Bagian 2
Lintang berusaha keras tetap berdiri kokoh. Kenyataan pahit menamparnya begitu keras. Kejora, gadis manis, penguasa hati kini meringkuk bagai pesakitan di hadapannya. Gaun tidur tipis hitam selutut membalut tubuh mungil tampak acak-acakan. Pemuda bermata sipit itu menggelengkan kepala berkali-kali, tak ingin mempercayai penglihatannya.
‘Bagaimana mungkin Kejora yang pernah kehilangan keutuhan keluarga karena wanita murahan justru menjalani pekerjaan seperti ini?!’ teriak Lintang dalam benak.
Kejora menatap wajah Lintang dengan mata berkaca-kaca. Tanpa dapat dicegah, dia refleks mendekap pemuda di hadapannya. Suasana TKP pembunuhan menjadi canggung.
Bima sampai menjatuhkan peralatan penyidikan untuk melacak sidik jari. Iman seketika mengucap istighfar. Tangis gadis cantik itu pun memecahkan keheningan.
“Lintang, aku takut! Orang berbaju hitam itu akan membunuhku!” isaknya berulang-ulang.
Lintang menjadi serba salah pada Iman yang menatap penuh selidik. Apalagi, Bima sudah memasang wajah jail. Kadang, Lintang tak mengerti pada sahabatnya itu. Saat di TKP penuh ketegangan, daya humor Bima tidak turun sedikit pun.
Akhirnya, dengan gemetar tangan tegap Lintang mengusap kepala Kejora, tak peduli pada tatapan jail sang kawan. Dia bahkan merutuki diri sendiri. Seharusnya, memang tidak terbawa emosi dan besikap profesional. Namun, rindunya bahkan telah mengalahkan rasa benci pada wanita panggilan.
‘Ah, runtuh sudah segala profesionalitas yang kubangun,’ keluh Lintang dalam hati.
“Kejora ...,” gumam Lintang lembut setelah isakan Kejora mereda.
Gadis itu mendongak dan menatap lekat ke dalam mata sipit. Polisi muda menelan ludah. Sepasang netra indah itu masih mendebarkan dada.
“Aku masih harus menyelesaikan penyelidikan. Kamu duduk dulu, ya,” pintanya.
Kejora mengangguk, menurut ketika Lintang membimbingnya duduk di sofa. Pemuda bermata sipit itu pun mengurungkan niatnya untuk interogasi. Dia segera menghampiri Iman dan Bima yang masih terkesima.
“Foto-foto TKP sudah beres semua, Bang?” tanya Lintang dengan wajah serius.
Adegan dramatis sebelumnya seolah bukan hal istimewa. Meskipun banyak yang hendak ditanyakan, Iman memilih untuk melanjutkan proses penyelidikan. Dia segera menghubungkan kameranya ke notebook. Keduanya pun sibuk mengamati foto-foto TKP. Lintang tersentak ketika Bima menyikut pelan perutnya.
“Gila! Kejora cantik dan seksi banget! Bahenol, euy! Pantas aja lo susah move on, Ntang.” ledek Bima.
Lintang mendelik. Tentu saja kesal pada kelakuan sahabat super mesumnya itu. Bukannya serius menangani kasus, Bima malah berguyon tak jelas. Kalau saja tidak lagi menumpang dengannya, sudah dilempar Lintang makhluk menyebalkan itu dari jendela kamar hotel.
Iman hanya bisa menggelengkan kepala melihat tingkah kedua rekannya. Tim mereka memang sedikit aneh. Dibandingkan penyidik, kadang lebih mirip dengan sebuah keluarga. Iman sebagai ayah dengan dua putra yang bertolak belakang, Lintang, si dingin dan perfeksionis dan Bima, makhluk absurd dan hobi bercanda tanpa memahami situasi.
Lintang mengatur napas sejenak, mengatur emosinya agar tak terpancing kelakuan Bima. “Jendela yang terbuka ini agak aneh, ya?” celetuk Lintang sambil menunjuk foto jendela.
Bima mendecak kesal karena tak diacuhkan. Pemuda itu akhirnya kembali mengerjakan tugasnya melabeli barang-barang bukti yang telah di-packing.
“Kamu juga berpikiran sama ternyata,” sahut Iman.
Dua polisi itu pun mengeluarkan berbagai analisis. Jendela dalam foto memang agak mencurigakan. Hanya saja Iman dan Lintang masih tak mengerti di mana anehnya. Mereka merasa jendela hanyalah pengalih perhatian meskipun ditemukan bekas jejak kaki di tepi jendela.
