Seperti yang sudah Kevin duga, ketika mobilnya berhenti di depan sekolah, pagar besi tinggi itu sudah tertutup rapat. Dia sempat melihat seorang satpam yang berjaga di pos security depan gerbang menoleh padanya ketika menurunkan kaca mobil. Satpam itu memasang tampang datar sambil meliriknya, seolah sudah tidak heran melihatnya datang terlambat.
Dulu Kevin selalu berhasil membuat satpam itu membuka gerbang dengan sogokan. Biasanya dia akan menyerahkan beberapa lembar uang kertas dengan nominal tertinggi yang dicetak Bank Indonesia. Atau beberapa kotak rokok merek favoritnya yang harganya di atas rata-rata rokok kebanyakan. Biasanya Kevin akan berkata, “Ini rokok favorit saya, Pak! Harganya lebih mahal dari punya, Bapak, pasti rasanya lebih enak juga,” dengan santainya atau bahkan sambil cengengesan ketika dia mengulurkan kotak rokoknya. Namun, sekarang kondisinya sudah berbeda. Dia tak bisa lagi menghambur-hamburkan uang seenaknya. Masih bisa bersekolah saja dia sudah untung.
Kalau tidak ada sogokan, si satpam biasanya tak akan membukakan gerbang. Kevin yakin sekarang pun kejadiannya akan seperti itu karena dia tak punya apa pun untuk dipakai menyogok. Meski begitu dia tetap berusaha. Jadi, sekarang dia berniat melakukan negosiasi seperti seorang ibu-ibu yang sedang menawar pakaian di pasar tradisional.
Kevin turun dari mobil dengan malas. “Pak, bukain, dong! Maaf saya nggak bawa kado buat, Bapak, lagi bokek nih,” katanya ketika langkahnya terhenti tepat di depan gerbang.
Si satpam bergeming. Dia tetap terduduk di posnya. Sibuk memerhatikan ponsel seolah sama sekali tak ada suara yang menyapa telinganya beberapa detik tadi. Meski begitu Kevin tak menyerah. Karena tak mungkin baginya untuk pulang dan membiarkan Mona, ibunya, tahu kalau dia diusir dari sekolah karena terlambat datang. Dia tak ingin membebani pikiran Mona lebih banyak lagi.
Dulu kalau si satpam tak mau membukakan gerbang seperti ini, dia akan segera hengkang dari sekolah lalu memacu mobilnya ke mana saja, tak tentu arah. Atau pergi ke tempat-tempat yang bisa membuat pikirannya senang dan baru pulang di jam-jam waktunya anak sekolah pulang. Dengan begitu Mona akan mengira kalau seharian dia bersekolah dan semuanya baik-baik saja. Namun, sekarang kondisinya sudah tak semudah itu. Mau pergi ke mana memangnya? Lagi pula mobil juga butuh bensin supaya bisa terus berjalan. Ujung-ujungnya uang lagi yang menjadi masalah.
“Pak, bukain, dong!” kata Kevin lagi kali ini sambil menggoyang-goyangkan pagar besi.
Si satpam akhirnya keluar dari pos dan menghampiri Kevin. “Saya kira kamu sudah tobat. Sudah dua bulan lebih, kan, kamu nggak terlambat datang ke sekolah? Nggak tahunya kumat lagi. Memang ya penyakit badung itu susah sembuhnya,” katanya sinis.
Kevin menggeram. Ekspresi santainya berubah menjadi ketegangan yang tergambar nyata di wajah. Cowok itu ingin mengumpat, tapi dia tahan. Emosinya terkumpul di ubun-ubun dan tak dia lampiaskan. Dia memohon dengan sopan saja si satpam tak mau berkompromi, apalagi mengeluarkan makian.
Tak berapa lama seorang guru laki-laki datang dari kejauhan. Beliau melangkah dengan cepat mendekati gerbang. Sosok itu adalah Pak Sanjaya, wali kelas Kevin.
Sekarang Kevin tahu, selama berada di pos tadi, selama memerhatikan ponsel tadi, si satpam pasti sedang mengirim pesan singkat untuk wali kelasnya itu. Kekesalannya jadi menumpuk berlapis-lapis kini. Ternyata satpam itu suka mengadu.
Kevin berusaha menetralkan ekspresi wajahnya ketika gerbang dibuka atas permintaan Pak Sanjaya. Tak ada sepatah kata pun keluar dari mulut cowok itu ketika Pak Sanjaya menatapnya dengan tatapan datar. Dia menundukkan kepalanya. Dia benar-benar ingin diizinkan masuk.
