NovelToon NovelToon

Lintang Kejora

Bagian 1 : Pertemuan Kembali

Bagian 1

            Pintu kamar mandi terbuka perlahan. Pemuda tampan bermata sipit yang  tengah mengeringkan rambut keluar dari kamar mandi. Wajah ovalnya tampak riang. Bibirnya menyenandungkan lagu bertempo cepat.

Si pemuda melangkah ringan menuju lemari pakaian, membuka pintu kotak persegi berwarna abu-abu itu dan meraih seragam cokelat kebanggaannya. Seulas lekukan proporsional tersungging di bibir, bangga melihat bordiran bertuliskan “Lintang” di dada sebelah kanan.

Pemuda bernama Lintang itu berhenti mengancingkan seragam saat tak sengaja melihat ponsel bergetar. Keningnya berkerut, tak mengerti kenapa alat komunikasi itu dalam mode getar. Padahal, biasanya dia selalu menyetel volume paling keras karena sebagai petugas kepolisian Divisi Kriminal Umum panggilan darurat bisa datang kapan saja.

Lengan atletis meraih ponsel di atas tempat tidur. Mata sipit melirik layar ponsel, nama sang atasan terukir di layar. Jemarinya gesit menggeser layar untuk segera menerima panggilan.

“Selamat pagi, Pak!”

“Saya sudah puluhan kali melakukan panggilan ke nomormu dan  Bima! Kenapa baru diangkat? Apa kamu mau meremehkan atasan, Saudara Lintang?”

“Maaf, Pak. Saya tidak menyadari ponsel saya dalam mode getar!”

“Mode getar? Kamu adalah petugas yang harus siap siaga 24 jam! Bagaimana bisa ... argh! Nanti saja kita urus kedisiplinan kalian!”

Jeda sejenak. Terdengar tarikan dan embusan napas beberapa kali dari saluran telepon. Lintang masih dalam posisi siaga menunggu intruksi sang atasan.

“Kita mendapat kasus baru. Jam 2 dini hari terjadi pembunuhan di hotel Marilyn. Detailnya sudah dikirim lewat email. Segera menuju ke TKP! Petugas Iman sudah ada di sana!” perintah sang atasan.

“Siap laksanakan!”

Panggilan diakhiri oleh atasannya. Lintang segera mengancingkan seragam serta memakai celana cokelatnya dengan terburu-buru. Setelah menyisir rambut sekenanya, Lintang memasukkan dompet dan ponsel ke dalam saku. Tak ketinggalan memasang jaket kulit hitam kesayangannya.

“Bim, ayo cepat!” seru Lintang. Tak ada sahutan.

Lintang membalikkan badan. Dia menepuk kening melihat sahabat sekaligus rekan kerjanya, si Bima Sakti masih terlelap sambil memeluk erat guling bergambar gadis anime berambut ungu dengan gaun seksi. Lintang menggelengkan kepala sembari mendekati tempat tidur Bima yang juga dilapisi sprei bergambar sama.

 “Woy! Bima! Bangun!” panggilnya setengah membentak. Bima tak membuka mata, malah mengusap iler yang menetes dari sudut bibir.

“Haruka-chan, lima menit lagi, plis!” gumam Bima dengan suara manja.

Hampir saja Lintang muntah mendengarnya. Lekukan tak proporsional terukir di sudut bibir. Lintang mendadak menarik sprei, Bima seketika jatuh terguling.

“Arghh!” Bima meringis. Matanya membuka dengan malas. “Lintang!” seru pemuda berambut ikal itu berang ketika menemukan senyuman jahil di wajah Lintang.

Bima berdiri sambil mengusap dahi benjolnya. Lintang tertawa lepas melihat sang kawan yang tengah bersungut-sungut. Bima mendelik. Lintang menggeleng-gelengkan kepala sambil mendecak-decakkan lidah.

“Bagaimana nasib negara ini, kalau petugas keamanannya begini?” keluh Lintang, sengaja memancing emosi Bima. Dia menatap Bima dengan wajah sok prihatin. “Sepertinya lo harus melupakan gadis berambut ungu itu dan mengakhiri masa jomlo, Bim.”

Bantal hampir mendarat di muka Lintang. Beruntung, dirinya sempat menangkap bantal yang juga bergambar gadis berambut ungu. Bima mendengkus-dengkus sebal. Lemparannya tak membuahkan hasil yang memuaskan.

“Sialan! Lo sendiri juga jomlo, Lintang!” Bima mendadak tersenyum jahil. “Kejora oh Kejora wanita yang takkan terganti di hatiku owwooohhh,” dendang Bima dengan nada mengolok-olok.

Suara sumbang Bima baru berhenti ketika bantal mendarat tepat di wajahnya. Lintang tentu tak rela bibir si mesum Bima menyebut-nyebut nama cinta pertamanya yang sangat berharga. Bima melotot. Mata belonya menjadi tampak seperti ikan mas koki.

Lintang mendesah berat. Dia tak seharusnya terlibat hal konyol dengan Bima dan segera memenuhi panggilan. “Ada kasus! Kita harus segera ke TKP,” sergahnya.

 “Iya! Iya!” sungut Bima sambil berjalan ke arah lemari pakaian.

Tangannya segera membuka lemari dan mengeluarkan seragam cokelat yang sedikit kusut. Bima mengenakan pakaian dengan asal-asalan, sedikit kesusahan karena perut buncitnya. Berbeda dengan Lintang, pemuda itu  hanya akan berolahraga ketika didesak latihan oleh atasan.

Setelah mencuci muka di wastafel, dia meraih ponsel dan dompet. “Kapan kejadiannya? Barusan?” cetus Bima sambil menyisir rambut dengan kecepatan bayangan.

“Tadi malam.”

“Eh, tadi malam? Kenapa Pak Raden baru menghubungi pagi ini? Tumben.”

Lintang mendengkus. Bima memang suka mengolok-olok atasan mereka dengan sebutan Pak Raden. Dia mendesah berat sebelum menceritakan kemarahan Pak Arga.

“Entahlah dengan ponsel lo tapi gue nggak ngerti kenapa ponsel gue dalam mode getar. Padahal sebelumnya sudah disetel volume paling tinggi.” Bima tampak menelan ludah, membuat Lintang mengernyitkan dahi. “Ini bukan perbuatan lo, kan, Bim?”

“Ah, anu ... itu karena berisik jadi gue ....”

“BIMA!”

Bima langsung melenggang ke luar kamar. Sementara itu, Lintang mengatur napas, berusaha menahan emosi. Setelah merasa lebih tenang, tangannya meraih kunci mobil di meja. Baru saja hendak melangkah keluar, Bima malah menahannya di depan pintu.

“Apa lagi, Bim? Kita udah telat banget. Lo mau kita dipecat, hah?”

