Bagian 5 : Teguran Atasan

Bagian 5

 

Mentari mengedarkan pandangan. Namun, hanya gelap yang tertangkap mata. Gumaman mirip nyanyian menyentaknya. Dia mencoba mencari sumber suara, melangkah hati-hati di antara gulita.

Secercah cahaya di kejauhan membuatnya mempercepat langkah. Suara nyanyian terdengar semakin jelas, juga sosok gadis kecil berkepang dua yang duduk dengan sedikit membungkuk. Tangannya asyik mencoret-coret di atas kertas.

Mentari kini berdiri di belakang gadis kecil. Dia memicingkan mata, berusaha mengamati kertas. Tampaklah gambar kucing yang tengah tersenyum lebar. Tidak! Sang kucing menyeringai.

“Argh!”

Nyeri hebat menyerang kepala. Mentari jatuh terduduk. Namun, penderitaan seolah tak ingin menemui akhir. Cairan merah berbau anyir merembes di lantai membasahi gaunnya.

“Aaaa!”

***

“Tari! Tari!”

Tepukan di pipi dan teriakan panik membuat Mentari membuka mata perlahan. Detak jantung masih di atas kecepatan normal. Tubuh yang terbalut pakaian serba putih banjir keringat. Wajah pucat Kejora tertangkap pandangan.

“Kakak!” jerit Mentari histeris sebelum menjatuhkan diri dalam pelukan sang kakak. “Tari, takut, Kak! Ada kucing yang mengerikan, lalu darah ....”

“Ssshhh ... sudah sudah, sekarang sudah aman, oke?”

Mentari masih terisak. Pelukannya semakin erat. Kejora terus mengusap lembut punggung adiknya. Sementara itu, Lintang terdiam. Pikirannya mendadak tertuju pada kasus pembunuhan yang tempo hari ditangani. Ya, kucing, kucing merah dengan seringai mengerikan.

Pemuda itu mendesah berat. Kasus The Red Cat hingga kini masih menemui jalan buntu. Keputusan sementara kejahatan dilakukan pembunuh profesional. Kesksian warga di sekitar hotel juga tidak menunjukkan adanya sosok mencurigakan.

“Lintang, kamu bisa pulang saja,” cetus Kejora, membuyarkan lamunan Lintang.

Mentari sudah kembali tertidur. Lintang memasang wajah berpura-pura cemberut.

“Jadi, ngusir nih?” godanya.

“Hei, aku memanggilmu panik saat kamu baru saja menangani kasus pencurian, kan? Kamu pasti lelah, besok juga harus kerja. Pulanglah dan beristirahat.”

“Tap—”

“Aku marah nih.”

Lintang terkekeh.

“Oke, Tuan Putri. Besok aku mampir lagi habis pulang kerja.”

Kejora mengangguk. Lintang bangkit dan ke luar dari rawat inap dengan pikiran masih mengelana. Kejadian masuk rumah sakitnya Mentari terjadi begitu cepat.

Dia baru saja kembali dari TKP pencurian toko emas, saat Kejora mendadak menghubungi. Suara bernada cemas diiringi isakan membuat Lintang tanpa pikir panjang menjemput gadis pujaanya itu sebelum menuju rumah sakit. Ya, Mentari pingsan di kantor dengan alasan yang masih tidak diketahui.

***

Mentari mengembuskan napas berat. Sebulan bersama rekan kerja tak bersahabat benar-benar menguras energi. Terlebih, setelah peristiwa pingsannya di halaman belakang kantor tempo hari menyebar luas.

Bagaimana tidak? Seorang direktur dengan panik menggendong karyawan barunya untuk kemudian membawa ke rumah sakit dengan mobil pribadi. Tak peduli tatapan aneh yang mengiringi. Begitulah cerita Rainy tentang alasan senyuman rekan kerja yang semakin sinis.

“Kenapa jadi seperti ini?” lirih Mentari.

