Bagian 3 : Luka Kejora dan Mentari

Bagian 3

Kejora mendesah berat, cepat berdiri menghampiri tubuh adiknya. Lintang sempat termangu untuk kemudian segera membantu untuk membopong Mentari. Kejora membukakan pintu lebar-lebar untuk memudahkan Lintang memasuki rumah.

Tak lama hingga tubuh kurus dalam gendongan itu berpindah ke atas kursi tamu. Lintang menatap Kejora lekat, meminta penjelasan. Namun, gadis itu bergegas masuk ke kamar dan kembali dengan selimut.

“Bantu aku menyelimuti, Tari,” pintanya.

Lintang mengangguk, dengan cepat menutupi tubuh Mentari dengan selimut bermotif polkadot. Sementara itu, Kejora pergi ke dapur. Cukup lama hingga Lintang harus menunggu dengan gelisah. Terlebih, wajah Mentari terlihat ketakutan.

Tubuh kurus dalam gulungan selimut terus gemetaran. Lintang mengembuskan napas lega ketika Kejora muncul dari dapur dengan baskom yang mengepulkan asap. Gadis bermata bundar itu meletakkan baskom di atas meja sebelum mengompres kening sang adik.

“Tari, kenapa?” tanya Lintang memecah keheningan. Kejora menghela napas berat.

“Darah, Tari mengalami trauma. Jika melihat darah ataupun mencium aromanya, Tari akan sakit kepala dan pingsan.”

Kejora menunjuk ujung outer-nya. Ada bercak darah yang telah mengering di sana.  Selanjutnya, Tangan halus itu dengan telaten mengusap keringat di kening Mentari. Rasa penasaran masih menggayuti hati Lintang. Namun, dia cukup tahu diri untuk tidak mengorek informasi sembarangan.

“Tari trauma setelah menjadi melihat mama bunuh diri,” ketus Kejora setelah keheningan mencekam menghantui keduanya, membuat Lintang terperenyak. Cerita masa lalu itu pun mengalir perlahan dari bibir Kejora.

*Gadis berseragam putih abu itu baru saja tiba di depan rumah. Sedikit terlambat pulang sekolah karena ada pengumuman mengenai les untuk menghadapi Ujian Nasional. Kejora membuka pintu sambil mengucapkan salam.

Tak ada sahutan. Membuat sang gadis mengernyitkan dahi. Jantungnya berdegup kencang, teringat depresi yang dialami ibunya. Kejora segera memasuki rumah dengan setengah berlari.

“Mama ....”

Kata-kata Kejora terhenti. Tubuh ibunya terbujur kaku bersimbah darah. Lutut pun terasa lemas. Dia jatuh bersimpuh di atas genangan darah. Otak mendadak terasa kosong. Gadis itu hanya bisa menatap hampa mata penuh luka sang ibu.

Lama terpaku, kesadaran Kejora perlahan kembali. Tangannya cepat merogoh ponsel dalam tas selempang yang ternoda darah. Bercak darah menempel di permukaan ponsel saat dia menekan beberapa nomor.

“Halo, tolong ibu saya dalam keadaan darurat,” ucap gadis itu cepat begitu panggilan tersambung. Dia pun segera menyebutkan alamat rumahnya.

Begitu panggilan berahir, salah satu pintu kamar terbuka. Gadis berusia sepuluh tahun keluar sambil mengucek-ucek mata. Kejora berdiri, hendak menyeret sang adik kembali ke dalam kamar, bermaksud mencegah agar adiknya tidak melihat kondisi ibu mereka.

Namun, kakinya justru terpleset. Kejora tersungkur di kubangan darah. Kini, Mentari telah berada di hadapan sang ibu. Gadis kecil itu terlihat syok dan menjerit histeris sebelum tak sadarkan diri.

“Tari!” jerit Kejora panik*.

Kejora membuka mata. Lintang menatap prihatin. Dia menepuk bahu gadis itu pelan, seolah memberi kekuatan lewat sentuhan. Kejora kembali menghela napas berat.

“Ambulans datang tak lama kemudian, tapi nyawa mama sudah tidak bisa diselamatkan. Tari juga jadi begini,” lirihnya sendu.

Tangan halus mencelupkan kain ke dalam baskom dan memerasnya kuat-kuat. Kemudian, mengusap-usap kening Mentari dengan lembut.

“Andai saja aku bisa ada di sampingmu saat itu,” gumam Lintang.

“Kamu ini ada-ada saja. Memangnya kamu superhero yang bisa membawa mamaku dalam sekejap ke rumah sakit.”