Bima mendecakkan lidah. Ancaman Lintang seolah tak menganggunya. Dia  malah menggeleng-gelengkan kepala dengan sorot mata meremehkan.

“Lo yakin mau berangkat ke TKP dengan penampilan ‘abang tukang bakso’ begini?” tanya Bima sambil menahan tawa. Lintang mengerutkan kening. Sang kawan menunjuk bahu Lintang, di mana handuk bekas mengeringkan rambut masih tersampir di sana.

“Shit!” serapah Lintang. Bima tertawa lepas.

***

Porsche Cayman, melaju dengan kecepatan sedang di antara lalu lintas ibukota. Bima tak henti berdecak kagum sambil mengelus-elus dashboard, masih tak percaya dirinya bisa menaiki mobil mewah tersebut. Lintang mendesah berat.

‘Kenapa juga gue kabur dari rumah malah bawa mobil yang ini?’

“Gue beneran nggak nyangka lo punya mobil mewah begini. Sekarang gue percaya lo anaknya, Pak Bayu Widjaya.”

Tatapan Lintang berubah menjadi dingin. Tangannya mencengkeram kemudi dengan kuat. Meski samar terdengar gemeletuk gigi yang beradu. Namun, Bima memang tidak peka. Dia tak menyadari perubahan drastis sahabatnya.

“Tapi, lo aneh, Ntang! Masa lo mau tinggal sama gue di kosan butut dibandingkan rumah eh bukan istana bokap lo?”

Lintang mendelik.

“Mending lo buka email, Bim. Bacakan kasus yang sudah dikirimkan Pak Arga!” perintah Lintang tak peduli pada bibir Bima yang sudah maju lima senti.

“Serius amat, sih, lo!”

Lintang berdeham.

“Iya! Iya!” Bima mengeluarkan ponsel pintarnya, membuka email. “Gue bacakan, ya!” ketus Bima sebelum membacakan kasus yang akan mereka tangani.

Pak Abimanyu (45 tahun) ditusuk pada dada kiri menggunakan belati ukuran 17 cm, subuh tadi di hotel Marilyn. Sebelumnya, korban diketahui memasuki kamar hotel pada pukul 23.15 WIB bersama seorang wanita panggilan. Pukul 02.25 WIB terdengar jeritan dari kamar korban.

Petugas hotel membuka kamar dengan kunci cadangan dan menemukan korban sudah terbunuh. Sebelum melakukan aksinya, sepertinya, pelaku mencampurkan obat tidur ke dalam minuman korban karena tidak ditemukan adanya tanda perlawanan. Pelaku kabur setelah membunuh korban dan melukai wanita panggilan yang ada bersama korban.

“Lelaki brengsek sepertinya pantas mendapatkan hukuman seperti itu,” gumam Lintang lirih.

“Eh?” Bima syok. Lintang tersentak, tak mengira Bima akan mendengar gumaman lirihnya. Bima menatap lekat wajah Lintang.

“Kira-kira begitu yang akan dikatakan istri korban,” kilah Lintang cepat. Mata kanannya berkedip dua kali, pertanda dirinya tengah menyembunyikan sesuatu. Beruntung, si polos Bima tidak menyadarinya.

Bima meninju pelan bahu Lintang sembari terkekeh. “Sialan lo, Ntang. Lo mau bikin gue jantungan, ya?”

Lintang acuh tak acuh. Bima kehabisan obrolan akhirnya memutuskan untuk memainkan salah satu permainan di ponselnya. Sementara itu, Lintang menatap hampa jalanan, membiarkan benaknya menampilkan kembali peristiwa masa lalu yang masih menorehkan luka dalam jiwa.

*Lintang dan Bumi bersenandung riang. Kakak beradik terpaut usia dua tahun itu mengenggam jemari ibu mereka. Sang ibu memang tengah mengajak mereka ke kantor ayah untuk mengantarkan dokumen yang tertinggal. Ketiganya begitu riang, tak menyadari bencana yang akan terjadi begitu sang ibu membuka pintu ruangan kerja.

“Papa!” jerit sang ibu penuh kemarahan untuk kemudian terdiam lama.

Bibirnya gemetar. Tubuh bergetar hebat. Dokumen di tangan jatuh mengempas lantai, lalu berhamburan. Buliran bening perlahan menuruni pipi. Bumi menarik saputangan di saku dan menyodorkannya pada sang ibu.

Sementara itu, Lintang menatap nyalang pada sang ayah dengan tangan terkepal kuat. Bayu Widjaya memang tengah mendekap erat gadis muda berparas cantik dengan rok mini dan kemeja super ketat dengan sebagian kancing terbuka.

Uluran sapu tangan Bumi tak disambut. Sang ibu malah melangkah cepat ke hadapan ayah mereka dan melayangkan tamparan keras ke pipi kanan. Tawa sinis mengudara. Bayu Widjaya bangkit dari sofa dan mengangkat dagu istrinya.

 “Ya ampun kamu ini berlebihan, Ma. Ini biasa saja terjadi di kalangan eksekutif. Kami bisa saja bosan dengan istri di rumah dan bermain dengan sekretaris sedikit,” cerocos sang ayah ringan.

“Papa keterlaluan! Aku mau minta ce—”

“Kenapa? Ingin cerai? Jangan bercanda, Purnama! Perusahaan kecil ayahmu itu takkan kulepaskan jika kamu berani macam-macam dan juga ...,” sang ayah bangkit dari sofa, mendekat dan mengusap-usap kepala Lintang dan Bumi, “kamu takkan pernah bisa bertemu dengan mereka lagi. Jadi, pulanglah sekarang! Jadilah istri yang penurut,” tutup sang ayah.

Ibu muda itu pun menarik tangan kedua putranya, bergegas meninggalkan ruangan dengan deraian air mata*.

Lintang mendesah berat. Sejak kejadian itu, ibunya tak pernah lagi sama. Beliau seolah menjelma menjadi sosok yang berbeda, menjadi sosok wanita yang dingin dan tak acuh. Lintang membenci ayah yang telah membuatnya kehilangan figur ibu sejak usia delapan tahun.

Lintang melambatkan laju mobilnya ketika melihat gedung bertingkat bertuliskan ‘Marilyn Hotel’ dalam jarak 20 meter.

***

Pintu lift terbuka perlahan tepat di lantai tujuh. Bima dan Lintang keluar berbarengan dan bergegas menuju kamar nomor 715. Salah seorang rekan yang sudah ada di TKP langsung menyambut keduanya. Pemuda itu segera membawa Lintang dan Bima memasuki kamar 715.

Bau amis menelusuk hidung. Tubuh subur lelaki paruh baya tergeletak dengan posisi telentang di atas ranjang hotel. Bagian dada piyama biru muda yang dikenakannya telah berubah warna menjadi merah kehitaman. Kondisi kamar memang menunjukkan korban tidak melakukan perlawanan.

