bab 17 ambisi susan

Drttt… Drttt…

Ponsel Susan bergetar di atas meja rias. Ia meraih benda itu dengan cepat, lalu tersenyum saat melihat nama Sari di layar.

“Halo, Beb! Di mana?” suara Sari terdengar ceria dari seberang.

“Halo juga! Aku di rumah,” jawab Susan dengan semangat.

“Oh, kirain lagi di luar.”

Susan terkekeh, lalu menggigit ujung kukunya. “Ada apa, Say?”

“Besok sibuk nggak?”

Susan menghela napas kecil. “Padet banget,” katanya jujur. Jadwalnya memang penuh dari pagi hingga malam.

“Ya ampun, susah banget ya ketemu wanita karier.” Sari tertawa ringan.

Susan tersenyum tipis. “Kenapa? Ada yang penting?”

“Aku mau kenalin kamu sama adikku, Raka,” suara Sari terdengar sedikit menggoda.

Sekilas, jantung Susan berdegup lebih kencang. Ia menegakkan duduknya. “Jam berapa? Kalau untuk ketemu Raka, aku akan agendakan,” ujarnya, nada suaranya sedikit lebih antusias.

“Besok malam bisa?”

Susan menatap bayangannya di cermin, matanya berbinar. “Oke! Aku agendakan dan bakal aku cancel agenda-agenda lain,” katanya mantap.

Sari tertawa. “Sip! Selamat malam, Say.”

Setelah panggilan berakhir, Susan meletakkan ponselnya di meja rias, lalu menatap foto di layar ponselnya. Raka.

Pria itu tampan—terlalu tampan. Wajahnya begitu dewasa, matanya penuh keteduhan. Bibir Susan melengkung, dan pipinya terasa menghangat.

“Tapi kamu alim, ya…” gumamnya pelan. Ia melirik isi lemarinya, jemarinya menyentuh beberapa gaun glamor. “Berarti besok aku harus pakai yang lebih sopan.”

Perasaan hangat menggelitik dadanya. Malam itu, Susan tersenyum sendiri, membayangkan esok hari—saat akhirnya bisa bertemu dengan pujaan hatinya, Raka.

..

Penampilan Raka mulai membaik sejak kehadiran Lina. Gadis itu dengan telaten memilihkan pakaian yang rapi dan menyetrikanya dengan sempurna. Sumarni memperhatikan semuanya dengan puas. Bukan hanya karena kinerja Lina yang cekatan, tetapi juga karena gadis itu tahu cara mengambil hatinya

Saat makan malam, Sari menatap Raka yang terlihat lelah. “Raka, nanti malam aku sudah buat janji dengan Susan Warseno.”

Raka mengerutkan kening, meletakkan sendoknya. “Ah, malas. Aku banyak kerjaan.”

Sumarni, yang duduk di seberangnya, menyuapkan sesendok nasi ke mulutnya. “Kamu harus ketemu Susan, Nak. Ini peluang bagus! Kalau kamu menikah dengannya, bisnis kita akan semakin berkembang.”

Raka menyandarkan tubuhnya ke kursi, matanya menerawang. “Tapi aku mau cari Azizah, Bu. Sudah seminggu dia nggak pulang.” Suaranya terdengar berat.

Sari mendengus. “Ah, paling juga jadi gembel di luar sana. Memangnya dia punya siapa di kota ini?”

“Tapi bagaimana dengan anakku, Bu?” Mata Raka menatap ibunya penuh harap.

Sumarni mendengus pelan, mengibaskan tangannya. “Alah, gampang. Tinggal bikin lagi, kan?”

Raka menelan ludah, dadanya terasa sesak. “Tapi aku nggak mau terjadi apa-apa dengan anakku, Bu.”

Sari tertawa kecil, nada suaranya mengejek. “Kemana aja kamu, Raka? Giliran hilang baru ditanyain?”

Sumarni meletakkan sendoknya dengan sedikit keras. “Sudahlah, jangan pikirkan perempuan nggak berguna itu! Susan adalah masa depanmu. Lupakan Azizah, Raka.”

“Tapi, Bu—”

“Tidak ada tapi-tapi!” Nada suara Sumarni meninggi. “Jangan sia-siakan kesempatan ini! Susan itu orang sibuk, bukan pengangguran.”

Raka menunduk, mengepalkan tangannya di bawah meja. Hatinya berontak, tapi ia tahu, melawan ibunya hanya akan membuat segalanya semakin rumit.

“Baiklah, Bu,” gumamnya pelan. Walau terpaksa, ia tetap mengiyakan.