Dia tahu kehidupnnya akan semakin sulit. Namun, gadis itu tetap bersyukur memiliki sahabat seperti Rainy, juga bos sebaik Pak Adinata. Ah, nama lelaki tampan itu kembali mencuatkan kerinduan, seolah telah lama kenal.

Dia sempat berpikir sang direktur adalah teman di masa lalu. Mentari, ingin sekali mencari tahu, tapi takut nyeri kepala menyerang lagi jika harus mengingat masa silam. Gadis kurus itu memang kehilangan sebagian ingatan setelah 6 bulan depresi karena kematian ibunya.

“Tari, awas!” Pekikan panik Rainy membuyarkan lamunan.

Mentari tercekat melihat tumpukan sampah meluncur ke bawah. Kakinya seolah terpaku di tanah. Beruntung, Rainy segera menarik tubuh gadis itu. Keduanya terdudukdi atas rumput.

Mentari terperangah melihat gerakan refleks si gadis berkacamata. Tampaknya bukan hanya keberuntungan, tapi sudah ditempa bertahun-tahun.

Rainy menggeram marah melihat gelas-gelas kopi dari kardus, juga aneka sisa makanan tergeletak di atas rumput. Pertistiwa ini bukanlah ketidakasengajaan. Matanya menyorot tajam ke atas. Dua sosok di pinggir jendela cepat-cepat menyembunyikan diri.

“Kamu baik-baik saja, Tari?” tanya Rainy cemas dan mulai memeriksa jikalau ada cedera pada sahabatnya. Namun, luka itu justru ada di tumit Rainy. Saat menarik Mentari tadi, sepatu hak tingginya terlepas. Kaki gadis itu pun tersayat rumput tajam.

“Kamu yang terluka. Ayo kita obati!” seru Mentari

Gadis kurus itu menyeret Rainy menuju ruang kesehatan. Meskipun sang kawan menolak berkali-kali. Bahkan, terlihat yakin sekali lukanya akan sembuh dalam sehari.

Sesampainya di ruang kesehatan, Mentari langsung sibuk mencari antispetik, kapas dan plester luka. Dengan telaten, gadis itu membersihkan luka menggunakan kapas yang dibasahi antiseptik. Terakhir, dia menempelkan plester luka dengan hati-hati.

“Maaf, ya, Rain. Gara-gara aku ...,” gumam Mentari lirih.

“Hush! Kamu ngomong apa, sih? Sudah tugasku ....” Kening Mentari berkerut. “Sudah tugasku untuk melidungi sahabat terbaik sepertimu. Kamu ini polos banget, bikin gemes!” seru Rainy sambil mencubiti pipi Mentari.

“Aduh, sakit, Rain!” keluh Mentari. Rainy menangkupkan tangan depan dada sambil menyengir lebar. Hening beberapa jenak. “Oh ya. Rain, kamu bisa bela diri, ya?” celetuk Mentari.

Dia tentu masih heran dengan gerakan refleks bagaikan master bela diri tadi. Rainy terkekeh. Gadis itu membenarkan letak kacamatanya sebelum mencubiti lagi pipi Mentari.

“Iya, aku menguasai delapan teknik bela diri,” cetusnya sambil menepuk dada.

“Wow, keren!” puji Mentari dengan tatapan kagum.

“Dulu, aku sering di-bully.” Mentari menatap gadis di hadapannya dengan sorot mata iba. “Jadi, aku mempelajari bela diri agar mereka tak berani mengangguku lagi. Eh, habis itu malah kecanduan,” jelas Rainy sambil tertawa ngakak.

***

Jemari lincah di atas keyboard komputer. Laporan kasus bertumpuk di atas mejanya. Lintang seolah tak lagi peduli pada sekitar, larut dalam pekerjaan. Ya, hanya begitu saja cara yang terpikir olehnya untuk menepis perih menghunjam hati.

“Lo kenapa, Bro?” celetuk Bima sembari menepuk bahu sang kawan.

