Dua sohib Kevin sudah pulang dulu beberapa menit yang lalu. Suasana di parkiran mobil sudah agak sepi. Kevin sedang berada di dalam mobil, tapi dia enggan menyalakan mesin kendaraan roda empatnya itu. Dia sedang tak ingin pulang ke rumah. Dia sudah terlalu bosan dengan segala suasana sepi dan dingin yang selama beberapa tahun terakhir ini mengisi rumahnya.
Dulu saat segalanya masih sempurna, rumah besar yang dihuni keluarga Kevin terasa damai dan hangat. Ada tawa ceria Alice, adiknya. Juga senyum hangat Mona. Candaan-candaan Radit, ayahnya, di saat mereka makan bersama atau sekedar berkumpul di ruang keluarga juga mampu menambah suasana akrab yang tercipta. Namun, sekarang semua hanya bisa Kevin kenang. Kebersamaan yang pernah terasa begitu indah kini tak bisa lagi dia rasakan. Yang ada kini hanya kesepian yang menciptakan lubang menganga di dadanya. Kesepian itu juga yang selama ini membuatnya bertingkah sesuka hati di sekolah.
Sebenarnya dia tak pernah sengaja bertingkah seenaknya atau mengacau begitu saja. Dia hanya ingin melakukan hal-hal yang sekiranya bisa membuat lubang menganga itu tertutup kembali. Namun sejauh ini usahanya tak pernah berhasil. Semakin lama lubang itu justru semakin besar dan kesepian yang dia rasakan semakin mencekam.
Sudah hampir setahun Radit jarang pulang ke rumah. Dalam seminggu pria itu pulang hanya dua atau tiga kali, itu pun selalu diwarnai percekcokan dengan Mona. Sementara itu, Alice sudah dua bulan ini dirawat di rumah sakit karena leukemia. Entah kapan gadis itu bisa sembuh seperti sedia kala. Rumah besar yang Kevin tinggali dulunya begitu hangat, begitu hidup. Sekarang rumahnya hanya seperti bangunan gedung yang sepi, suram, dan kosong.
Kegembiraan yang dirasakan Kevin saat bersama dengan Ferro dan Dion selalu terasa singkat. Mereka mungkin bisa menemani Kevin di sekolah atau di rumahnya dalam beberapa jam. Namun, Kevin tak bisa meminta mereka untuk menemaninya lebih lama. Mereka bukan saudara kandungnya yang bisa selalu bersama dengannya seharian penuh. Mereka punya keluarganya sendiri di rumah. Dan Kevin tidak bisa egois.
Mungkin benar kata orang kalau harta paling berharga di dunia ini adalah keluarga. Hal kecil seperti kepribadian seseorang dibentuk pertama kali di dalam keluarga. Seseorang akan merasa hidupnya lengkap dan sempurna juga karena adanya keluarga.
Hanya di sekolah Kevin merasa hidupnya berwarna. Ketika berada di rumah kehampaanlah yang akan datang menyergapnya. Kevin bisa saja pulang ke tempat Ferro atau Dion, tapi dia tak ingin merepotkan. Mereka berdua masih ada bersamanya setelah segala perubahan yang terjadi dalam hidupnya saja sudah bagus. Ya, kamu pasti pernah dengar kisah tentang teman yang menjauh ketika satu temannya jatuh miskin atau sedang terjebak masalah, kan? Tapi, untungnya Dion dan Ferro bukan tipe teman yang seperti itu. Dan Kevin bersyukur memiliki mereka dalam hidupnya.
Entah sudah berapa menit Kevin menghabiskan waktu di dalam mobil ditemani lagu-lagu Maroon 5 yang mengalun dari tape. Parkiran sudah benar-benar sepi. Hanya ada beberapa mobil yang belum dibawa pergi oleh pemiliknya. Biasanya itu punya anak-anak yang sedang mengikuti ekstrakurikuler.
