Bagian 4 : Rival?

Bagian 4

Kejora memasuki kafe. Nuansa klasik yang kental memanjakan mata. Setelah mengedarkan pandangan, dilihatnya pemuda tampan di meja nomor lima melambai. Senyuman segera terbit di sudut bibir gadis itu.

Kemarin malam, Lintang mengirimkan pesan, membuat janji temu hari ini. Tentu saja, untuk memberikan keterangan sebagai saksi kasus pembunuhan. Umumnya, keterangan saksi dilakukan di kantor polisi. Namun, lelaki itu sedikit nakal untuk kali ini.

“Tumben nggak pakai seragam?” tanya Kejora sambil duduk di kursi yang ditarikkan Lintang untuknya.

“Biar lebih terkesan santai,” sahut Lintang ringan.

Dia kembali ke kursinya. Begitu akan duduk, pemuda itu terlihat meringis sejenak. Kening Kejora berkerut. Sepasang netra teduh itu ternyata cukup tajam untuk menyadari gerak-gerik sahabat lamanya yang aneh.

“Kamu baik-baik saja, Lintang?” cetusnya dengan tatapan penuh selidik.

“Nggak papa kok, cuma kemaren kena tusuk penjahat,” jelas Lintang sambil terkekeh, membuat mata Kejora melotot. Wajah manis itu tampak begitu cemas. “Tusukannya nggak dalam, kok,” tambah polisi muda itu, berharap gadis di hadapannya lebih tenang.

“Tetap saja kan ....”

“Jangan khawatir,” potong Lintang. Cengiran khasnya membuat Kejora gemas. “Kejadian begini, kan, sudah resiko dari pekerjaanku,” kilah Lintang lagi.

Kejora menggelengkan kepala sambil mendecakkan lidah. Wajah sebalnya entah kenapa terlihat begitu menggemaskan di mata Lintang. Pemuda itu berusaha menenangkan dada yang bergejolak.

Setelah rasa yang menyeruak berhasil dikendalikan, dia mengeluarkan perekam, buku catatan dan pena. “Jadi, apa sudah siap untuk memberikan keterangan, Nona Kejora?”

“Ish! Sok resmi banget, sih!” cibir Kejora, membuat pemuda tampan di hadapannya terkekeh. Sepasang mata sipit tinggal segaris tipis. “Jadi, aku harus memulainya dari mana?”

“Kita mulai dari ciri-ciri pelaku.”

Kejora tampak mengerutkan kening. Tangannya menggaruk kepala yang tidak gatal. Masih tak ada suara meksipun sudah tiga kali Lintang menyeruput americano-nya.

“Dia memakai topeng kucing warna merah dan pakaian serba hitam, Lintang.” Akhirnya, Kejora buka suara. “Mukanya tidak keliatan.” Lintang seketika menepuk kening.

“Ah, bukan begitu maksudku, Kejora.” Sang polisi muda menyeruput kembali minumannya. “Ciri fisik seperti tinggi badannya, gemuk atau kurus dan lain sebagainya,” jelas Lintang.

“Oh, begitu. Tinggi badannya ... di atas rata-rata, sih. Hmm ...,” Kejora memandangi Lintang, “kukira kurang lebih kayak kamu. Posturnya tegap sedikit berisi, tapi nggak gemuk.”

Kejora terdiam beberapa jenak. Wajah manis itu tampak ketakutan. Tangan halusnya gemetaran. Lintang tanpa sadar mengenggamnya dengan lembut.

“Aku paling tidak bisa melupakan matanya yang tajam. Ngeri sekali.”

Lintang mengeratkan genggamannya, mencoba memberikan ketenangan. Mekipun kini jantungnya sendiri yang menjadi tak tenang. Tangan halus milik Kejora terasa dingin tapi mampu membuat pipi menghangat.

“Maaf membuatmu harus mengingat kejadian tak mengenakkan itu,” gumam Lintang lembut, setelah mematikan alat perekam.

“Tidak apa, Lintang. Pokoknya, aku akan membantu sebisaku.”

“Terima kasih, ya.” Kejora mengangguk.

Lintang melepaskan genggamannya dan mulai menulis di atas buku catatan. Sementara itu, Kejora meraih cangkir berisi teh melati dan menyeruputnya perlahan. Begitu selesai memindahkan informasi ke atas kertas, pemuda itu kembali menyalakan alat perekam.

“Kamu yakin sudah bisa melanjutkan?” Kejora mengangguk pelan. “Sekarang, aku ingin kamu memberikan informasi tentang kronologis kejadian.”

Kejora mengatur napas dan memejamkan mata sejenak. Terdiam cukup lama, tampak memutar lagi memori yang tak mengenakkan. Tangan halus di atas meja kembali gemetar. Tanpa pikir panjang, Lintang kembali mengenggamnya dengan lembut.