Kejora terkekeh. Suasana canggung yang tadi menggayuti sedikit demi sedikit raib. Meskipun debar di dada pemuda bermata sipit itu tak mereda. Terutama, ketika senyuman hangat terukir di bibir Kejora.

Selanjutnya, Mereka mengobrol ringan. Lebih banyak mengenai pekerjaan Lintang. Tentu tak etis untuk membicarakan pekerjaan Kejora. Sebenarnya, sempat terlintas di benak Lintang untuk menanyakan tentang pelaku pembunuhan. Namun, urung. Dia khawatir kondisi Kejora kembali memburuk.

Tak terasa lebih satu jam telah berlalu. Cinta memang seaneh itu. Sosok dingin dan pembenci wanita tuna susila macam Lintang bisa mengobrol akrab dengan wanita sejenis itu.

“Sudah satu jam aku menyandera kamu di sini. Apa nggak dicariin rekan-rekan kamu nanti?” canda Kejora, membuat Lintang terkekeh.

“Jadi, aku diusir nih?” sahut Lintang sembari mengedipkan sebelah matanya.

Seandainya Bima berada  di sana, pasti pemuda itu sudah pingsan. Sahabat baiknya yang bahkan menolak cinta primadona kantor mendadak genit.

 “Ya nggaklah. Cuma aku nggak mau kamu sampai ditegur atasan. Apalagi, sampai dipecat. Kan, gawat, tuh.”

“Widiih! Perhatian banget sama aku. Udah kayak istri aja. Tapi, kalau mau sekalian jadi istri beneran juga nggak papa,” celetuk Lintang nakal. Kejora memukul bahunya pelan.

“Sana pulang!” 

“Ngambek nih ye,” goda Lintang, membuat mata bundar itu melotot. “Iya, iya ampun Tuan Putri. Hamba akan pulang sekarang.”

Kejora mencubit lengan pemuda itu keras-keras, membuatnya mengaduh. Setelah puas menggoda gadis pujaan hati, dia meminta nomor kontak, juga membuat janji untuk bertemu besok demi kepentingan penyidikan.

Setelah berbasa-basi lagi sejenak, Lintang berdiri untuk kemudian berjalan menuju pintu rumah diikuti Kejora. Mata keduanya sempat kembali beradu sebelum saling mengalihkan pandangan dengan pipi merona. Mereka tersenyum canggung.

“Kalau ada apa-apa, langsung hubungi aku. Beberapa petugas juga akan segera ditempatkan di sekitar sini untuk keamananmu,” cetus Lintang. Kejora mengangguk. Pemuda itu bergegas memasuki mobilnya.

***

Mobil Lintang memasuki halaman sebuah minimarket. Begitu keluar kendaraan mewah itu, dia segera memasuki bagunan dengan gradasi merah putih dan berlogo lebah. Kaki tegap melangkah ke depan lemari pendingin. Tangan kokohnya meraih sekaleng kopi untuk kemudian segera menuju kasir.

“Sebelas ribu rupiah,” ucap kasir. Lintang merogoh dompet di saku celana dan mengeluarkan uang 20.000-an. “Sekalian pulsanya, Pak?”

Lintang menggeleng pelan. Kasir menyerahkan uang kembalian. Ponsel disaku mendadak berbunyi. Pemuda itu pun mengeluarkannya dan menerima panggilan sambil berjalan ke luar minimarket.

Wajah tampan berubah masam begitu suara jail Bima yang terdengar. Panggilan langsung diputuskan. Namun, tak disangka ketika memasukkan ponsel ke saku, seorang anak kecil merampas dompet di tangannya.

“Hei, bocah, tunggu!”

Bocah lelaki berkepala plontos itu berlari kencang. Lintang memburu si pencopet cilik. Keduanya mulai memasuki gang-gang sempit. Aksi kejar-kejaran terus berlangsung hingga si bocah menghentikan langkah mendadak, hampir membuat mereka bertubrukan. Tak ingin membuang waktu, pemuda itu mencekal kedua tangannya.

“Ayo kembalikan dompet, Om! Atau Om bawa ke kantor!” ancam Lintang.

Bocah plontos tersenyum aneh sebelum melemparkan dompet Lintang. Pemuda itu menggelengkan kepala saat si bocah kabur. Lintang menunduk, mengambil dompetnya. Sosok tegap bergerak gesit, menusukkan belati ke pinggang Lintang.

Erangan mengudara bersamaan dengan lutut yang menghantam jalan. Pandangan Lintang menjadi berkunang-kunang. Dia bisa melihat sosok tinggi besar menggunakan topeng kucing berwarna merah berdiri di dekat kepala.