Raka melangkah keluar rumah, tapi langkahnya terasa lebih berat dari biasanya. Begitu sampai di halaman, ia berhenti sejenak, merasakan ada sesuatu yang berbeda. Sesuatu yang hilang.

Biasanya, di saat seperti ini, seseorang sudah berdiri di dekat mobil, menunggunya dengan senyum kecil atau wajah cemberut—tergantung suasana hatinya hari itu. Azizah.

Azizah yang selalu sigap membawakan tasnya, memastikan segala keperluannya sudah siap. Azizah yang selalu mencium tangannya sebelum berangkat, entah dengan tulus atau sekadar kebiasaan. Azizah yang tanpa diminta akan membukakan gerbang untuknya, lalu menunggunya pergi sebelum menutupnya kembali.

Tapi hari ini…

Gerbang sudah terbuka, tapi bukan Azizah yang berdiri di sana.

Raka mengerutkan kening, lalu mengucek matanya. Sekilas, bayangan Azizah muncul di pikirannya, tapi saat ia menajamkan pandangan, sosok itu bukanlah dia. Lina.

Ia menatap gadis itu sejenak. Lina tampak rapi seperti biasa, berdiri dengan sikap sopan, siap menjalankan tugasnya. Tapi… kenapa harus Lina? Kenapa bukan Azizah yang ada di sana?

Ah, sudahlah…

Raka menghela napas, membuka pintu mobil dan masuk ke dalam. Saat mesinnya menyala, ia sempat melihat melalui kaca spion bagaimana Lina dengan cekatan menutup kembali gerbang rumah itu.

Di sisi lain, Lina berdiri sejenak setelah memastikan gerbang tertutup rapat. Matanya menatap mobil Raka yang semakin menjauh, meninggalkan rumah itu dengan kecepatan stabil.

"Ah… tampan sekali Tuan Raka," batinnya, tanpa sadar bibirnya melengkung tipis.

Tapi kesadarannya segera kembali.

"Tapi sayang, dia suami orang."

Lina menarik napas panjang, menunduk sedikit, seolah berbicara pada dirinya sendiri.

"Aku paling anti merebut suami orang... Lagipula, belum tentu juga Tuan Raka mau denganku," pikirnya.

Ia menghela napas lagi, berusaha mengusir pikirannya.

"Sadar, Lina. Ingat posisimu," batinnya memperingatkan diri sendiri.

Ia menegakkan punggungnya, merapikan rambutnya yang sedikit tertiup angin, lalu berbalik dan melangkah kembali ke dalam rumah. Hari ini masih panjang, dan ia harus kembali

Sumarni duduk di kursi ruang tamu, mengaduk teh hangat di tangannya. Pandangannya jatuh ke arah Lina yang tengah merapikan meja. Ada sesuatu dalam sikap gadis itu yang membuatnya nyaman—rajin, telaten, dan selalu tahu bagaimana berbicara dengan sopan.

"Lina, menurutmu bagaimana Raka?" tanya Sumarni tiba-tiba, membuat Lina menghentikan pekerjaannya sejenak.

Gadis itu tersenyum tipis. "Tentu saja tampan, Bu. Wajar saja, Ibu juga cantik," jawabnya dengan nada ringan.

Sumarni tertawa kecil. "Kamu memang pandai merayu," katanya, menyesap tehnya pelan.

"Tapi menurutmu, wanita seperti apa yang cocok untuk Raka?" lanjutnya, kini suaranya lebih serius.

Lina berpikir sejenak sebelum menjawab, "Tentu saja yang baik, cantik, dan pintar, Bu."

Sumarni mengangkat alisnya. "Kenapa tidak orang kaya?"

Lina sedikit ragu sebelum akhirnya berbicara, suaranya tetap sopan, tapi ada nada tegas di dalamnya. "Maaf kalau saya salah, Bu, tapi menurut saya laki-laki itu wajib kaya. Kalau perempuan lebih kaya dari suaminya, biasanya si istri jadi songong, Bu."

Sumarni mendengarkan dengan penuh perhatian, sementara Lina melanjutkan dengan nada lebih pelan. "Seperti tetangga saya, Bu. Istrinya kaya, suaminya miskin. Eh, suaminya malah jadi seperti pembantu. Bahkan, istrinya berani menyuruh ibu mertuanya buat kerja juga."

Sumarni mengerutkan kening. "Masa sih?" tanyanya, sedikit tidak percaya.

Lina mengangkat bahu. "Saya cuma cerita tentang tetangga saya, Bu."