Keduanya bahkan mendatangi jendela yang dimaksud dan mengamati jejak kaki misterius itu. Lintang sempat melirik Bima untuk kemudian menggeleng cepat. Sebenarnya, analisis Bima selalu cerdas, tapi jangan harap otaknya itu sedang berfungsi sekarang. Sekali program jail di otaknya aktif, kecerdasannya akan raib entah ke mana.
“Kita bisa dapatkan nanti dari keterangan saksi,” tutup Iman mengakhiri analisis mereka. Lintang mengangguk untuk kemudian menghampiri Bima yang telah selesai packing barang bukti.
“Bim, lo pulang sama Bang Iman, ya,” pinta Lintang.
Bima menatap protes pada Lintang. Namun, tak lama. Matanya menangkap Kejora yang masih tertunduk di sofa. Pemuda itu pun tersenyum penuh arti sambil merangkul bahu sahabatnya.
“Sip! Beres, Bro! Selamat bersenang-senang, Sobat! Yang penting pakai pengaman.”
Bima memekik ketika perutnya ditonjok kuat. Mata sipit melotot. Bima hanya cengar-cengir. Hampir saja muka reseknya kena tonjok. Untunglah, Iman cepat menangkap tangan Lintang. Wajah bersahajanya tampak lelah.
“Lama-lama kebotakan yang kualami bisa bertambah parah gara-gara mengurusi kalian,” keluhnya.
“Maafkan kami, Ayah. Kakak Lintang tersayang lagi sensian,” canda Bima, malah semakin menjadi-jadi, membuat Lintang mengepalkan tangan.
“Sudah, sudah kita pulang!” tegas Iman. Dia menyeret Bima keluar dari ruangan. Yah, tidak lucu jika sampai ada berita viral petugas kepolisian berkelahi di TKP.
Setelah kedua rekannya pergi, Lintang mengampiri kejora. Gadis cantik itu mengangkat wajahnya ragu. Tubuh mungil masih gemetaran menerbitkan rasa iba.
“Kuantar pulang, ya?” tawar Lintang.
Kejora menggeleng kuat.
“Tidak usah, itu akan merepotkanmu,” sahutnya cepat.
Namun, Lintang bisa melihat tangan halus tampak gemetaran dan bibir yang bergetar hebat. Gadis itu juga terlihat meringis beberapa kali sambil memegangi bahunya. Lintang menghela napas berat.
“Anggap saja aku sedang mengantarkan dan mengawal saksi,” bujuknya.
Lama gadis bergaun hitam itu terdiam. Dua pasang netra beradu. Kejora akhirnya mengangguk lemah. Lintang melepas jaketnya untuk menutupi punggung gadis pujaan hatinya yang terbuka. Keduanya berjalan bersisian ke luar kamar. Tak lupa Kejora meraih outer-nya yang tergeletak di lantai.
***
Lintang mengemudikan mobil dengan kecepatan sedang. Ah, tidak! Kecepatan kendaraan mewah itu di bawah batas kecepatan normal. Tak bisa diingkari, pemuda bermata sipit itu sengaja melambatkan laju Porsche-nya agar bisa lebih lama bersama Kejora.
Meskipun pekerjaan gadis itu mengiris hati, Lintang tak bisa membencinya. Rasa cinta masih menggebu tak peduli seberapa cacat gadis pujaan hati. Pemuda itu masih berharap Kejora hanya terpaksa karena keadaan.
Jika memungkinkan, Lintang ingin menyelamatkannya dari dunia hitam itu. Terlebih, ketika pemuda itu melihat kalung perak yang melingkar di leher sang gadis. Hadiah kenangan darinya dulu sebelum mereka terpisah jarak.
“Bagaimana kabar kamu sekarang?” tanya Lintang memulai obrolan. Kejora tersenyum hambar. Lintang merasa tak enak hati, mencoba mengalihkan pembicaraan. “Lama tak bertemu jadi canggung, ya. Padahal dulu kita soulmate.”
Kejora terkekeh membuat pemuda di sebelahnya menjadi merasa sedikit lebih lega. Dia memutar otak dengan cepat mencari obrolan menarik. Wanita berparas cantik serupa Kejora dan dua anak kembar silang membayang di benaknya.
“Ah, aku kangen sama Tante Bulan, Mentari dan Surya. Senang sekali kalau bisa bertemu lagi.”
Lintang menelan ludah ketika tawa Kejora mendadak terhenti. Wajah manis digayuti mendung. Mata bundar yang tadi sedikit berbinar berubah sendu. Senyum dipaksakan terukir di sudut bibir kemerahan setelah hening cukup lama.