Konsentrasi Kevin pada musik yang dia dengar buyar ketika mendengar suara ketukan keras di kaca mobilnya. Ketika menoleh ke jendela mobil, dia mendapati Angga sedang menatapnya dengan tatapan tak bersahabat. Kevin mengembuskan napasnya kasar lalu mengalihkan pandangannya ke depan lagi. Ini bukan pertanda baik. Kedatangan Angga, Tommy, atau Edo selalu akan menghasilkan keributan. Sudah berkali-kali Tommy atau Angga, bahkan Edo sendiri muncul tanpa diduga-duga begitu. Namun, tentu saja Kevin tak akan menghindar. Dia tak suka dianggap pecundang oleh musuh bebuyutannya itu.
Kevin melirik malas pada Angga lalu mengalihkan pandangannya ke kaca depan mobil lagi. Entah apa lagi yang cowok berambut keriting itu inginkan. Yang pasti kali ini juga berhubungan dengan Edo.
Karena Angga tak kunjung beranjak pergi dan ketukannya di kaca mobil semakin keras, akhirnya Kevin menurunkan kaca jendela mobil. Dengan gusar dia lantas bertanya, “Ngapain lo?”
Angga tersenyum masam. “Dicariin Edo,” jawabnya.
Akhirnya Kevin pun turun lalu mengikuti Angga berjalan ke mobil Edo. Dia disambut Tommy dan si pemilik mobil. Mereka berdua bersandar pada kap mobil sambil memasang tampang sengak yang menyebalkan.
“Apaan lagi?” tanya Kevin jutek ketika dia telah berdiri tepat di hadapan Edo.
Bukannya menjawab, Edo malah berdiri tegak lalu melayangkan tinjunya ke perut Kevin. Kevin, yang memang memiliki refleks cepat terhadap serangan, segera membalas pukulan Edo dengan melayangkan bogemnya ke wajah cowok itu. Tak terima leader-nya diserang, Tommy ikut memukul Kevin. Dilayangkannya tinju ke wajah lawannya tersebut. Pukulan Tommy itu membuat gejolak panas di dada Kevin meletup. Dia lantas balik memukul wajah Tommy. Tak mau kalah, Edo ikut menyerang. Dia menendang perut Kevin hingga cowok itu mundur beberapa langkah ke belakang. Namun seolah tak peduli dengan sakit yang dirasakan, Kevin maju beberapa langkah, bermaksud membalas Edo. Tetapi belum sempat dia melancarkan serangan, Angga lebih dulu memukul bagian punggungnya dengan kedua siku. Akibatnya dia menghentikan langkah dan mengerang kesakitan. Kesempatan itu Edo gunakan untuk menyerang Kevin secara bertubi-tubi. Dia layangkan tinjunya ke perut dan dada Kevin berkali-kali. Terakhir, dia menendang perut Kevin hingga cowok itu ambruk.
Kevin pasti menang kalau berkelahi satu lawan satu dengan seseorang dari mereka bertiga karena dia punya ilmu silat. Pernah suatu ketika Edo datang sendirian dan menghajarnya seperti orang kesetanan. Namun, akhirnya tetap Kevin yang berhasil menang. Mungkin untuk mengantisipasi, jadi sekarang Edo selalu main keroyokan.
Sebenarnya Kevin tak mengerti apa motif Edo melakukan semua ini padanya. Dulu waktu duduk di bangku SMP mereka adalah dua orang saudara sepupu yang sangat akrab. Tak ubahnya saudara kandung. Keadaanya mulai berubah sejak awal mereka duduk di bangku kelas sepuluh. Suatu sore ketika Kevin tengah bermain bola di halaman rumah, Edo menghampirinya dan menghajarnya habis-habisan. Tak hanya itu, Edo juga memaki Kevin dengan kata-kata yang menyakitkan. Dia bilang Kevin saudara *******. Saudara laknat. Bahkan kerapkali Edo berkata kalau dia ingin melihat Kevin mati. Waktu itu Kevin tak membalas perlakuan Edo. Cowok itu bahkan diam saja saat Edo menatapnya dengan tatapan seperti ingin membunuh.
