima memasuki kamar 715.

Bau amis menelusuk hidung. Tubuh subur lelaki paruh baya tergeletak dengan posisi telentang di atas ranjang hotel. Bagian dada piyama biru muda yang dikenakannya telah berubah warna menjadi merah kehitaman. Kondisi kamar memang menunjukkan korban tidak melakukan perlawanan.

Lintang menghampiri petugas yang tengah memotret TKP. “Penyelidikan sudah sampai mana, Bang?” tanyanya.

“Ah, kenapa kalian baru datang? Pak Arga hampir saja mengamuk.” Iman, rekan senior dengan aura kebapakan itu malah balik bertanya.

Sorot matanya tampak iba. Tentu saja, Lintang tahu mereka akan mendapat “hadiah manis” dari atasan nanti. Namun, saat ini, kasus di depan mata harus diprioritaskan.

“Biasalah, Bang. Ada yang kurang kerjaan menurunkan volume ponselku. Jadi, sudah sampai mana penyelidikannya, Bang?”

Bima cengengesan. Iman menggelengkan kepala. Lelaki itu pasti tadi sempat heran petugas disiplin seperti Lintang sampai terlambat ke TKP. Namun, tidak aneh lagi jika penyebabnya adalah makhluk paling absurd di divisi mereka.

“Seperti email yang sudah kukirim. Penyebab kematian tusukan di dada. Setelah melakukan aksi, pelaku kabur lewat jendela di sana,” jelas Iman sambil menunjuk ke Utara di mana jendela menuju balkon terbuka lebar.

Lintang mengangguk-angguk.  Sementara itu, Bima sudah memasang sarung tangan untuk kemudian mendekati korban. Dia mengamati lubang seukuran ujung belati di bagian dada kiri, lalu mencubit-cubit dagunya.

“Pelaku ini sudah sangat profesional. Hanya satu tusukannya saja berakibat fatal. Bekas luka ini menunjukkan pelaku sama sekali tidak ragu, sekali tancap langsung dilepas dengan cepat,” jelas Bima sambil memperagakan adegan penusukan dengan bolpoin.

Meskipun terkadang suka bersikap sangat menyebalkan, Lintang mengakui kemampuan analisis Bima adalah nomor satu di divisi mereka. Ketelitiannya dalam pengamatan juga di atas rata-rata. Bima bahkan bisa mengetahui tipe peluru hanya dari lubang di tubuh korban.

“Fix, ini perbuatan pembunuh bayaran terlatih!” seru Bima mengakhiri analisisnya.

“Hmm ... kalau pembunuh profesional, kita tidak akan menemukan sidik jari ataupun barang bukti,” gumam Lintang.

“Ah, kalau barang bukti ada,” celetuk Iman. Lintang mengerutkan kening. Tak biasanya seorang pembunuh profesional meninggalkan barang bukti. “Entahlah. Sepertinya, pelaku sengaja ingin mengolok-ngolok kita.”

Iman menyerahkan kantong plastik berisi kertas dengan bercak darah. Lintang menerimanya setelah mengenakan sarung tangan. Matanya menyipit. Ada dua baris kalimat di sana dan gambar kepala kucing berbulu merah.

Hai pak polisi, bagaimana pekerjaan kami? Sangat keren bukan? Ayo tangkap kami kalau bisa! ~Red Cat~

“Lalu, bagaimana dengan saksi, Bang? Dia selamat?”

 “Iya. Ketika kami datang wanita panggilan eh maksud saya saksi terkapar di lantai dengan luka di bagian bahu. Dari tadi, dia hanya meringkuk ketakutan. jadi, aku belum meminta keterangan.”

Lintang mendesah berat. Kadang tak mengerti dengan sifat terlalu lembek Iman. Menurutnya, bersimpati boleh, tapi harus tetap bersikap profesional. Namun, Bima malah  sering mengatakan Lintang kejam dan tidak berperikemanusiaan.

“Di mana saksinya, Bang?”

Iman menunjuk ke arah sofa dengan ragu. Dia tahu rekannya itu kadang terlalu mendesak saksi. Lintang mengalihkan pandangan.

Gadis berambut panjang tampak duduk gemetar sembari memeluk lutut. Lintang melangkah perlahan mendekat. Dilihatnya bahu yang terluka sudah dibalut perban. Lintang telah menyiapkan beberapa pertanyaan.

“Saya memiliki beberapa pertanyaan untuk Anda,” tegasnya. Gadis itu tampak tersentak dan mengangkat wajahnya perlahan. Lintang terperangah. Otaknya terasa kosong ketika mata bertemu. Bibir Lintang seketika bergetar menyebut sebuah nama, “Kejora?”

***

 

 

Terpopuler

Comments

4wied

4wied

melambatkan mobil dalam jarak 2 meter, sungguh masuk akal.........akalan crita

2023-08-22

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!