Sumarni mengangguk pelan, tampak berpikir. Setelah beberapa saat, ia akhirnya berkata, "Oh ya sudah, lanjutkan pekerjaanmu."

Lina mengangguk patuh, kembali sibuk dengan pekerjaannya, sementara Sumarni masih duduk diam, merenungkan kata-kata gadis itu.

Sementara itu, di kantor, Raka duduk di kursinya dengan tatapan kosong. Jemarinya menggenggam pulpen, tapi tak ada satu pun tanda tangan yang ia bubuhkan di dokumen di depannya. Sudah berulang kali ia mencoba fokus, tapi pikirannya terus melayang ke satu nama—Azizah.

Laki-laki plin-plan ini sedang didera kebingungan yang tak kunjung reda. Di satu sisi, hatinya berteriak menyuruhnya mencari Azizah, perempuan yang tengah mengandung anaknya, hilang entah ke mana tanpa jejak. Ia tahu betul bahwa Azizah bukan tipe wanita yang akan pergi begitu saja tanpa alasan kuat.

Namun, di sisi lain, suara ibunya terus terngiang di telinganya. Sumarni menginginkan ia melupakan Azizah, menganggap perempuan itu tak lebih dari masa lalu yang sebaiknya dikubur dalam-dalam. Ibunya punya rencana lain—menjodohkannya dengan Susan Warseno, perempuan kaya yang katanya bisa membawa kesuksesan bagi bisnisnya.

Raka menghela napas berat. Ia tahu betul, menikahi Susan akan membuat ibunya bahagia, akan membuat bisnisnya melesat lebih tinggi. Tapi… bagaimana dengan Azizah? Bagaimana dengan anak yang sedang dikandungnya?

Dadanya terasa sesak. Raka bersandar di kursi, menutup matanya sejenak, berharap mendapatkan sedikit ketenangan. Namun, semakin ia mencoba mengabaikan perasaannya, semakin jelas bayangan Azizah di benaknya. Senyumnya, suaranya, cara dia dengan telaten mengurusnya setiap hari—semuanya membuat hatinya semakin gelisah.

Tidak. Ia tidak bisa mengabaikan ini. Ia harus menemukan Azizah, bagaimanapun caranya.

Malam pun tiba. Langit kota dihiasi gemerlap lampu jalan, dan di sebuah salon mewah, Susan masih berdiri di depan cermin besar, mengamati dirinya sendiri dengan penuh kepuasan. Seharian ini, ia hampir mencancel semua jadwalnya hanya demi satu hal—tampil sempurna untuk Raka.

"Raka, kamu pasti terpesona melihat aku," gumamnya sambil membalik rambut panjangnya dengan anggun.

Di belakangnya, Mirna—atau yang sebenarnya bernama Marna—menyilangkan tangan di dada, menatap Susan dengan ekspresi puas. Mirna, seorang waria dengan selera fashion tinggi, adalah sosok yang bertanggung jawab atas penampilan glamor Susan malam ini.

"Gimana? Aku udah cantik belum?" tanya Susan dengan nada manja.

"Pokoknya cantik membahana, beb! Kaya bidadari turun dari langit," ucap Mirna dramatis.

Susan tersenyum penuh percaya diri. "Oke, pokoknya gue nggak mau calon suami gue kecewa."

Mirna tertawa kecil, mengambil kuas bedak dan menyempurnakan sentuhan terakhir di wajah Susan. "Ihh… muka lo udah gue permak kaya Syahrini, pokoknya laki bego kalau nggak suka sama lo!"

Susan terkekeh, tapi mendadak raut wajahnya berubah serius. "Tapi kalau dia belok gimana?" tanyanya curiga.

Mirna langsung meletakkan tangannya di pinggang, memasang ekspresi jahil. "Ya kalau belok, gue embat lah, Jeng!" katanya sambil tertawa.

Susan melotot, pura-pura kesal, lalu mengacungkan jari ke arah Mirna. "Gue potong burung lo kalau berani macem-macem!" ancamnya, setengah bercanda.

Mirna langsung mengangkat tangan, pura-pura menyerah. "Ampun, Ratu! Tapi serius, malam ini lo bakal bikin Raka jatuh cinta tujuh turunan!"

Susan tersenyum penuh kemenangan. Hatinya berdebar membayangkan pertemuan mereka malam ini. Raka harus terpesona. Tidak ada pilihan lain.