Lintang menghampiri petugas yang tengah memotret TKP. “Penyelidikan sudah sampai mana, Bang?” tanyanya.

“Ah, kenapa kalian baru datang? Pak Arga hampir saja mengamuk.” Iman, rekan senior dengan aura kebapakan itu malah balik bertanya.

Sorot matanya tampak iba. Tentu saja, Lintang tahu mereka akan mendapat “hadiah manis” dari atasan nanti. Namun, saat ini, kasus di depan mata harus diprioritaskan.

“Biasalah, Bang. Ada yang kurang kerjaan menurunkan volume ponselku. Jadi, sudah sampai mana penyelidikannya, Bang?”

Bima cengengesan. Iman menggelengkan kepala. Lelaki itu pasti tadi sempat heran petugas disiplin seperti Lintang sampai terlambat ke TKP. Namun, tidak aneh lagi jika penyebabnya adalah makhluk paling absurd di divisi mereka.

“Seperti email yang sudah kukirim. Penyebab kematian tusukan di dada. Setelah melakukan aksi, pelaku kabur lewat jendela di sana,” jelas Iman sambil menunjuk ke Utara di mana jendela menuju balkon terbuka lebar.

Lintang mengangguk-angguk.  Sementara itu, Bima sudah memasang sarung tangan untuk kemudian mendekati korban. Dia mengamati lubang seukuran ujung belati di bagian dada kiri, lalu mencubit-cubit dagunya.

“Pelaku ini sudah sangat profesional. Hanya satu tusukannya saja berakibat fatal. Bekas luka ini menunjukkan pelaku sama sekali tidak ragu, sekali tancap langsung dilepas dengan cepat,” jelas Bima sambil memperagakan adegan penusukan dengan bolpoin.

Meskipun terkadang suka bersikap sangat menyebalkan, Lintang mengakui kemampuan analisis Bima adalah nomor satu di divisi mereka. Ketelitiannya dalam pengamatan juga di atas rata-rata. Bima bahkan bisa mengetahui tipe peluru hanya dari lubang di tubuh korban.

“Fix, ini perbuatan pembunuh bayaran terlatih!” seru Bima mengakhiri analisisnya.

“Hmm ... kalau pembunuh profesional, kita tidak akan menemukan sidik jari ataupun barang bukti,” gumam Lintang.

“Ah, kalau barang bukti ada,” celetuk Iman. Lintang mengerutkan kening. Tak biasanya seorang pembunuh profesional meninggalkan barang bukti. “Entahlah. Sepertinya, pelaku sengaja ingin mengolok-ngolok kita.”

Iman menyerahkan kantong plastik berisi kertas dengan bercak darah. Lintang menerimanya setelah mengenakan sarung tangan. Matanya menyipit. Ada dua baris kalimat di sana dan gambar kepala kucing berbulu merah.

Hai pak polisi, bagaimana pekerjaan kami? Sangat keren bukan? Ayo tangkap kami kalau bisa! ~Red Cat~

“Lalu, bagaimana dengan saksi, Bang? Dia selamat?”

 “Iya. Ketika kami datang wanita panggilan eh maksud saya saksi terkapar di lantai dengan luka di bagian bahu. Dari tadi, dia hanya meringkuk ketakutan. jadi, aku belum meminta keterangan.”

Lintang mendesah berat. Kadang tak mengerti dengan sifat terlalu lembek Iman. Menurutnya, bersimpati boleh, tapi harus tetap bersikap profesional. Namun, Bima malah  sering mengatakan Lintang kejam dan tidak berperikemanusiaan.

“Di mana saksinya, Bang?”

Iman menunjuk ke arah sofa dengan ragu. Dia tahu rekannya itu kadang terlalu mendesak saksi. Lintang mengalihkan pandangan.

Gadis berambut panjang tampak duduk gemetar sembari memeluk lutut. Lintang melangkah perlahan mendekat. Dilihatnya bahu yang terluka sudah dibalut perban. Lintang telah menyiapkan beberapa pertanyaan.

“Saya memiliki beberapa pertanyaan untuk Anda,” tegasnya. Gadis itu tampak tersentak dan mengangkat wajahnya perlahan. Lintang terperangah. Otaknya terasa kosong ketika mata bertemu. Bibir Lintang seketika bergetar menyebut sebuah nama, “Kejora?”

***

 

 

Bagian 2 : Tentang Kita

Bagian 2

Lintang berusaha keras tetap berdiri kokoh. Kenyataan pahit menamparnya begitu keras. Kejora, gadis manis, penguasa hati kini meringkuk bagai pesakitan di hadapannya. Gaun tidur tipis hitam selutut membalut tubuh mungil tampak acak-acakan. Pemuda bermata sipit itu menggelengkan kepala berkali-kali, tak ingin mempercayai penglihatannya.

‘Bagaimana mungkin Kejora yang pernah kehilangan keutuhan keluarga karena wanita murahan justru menjalani pekerjaan seperti ini?!’ teriak Lintang dalam benak.

Kejora menatap wajah Lintang dengan mata berkaca-kaca. Tanpa dapat dicegah, dia refleks mendekap pemuda di hadapannya. Suasana TKP pembunuhan menjadi canggung.

Bima sampai menjatuhkan peralatan penyidikan untuk melacak sidik jari. Iman seketika mengucap istighfar. Tangis gadis cantik itu pun memecahkan keheningan.

“Lintang, aku takut! Orang berbaju hitam itu akan membunuhku!” isaknya berulang-ulang.

Lintang menjadi serba salah pada Iman yang menatap penuh selidik. Apalagi, Bima sudah memasang wajah jail. Kadang, Lintang tak mengerti pada sahabatnya itu. Saat di TKP penuh ketegangan, daya humor Bima tidak turun sedikit pun.

Akhirnya, dengan gemetar tangan tegap Lintang mengusap kepala Kejora, tak peduli pada tatapan jail sang kawan. Dia bahkan merutuki diri sendiri. Seharusnya, memang tidak terbawa emosi dan besikap profesional. Namun, rindunya bahkan telah mengalahkan rasa benci pada wanita panggilan.

‘Ah, runtuh sudah segala profesionalitas yang kubangun,’ keluh Lintang dalam hati.

“Kejora ...,” gumam Lintang lembut setelah isakan Kejora mereda.

Gadis itu mendongak dan menatap lekat ke dalam mata sipit. Polisi muda menelan ludah. Sepasang netra indah itu masih mendebarkan dada.

“Aku masih harus menyelesaikan penyelidikan. Kamu duduk dulu, ya,” pintanya.

Kejora mengangguk, menurut ketika Lintang membimbingnya duduk di sofa. Pemuda bermata sipit itu pun mengurungkan niatnya untuk interogasi. Dia segera menghampiri Iman dan Bima yang masih terkesima.