Lintang mengalihkan panndagan sejenak, mendecakkan lidah untuk kemudiam kembali bergelut dengan pekerjaannya. Bima mengamati wajah rekan kerjanya yang begitu kuyu. Kening si jail langsung berkerut.

“Lagaknya kayak patah hati saja padahal ‘kan, ....” Lintang mendelik. Bima terperangah. “Eh? Beneran patah hati? Kejora nolak lo? Atau jangan-jangan udah nikah, ya? Tapi, kan, kerjaannya ....”

BUUK

Map kuning dibanting dengan keras. Lintang menatap tajam. Bima menelan ludah berkali-kali. Tidak marah saja, kawannya itu sudah memiliki aura dingin sampai dapat olokan kulkas berjalan. Apalagi kalau lagi emosi. Bima menepuk-nepuk bahu Lintang sok akrab.

“Selow, Bro”

“Selaw selow! Sekali lagi ngomong, gue masukin kaus kaki ke mulut lo,” ancam Lintang, membuat kawannya itu mengkerut.

Akhirnya, Bima, si biang kerok kembali ke kursinya Lintang mengembuskan napas lega sebelum kembali menyelesaikan laporan. Sesekali Bima melirik tapi akan berpura-pura menatap jendela kalau Lintang mendelik.

Waktu berlalu tanpa terasa. Tinggal tiga laporan saja yang perlu diselesaikan. Lintang yakin dapat menyelesaikannya sebelum waktu makan siang. Namun, kedatangan Iman merubah rencanaya.

“Lintang, kamu dipanggil Pak Arga ke ruangan beliau,” tutur Iman. Raut wajah kebapakannya menyiratkan iba.

Lintang menjadi mendapat firasat tak mengenakannya. Namun, dia tetap mengangguk, berdiri, dan melangkah cepat menuju ruangan atasannya.

Kadang, Lintang merasa sangat bersyukur dengan kehadiran Iman. Paling tidak dia tak perlu menghadapai kekonyolan Bima sendirian. Iman adalah jenis orang normal yang tak suka ikut campur. Meskipun begitu dia lelaki berkumis tipis itu bisa menjdi sangat bijak ketika dimintai pendapat. Tak seperti Bima yang sedari tadi blingsatan, kepo dengan urusan Lintang dan selalu menambah kacau permasalahanan.

Lintang telah berada di depan ruangan Pak Arga. Tangan tegap mengetuk pintu beberapa kali. Hening sejenak sebelum terdengar sahutan dari dalam. Lintang membuka pintu dan menganggukan kepala sopan.

“Duduklah!” perintah Pak Arga.

Lintang segera menarik kursi dan duduk berhadapan dengan atasannya. Wajah masam sang atasan membuat pemuda bermata sipit itu merasakan firasat buruk. Pak Arga berdeham dua kali.

“Saya mendengar rumor tidak sedap tentang kamu dan saksi kasus pembunuhan Pak Abimanyu,” cecar Pak Arga. Mata elang menatap bawahannya penuh selidik. Lintang mengembuskan napas berat, sudah menduga kedekatannya dengan Kejora akan sedikit menimbulkan masalah.

“Saya mohon maaf jika menimbulkan rumor tidak sedap. Wanita itu adalah teman saya sejak kecil,” jawab Lintang. Pak Arga masih terlihat curiga, mengamati wajah si pemuda dengan seksama. Kelegaan menenangkan hati ketika wajah sang atasan melunak.

“Saya harap perasaan pribadi tidak menganggu penyelidikanmu,” tegas Pak Arga.

“Tentu saja, Pak.”

“Saya pegang ucapan kamu. Jika sampai terjadi kelalaian, kamu tahu sanksi apa yang akan kamu terima.”

“Siap, Pak!”

“Sekarang kembali selesaikan tugas kamu.”

“Siap, Pak!” Lintang bangkit dari kursi. “Saya permisi dulu, Pak.” Pemuda itu segera ke luar ruangan begitu mendapat anggukan dari atasannya.

