Perias Jenazah

Perias Jenazah

Awal Pertemuan

Sebelas tahun yang lalu, aku masih seorang tukang sayur keliling menggunakan gerobak dari kampung ke kampung. Disaat aku sedang berjalan menjajakan dagangan sayuranku, tidak sengaja aku bertemu dengan Lastri saat ia akan tertabrak mobil. Dengan sigap aku menarik tangannya yang hendak menyeberang saat mobil sudah melaju dengan cepat. Kami berdua terjatuh dibibir jalan.

Untung saja tidak ada selokan, bisa-bisa aku dan Lastri sudah terjungkal kebelakang, kataku dalam hati.

Lastri adalah teman semasa kecil yang sudah lama tidak aku temui karena ia baru saja pindah dari kota. Kami bercerita banyak disebuah warung pinggir jalan sembari mengobati luka lecet di tangan dan kaki Lastri. Lastri bercerita bahwa ia tidak bekerja sebagai penjaga toko tapi menjadi perias jenazah. Dahulu ia berbohong pada orang tua dan teman-teman sekolahnya kalau ia bekerja sebagai penjaga toko. Mau bagaimana lagi hanya itu pekerjaan yang menjajikan yang ia dapatkan dikota. Dia menunjukkan beberapa alat makeup serta kuas wajah lengkap satu set. Karena perias jenazah adalah pekerjaan panggilan maka Lastri selalu menenteng tas kecil untuk membawa peralatan makeup yang dibutuhkan. Bahkan lipstik dengan berbagai warna pun ada. Lastri menawarkan aku menjadi asistennya karena ia iba melihat aku yang sudah tak muda lagi harus berpanasan mendorong gerobak sayuran. Jujur dalam hati aku sedikit tertarik menjadi asisten Lastri karena ia mengatakan padaku uang yang didapat sungguh besar.

“Udah kamu jadi asisten aku aja, percaya sama aku uang yang kamu dapat pasti lebih besar daripada kamu harus capek-capek jalan kaki jualan sayur” ujar Lastri meyakinkanku.

“Tapi aku bingung tri, ini berbeda dengan keyakinan agama yang aku anut” ujarku membalas.

Ya, aku dan tri memang berbeda agama. Karena dalam agamaku jenazah cukup dimandikan dan disholatkan saja. Aku memang butuh uang sekarang ini, sejak ditinggal mendiang suami, aku harus menghidupi anak-anakku yang masih sekolah. Dua anakku sudah menikah dan masih ada dua anakku yang masih bersekolah butuh biaya pendidikan. Ya, aku memang seorang tukang sayur tapi aku tidak ingin semua anakku hidup susah seperti aku. Mereka harus jadi orang besar agar tidak dipandang rendah di masyarakat. Walaupun ku sedih dua anak pertamaku hanya aku sekolahkan hanya tingkat SMA. Karena waktu itu suamiku sedang sakit keras dan meninggalkan kami selamanya.

“Halo Sarti, kamu melamun ya? Gimana tawaran ku tadi? Kamu mau tidak jadi asistenku? Aku tidak memaksamu, pikirkan baik-baik.”

“Kamu tahu aku hanya jujur tentang pekerjaanku cuma sama kamu dan aku merahasiakannya dengan orang lain. Yakinlah Tuhanmu pasti mengerti dengan keadaanmu saat ini. Toh aku tidak menyuruhmu pindah keyakinan. Kalau kamu takut dengan mayat, kamu bisa membacakannya doa sesuai tuntunan agamamu” Lastri kembali meyakinkanku.

Duh Gusti apa yang harus aku lakukan? Aku ingin tapi aku takut itu melanggar syariatmu.

“Bismillah” kataku dalam hati.

“Baiklah aku ikut denganmu ke kota, jadi asisten riasmu. Tapi kamu jangan larang aku untuk beribadah dan berdoa ya Lastri” ujarku sambil terkekeh

“Ya ndak to, opo aku wong jahat?” balas Lastri dengan tertawa

“Oke kita akan berangkat dua hari lagi, siapkan pakaian dan minta ijinlah dengan anakmu. Bilang kamu akan kerja ke kota dan setiap bulan akan pulang ke kampung” Lastri menambahkan

Di situlah titik balik hidupku menjadi perias jenazah.

Banting setir demi menafkahi kedua anakku.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!