“Foto-foto TKP sudah beres semua, Bang?” tanya Lintang dengan wajah serius.

Adegan dramatis sebelumnya seolah bukan hal istimewa. Meskipun banyak yang hendak ditanyakan, Iman memilih untuk melanjutkan proses penyelidikan. Dia segera menghubungkan kameranya ke notebook. Keduanya pun sibuk mengamati foto-foto TKP. Lintang tersentak ketika Bima menyikut pelan perutnya.

“Gila! Kejora cantik dan seksi banget! Bahenol, euy! Pantas aja lo susah move on, Ntang.” ledek Bima.

Lintang mendelik. Tentu saja kesal pada kelakuan sahabat super mesumnya itu. Bukannya serius menangani kasus, Bima malah berguyon tak jelas. Kalau saja tidak lagi menumpang dengannya, sudah dilempar Lintang makhluk menyebalkan itu dari jendela kamar hotel.

Iman hanya bisa menggelengkan kepala melihat tingkah kedua rekannya. Tim mereka memang sedikit aneh. Dibandingkan penyidik, kadang lebih mirip dengan sebuah keluarga. Iman sebagai ayah dengan dua putra yang bertolak belakang, Lintang, si dingin dan perfeksionis dan Bima, makhluk absurd dan hobi bercanda tanpa memahami situasi.

Lintang mengatur napas sejenak, mengatur emosinya agar tak terpancing kelakuan Bima. “Jendela yang terbuka ini agak aneh, ya?” celetuk Lintang sambil menunjuk foto jendela.

Bima mendecak kesal karena tak diacuhkan. Pemuda itu akhirnya kembali mengerjakan tugasnya melabeli barang-barang bukti yang telah di-packing.

“Kamu juga berpikiran sama ternyata,” sahut Iman.

Dua polisi itu pun mengeluarkan berbagai analisis. Jendela dalam foto memang agak mencurigakan. Hanya saja Iman dan Lintang masih tak mengerti di mana anehnya. Mereka merasa jendela hanyalah pengalih perhatian meskipun ditemukan bekas jejak kaki di tepi jendela.

Keduanya bahkan mendatangi jendela yang dimaksud dan mengamati jejak kaki misterius itu. Lintang sempat melirik Bima untuk kemudian menggeleng cepat. Sebenarnya, analisis Bima selalu cerdas, tapi jangan harap otaknya itu sedang berfungsi sekarang. Sekali program jail di otaknya aktif, kecerdasannya akan raib entah ke mana.

“Kita bisa dapatkan nanti dari keterangan saksi,” tutup Iman mengakhiri analisis mereka. Lintang mengangguk untuk kemudian menghampiri Bima yang telah selesai packing barang bukti.

“Bim, lo pulang sama Bang Iman, ya,” pinta Lintang.

Bima menatap protes pada Lintang. Namun, tak lama. Matanya menangkap Kejora yang masih tertunduk di sofa. Pemuda itu pun tersenyum penuh arti sambil merangkul bahu sahabatnya.

“Sip! Beres, Bro! Selamat bersenang-senang, Sobat! Yang penting pakai pengaman.”

Bima memekik ketika perutnya ditonjok kuat. Mata sipit melotot. Bima hanya cengar-cengir. Hampir saja muka reseknya kena tonjok. Untunglah, Iman cepat menangkap tangan Lintang. Wajah  bersahajanya tampak lelah.

“Lama-lama kebotakan yang kualami bisa bertambah parah gara-gara mengurusi kalian,” keluhnya.

“Maafkan kami, Ayah. Kakak Lintang tersayang lagi sensian,” canda Bima, malah semakin menjadi-jadi, membuat Lintang mengepalkan tangan.

“Sudah, sudah kita pulang!” tegas Iman. Dia menyeret Bima keluar dari ruangan. Yah, tidak lucu jika sampai ada berita viral petugas kepolisian berkelahi di TKP.

Setelah kedua rekannya pergi, Lintang mengampiri kejora. Gadis cantik itu mengangkat wajahnya ragu. Tubuh mungil masih gemetaran menerbitkan rasa iba.

“Kuantar pulang, ya?” tawar Lintang.

Kejora menggeleng kuat.

“Tidak usah, itu akan merepotkanmu,” sahutnya cepat.

Namun, Lintang bisa melihat tangan halus tampak gemetaran dan bibir yang bergetar hebat. Gadis itu juga terlihat meringis beberapa kali sambil memegangi bahunya. Lintang menghela napas berat.

“Anggap saja aku sedang mengantarkan dan mengawal saksi,” bujuknya.

Lama gadis bergaun hitam itu terdiam. Dua pasang netra beradu. Kejora akhirnya mengangguk lemah. Lintang melepas jaketnya untuk menutupi punggung gadis pujaan hatinya yang terbuka. Keduanya berjalan bersisian ke luar kamar. Tak lupa Kejora meraih outer-nya yang tergeletak di lantai.

***

Lintang mengemudikan mobil dengan kecepatan sedang. Ah, tidak! Kecepatan kendaraan mewah itu di bawah batas kecepatan normal. Tak bisa diingkari, pemuda bermata sipit itu sengaja melambatkan laju Porsche-nya agar bisa lebih lama bersama Kejora.

Meskipun pekerjaan gadis itu mengiris hati, Lintang tak bisa membencinya. Rasa cinta masih menggebu tak peduli seberapa cacat gadis pujaan hati. Pemuda itu masih berharap Kejora hanya terpaksa karena keadaan.

Jika memungkinkan, Lintang ingin menyelamatkannya dari dunia hitam itu. Terlebih, ketika pemuda itu melihat kalung perak yang melingkar di leher sang gadis. Hadiah kenangan darinya dulu sebelum mereka terpisah jarak.

“Bagaimana kabar kamu sekarang?” tanya Lintang memulai obrolan. Kejora tersenyum hambar. Lintang merasa tak enak hati, mencoba mengalihkan pembicaraan. “Lama tak bertemu jadi canggung, ya. Padahal dulu kita soulmate.”

Kejora terkekeh membuat pemuda di sebelahnya menjadi merasa sedikit lebih lega. Dia memutar otak dengan cepat mencari obrolan menarik. Wanita berparas cantik serupa Kejora dan dua anak kembar silang membayang di benaknya.

“Ah, aku kangen sama Tante Bulan, Mentari dan Surya. Senang sekali kalau bisa bertemu lagi.”

Lintang menelan ludah ketika tawa Kejora mendadak terhenti. Wajah manis digayuti mendung. Mata bundar yang tadi sedikit berbinar berubah sendu. Senyum dipaksakan terukir di sudut bibir kemerahan setelah hening cukup lama.