Terpopuler

Comments

Hanipah Fitri

Hanipah Fitri

Raja laki laki plin plan yg mencoba ingin berbakti kepada org tua nya tapi mengabaikan istri dan anak nya yg masih berada di kandungan.

2025-04-11

0

lihat semua
Episodes
1 menantu tak dianggap
2 bab 2 harga sebuah permintaan
3 Bab 3: Semakin jomblo semakin punk
4 bab 4 perhatian cindy
5 bab 5 setelah azizah tidak ada
6 Bab 6: setelah azizah tidak ada
7 Bab 7 kehidupan aziza setelah keluar dari rumah
8 bab 8 pulang ke rumah
9 Bab 9: Kebimbangan Raka
10 bab 10 butuh pembantu
11 bab 11 pembantu datang
12 bab 12 rencana sari
13 bab 13 Romi aditama
14 bab 14 Andi pratama
15 bab 15 masa lalu Romi dan azizah
16 bab 16 susan warseno
17 bab 17 ambisi susan
18 bab 18 nona zee
19 bab 19 Luna wijaya
20 bab 20 kekacauan raka dan ketenangan aziza
21 bab 21 beci dan cinta hadir bersama
22 Susan dan raka
23 23 Aziza melahirkan
24 24 biar suaminya yang jaga bayinya
25 SURYA VS JAYADI
26 BAYINYA NYAMAN SAMA AYAHNYA
27 BAYIKU KETERGANTUNGAN
28 SUSAN MAU .
29 Raka memutuskan menikah dengan susan
30 suaraku lebih indah darimu
31 DIA BAHKAN TIDAK MEMILIH ANAKNYA
32 PERNIKAHAN RAKA SUSAN
33 MUHAMAD AZZAM
34 JADIKAN SUAMIMU SIMPANANMH
35 KEHIDUPAN RAKA DI RUMAH SUSAN
36 bertemu lagi
37 AZIZA MENGUGAT CERAI
38 gedung Prama grup
39 NYONYA ZEE ADALAH AZIZAH
40 Sumarni betemu nyonya zee
41 PERMAINAN TAKDIR
42 menjelang sidang
43 sidang cerai
44 pasca sidang
45 Azizah khawatir
46 kehancuran raka
47 AZZAM SAKIT
48 Raka menang??
49 RAKA INI MANUSIA BUKAN
50 jangan kritis lagi
51 sari di talak
52 Raka jatuh
53 kesadaran
Episodes

Updated 53 Episodes

1
menantu tak dianggap
2
bab 2 harga sebuah permintaan
3
Bab 3: Semakin jomblo semakin punk
4
bab 4 perhatian cindy
5
bab 5 setelah azizah tidak ada
6
Bab 6: setelah azizah tidak ada
7
Bab 7 kehidupan aziza setelah keluar dari rumah
8
bab 8 pulang ke rumah
9
Bab 9: Kebimbangan Raka
10
bab 10 butuh pembantu
11
bab 11 pembantu datang
12
bab 12 rencana sari
13
bab 13 Romi aditama
14
bab 14 Andi pratama
15
bab 15 masa lalu Romi dan azizah
16
bab 16 susan warseno
17
bab 17 ambisi susan
18
bab 18 nona zee
19
bab 19 Luna wijaya
20
bab 20 kekacauan raka dan ketenangan aziza
21
bab 21 beci dan cinta hadir bersama
22
Susan dan raka
23
23 Aziza melahirkan
24
24 biar suaminya yang jaga bayinya
25
SURYA VS JAYADI
26
BAYINYA NYAMAN SAMA AYAHNYA
27
BAYIKU KETERGANTUNGAN
28
SUSAN MAU .
29
Raka memutuskan menikah dengan susan
30
suaraku lebih indah darimu
31
DIA BAHKAN TIDAK MEMILIH ANAKNYA
32
PERNIKAHAN RAKA SUSAN
33
MUHAMAD AZZAM
34
JADIKAN SUAMIMU SIMPANANMH
35
KEHIDUPAN RAKA DI RUMAH SUSAN
36
bertemu lagi
37
AZIZA MENGUGAT CERAI
38
gedung Prama grup
39
NYONYA ZEE ADALAH AZIZAH
40
Sumarni betemu nyonya zee
41
PERMAINAN TAKDIR
42
menjelang sidang
43
sidang cerai
44
pasca sidang
45
Azizah khawatir
46
kehancuran raka
47
AZZAM SAKIT
48
Raka menang??
49
RAKA INI MANUSIA BUKAN
50
jangan kritis lagi
51
sari di talak
52
Raka jatuh
53
kesadaran

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!