Kejadian sore itu yang mencadi titik awal perkelahian Edo dan Kevin di hari-hari berikutnya.
Awalnya Kevin selalu ingin bertanya apa motif Edo. Namun belum juga sempat berbicara, Edo selalu lebih dulu menyerang. Karena terpancing emosi, Kevin melupakan keinginanya mencari akar dari semua. Dia jadi ikut benci dengan Edo dan akan dengan senang hati melawan jika cowok itu mulai meyerangnya.
Kevin mencoba bangun, mengabaikan rasa sakit yang dia rasakan di sekujur tubuh. Melihat lawannya belum menyerah, tendangan keras Edo layangkan ke perut cowok itu. Akibatnya tubuh Kevin terbaring lagi. Seolah tak puas, Angga menambahkan pukulan keras ke wajah Kevin. Tak mau ketinggalan, Tommy ikut melayangkan tendangannya ke perut Kevin.
“Mau lo sebenarya apa, Do?” tanya Kevin pelan ketika Edo berlutut di sampingnya dengan senyum puas, senyum ejekan yang di dalamnya tersirat kebencian begitu besar. Mengapa hanya Edo yang Kevin beri pertanyaan? Karena Kevin merasa kalau ini merupakan dendam pribadi Edo. Setiap mereka berkelahi, tatapan membunuh itu hanya terpancar dari mata Edo, bukan dari kedua temannya yang lain.
“Gue ... mau ... lo ... mati,” jawab Edo pelan dan penuh penekanan. Dia memberi jeda pada setiap kata ketika mengucapkan kalimat itu. Sengaja. Agar terdengar lebih jelas di telinga Kevin.
“Apa salah gue ke lo?” tanya Kevin pelan. Dia berusaha mengabaikan rasa sakit yang menyergap tubuhnya.
“Apa salah lo?” Edo tersenyum sinis sejenak kemudian melanjutkan kalimatnya dengan bentakan, “LO YANG MULAI SEMUANYA, VIN! LO YANG MULAI!”
Tatapan kebencian dan tatapan ingin membunuh itu lagi-lagi terpancar dari mata Edo. Dan Kevin tidak mengerti apa maksudnya. Memangnya dia sudah memulai apa? Selama ini setiap kali mereka ribut, Edo tak pernah mengucapkan kalimat apa pun. Baru kali ini cowok itu mengungkapkan kalimat demikian seolah Kevin adalah biang kerok dari permusuhan tak berujung ini. Padahal jelas-jelas dari awal Edolah yang mulai menyerang.
Beberapa tinju Edo layangkan lagi di wajah Kevin—di pipi, mata, dan rahangnya—dengan kecepatan tak terkontrol. Menyadari Kevin mungkin bisa benar-benar mati atau masu rumah sakt kalau membiarkan Edo, Angga dan Tomi segera menarik tubuh leader-nya ke belakang. Alih-alih menurut, Edo justru memberontak tak terima. “Dia harus mati, Guys!” katanya di sela gerakan tangan dan tubuhnya yang terus berusaha melepaskan diri dari cekalan Tommy dan Angga.
Kevin memejamkan matanya ketika Edo dan kedua temannya sudah pergi. Rasa nyeri luar biasa merambat di sekujur tubuh dan wajahnya. Jawaban Edo atas pertanyaannya tadi benar-benar tak bisa dicerna otaknya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 95 Episodes
Comments
mawar merah
seru ceritanya 😍
terua semangat ya 💪
2020-04-17
0
Jukyung_Limau
hemmm masih aja dibikin penasaran..next lah
2020-04-05
0
Yanti Suryanti
gk tkt tuh ktauan phk skolh....?!!!!
2020-02-23
0