“Mama sudah meninggal. Surya dibawa Papa, Mentari ikut aku,” sahut Kejora dengan suara bergetar.

“Kejora, maaf aku tidak bermaksud ....”

“Tidak apa, Lintang. Itu sudah lama sekali kejadiannya.”

Hening kembali menghantui. Lalu lintas jam sepuluh pagi tidak terlalu padat, tapi beberapa pengendara tak sabaran masih saja suka memencet klakson sembarangan. Lintang menaikkan jendela mobil dan menyetel lagu “Ruang Rindu”. Salah satu karya band Letto itu pun menemani perjalanan sekaligus membangkitkan kembali memori beberapa tahun silam.

“*Lintang!”

Suara yang tak asing membuat remaja berseragam putih biru itu berbalik. Benar saja, gadis manis pujaan hati berdiri di sana. Namun, ada yang salah. Cahaya mata Kejora tampak meredup. Netra yang selalu riang itu kini menatap Lintang dengan sendu.

Padahal, bocah laki-laki itu sudah kegirangan diajak bertemu oleh Kejora. Dia bahkan sudah membeli hadiah spesial. Ya, sahabatnya itu memang berulang tahun hari ini. Lintang yang tadinya ingin segera menyodorkan hadiahnya mengurungkan niat.

“Lintang ....”

Kejora tak sanggup melanjutkan ucapan. Dia terisak sambil menutupi wajah dengan kedua tangan. Tubuh mungil berguncang-guncang pelan. Lintang refleks menariknya ke dalam dekapan. Setelah tangisnya mereda, Kejora melepaskan pelukan Lintang.

“Kejora ada ap—”

Sebelum Lintang menyelesaikan kalimatnya, Kejora bergumam lirih, “Aku ... aku ingin mengucapkan selamat tinggal.”

“Eh? Kenapa?!” seru Lintang dengan mata membulat lebar.

“Mama akan membawa kami ke kota lain,” sahut gadis bermata bundar itu dengan suara bergetar.

Lintang hanya bisa mengepalkan jemarinya. Perceraian orang tua Kejora memang sudah menjadi perbincangan satu kompleks. Penyebabnya sama seperti keretakan dalam rumah tangga orang tua Lintang. Wanita murahan penggoda suami orang.

Bedanya, ayah Lintang hanya bermain-main dan tetap mempertahankan istri sah. Sementara ayah Kejora justru tega membuang keluarga demi seorang pelakor. Tangan Lintang tanpa sadar mengepal dengan kuat.

“Ulurkan tanganmu!” perintah Kejora. Lintang melonggarkan kepalan dan mengulurkan tangan kanannya, membiarkan gadis itu memasangkan gelang kerajinan buatan sendiri. “Kenang-kenangan dariku.”

Remaja tampan itu teringat sesuatu, cepat merogoh saku celananya. Kalung perak dengan liontin kecil berbentuk bintang tergenggam di tangan. Kejora menaikkan alisnya.

“Aku juga punya kenang-kenangan untukmu. Sebenarnya, sih, hadiah ulang tahun. Boleh kupakaikan?”

Kejora mengangguk. Lintang berjalan hingga berdiri persis di belakang sahabatnya itu. Sedikit gugup, tapi tetap mencoba tenang saat melingkarkan kalung di leher pujaan hati.  Rona kemerahan menyapu pipi keduanya. Cinta pertama yang terasa membara dalam dekapan semilir angin. Meskipun tak ada satu bait kasih yang terucap dari bibir*.

“Kamu pasti kecewa karena aku memilih menjadi wanita murahan seperti ini,” celetuk Kejora membuyarkan lamunan. Lintang terlihat salah tingkah. Berkali-kali menggaruk kepala yang tidak gatal.

“Tidak begitu,” gumamnya lirih setelah berusaha keras mencari kata sanggahan yang tepat. Namun, dia gagal. Mau bagaimana lagi? Jujur, Lintang memang sempat sangat kecewa saat tadi melihat Kejora dalam keadaan seperti itu.

“Keliatan dari muka kamu yang terkejut tadi kok,” cetus Kejora.

Kali ini, dia terlihat lebih santai. Sepertinya, rasa takut akibat peristiwa pembunuhan sudah sedikit memudar. Meskipun tangannya masih terlihat gemetar. Sementara itu, Lintang mengigit bibir, membuat Kejora tersenyum lembut.

“Tak apa, Lintang. Bahkan, aku benci diriku yang seperti ini. Jika Mentari tahu, dia pasti membenciku juga.”

Kejora memejamkan mata sejenak.

“Maaf, ya, mengecewakanmu. Tapi, aku tidak akan menghancurkan rumah tangga orang, kok. Hanya one night.”

Hening beberapa jenak. Lintang mencengkeram kemudi, juga mengusap keringat yang meluncur di dahi. Berkali-kali terdengar embusan napas dari hidungnya.

“Kejora, apakah kamu mau keluar dari dunia yang ....”

“Maaf, saat ini tidak bisa,” potong Kejora. Mobil melewati sebuah perempatan. “Nanti, kalau ada minimarket ritel, masuk ke dalam gang di sebelahnya sekitar dua ratus meter. Rumahku yang warna putih. Ada pohon mangga di halamannya.” Lintang hanya bisa mengangguk patuh, kehilangan bahan obrolan.

***

Lintang mengucapkan salam sambil mengetuk pintu berwarna hijau lumut. Sementara itu, Kejora masih sibuk membenarkan letak outer-nya. Pintu terbuka perlahan. Mentari, gadis muda berkerudung abu-abu lebar menatap sang polisi tampan dengan raut wajah keheranan. Sekarang, Lintang tahu alasan Kejora takut adiknya mengetahui pekerjaan rahasianya.

 “Ada apa ya, Pak?” tanya Mentari sopan. Lintang tersenyum ramah.

“Tari sudah lupa, ya, sama Kakak?” celetuk pemuda itu berpura-pura cemberut.

Jika saja Bima ada di situ, habislah Lintang kena ledekannya. Bagaimana tidak? Manusia yang diberi gelar gunung es oleh Bima mendadak ramah bagaikan malaikat. Sementara itu, Mentari membulatkan matanya. Berusaha keras menggali ingatan. Namun, tak berhasil.

“Ini Lintang, Tari. Kakak yang dulu suka ngasih kamu cokelat berbentuk beruang,” sahut Kejora dari balik punggung Lintang.

“Masya Allah, Kak Lintang!”

Wajah manis yang tadinya digayuti kebingungan mendadak cerah. Lintang mengangkat tangannya, hampir mengusap kepala Mentari. Namun, gadis itu mundur beberapa langkah. Lintang memasang wajah bersalah sembari menangkupkan tangan di depan dada.

“Maaf, Dik, bukan mahram, ya?” gumam Lintang canggung.