Masa bodoh dengan keprofesionalan. Nyatanya, Lintang Widjaya, si kulkas berjalan mendadak jadi bucin sejati di hadapan cinta pertamanya. Jika Bima menyaksikan hal ini, dia akan jadi bahan ledekan seumur hidup.

“Malam itu, setelah meminum wine yang diantarkan ke kamar, aku mengantuk sekali dan langsung jatuh tertidur ....”

Kejora pun memulai kisahnya.

Kejora merasakan kepalanya pening saat membuka mata. Alangkah terkejutnya gadis itu ketika tangannya dipenuhi cairan merah bau anyir. Jeritan hampir keluar dari bibir. Namun, tersekat di tenggorakan begitu melihat tatapan tajam sosok berpakaian serba hitam dengan wajah tertutup topeng kucing. Tangan tegap terangkat siap menusuk jantung.

Belati menusuk kasur. Beruntung, Kejora berhasil berguling ke lantai. Meskipun harus menahan nyeri akibat tubuh membentur ubin kamar hotel. Dengan gesit, Kejora menekan tombol telepon, memanggil layanan kamar.

Sialnya, saat itulah sosok berbaju hitam memburunya dengan beringas. Gadis itu kalah cepat. Dia hanya bisa sedikit menghindar sehingga bahunya tertusuk belati.

“Argh!” jerit Kejora sekeras mungkin.

“Shit!” umpat si pembunuh begitu mendengar langkah kaki mendekat.

Dia hampir keluar dari jendela. Namun, petugas hotel telah membuka pintu. Sosok berbaju hitam pun berguling, menyembunyikan diri di pojokan gelap.

“Nona, Anda baik-baik saja?” tanya petugas hotel cemas.

Kejora hanya bisa meringis. Cairan merah berbau anyir terus mengalir dari bahunya. Petugas hotel melakukan pertolongan pertama secepat mungkin. Membalut luka gadis malang itu dengan sapu tangannya.

Sementara itu, si pembunuh keluar dari persembunyiannya dan menyelinap keluar dari pintu yang terbuka. Kejora berusaha memberitahukan, tapi energinya sudah banyak terkuras, hingga tak mampu bersuara. Pelaku pun berhasil kabur.

Sementara itu, usai menangani luka Kejora, si petugas hotel barulah menyadari tubuh terbujur kaku di atas ranjang. Dia pun langsung menghubungi polisi.

“Jadi, pelaku tidak kabur dari jendela?” tanya Lintang memotong cerita Kejora.

“Iya,” sahut Kejora, masih dengan tubuh masih gemetar. Lintang mematikan alat perekam.

 “Maaf, ya, membuatmu harus mengingat kejadian buruk itu.” Lintang hampir saja mengusap rambut Kejora. Namun, urung. Rasanya kurang etis saja.

Kejora tersenyum hangat. “Tak apa. Aku senang bisa membantumu. Ada lagi yang bisa kubantu?”

“Sekarang, aku ingin nona cantik di hadapanku menemaniku makan di sini.”

Kejora melemparkan tempat tisu ke wajah Lintang. Si pemuda tampan menangkapnya sambil terkekeh, membuat gadis di hadapannya tambah gemas. Tak lama dia memanggil pelayan dan memesan makanan.

Obrolan ringan mengalir. Sesekali tertawa kecil ketika guyonan dilontarkan. Namun, suasana nyaman itu terhenti oleh tayangan berita di televisi kafe. Seorang pengusaha muda tengah dikerubuti wartawan.

Tak lama hingga air mata meluncur di pipi Kejora. Lintang seketika mengembuskan napas berat. Pemuda itu jelas mengenal siapa sosok di televisi. Dialah Surya, saudara kembar Mentari.

“Jika saja Papa tidak merebutnya dari kami, Mama tidak akan bunuh diri,” lirih Kejora.

Lintang hanya bisa menatap gadis pujaannya iba. Amarah pada ayah Kejora tiba-tiba menyeruak. Terlebih, ketika mengingat rencana lelaki itu bersama ayahnya. Rencana yang membuat Lintang memilih pergi dari rumah.

“Maaf, aku menjadi sentimental,” cetus Kejora membuyarkan lamunan. Gadis berwajah oval itu cepat-cepat menyeka air mata di pipi. “Ayo kita lanjut makan!” serunya berpura-pura riang, berusaha mengembalikan suasana.

***

Mentari mengembuskan napas berat. Jilbab lebarnya dipermainkan angin semilir. Setelah menghamparkan alas duduk, gadis bertubuh kurus itu bersila di atasnya sambil memangku kotak bekal.