Pak sanjaya berdiri tepat di depan Kevin. Dia bersedekap sambil menatap muridnya tersebut dengan tatapan datar. “Sekarang kenapa lagi? Sudah lumayan lama saya tidak mendengar berita keterlambatan kamu? Kenapa sekarang diulang lagi?!” kata pria berkumis tebal itu dengan nada penuh penekanan.
Kevin yakin beliau pasti punya pemikiran yang sama dengan si satpam. Mengira bahwa dirinya mungkin sudah berubah, tapi ternyata tidak. Bedanya, tak ada nada mengejek pada kalimat Pak Sanjaya, hanya terdengar agak kecewa.
“Saya minta maaf, Pak. Saya janji ini yang terakhir kalinya saya telat,” balas Kevin.
Pak Sanjaya adalah satu dari beberapa guru yang mengenal bagaimana tabiat Kevin selama ini. Bagaimana latar belakang Kevin dengan segala tingkah menjengkelkan yang selalu dia lakukan. Dia tahu sejak duduk di bangku kelas dua belas tingkah buruk Kevin sudah mulai bisa diredam. Dengan keyakinan bahwa Kevin akan menepati janjinya, dia akhirnya mengizinkan anak didiknya itu masuk.
Setelah berterima kasih pada Pak Sanjaya, Kevin segera memacu mobilnya pelan meninggalkan pelataran sekolah menuju tempat parkir.
Dia sudah diizinkan masuk. Namun, masalah lain pasti akan muncul. Ya, hari ini, di jam pertama adalah pelajarannya Bu Fatima. Guru Sosiologi satu ini terkenal cerewet dan paling tidak bisa berdamai dengan siapa saja yang terlambat masuk kelas. Tak ada pilihan lain. Kevin akhirnya melangkahkan kakinya juga menuju kelas dengan risiko menerima hukuman dari Bu Fatima.
Ketika kaki Kevin telah terhenti di depan pintu kelas, wanita berambut keriting sebahu tengah berdiri di depan papan tulis. Bu Fatima sedang menerangkan. Pelajarannya sudah berlalu sekitar dua puluh menit.
Kevin mengetuk pintu, berusaha mengabaikan Ferro dan Dion yang sedang saling menunjuk padanya. Mereka pasti menunggu kedatangan Kevin sejak tadi. Sama seperti si satpam dan Pak Sanjaya, mereka mungkin tak menyangka kalau Kevin akan mengulang kebiasaan buruknya datang terlambat ke sekolah.
Bu Fatima membetulkan letak kacamatanya dan menajamkan pandangan ketika menoleh ke pintu. Setelah sadar bahwa murid yang mengetuk pintu itu adalah seorang yang tidak ada di daftar absen, wajah beliau berubah tegang. “Dari mana saja kamu jam segini baru datang?!” kata beliau lantang setelah sempat melirik jam tangannya sekilas.
“Maaf, Bu, tadi saya habis menyeberangkan nenek-nenek di lampu merah,” jawab Kevin asal. Tak mungkin dia menceritakan kejadian yang sebenarnya pada Bu Fatima. Bisa panjang urusannya.
Jawaban Kevin itu mendapat sambutan seruan riuh dari seisi kelas. Seorang teman laki-lakinya bahkan sengaja berkata, “Nenek-neneknya montok aduhai kayak Maria Ozawa, Vin, sampe lo mau nyeberangin dia?”
Sontak celetukan itu mengundang gemuruh tawa dari seisi kelas. Baik yang laki-laki maupun perempuan tertawa lepas, tak terkecuali Ferro dan Dion. Suara seruan terdengar lagi setelah suara tawa agak reda. Kebisingan itu otomatis membuat Bu Fatima murka. Penggaris kayu yang ada di meja beliau melayang dengan cepat ke tengah ruangan kelas diikuti suara teriakan, “Diam!” yang meluncur dari mulut beliau. Seisi kelas kemudian hening bertahap selama beberapa detik. Perhatian Bu Fatima lantas tertuju pada Kevin lagi setelah itu. “Kamu tidak usah ikut pelajaran saya! Kamu pel saja kamar mandi putra kelas dua belas sana! Jangan kembali sampai jam pelajaran saya habis!”
Kevin melangkah gontai meninggalkan pintu kelas dengan wajah tertekuk setelah mendengar perintah Bu Fatima itu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 95 Episodes
Comments
Eka Suryati
mengapa sepi like, komen dan vote ya, padahal sepertinya cukup bagus
2021-11-08
0
🥀Novie🥀
penasaran nich,, bangkrut kah.....
2020-03-31
4
Chamomile🌼
baru sempet baca...
ceritanya Manarik ingin baca sampai selesai.
tapi Thor, penggalan cerita nya kurang menarik...
sayang banget karena ceritanya sangat menarik❤️😘😘
2020-03-15
0