 “Nggak papa, Kak. Wah, sekarang Kakak jadi polisi. Keren, Kak! Oh iya, bagaimana kabarnya, Kak?”

“Alhamdulillah, baik.”

Keduanya pun terlibat obrolan ringan. Lintang pun menjadi tahu mengapa dua bersaudara itu memiliki penampilan berbeda. Setahun lalu, Mentari rutin mengikuti pengajian di kampusnya, hingga memutuskan untuk hijrah.

“Duduk dulu, Ntang. Kamu mau minum apa?” tawar  Kejora memotong obrolan Lintang dan adiknya.

“Waduh, Ra. Nggak usah repot-repot.”

“Nggak repot, kok. Duduk aja dulu.” Kejora hendak masuk ke rumah, tapi dicegah oleh Mentari, membuat sang kakak mengerutkan kening. “Kenapa, Tar?”

“Biar Tari yang bikinin minum. Kak Kejora, kan, habis pulang dinas dari luar kota. Mending istirahat, duduk sama Kak Lintang. Aku heran sama kantor Kakak. Suka sekali menyuruh orang dinas.”

Lintang tersentak. Sekarang, dia mengetahui cara Kejora mengelabui Mentari. Berpura-pura berangkat kerja seperti orang kantoran biasa. Jika ada “job spesial”, gadis itu akan menjadikan dinas luar kota sebagai alasan untuk tidak pulang ke rumah.

“Oke deh, adikku yang manis,” cetus Kejora seraya mencubit ujung hidung adiknya.

Kejora pun duduk di kursi rotan teras rumah berhadapan dengan Lintang yang telah duduk lebih dulu.  Sementara itu, Mentari masuk sebentar dan keluar dengan nampan berisi tiga cangkir teh dan setoples camilan. Kejora tampak mengamati ujung outer-nya.

“Sial!” umpatnya kesal membuat Lintang mengerutkan kening. “Mentari jangan mendekat!” perintah Kejora.

Alis Mentari terangkat. Dengan raut wajah keheranan, tetap menghampiri kakaknya. Jarak mereka semakin dekat. Kejora tampak menelan ludah. Langkah Mentari terhenti. Matanya membelalak. Nampan terhempas bersamaan dengan tubuh kurus yang ambruk dengan tangan memegangi kepala.

***

Bagian 3 : Luka Kejora dan Mentari

Bagian 3

Kejora mendesah berat, cepat berdiri menghampiri tubuh adiknya. Lintang sempat termangu untuk kemudian segera membantu untuk membopong Mentari. Kejora membukakan pintu lebar-lebar untuk memudahkan Lintang memasuki rumah.

Tak lama hingga tubuh kurus dalam gendongan itu berpindah ke atas kursi tamu. Lintang menatap Kejora lekat, meminta penjelasan. Namun, gadis itu bergegas masuk ke kamar dan kembali dengan selimut.

“Bantu aku menyelimuti, Tari,” pintanya.

Lintang mengangguk, dengan cepat menutupi tubuh Mentari dengan selimut bermotif polkadot. Sementara itu, Kejora pergi ke dapur. Cukup lama hingga Lintang harus menunggu dengan gelisah. Terlebih, wajah Mentari terlihat ketakutan.

Tubuh kurus dalam gulungan selimut terus gemetaran. Lintang mengembuskan napas lega ketika Kejora muncul dari dapur dengan baskom yang mengepulkan asap. Gadis bermata bundar itu meletakkan baskom di atas meja sebelum mengompres kening sang adik.

“Tari, kenapa?” tanya Lintang memecah keheningan. Kejora menghela napas berat.

“Darah, Tari mengalami trauma. Jika melihat darah ataupun mencium aromanya, Tari akan sakit kepala dan pingsan.”

Kejora menunjuk ujung outer-nya. Ada bercak darah yang telah mengering di sana.  Selanjutnya, Tangan halus itu dengan telaten mengusap keringat di kening Mentari. Rasa penasaran masih menggayuti hati Lintang. Namun, dia cukup tahu diri untuk tidak mengorek informasi sembarangan.

“Tari trauma setelah menjadi melihat mama bunuh diri,” ketus Kejora setelah keheningan mencekam menghantui keduanya, membuat Lintang terperenyak. Cerita masa lalu itu pun mengalir perlahan dari bibir Kejora.

*Gadis berseragam putih abu itu baru saja tiba di depan rumah. Sedikit terlambat pulang sekolah karena ada pengumuman mengenai les untuk menghadapi Ujian Nasional. Kejora membuka pintu sambil mengucapkan salam.

Tak ada sahutan. Membuat sang gadis mengernyitkan dahi. Jantungnya berdegup kencang, teringat depresi yang dialami ibunya. Kejora segera memasuki rumah dengan setengah berlari.

“Mama ....”

Kata-kata Kejora terhenti. Tubuh ibunya terbujur kaku bersimbah darah. Lutut pun terasa lemas. Dia jatuh bersimpuh di atas genangan darah. Otak mendadak terasa kosong. Gadis itu hanya bisa menatap hampa mata penuh luka sang ibu.

Lama terpaku, kesadaran Kejora perlahan kembali. Tangannya cepat merogoh ponsel dalam tas selempang yang ternoda darah. Bercak darah menempel di permukaan ponsel saat dia menekan beberapa nomor.

“Halo, tolong ibu saya dalam keadaan darurat,” ucap gadis itu cepat begitu panggilan tersambung. Dia pun segera menyebutkan alamat rumahnya.

Begitu panggilan berahir, salah satu pintu kamar terbuka. Gadis berusia sepuluh tahun keluar sambil mengucek-ucek mata. Kejora berdiri, hendak menyeret sang adik kembali ke dalam kamar, bermaksud mencegah agar adiknya tidak melihat kondisi ibu mereka.

Namun, kakinya justru terpleset. Kejora tersungkur di kubangan darah. Kini, Mentari telah berada di hadapan sang ibu. Gadis kecil itu terlihat syok dan menjerit histeris sebelum tak sadarkan diri.

“Tari!” jerit Kejora panik*.

Kejora membuka mata. Lintang menatap prihatin. Dia menepuk bahu gadis itu pelan, seolah memberi kekuatan lewat sentuhan. Kejora kembali menghela napas berat.

“Ambulans datang tak lama kemudian, tapi nyawa mama sudah tidak bisa diselamatkan. Tari juga jadi begini,” lirihnya sendu.

Tangan halus mencelupkan kain ke dalam baskom dan memerasnya kuat-kuat. Kemudian, mengusap-usap kening Mentari dengan lembut.

“Andai saja aku bisa ada di sampingmu saat itu,” gumam Lintang.

“Kamu ini ada-ada saja. Memangnya kamu superhero yang bisa membawa mamaku dalam sekejap ke rumah sakit.”