***

“Asyik! Naik Porsche lagi!” seru Bima girang ketika telah duduk nyaman di jok depan.

Lintang menggelengkan kepala malas. Ingin pulang kerja dalam ketenangan sepertinya menjadi mustahil. Bagaimana tidak? Sepanjang jalan pastilah Bima, si lambe turah itu akan meracau. Iya kalau suaranya merdu. Lah ini, sepeti kodok kejepit pintu. Namun, apa boleh buat, namanya juga lagi numpang di rumahnya.

Pemuda bermata siping segera menyalakan mesin. Porsche Cayman pun meninggalkan halaman kantor. Untuk menghidari ocehan Bima, sengaja diputarnya salah satu lagu band rock internasional. Namun, si biang kerok tak kehabisan akal. Setelah memelankan volume suara musik, dia segera memasang wajah jail.

“Jangan bete dong! Kesel gue liatnya. Cewek, kan, bukan dia satu-satunya. Nanti gue kenalin deh sama cewek-cewek cakep, mau perawan ting-ting atau janda bohay,” racau Bima.

“Ngaca dulu, Bim,” sahut Lintang, sambil menahan diri agar tak menabok muka menyebalkan sahabatnya itu.

“Eh?” Bima mengamati pantulan wajahnya di kaca mobil. “Nggak ada yang salah sama muka gue, masih ganteng maskimal kayak biasa.”

“Maksudnya, Sebelum lo nyomblangin gue, kenapa nggak  lo sukseskan dulu kisah asmara lo sendiri.”

Bima mengerutkan kening sembari bergumam, “Kisah asmara gue udah sukses kok. Punya pacar secantik Haruka-chan ....”

“Nah sudah sampai. Buruan turun!” potong Lintang, tak ingin mendengar ocehan tak berguna tentang gadis dua dimensi kesayangan Bima.

Bima turun dari mobil sambil menggerutu. Lintang tak peduli. Hampir saja pemuda bermata sipit itu membuka pintu mobil. Namun, ponselnya berdering. Nama yang tertera di layar sebenarnya membuatnya malas menerima panggilan, tapi apa boleh buat.

“Halo, Pa. Ada apa?” ketus Lintang.

“Lintang, cepat pulang!” Belum apa-apa suara sang ayah sudah meninggi.

“Pulang? No!” sahut Lintang tak kalah tinggi.

Bima yang tadinya hampir msuk kosan berbalik arah. Kepalanya menyembul di samping kaca mobil dengan wajah super kepo. Lintang menoyor muka sang kawan, menjauhkannya agar tak menguping.

“Walaupun omamu sakit?” celetuk sang ayah, membuat Lintang tersentak. Tangan kirinya refleks mencengkeram kemudi.

“Oma kenapa, Pa?” tanyanya dengan tergesa.

“Tidak usah banyak tanya. Gara-gara kamu kabur seenaknya, Omamu itu jadi terlalu khawatir. Kalau kamu mau jadi cucu durhaka, tidak usah pulang saja sekalian!” bentak ayahnya sebelum memutus sambungan.

Lintang menyimpan kembali ponselnya. Wajah tampan itu tampak frustrasi. Bima tersenyum dan menepuk bahu sang kawan lembut.

“Pulanglah. Jangan sampai menyesal.” Lintang mengangguk.

“Apa boleh buat. Paling tidak sampai oma membaik.”

“Semoga oma lo cepat sembuh. Hati-hati di jalan!”

Lintang hanya menjawab dengan senyuman sebelum mobilnya meninggalkan halaman kosan. Wajah bersahaja sang nenek membayangi pikirannya. Rasa sesal menggayuti hati. Namun, Lintang memang tak tahan tinggal di dalam istana bagai neraka itu. Hanya saja, dia tak menyangka kepergiannya akan membuat ibu perinya jatuh sakit.

***

 

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!