Ya, sudah seminggu ini dia membawa kotak bekal. Mau bagaimana lagi? Makan di kantin kantor hanya akan mendengar omongan tak sedap saja. Karyawan lain masih belum menerima hak istimewa yang diberikan oleh sang direktur padanya.

Beruntung, Rainy selalu ada di sisi. Hari ini pun mereka akan makan siang bersama. Mentari hanya perlu menunggu sebentar sampai gadis periang itu datang.

“Tari?” Suara khas mengejutkannya. Dia berbalik. Seketika matanya membulat lebar.

“Pak Direktur?”

“Kok, makan sendirian di sini?” tanya lelaki muda beralis tebal itu dengan kening berkedut.

Tangannya cepat menyembunyikan rokok ke dalam saku celana. Rupanya, sang direktur berniat untuk merokok hingga pergi ke taman yang sepi. Mentari semakin gelisah ketika lelaki itu duduk di sebelahnya.

Gadis itu tentu tak ingin semakin banyak gosip yang berkembang. Lagipula, ber-khalwat dengan lawan jenis bukan mahram tidak ada dalam kamusnya. Dia mulai menggaruk-garuk kepala yang tidak gatal. Hendak mengusir si direktur juga tidak mungkin.

“Kamu suka makan sendiran, ya?” tanya sang direktur lagi.

“Saya sedang menunggu Rainy, Pak,” sahut Mentari sembari berharap sang direktur segera beranjak dari sana.

“Baguslah, dia bisa menjadi teman yang baik untukmu,” gumam lelaki tampan berlesung pipi itu sambil tersenyum lembut.

Kening Mentari berkerut. Gadis berjilbab biru dongker itu merasa ada yang aneh dengan kalimat direkturnya. Keresahan menghantui ketika debaran jantung mulai tak beraturan. Tidak, ini tidak sama dengan jatuh cinta ala-ala remaja, tapi lebih mirip kerinduan.

“Maaf Tari, aku kelamaan di toilet.” Suara Rainy membuat Mentari mengembuskan napas lega. “Eh? Ada Pak Direktur? Maaf nih ganggu. Apa aku balik lagi ke toilet aja?” goda Rainy nakal.

“Ah, ini tidak seperti yang kamu pikirkan, Rain!” protes Mentari cepat, tak ingin salah paham berlarut-larut.

“Iya, iya aku cuma mau ikut makan bareng kalian,” timpal sang direktur ringan. Rainy terkekeh untuk kemudian ikut duduk dan membuka kotak bekalnya. Sementara itu, Mentari melongo.

“T-tapi Pak Direktur. Bagaimana bisa Anda makan di sini?”

Rainy langsung menyikut Mentari sembari berbisik, “Sudah ah, jangan banyak protes. Siapa tahu kita bisa naik pangkat.”

Mentari mendelik pada sahabatnya. Rainy hanya terkekeh. Namun, candaan mereka terhenti saat terdengar suara mengeong. Tak lama kemudian kucing berbulu putih mendekat dan mengelus-eluskan kepalanya di kaki Mentari.

“Wah, lucunya!’ seru gadis itu riang.

Dia hampir mengusap bulu kucing. Namun, bayangan aneh melintas dengan cepat dalam benak. Gambar-gambar kucing berwarna merah. Kepala Mentari mendadak pening. Tepukan di bahu menyentak kesadaran.

“Kamu baik-baik saja?”

“I-iya, Rain,” sahut Mentari sambil mengatur napas yang masih tesengal. “Ayo kita makan saja! Nanti jam makan siangnya habis,” cetusnya lagi, mencoba mengalihkan pembicaraan.

“Ayo! Aku tidak sabar memalak makanan kalian!” seru sang direktur.

Mentari melongo untuk kemudian cepat menggelengkan kepala. Dia sempat memberikan sepotong lauk untuk kucing. Sementara itu, Adinata, si direktur muda menyingsingkan lengan bajunya, bersiap mencomot isi kotak bekal para gadis.

Namun, luka memanjang di lengan atletis itu membuat kepala Mentari terasa berputar-putar. Teriakan-teriakan memekakkan seolah bersahutan di telinga. Tak menunggu lama hingga gadis itu ambruk.

***

Masih diselingi tawa, Lintang dan Kejora berjalan bersisian keluar dari kafe. Sayangnya, kebahagian mereka harus terkoyak dengan kedatangan pemuda tampan berwajah dingin dengan sorot mata setajam elang.

Setelah berdiri di hadapan kejora, tangan penuh lukanya langsung menarik lengan gadis itu. “Ikut aku!” titah si pemuda dingin.

“Lepaskan aku, Guntur!”