Kejora terkekeh. Suasana canggung yang tadi menggayuti sedikit demi sedikit raib. Meskipun debar di dada pemuda bermata sipit itu tak mereda. Terutama, ketika senyuman hangat terukir di bibir Kejora.

Selanjutnya, Mereka mengobrol ringan. Lebih banyak mengenai pekerjaan Lintang. Tentu tak etis untuk membicarakan pekerjaan Kejora. Sebenarnya, sempat terlintas di benak Lintang untuk menanyakan tentang pelaku pembunuhan. Namun, urung. Dia khawatir kondisi Kejora kembali memburuk.

Tak terasa lebih satu jam telah berlalu. Cinta memang seaneh itu. Sosok dingin dan pembenci wanita tuna susila macam Lintang bisa mengobrol akrab dengan wanita sejenis itu.

“Sudah satu jam aku menyandera kamu di sini. Apa nggak dicariin rekan-rekan kamu nanti?” canda Kejora, membuat Lintang terkekeh.

“Jadi, aku diusir nih?” sahut Lintang sembari mengedipkan sebelah matanya.

Seandainya Bima berada  di sana, pasti pemuda itu sudah pingsan. Sahabat baiknya yang bahkan menolak cinta primadona kantor mendadak genit.

 “Ya nggaklah. Cuma aku nggak mau kamu sampai ditegur atasan. Apalagi, sampai dipecat. Kan, gawat, tuh.”

“Widiih! Perhatian banget sama aku. Udah kayak istri aja. Tapi, kalau mau sekalian jadi istri beneran juga nggak papa,” celetuk Lintang nakal. Kejora memukul bahunya pelan.

“Sana pulang!” 

“Ngambek nih ye,” goda Lintang, membuat mata bundar itu melotot. “Iya, iya ampun Tuan Putri. Hamba akan pulang sekarang.”

Kejora mencubit lengan pemuda itu keras-keras, membuatnya mengaduh. Setelah puas menggoda gadis pujaan hati, dia meminta nomor kontak, juga membuat janji untuk bertemu besok demi kepentingan penyidikan.

Setelah berbasa-basi lagi sejenak, Lintang berdiri untuk kemudian berjalan menuju pintu rumah diikuti Kejora. Mata keduanya sempat kembali beradu sebelum saling mengalihkan pandangan dengan pipi merona. Mereka tersenyum canggung.

“Kalau ada apa-apa, langsung hubungi aku. Beberapa petugas juga akan segera ditempatkan di sekitar sini untuk keamananmu,” cetus Lintang. Kejora mengangguk. Pemuda itu bergegas memasuki mobilnya.

***

Mobil Lintang memasuki halaman sebuah minimarket. Begitu keluar kendaraan mewah itu, dia segera memasuki bagunan dengan gradasi merah putih dan berlogo lebah. Kaki tegap melangkah ke depan lemari pendingin. Tangan kokohnya meraih sekaleng kopi untuk kemudian segera menuju kasir.

“Sebelas ribu rupiah,” ucap kasir. Lintang merogoh dompet di saku celana dan mengeluarkan uang 20.000-an. “Sekalian pulsanya, Pak?”

Lintang menggeleng pelan. Kasir menyerahkan uang kembalian. Ponsel disaku mendadak berbunyi. Pemuda itu pun mengeluarkannya dan menerima panggilan sambil berjalan ke luar minimarket.

Wajah tampan berubah masam begitu suara jail Bima yang terdengar. Panggilan langsung diputuskan. Namun, tak disangka ketika memasukkan ponsel ke saku, seorang anak kecil merampas dompet di tangannya.

“Hei, bocah, tunggu!”

Bocah lelaki berkepala plontos itu berlari kencang. Lintang memburu si pencopet cilik. Keduanya mulai memasuki gang-gang sempit. Aksi kejar-kejaran terus berlangsung hingga si bocah menghentikan langkah mendadak, hampir membuat mereka bertubrukan. Tak ingin membuang waktu, pemuda itu mencekal kedua tangannya.

“Ayo kembalikan dompet, Om! Atau Om bawa ke kantor!” ancam Lintang.

Bocah plontos tersenyum aneh sebelum melemparkan dompet Lintang. Pemuda itu menggelengkan kepala saat si bocah kabur. Lintang menunduk, mengambil dompetnya. Sosok tegap bergerak gesit, menusukkan belati ke pinggang Lintang.

Erangan mengudara bersamaan dengan lutut yang menghantam jalan. Pandangan Lintang menjadi berkunang-kunang. Dia bisa melihat sosok tinggi besar menggunakan topeng kucing berwarna merah berdiri di dekat kepala.

“Bagaimana, Pak Polisi? Kalian sudah bisa menemukan kami. Ah, sepertinya mustahil karena kalian sangat bodoh. Tipuan kecil seperti ini saja bisa menjebakmu,” bisik sosok itu sebelum menghilang seperti sihir.

Sebenarnya, bukan menghilang, tapi bergerak dengan kecepatan yang sangat tinggi. Rupanya, Komplotan Red Cat memang tidak bisa dianggap remeh.

Lintang berusaha menghentikan pendarahan sembari merogoh saku. Dengan tangan gemetar, dia mengeluarkan ponsel dan mencari nama Bima di kontak. Jeda sejenak sebelum panggilan tersambung.

“Tolongin gue, Bim! Gue ditusuk orang ....”

“Hah? Lo di mana?”

***

Kejora dan Mentari baru saja menyelesaikan sarapan ketika ponsel di meja berdering. Panggilan dari taksi online. Tangan halus meraih benda persegi itu dan menerima telepon. Setelah berbicara beberapa jenak, Mentari memutuskan sambungan.

“Taksinya sudah datang, Kak.”

“Ayo, nanti kamu telat!”

Kejora menarik tangan Mentari. Hampir saja tas sang adik ketinggalan di meja makan. Beruntung gadis berjilbab putih itu sempat meraihnya. Avanza hitam telah menunggu di halaman rumah. Kejora merapikan jilbab adiknya.

“Nah, udah cantik adikku. Semangat kamu pasti bisa!”

“Makasih, ya, Kak.” Kejora mengusap-usap kepala sang adik. “Tari, pergi dulu, ya, Kak. Assalamualaikum,” pamit Mentari sembari mencium punggung tangan Kejora.

“Walaikum salam, hati-hati di jalan.”

Mentari menggantungkan tas hitamnya di bahu. Tersenyum sekali lagi pada sang kakak untuk kemudian memasuki taksi. Dia sempat melambaikan tangan sebelum mobil meninggalkan halaman.

“PT Sejahtera, Mbak?” tanya sopir memastikan.

“Iya, Pak,” sahut Mnetari.