“Mama sudah meninggal. Surya dibawa Papa, Mentari ikut aku,” sahut Kejora dengan suara bergetar.
“Kejora, maaf aku tidak bermaksud ....”
“Tidak apa, Lintang. Itu sudah lama sekali kejadiannya.”
Hening kembali menghantui. Lalu lintas jam sepuluh pagi tidak terlalu padat, tapi beberapa pengendara tak sabaran masih saja suka memencet klakson sembarangan. Lintang menaikkan jendela mobil dan menyetel lagu “Ruang Rindu”. Salah satu karya band Letto itu pun menemani perjalanan sekaligus membangkitkan kembali memori beberapa tahun silam.
“*Lintang!”
Suara yang tak asing membuat remaja berseragam putih biru itu berbalik. Benar saja, gadis manis pujaan hati berdiri di sana. Namun, ada yang salah. Cahaya mata Kejora tampak meredup. Netra yang selalu riang itu kini menatap Lintang dengan sendu.
Padahal, bocah laki-laki itu sudah kegirangan diajak bertemu oleh Kejora. Dia bahkan sudah membeli hadiah spesial. Ya, sahabatnya itu memang berulang tahun hari ini. Lintang yang tadinya ingin segera menyodorkan hadiahnya mengurungkan niat.
“Lintang ....”
Kejora tak sanggup melanjutkan ucapan. Dia terisak sambil menutupi wajah dengan kedua tangan. Tubuh mungil berguncang-guncang pelan. Lintang refleks menariknya ke dalam dekapan. Setelah tangisnya mereda, Kejora melepaskan pelukan Lintang.
“Kejora ada ap—”
Sebelum Lintang menyelesaikan kalimatnya, Kejora bergumam lirih, “Aku ... aku ingin mengucapkan selamat tinggal.”
“Eh? Kenapa?!” seru Lintang dengan mata membulat lebar.
“Mama akan membawa kami ke kota lain,” sahut gadis bermata bundar itu dengan suara bergetar.
Lintang hanya bisa mengepalkan jemarinya. Perceraian orang tua Kejora memang sudah menjadi perbincangan satu kompleks. Penyebabnya sama seperti keretakan dalam rumah tangga orang tua Lintang. Wanita murahan penggoda suami orang.
Bedanya, ayah Lintang hanya bermain-main dan tetap mempertahankan istri sah. Sementara ayah Kejora justru tega membuang keluarga demi seorang pelakor. Tangan Lintang tanpa sadar mengepal dengan kuat.
“Ulurkan tanganmu!” perintah Kejora. Lintang melonggarkan kepalan dan mengulurkan tangan kanannya, membiarkan gadis itu memasangkan gelang kerajinan buatan sendiri. “Kenang-kenangan dariku.”
Remaja tampan itu teringat sesuatu, cepat merogoh saku celananya. Kalung perak dengan liontin kecil berbentuk bintang tergenggam di tangan. Kejora menaikkan alisnya.
“Aku juga punya kenang-kenangan untukmu. Sebenarnya, sih, hadiah ulang tahun. Boleh kupakaikan?”
Kejora mengangguk. Lintang berjalan hingga berdiri persis di belakang sahabatnya itu. Sedikit gugup, tapi tetap mencoba tenang saat melingkarkan kalung di leher pujaan hati. Rona kemerahan menyapu pipi keduanya. Cinta pertama yang terasa membara dalam dekapan semilir angin. Meskipun tak ada satu bait kasih yang terucap dari bibir*.
“Kamu pasti kecewa karena aku memilih menjadi wanita murahan seperti ini,” celetuk Kejora membuyarkan lamunan. Lintang terlihat salah tingkah. Berkali-kali menggaruk kepala yang tidak gatal.
“Tidak begitu,” gumamnya lirih setelah berusaha keras mencari kata sanggahan yang tepat. Namun, dia gagal. Mau bagaimana lagi? Jujur, Lintang memang sempat sangat kecewa saat tadi melihat Kejora dalam keadaan seperti itu.
“Keliatan dari muka kamu yang terkejut tadi kok,” cetus Kejora.
Kali ini, dia terlihat lebih santai. Sepertinya, rasa takut akibat peristiwa pembunuhan sudah sedikit memudar. Meskipun tangannya masih terlihat gemetar. Sementara itu, Lintang mengigit bibir, membuat Kejora tersenyum lembut.
“Tak apa, Lintang. Bahkan, aku benci diriku yang seperti ini. Jika Mentari tahu, dia pasti membenciku juga.”
Kejora memejamkan mata sejenak.