“Hei! Apa yang Anda lakukan?” protes Lintang tak terima, berusaha melepaskan tangan kokoh dari lengan Kejora. “Aku tidak akan membiarkan siapa pun menyakiti sahabatku.”

Sebenarnya, Lintang ingin sekali menyebut kekasihku, tapi hubungan mereka, kan, memang belum ke tahap itu. Si polisi muda menatap nyalang. Lekukan tak proporsional terukir di bibir si pemuda bermata elang.

Lintang terperenyak. Selama ini, dia tak pernah merasakan takut, bahkan ketika harus terlibat kasus-kasus kriminal berbahaya. Namun, satu sorot tajam dari mata elang lelaki kasar itu dapat meremangkan bulu kuduk.

“Cih! Menyingkir kalau tak ingin terluka!” Bentakan membuyarkan lamunan.

Pemuda bernama Guntur itu mendorong Lintang. Sang polisi muda bergeming. Dua pasang netra bersitatap. Meski sorot mata elang terasa mengerikan, dia tak akan menyerahkan Kejora pada sosok yang berbahaya.

Perkelahian pun tak dapat dicegah. Beberapa kali Lintang melancarkan tinju. Namun, pemuda bermata elang menangkisnya dengan mudah. Bahkan beberapa kali mengunci gerakan lawan.

Keduanya pun mulai menjadi pusat perhatian. Beberapa pasang netra mengalihkn pandangan, bahkan ada yang merekam. Lintang mendadak bersyukur tidak mengenakan seragamnya. Sementara itu, Kejora menatap mereka dengan wajah pucat sambil meremas jemari.

Lintang kembali memasang kuda-kuda. Guntur tertawa sinis. Satu tinju melayang. Hampir tak terlihat, Guntur menangkap tangan Lintang. Dia juga dengan gesit mencekal kaki kanan, hingga polisi muda itu ambruk ke tanah. Seringaian aneh tampak di sudut bibirnya saat tangan kekar terangkat.

“Aku akan ikut kamu, Guntur!” seru Kejora cepat. Sepertinya, dia tak ingin Lintang terluka.

“Kejora?”

Lintang menatap tak percaya. Mata sipit menatap lekat wajah manis gadis pujaan hati, meminta penjelasan. Kejora mengalihkan pandangan, menghindari sorotan mata tajam cinta pertamanya.

Gadis itu harusnya tahu, kekecewaan tengah meracuni hati Lintang. Rasa sakit bercampur kecemburuan. Padahal, dia sudah berusaha menerima kondisi Kejora sebagai wanita tuna susila dan berharap suatu saat bisa mengeluarkannya dari dunia hitam, lalu menikah dan hidup bahagia.

 “Maaf, Lintang. Aku harus pergi dengannya.” Suara sendu Kejora menyentakkan kesadaran.

Guntur tersenyum sinis, lalu menghempaskan tangan Lintang dari cekalannya. Dia menghampiri Kejora dan melingkarkan lengan di bahu gadis itu. Kejora tampak pasrah menurut, bahkan ketika Guntur menyeretnya masuk ke mobil.

Sementara itu, Lintang hanya bia mengepalkan tangan kuat-kuat, hingga buku-buku jari memutih. Wajah tampan menjadi merah padam. Gemeletuk giginya terdengar samar. Sembari menahan nyeri, dia bangkit dan berjalan dengan sedikit tertatih menuju mobilnya.

“Kasian banget mas-mas Korea-nya. Tapi, mas satunya juga ganteng banget, sih” celetuk gadis berbaju merah yang kebetulan melihat pertengkaran mereka.

“Kalau aku sih pilih mas-mas Korea. Kayak ada manis-manisnya gitu,” sahut gadis berbaju biru.

“Ish! Dasar KPOP-ers, mas yang satunya lebih gagah keles,” protes si baju merah tak terima. Keduanya malah ribut. Lintang mengembuskan napas berat.

‘Apakah lelaki itu telah menggantikanku di hatimu, Kejora.’

Lintang membuka pintu mobil dan duduk di belakang kemudi. Jadwal selajutnya, memerika kesaksian warga yang tinggal di sekitar Hotel Marilyn. Baru saja menghidupkan mesin, dia tersentak.

“Shit!” umpatnya ketika melihat darah merembes di bekas tusukan.

Rupanya, jahitan kembali terbuka akibat perkelahian tadi. Lintang membuka kotak P3K darurat, mengeluarkan perban, dan membebat lukanya.  Rencana menemui saksi harus tertunda. Dia mengarahkan mobil menuju rumah sakit terdekat.

***

 

Terpopuler

Comments

Cute Girl

Cute Girl

jangan lupa mampir ya

2021-04-27

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!