Avanza hitam melaju dengan kecepatan sedang di jalan raya utama. Lalu lintas padat merayap, membuat Mentari berkali-kali melirik arloji. Khawatir, dirinya akan terlambat untuk wawancara kerja. Dua hari lalu, gadis itu mendapat panggilan dari HRD perusahaan ternama untuk mengikuti wawancara pada hari ini.

Mentari mengembuskan napas lega begitu taksi memasuki gerbang dengan tulisan PT. Sejahtera. Begitu mobil berhenti, gadis itu menyerahkan uang jasa dan segera keluar. 

“Terima kasih, ya, Pak.”

“Sama-sama, Mbak.”

Mentari mempecepat langkahnya. Tinggal lima menit sebelum waktu wawancara. Tatapan aneh sempat diterimanya ketika memasuki gedung. Gadis itu tak ambil pusing dan tetap melangkap dengan percaya diri.

Dia memang sering dipandang aneh karena gamis syar’i dan jilbab lebarnya. Tentu saja, akan semakin terlihat aneh di lingkungan kantor di mana karyawan wanitanya kebanyakan berpenambilan modis dan kekinian, bahkan sebagian agak seksi.

Melihat pintu lift yang terbuka, Mentari bergegas masuk. Begitu berada di dalam, dia segera memencet tombol bernomor sepuluh. Gadis berkacamata yang telah ada di dalam lebih dulu melemparkan senyuman ramah, membuat Mentari merasa lega. Paling tidak, ada karyawan lain yang tidak memandang dirinya sebelah mata.

Dia pun balas tersenyum. Mereka berpisah ketika keluar dari lift. Mentari berbelok ke sebelah kanan, lurus ke ruang direktur. Sementara itu, gadis berkacamata melangkah ke sisi kiri dan memasuki ruangan disamping lift.

“Mbak Mentari?” tanya seorang gadis cantik dengan rok pendek selutut begitu Mentari tiba di depan ruangan direktur. Tampaknya sekretaris direktur. Mentari mengangguk sopan. “Langsung masuk saja ke dalam, sudah ditunggu Pak Direktur.”

Meski hanya sekilas, Mentari sempat melihat senyuman sinis dari si sekretaris sebelum memasuki ruangan cukup luas itu. Sebenarnya, dia sedikit ragu. Aneh memang, di mana-mana wawancara calon karyawan baru akan ditangani oleh HRD. Namun, kini Mentari diminta langsung menemui sang direktur.

“Permisi,” gumam Mentari canggung.

“Silakan duduk,” perintah lelaki muda di atas kursi kebesarannya.

Mentari sedikit tertegun. Usia lelaki itu terihat sangat muda untuk berada di posisinya saat ini. Kalau ditaksir kemungkinan besar hanya sebaya Mentari. Kalaupun lebih tua, pasti hanya berbeda satu atau dua tahun saja. Lagipula, wajah tampan itu terasa tidak asing.

Mentari menepis pikiran yang dirasanya tak penting, lalu duduk dengan sopan di hadapan sang direktur. Lelaki muda itu tersenyum ramah dan mulai menanyakan pertanyaan standar, seperti skill apa yang dimiliki hingga visi ke depan. Mentari berusaha menjawab sebaik mungkin. Wawancara selesai dalam waktu singkat.

“Selamat, Anda bisa bekerja mulai hari ini.”

“Eh?”

“Anda keberatan? Gajinya kurang besar?” tanya sang direktur dengan alis naik beberapa senti. Mentari cepat menggeleng.

“Bu-bukan, Pak. Saya hanya kaget saja. Biasanya, harus menunggu beberapa hari lagi, menunggu rapat dan sebagainya.”

“Anda memiliki kualifikasi yang menjanjikan untuk perusahaan. Saya tidak mau membuang waktu dengan menunda Anda bekerja di sini,” jelas direktur muda itu.

“Terima kasih, Pak,” ucap Mentari tulus.

Selanjutnya, sang direktur menelepon seseorang. Tak lama hingga sekretaris seksi di depan ruangan tadi masuk. Setelah berbicara beberapa jenak, lelaki muda bermata elang itu menatap Mentari sembari tersenyum lembut.

“Luna tunjukan ruangan kerja Nona Mentari,” titahnya.

“Baik, Pak.” Luna menatap Mentari dingin. “Silakan ikuti saya,” gumamnya dengan suara ramah, tapi menyimpan duri tersembunyi. Mentari yang peka dapat merasakannya. Dia mulai ragu dengan nasibnya ke depan.

Mentari mengangguk paruh, mengekori langkah Luna. Sebelum ke luar ruangan, sempat diliriknya papan nama di meja. Agak tertutup tapi dia berhasil membaca sebagian, Adinata. Nama itu terasa tidak asing. Mentari coba mengingat. Namun, kepalanya mendadak berdenyut. Dia menyerah, merasa tak perlu lagi menggali ingatan.

Luna membawa Mentari ke sebuah ruamgan luas dengan lima belas kubikel. Aktivitas para penghuni ruangan sempat terhenti, melirik dengan alis berkedut, juga tatapan sinis. Mentari menelan ludah.

“Ini meja kamu,” ketus Luna.

Mentari mencoba tak mengambil hati. Selanjutnya, Luna menjelaskan tugas-tugas untuk hari ini dan aktivitas rutin yang harus dilakukan. Gadis bertubuh semampai itu berlalu setelah merasa penjelasannya cukup. Tentu saja, diiringi tatapan genit karyawan laki-laki yang ada dalam ruangan.

Baru saja Mentari menyalakan komputer, ponselnya berbunyi. Pesan dari Kejora. Tak ingin membuat sang kakak cemas, dia segera mengirimkan pesan balasan mengenai keberuntungannya hari ini.

Ya, Direktur baik hati yang langsung menerimanya menjadi karyawan. Tentu saja, Mentari tak mau menceritakan perlakuan tak menyenangkan dari rekan kerja.

“Cih, mendapatkan pekejaan dengan menggoda Pak Direktur aja bangga.” Celetukan setengah berbisik terdengar dari kubikel di belakangnya meremukkan hati. Entah bagaimana bisa tersebar isu tak sedap itu.

“Masa, sih? Jibaban begitu?” sambung gadis ber-blazer cokelat.

“Alah, zaman sekarang jilbaban juga banyak yang murahan. Kalau nggak menggoda, mana mungkin Pak Direktur yang perfeksionis itu menerima orang baru hanya dari sekali wawancara.”

Mentari menggigit bibir. Sentuhan lembut di bahu membuatnya tersentak. Gadis berkacamata yang tadi ditemui dalam lift tersenyum lembut.

“Jangan dipikirkan ucapan mereka,” gumamnya. “Hai, namaku Rainy, salam kenal. Mohon kerja samanya, ya.”

Nyess, keramahan Rainy seolah menyiram kekeringan di hati Mentari.

***

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!