“Maaf, ya, mengecewakanmu. Tapi, aku tidak akan menghancurkan rumah tangga orang, kok. Hanya one night.”
Hening beberapa jenak. Lintang mencengkeram kemudi, juga mengusap keringat yang meluncur di dahi. Berkali-kali terdengar embusan napas dari hidungnya.
“Kejora, apakah kamu mau keluar dari dunia yang ....”
“Maaf, saat ini tidak bisa,” potong Kejora. Mobil melewati sebuah perempatan. “Nanti, kalau ada minimarket ritel, masuk ke dalam gang di sebelahnya sekitar dua ratus meter. Rumahku yang warna putih. Ada pohon mangga di halamannya.” Lintang hanya bisa mengangguk patuh, kehilangan bahan obrolan.
***
Lintang mengucapkan salam sambil mengetuk pintu berwarna hijau lumut. Sementara itu, Kejora masih sibuk membenarkan letak outer-nya. Pintu terbuka perlahan. Mentari, gadis muda berkerudung abu-abu lebar menatap sang polisi tampan dengan raut wajah keheranan. Sekarang, Lintang tahu alasan Kejora takut adiknya mengetahui pekerjaan rahasianya.
“Ada apa ya, Pak?” tanya Mentari sopan. Lintang tersenyum ramah.
“Tari sudah lupa, ya, sama Kakak?” celetuk pemuda itu berpura-pura cemberut.
Jika saja Bima ada di situ, habislah Lintang kena ledekannya. Bagaimana tidak? Manusia yang diberi gelar gunung es oleh Bima mendadak ramah bagaikan malaikat. Sementara itu, Mentari membulatkan matanya. Berusaha keras menggali ingatan. Namun, tak berhasil.
“Ini Lintang, Tari. Kakak yang dulu suka ngasih kamu cokelat berbentuk beruang,” sahut Kejora dari balik punggung Lintang.
“Masya Allah, Kak Lintang!”
Wajah manis yang tadinya digayuti kebingungan mendadak cerah. Lintang mengangkat tangannya, hampir mengusap kepala Mentari. Namun, gadis itu mundur beberapa langkah. Lintang memasang wajah bersalah sembari menangkupkan tangan di depan dada.
“Maaf, Dik, bukan mahram, ya?” gumam Lintang canggung.
“Nggak papa, Kak. Wah, sekarang Kakak jadi polisi. Keren, Kak! Oh iya, bagaimana kabarnya, Kak?”
“Alhamdulillah, baik.”
Keduanya pun terlibat obrolan ringan. Lintang pun menjadi tahu mengapa dua bersaudara itu memiliki penampilan berbeda. Setahun lalu, Mentari rutin mengikuti pengajian di kampusnya, hingga memutuskan untuk hijrah.
“Duduk dulu, Ntang. Kamu mau minum apa?” tawar Kejora memotong obrolan Lintang dan adiknya.
“Waduh, Ra. Nggak usah repot-repot.”
“Nggak repot, kok. Duduk aja dulu.” Kejora hendak masuk ke rumah, tapi dicegah oleh Mentari, membuat sang kakak mengerutkan kening. “Kenapa, Tar?”
“Biar Tari yang bikinin minum. Kak Kejora, kan, habis pulang dinas dari luar kota. Mending istirahat, duduk sama Kak Lintang. Aku heran sama kantor Kakak. Suka sekali menyuruh orang dinas.”
Lintang tersentak. Sekarang, dia mengetahui cara Kejora mengelabui Mentari. Berpura-pura berangkat kerja seperti orang kantoran biasa. Jika ada “job spesial”, gadis itu akan menjadikan dinas luar kota sebagai alasan untuk tidak pulang ke rumah.
“Oke deh, adikku yang manis,” cetus Kejora seraya mencubit ujung hidung adiknya.
Kejora pun duduk di kursi rotan teras rumah berhadapan dengan Lintang yang telah duduk lebih dulu. Sementara itu, Mentari masuk sebentar dan keluar dengan nampan berisi tiga cangkir teh dan setoples camilan. Kejora tampak mengamati ujung outer-nya.
“Sial!” umpatnya kesal membuat Lintang mengerutkan kening. “Mentari jangan mendekat!” perintah Kejora.
Alis Mentari terangkat. Dengan raut wajah keheranan, tetap menghampiri kakaknya. Jarak mereka semakin dekat. Kejora tampak menelan ludah. Langkah Mentari terhenti. Matanya membelalak. Nampan terhempas bersamaan dengan tubuh kurus yang ambruk dengan tangan memegangi kepala.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 20 Episodes
Comments