“Bagaimana, Pak Polisi? Kalian sudah bisa menemukan kami. Ah, sepertinya mustahil karena kalian sangat bodoh. Tipuan kecil seperti ini saja bisa menjebakmu,” bisik sosok itu sebelum menghilang seperti sihir.

Sebenarnya, bukan menghilang, tapi bergerak dengan kecepatan yang sangat tinggi. Rupanya, Komplotan Red Cat memang tidak bisa dianggap remeh.

Lintang berusaha menghentikan pendarahan sembari merogoh saku. Dengan tangan gemetar, dia mengeluarkan ponsel dan mencari nama Bima di kontak. Jeda sejenak sebelum panggilan tersambung.

“Tolongin gue, Bim! Gue ditusuk orang ....”

“Hah? Lo di mana?”

***

Kejora dan Mentari baru saja menyelesaikan sarapan ketika ponsel di meja berdering. Panggilan dari taksi online. Tangan halus meraih benda persegi itu dan menerima telepon. Setelah berbicara beberapa jenak, Mentari memutuskan sambungan.

“Taksinya sudah datang, Kak.”

“Ayo, nanti kamu telat!”

Kejora menarik tangan Mentari. Hampir saja tas sang adik ketinggalan di meja makan. Beruntung gadis berjilbab putih itu sempat meraihnya. Avanza hitam telah menunggu di halaman rumah. Kejora merapikan jilbab adiknya.

“Nah, udah cantik adikku. Semangat kamu pasti bisa!”

“Makasih, ya, Kak.” Kejora mengusap-usap kepala sang adik. “Tari, pergi dulu, ya, Kak. Assalamualaikum,” pamit Mentari sembari mencium punggung tangan Kejora.

“Walaikum salam, hati-hati di jalan.”

Mentari menggantungkan tas hitamnya di bahu. Tersenyum sekali lagi pada sang kakak untuk kemudian memasuki taksi. Dia sempat melambaikan tangan sebelum mobil meninggalkan halaman.

“PT Sejahtera, Mbak?” tanya sopir memastikan.

“Iya, Pak,” sahut Mnetari.

Avanza hitam melaju dengan kecepatan sedang di jalan raya utama. Lalu lintas padat merayap, membuat Mentari berkali-kali melirik arloji. Khawatir, dirinya akan terlambat untuk wawancara kerja. Dua hari lalu, gadis itu mendapat panggilan dari HRD perusahaan ternama untuk mengikuti wawancara pada hari ini.

Mentari mengembuskan napas lega begitu taksi memasuki gerbang dengan tulisan PT. Sejahtera. Begitu mobil berhenti, gadis itu menyerahkan uang jasa dan segera keluar. 

“Terima kasih, ya, Pak.”

“Sama-sama, Mbak.”

Mentari mempecepat langkahnya. Tinggal lima menit sebelum waktu wawancara. Tatapan aneh sempat diterimanya ketika memasuki gedung. Gadis itu tak ambil pusing dan tetap melangkap dengan percaya diri.

Dia memang sering dipandang aneh karena gamis syar’i dan jilbab lebarnya. Tentu saja, akan semakin terlihat aneh di lingkungan kantor di mana karyawan wanitanya kebanyakan berpenambilan modis dan kekinian, bahkan sebagian agak seksi.

Melihat pintu lift yang terbuka, Mentari bergegas masuk. Begitu berada di dalam, dia segera memencet tombol bernomor sepuluh. Gadis berkacamata yang telah ada di dalam lebih dulu melemparkan senyuman ramah, membuat Mentari merasa lega. Paling tidak, ada karyawan lain yang tidak memandang dirinya sebelah mata.

Dia pun balas tersenyum. Mereka berpisah ketika keluar dari lift. Mentari berbelok ke sebelah kanan, lurus ke ruang direktur. Sementara itu, gadis berkacamata melangkah ke sisi kiri dan memasuki ruangan disamping lift.

“Mbak Mentari?” tanya seorang gadis cantik dengan rok pendek selutut begitu Mentari tiba di depan ruangan direktur. Tampaknya sekretaris direktur. Mentari mengangguk sopan. “Langsung masuk saja ke dalam, sudah ditunggu Pak Direktur.”

Meski hanya sekilas, Mentari sempat melihat senyuman sinis dari si sekretaris sebelum memasuki ruangan cukup luas itu. Sebenarnya, dia sedikit ragu. Aneh memang, di mana-mana wawancara calon karyawan baru akan ditangani oleh HRD. Namun, kini Mentari diminta langsung menemui sang direktur.

“Permisi,” gumam Mentari canggung.

“Silakan duduk,” perintah lelaki muda di atas kursi kebesarannya.

Mentari sedikit tertegun. Usia lelaki itu terihat sangat muda untuk berada di posisinya saat ini. Kalau ditaksir kemungkinan besar hanya sebaya Mentari. Kalaupun lebih tua, pasti hanya berbeda satu atau dua tahun saja. Lagipula, wajah tampan itu terasa tidak asing.

Mentari menepis pikiran yang dirasanya tak penting, lalu duduk dengan sopan di hadapan sang direktur. Lelaki muda itu tersenyum ramah dan mulai menanyakan pertanyaan standar, seperti skill apa yang dimiliki hingga visi ke depan. Mentari berusaha menjawab sebaik mungkin. Wawancara selesai dalam waktu singkat.

“Selamat, Anda bisa bekerja mulai hari ini.”

“Eh?”

“Anda keberatan? Gajinya kurang besar?” tanya sang direktur dengan alis naik beberapa senti. Mentari cepat menggeleng.

“Bu-bukan, Pak. Saya hanya kaget saja. Biasanya, harus menunggu beberapa hari lagi, menunggu rapat dan sebagainya.”

“Anda memiliki kualifikasi yang menjanjikan untuk perusahaan. Saya tidak mau membuang waktu dengan menunda Anda bekerja di sini,” jelas direktur muda itu.

“Terima kasih, Pak,” ucap Mentari tulus.

Selanjutnya, sang direktur menelepon seseorang. Tak lama hingga sekretaris seksi di depan ruangan tadi masuk. Setelah berbicara beberapa jenak, lelaki muda bermata elang itu menatap Mentari sembari tersenyum lembut.

“Luna tunjukan ruangan kerja Nona Mentari,” titahnya.

“Baik, Pak.” Luna menatap Mentari dingin. “Silakan ikuti saya,” gumamnya dengan suara ramah, tapi menyimpan duri tersembunyi. Mentari yang peka dapat merasakannya. Dia mulai ragu dengan nasibnya ke depan.

Mentari mengangguk paruh, mengekori langkah Luna. Sebelum ke luar ruangan, sempat diliriknya papan nama di meja. Agak tertutup tapi dia berhasil membaca sebagian, Adinata. Nama itu terasa tidak asing. Mentari coba mengingat. Namun, kepalanya mendadak berdenyut. Dia menyerah, merasa tak perlu lagi menggali ingatan.

Luna membawa Mentari ke sebuah ruamgan luas dengan lima belas kubikel. Aktivitas para penghuni ruangan sempat terhenti, melirik dengan alis berkedut, juga tatapan sinis. Mentari menelan ludah.

“Ini meja kamu,” ketus Luna.

Mentari mencoba tak mengambil hati. Selanjutnya, Luna menjelaskan tugas-tugas untuk hari ini dan aktivitas rutin yang harus dilakukan. Gadis bertubuh semampai itu berlalu setelah merasa penjelasannya cukup. Tentu saja, diiringi tatapan genit karyawan laki-laki yang ada dalam ruangan.

Baru saja Mentari menyalakan komputer, ponselnya berbunyi. Pesan dari Kejora. Tak ingin membuat sang kakak cemas, dia segera mengirimkan pesan balasan mengenai keberuntungannya hari ini.

Ya, Direktur baik hati yang langsung menerimanya menjadi karyawan. Tentu saja, Mentari tak mau menceritakan perlakuan tak menyenangkan dari rekan kerja.

“Cih, mendapatkan pekejaan dengan menggoda Pak Direktur aja bangga.” Celetukan setengah berbisik terdengar dari kubikel di belakangnya meremukkan hati. Entah bagaimana bisa tersebar isu tak sedap itu.

“Masa, sih? Jibaban begitu?” sambung gadis ber-blazer cokelat.

“Alah, zaman sekarang jilbaban juga banyak yang murahan. Kalau nggak menggoda, mana mungkin Pak Direktur yang perfeksionis itu menerima orang baru hanya dari sekali wawancara.”

Mentari menggigit bibir. Sentuhan lembut di bahu membuatnya tersentak. Gadis berkacamata yang tadi ditemui dalam lift tersenyum lembut.

“Jangan dipikirkan ucapan mereka,” gumamnya. “Hai, namaku Rainy, salam kenal. Mohon kerja samanya, ya.”

Nyess, keramahan Rainy seolah menyiram kekeringan di hati Mentari.

***

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!